HUTAN JIWA-JIWA YANG MEMBUSUK (3)
(Translater : Theten ; Editor : Gian)

Jadi sederhananya, kami akhirnya sama sekali tidak menemukan Feirona dan yang lainnya.
Kami berhasil mencapai perkemahan, ​​tetapi yang kami temukan hanyalah sebuah lubang besar. Mengingat bahwa Aya dan yang lainnya tidak ada di sana, itu pasti jebakan yang diletakkan oleh monster. Ada monster yang bisa menggunakan sihir juga. Jadi ada kemungkinan mereka juga bisa membuat lubang perangkap seperti yang dilakukan Aya dan Ms. Francesca.
Melihat bahwa aku tidak mendapat balasan bahkan setelah aku meneriakkan nama mereka,  mereka semua pasti berada di dasar lubang ........ yang benar saja, apa yang terjadi ? aku tidak membuat kesalahan apapun, kan?
Aku bahkan tidak bisa turun untuk memastikan mereka ada disana atau tidak. Mururu ingin melompat ke bawah tapi aku menghentikannya dengan menenangkannya. Ada juga sihir yang bisa digunakan untuk terbang. Untuk seseorang di level seperti Aya akan dengan mudah keluar dari lubang itu. Tapi, kenapa mereka semua masih berada di dalam lubang itu. Bisa jadi mereka sudah keluar dari dalam lubang itu dan sekarang mencari kami. Bagaimanapun juga, dengan informasi yang sangat sedikit aku tidak bisa memutuskan kemana kami harus pergi.
Aku berpikir untuk menunggu di tepi lubang, tetapi itu pun terasa sulit. Sambil bersembunyi di dalam rongga sebuah pohon besar, aku bertanya dan berpikir dengan Mururu tentang apa yang harus kita lakukan selanjutnya.
Apakah kita akan menunggu yang lainnya di sini atau pergi mencari mereka, itu tidak akan mudah. Dan saat ini zombie dengan jumlah yang tak tertandingi sedang berkeliaran. Ini pasti kerjaan dari Tengkorak itu dan bukan hantu biasanya. Pasti itu yang mengendalikan semua zombie itu. Dalam situasi seperti ini, daripada mencari teman ku, aku lebih merasa seperti aku lah yang akan menjadi teman dari zombie-zombie itu.
"Apa yang harus kita lakukan?" (Mururu)
"Memangnya apa .."
Meskipun rongga pohon itu cukup besar, tetap saja itu tidak berarti bahwa itu memiliki ruang yang cukup untuk menampung dua orang. Aku benar-benar terjebak sangat dekat dengannya dan setiap kali dia bergerak sensasi yang kurasakan akan mulai membuatku merasa gatal. Bukan bermaksud untuk menyembunyikan pikiran kotor tetapi, aku masih merasa agak bersalah untuk beberapa alasan.
Dibandingkan dengan rongga pada pohon, kelihatannya pikiranku benar-benar memiliki lebih banyak ruang kosong untuk memikirkan hal-hal semacam itu. Aku benar-benar merasa tidak bisa berkata apapun.
Kami masih belum bertemu dengan yang lain tetapi aku rasa aku masih bisa tenang karena aku percaya mereka akan baik-baik saja. Musuh yang tidak terlihat sudah jelas merupakan sebuah ancaman, tetapi Aya bukan tipe orang yang akan mudah terjatuh begitu saja. Lagi pula, kita sedang berbicara tentang penyihir jenius. Dia dapat dengan mudah melindungi Ms. Francesca dan Feirona. Aku harus mekpercayainya, kalau tidak begitu aku tidak akan bisa bergerak maju. Saat itu, Mururu menatapku dengan tatapan mengeluh.
"Apakah kamu tidak khawatir?"
“Itu karena aku mempercayai mereka. Aku khawatir tentang Ms. Francesca tetapi mereka berdua juga ada di sana jadi seharusnya tidak masalah.
Aku sungguh pembohong. Aku jelas sangat khawatir. Tapi aku juga mempercayai mereka ......... Emosi manusia sungguh hal yang sulit. Dan jika aku mulai khawatir, siapa yang akan menenangkan Mururu?
Dan lagipula ada masalah yang lebih besar di sini.
Meskipun aku mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya, tangan kanan ku terasa sakit. Tanpa menyentuhnya aku bisa tahu kalau aku terkena demam. Apakah lukaku bernanah, apakah serangan itu juga beracun? Itu yang kupikirkan.
Setelah terluka, meskipun tidak banyak, aku mengalami pendarahan. Tetapi jika aku kehilangan energi karena racun tersebut, itu akan menyebabkan kemunduran yang serius. Aku bukan satu-satunya yang akan dalam bahaya, Mururu yang ikut bepergian dengan ku juga akan berakhir dalam bahaya. Kasus terburuknya, jika aku menjadi tidak bisa bergerak, tidak akan ada yang melindunginya.
Jadi agar tidak membuang tenaga, aku mencoba untuk bergerak seminimal mungkin. Udara yang masuk dari batang pohon terasa dingin, tetapi adanya Mururu didekatku membuatku terasa hangat. Dan lengan kanan ku bahkan terasa lebih panas. Rasanya seperti sebuah batang besi panas telah dimasukkan ke dalam lenganku.
[Aku tidak yakin tapi Aya dan yang lainnya mungkin ada di dasar lubang itu.]
Setelah beberapa saat, tiba-tiba Ermenhilde angkat bicara.
Hanya aku yang bisa mendengar suaranya. Sangat tenang rasanya bahwa zombie atau kerangka itu tidak bisa mendengarnya.
“…… Kenapa?”
[Jika mereka di atas, tidak mungkin Aya dan elf itu tidak akan mendengar suara pertempuran kita.]
Ketika Mururu masih bersuara kecil, Ermenhilde menjelaskannya.
Aku punya pendapat yang sama. Hanya itu satu-satunya kemungkinan yang bisa aku pikirkan bahwa Aya dan yang lain akan mengambil tindakan itu setelah semua yang terjadi. Tetapi dalam kasus ini, mengapa mereka tidak kembali. Apakah ada sesuatu di bawah sana? Atau apakah mereka diserang di sana? Bagaimanapun, kami benar-benar telah terpisah.
"Masalahnya adalah bagaimana cara kita agar bertemu kembali dengan mereka?" (Renji)
"Pergi saja kedalam lubang?"
Tanpa ada cara untuk kembali naik sama saja dengan tersesat. Aku benar-benar tidak merekomendasikannya. "
Tapi, bagaimana jika mereka dalam masalah di sana?
Pikiran seperti itu datang pada ku tetapi aku dengan cepat menggelengkan kepala. Meski begitu, hanya ada sedikit yang bisa kita lakukan. Daripada itu kita pertama-tama harus berurusan dengan kerangka menyebalkan itu, bos monster yang mengendalikan zombie.
Setidaknya ancaman terbesar akan hilang, dan jika kita beruntung, zombie juga akan diam.
"Apakah kita pergi untuk menyelamatkan mereka atau kita hanya menunggu di sini, pertama-tama kita harus mengurus kerangka itu." (Renji)
[Itu benar. Saat ini hanya beastwomen ini yang bisa merasakan jika kita akan disergap.]
“……. Mururu. "(Mururu)
Tiba-tiba, dia berbicara dengan suara kecil.
Ketika aku melihatnya sambil bertanya-tanya ada masalah apa, pandangannya sedikit lebih marah daripada yang biasanya kosong.
"Bukan Beastwomen. Namaku Mururu. "
Oh, jadi dia tidak menyukai cara Ermenhilde memanggilnya.
[Hmph, untuk orang-orang sepertimu, beastwomen sudah lebih dari cukup.]
"Mu ……"
“Dia ini makhluk yang paling aneh dan keras kepala.Jika kamu ingin dia memanggil dengan namamu, yang harus kamu lakukan cukup bekerja keras dan diakui olehnya." (Renji)
Aku bisa saja menyuruh Ermenhilde untuk mengatakannya, tapi itu tidak akan menarik sama sekali. Dan juga kau harus memikirkan tentang kapan dia benar-benar diakui oleh Ermenhilde dan dipanggil dengan namanya.
Yah, bohong rasanya jika aku mengatakan bahwa itu tidak bermasalah. Tapi, Mururu juga merupakan tipe yang benci kalah, atau lebih tepatnya, mencoba untuk bersikap kuat sehingga dia tidak akan berhenti begitu saja ketika dia menetapkan sesuatu. Meskipun mungkin karena alasan sederhana seperti membuat Ermenhilde memanggil namanya, aku senang dia masih bisa bertingkah normal bahkan dalam situasi seperti ini. Kalah terhadap rasa takut lalu mengamuk adalah tanda kematian yang sering dialami.
Baiklah sekarang, sudah cukup dengan mempererat pertemanan kita. Mururu, apakah kamu memiliki kepercayaan diri untuk menang melawan kerangka itu? "(Renji)
"Itu akan sulit."
"Aku mengerti."
Jawabannya sederhana. Itu hal yang cukup baik tetapi bukan hal yang menyenangkan untuk didengar saat ini.
Tentu saja, itu tidak mungkin bagi ku juga. Jika aku tidak berada dalam kondisi sempurna dengan tangan kanan ku, aku masih tidak akan memiliki peluang untuk menang. Tampaknya Ermenhilde juga mengerti sehingga tidak berbicara apa-apa. Sejujurnya, aku tidak ingin melawannya. Tetapi jika aku tidak melawannya kita akan tetap berada di jalan buntu. Jika kami hanya menunggu yang lain, aku bisa membayangkan kerangka itu akan menyerang kami disaat kami mencoba untuk bertemu dengan yang lainnya. Aku pikir setidaknya dia memiliki kecerdasan.
Kami tidak punya pilihan selain mengalahkan kerangka itu. Untuk melakukan keduanya, meninggalkan hutan ini dan bertemu dengan yang lain.
"Tapi, kita tidak akan tinggal di sini tanpa melakukan apa-apa, kan?" (Renji)
"Tentu saja. Aku akan menghancurkan monster tulang itu. ”
"Keputusan yang bagus."
Monster itu sudah jelas bukannya tidak terkalahkan. Berdasarkan pertarungan sebelumnya, aku mencoba memilah berbagai informasi tentang makhluk itu.
Selama kita bisa mengeluarkan ekornya, Mururu seharusnya bisa mengurus yang lainnya, kan?
Maka pertama-tama yang harus aku lakukan adalah memikirkan cara untuk menghancurkan ekornya. Makhluk itu terspesialisasi dalam menyergap mangsanya, aku ragu makhluk itu memiliki pengalaman disergap berkali-kali. Aku mungkin sedikit terlalu optimis, tapi itu pertaruhan yang sepadan.
Tapi bahkan sebelum itu, kami harus memikirkan cara untuk mendekati monster yang tak terlihat itu tanpa diketahui.
Kepalaku sakit. Lengan kanan ku yang terluka juga  terasa sakit. Dan itu bukanlah rasa sakit biasa, itu terasa seperti lukaku ditusuk dengan sebuah jarum. Ini mungkin berbahaya. Sampai kita bertemu dengan yang lain, aku benar-benar tidak ingin melihat dan menangani luka ini. Jika aku melakukannya aku pasti akan menjadi tidak bisa bergerak. Bagaimanapun, aku takut berkelahi dan juga benci rasa sakit. Jika aku melihat lukaku yang membusuk, hati ku pasti akan hancur. Lagipula aku ini pengecut.
"Ada rencana?" (Renji)
"Tidak, bagaimana denganmu?"
"Aku akan menjadi umpan dan memancing kerangka itu keluar. Mururu, kamu gunakanlah kesempatan itu untuk menghancurkan ekor makhluk itu dari intinya. ”
[……. Kau menyebutnya sebuah rencana?]
"Sudah jelas kan?"
Atau apakah kamu memiliki rencana yang lebih baik? Aku menanyaknnya dan tidak mendapat jawaban apapun..
Pada kenyataannya ,kami hanya memiliki sedikit cara dalam mengambil sebuah tindakan. Kelompok yang beranggotakan  Beastwoman yang tidak bisa menggunakan indera nya dengan benar karena miasma dari hutan, dan seorang pria yang sedang terluka yang bahkan tidak bisa menggunakan Cheatnya dengan benar.
"Kamu benar-benar baik, Ermenhilde."
"Kamu benar-benar bodoh, Renji."
Aku sudah memutuskan untuk bertaruh pada kesempatan ini. Untuk menang, dan untuk bertahan hidup dan bertemu teman-teman kami. Baik Ermenhilde dan Mururu juga sudah memahaminya. Kami tidak benar-benar terhubung juga tidak memiliki ikatan yang kuat. Kami juga tidak memiliki kenangan indah satu sama lain. Tapi tetap saja, kehangatan gadis di lenganku ini sangat berharga.
Kematian itu dingin. Aku pikir itulah kenapa makhluk hidup mencari kehangatan. aku telah melihat banyak teman ku yang mati. Meskipun mereka tepat di sampingku, saat berikutnya, mereka sudah mati. Berkali-kali, terlalu sering, aku telah melihat kematian. Aku sudah merasakannya.
"Renji, apakah kamu takut mati?" (Mururu)
"Ya, tentu saja"
[…… Ya.]
Atas pertanyaan Mururu yang mendadak, ketika aku menjawab tanpa ragu, Ermenhilde memberikan suara keberatan.
Itu tidak bisa dihindari. Semua orang takut mati. Bagaimanapun, semuanya berakhir ketika kamu mati. Mungkin setelah merasakan emosiku, Mururu melepaskan semua kekakuan di tubuhnya dan sepenuhnya bersandar padaku. Untuk sesaat aku merasa kaget, tetapi segera menerimanya. Gadis ini, sama denganku. Takut berkelahi, takut terluka. Takut mati ——– dan tidak ingin rekan-rekannya mati. Soal seberapa kuatnya kepercayaan dirinya, tetap saja dia masihlah seorang anak yang berada pada masa remajanya.
Kita menyebut ini apa? Berpikir sejenak, aku segera ingat.
Efek jembatan gantung. Meskipun ini bukan cinta, aku satu-satunya di sisinya saat ini. Dia hanya ingin kehangatan. Aku juga sama, jadi aku semakin mempererat pelukanku.
Lengan kananku terasa sakit tetapi itu menjadi bukti bahwa saat ini aku masih hidup.
"Aku juga." (Mururu)
"Itu normal. Lagipula, ketika kamu mati kamu tidak bisa bertemu atau berbicara dengan yang lainnya lagi. ”
Apa pun yang terjadi.
Mayat tidak bisa bicara. Mereka tidak akan memegang lenganmu saat kamu memegangnya.
Tidak ada kehangatan. Hanya kedinginan.
Dan yang terpenting ---- mereka yang tertinggal hanya akan memiliki kesedihan. Begitu sedihnya hingga kamu merasa ingin menangis sampai tidak ada lagi air mata yang tersisa. Begitu sedihnya, sehingga daripada mengalami kesedihan itu lagi, akan lebih baik untuk mati.
Itu sebabnya aku tidak akan mati atau membiarkan orang lain mati.
Jika kamu hidup, kamu harus hidup demi mereka yang mati juga. Menghadapi rasa sakit yang akan membuat mu merasa ingin mati, kamu harus bisa mengatasinya.
Aku tidak ingin merasakan seperti itu, aku juga tidak ingin Mururu merasakannya. Begitu juga untuk Aya dan yang lainnya. Itulah sebabnya aku akan hidup. Aku akan mempertaruhkan nyawaku dan memenangkannya.
[Ya ampun …… Meskipun kau akan pergi bertarung, apakah ini akan baik-baik saja?]
"Ya, Ermenhilde. Kita bisa terus hidup karena kita takut mati. Dan kita akan membunuh monster itu karena kita ingin hidup. Mudah dimengerti, bukan?
[Tentu saja —— haah.]
Entah kenapa aku merasa tenang saat mendengar desahan itu..
Sama seperti biasanya. Aku akan merepotkan Ermenhilde, dan dia mendesah seolah-olah muak denganku.
Mungkin itu menyebalkan bagi Ermenhilde, tetapi rasanya sungguh menyenangkan bagi ku, ini membuatku tenang, interaksi sehari-hari ini.
"Semua akan baik-baik saja."
Mururu bergumam.
"Aku akan melindungi Renji."
[………….Ha. Bukankah sebaliknya? Meskipun dia seperti ini, Renji adalah tipe pria yang melakukan hal-hal penting ketika benar-benar dibutuhkan].
Pertama, aku terkejut dengan kata-kata Mururu, lalu menjatruhkan bahuku terhadap pernyataan Ermenhilde.
Apa maksudmu 'Meskipun dia seperti ini' ? Yah, maksud ku, aku memang sering dimarahi karena tidak menanggapi hal-hal dengan serius, aku ingin membantahnya. Tapi ketika kamu mengatakanya tepat didepanku, yah, yeah ..
Kesampingkan itu semua, saat ini aku hanya  ingin memikirkan hal-hal yang lebih praktis. Meskipun aku berkata aku akan menjadi umpan, tidak mungkin kerangka menyebalkan itu akan jatuh ke trik yang mudah dimengerti. Kalau saja aku punya sesuatu untuk memancingnya.
Tanganku sakit. Kepalaku tidak berfungsi. Tetapi aku masih harus memikirkan sesuatu. Juga, daripada tenggelam dalam pesimisme, lebih baik menyadari bahwa semuanya masih bersemangat.
"Aku yang lebih kuat."
[……… Oi, begitu katanya Renji. Katakan sesuatu kembali.]
"Aku tidak bisa menyangkal itu."
[Kamu harus menyangkalnya !!]
Tetapi itu benar, aku bukan tandingan Mururu dengan hanya dengan dua perjanjian yang dilepaskan.
Pada saat itu, aku sampai pada pertanyaan, mengapa hanya dua perjanjian yang berhasil dilepaskan.
Salah satu dari perjanjian yang dilepaskan adalah keinginan ku untuk bertarung. Itu hal yang biasa. Tapi apa yang satunya lagi ?
Aku sama sekali belum membuat janji apa pun dengan Mururu dan aku tidak cukup kuat untuk melindunginya. Padahal, akulah yang benar-benar dilindungi.
Kematian teman-temanku. Itu tidak seharusnya terselesaikan kecuali aku mengakuinya sendiri. Aku sama sekali tidak berpikir Aya dan yang lainnya telah meninggal. Dua yang tersisa seharusnya tidak mungkin diselesaikan dalam situasi ini. Salah satu dari perjanjian membutuhkan diriku untuk berbicara dengan dewi secara langsung dan yang satunya --- tidak akan pernah dilepaskan. Apa pun yang terjadi.
Kemudian
"Makhluk itu adalah keturunan Dewa Iblis ........?"
[Apa?]
“Perjanjian kita. Saat itu ketika kami sedang bertarung, dua dari perjanjian telah dibebaskan. ”
[Ya itu betul. Tapi bukankah itu keinginanmu untuk bertarung dan untuk melindungi Beastwoman ini?]
"Aku yang dilindungi, kau tahu?"
[…… Seperti biasa, kamu terlalu merendahkan dirimu sendiri.]
Bahkan jika kamu mengatakan itu, itu adalah faktanya. Dalam pertarungan itu, aku tidak bisa melakukan apa-apa.
"Perjanjian?" (Mururu)
“Itu rahasia antara aku dan Ermenhilde. Ada berbagai alasan yang menyebabkan aku tidak bisa bertarung dengan kekuatan penuh. ”
"Meskipun kamu mungkin mati sendiri?"
"Ya, bahkan jika aku akan mati."
Ini benar-benar kisah yang menyedihkan. Tidak bisa bertarung dengan kekuatan penuh bahkan ketika aku sendiri hampir saja mati. Dia benar-benar seorang Dewi yang berperilaku buruk, serius. Aku meikirkan itu dalam hatiku.
"…….kamu sungguh aneh."
Mengatakan itu, Mururu tertawa ringan di pelukanku.
"Apa yang terjadi?"
"Apa yang bisa kita lakukan agar kamu bisa bertarung dengan kekuatan penuh?"
Bahkan jika kamu menanyakan itu, aku tidak punya cara untuk menjawab pertanyaan gadis ini.
Jika aku tidak bisa menggunakan kekuatan penuhku, itu berarti bukan hanya aku, bahkan Mururu akan dalam bahaya. Tapi, aku tidak bisa menggunakannya. Aku butuh alasan untuk melindunginya …… ​​atau mungkin, aku harus mengorbankan Mururu, yang seharusnya kulindungi, hanya untuk menggunakan kekuatanku. Itulah batasan yang ku miliki. Itu sebabnya tidak ada artinya.
Aku tidak ingin ada yang mati. Aku tidak ingin meninggalkan mereka, Aku tidak ingin melepaskan ikatan yang aku miliki. Aku tidak ingin kehilangan kehangatan gadis di lenganku. Sungguh... cheat yang kudapatkan sungguh aneh. Agar dapat melindungi seseorang, Aku harus mengorbankan orang lain. Dan meskipun begitu, aku tidak akan menjadi yang terkuat. Untuk menjadi yang terkuat, untuk menjadi seorang GodSlayer sejati, Aku akan berakhir dengan mengorbankan seseorang yang paling aku sayangi.
"Kalau begitu berjanjilah padaku." (Renji)
"Janji?"
“Bahwa kamu tidak akan mati bagaimanapun caranya. Berjanji kalau kamu akan terus hidup. Apa pun yang terjadi, tidak akan menyerah. ”
Mari kita akhiri ini semua sekaligus.
Kami akan bertemu dengan Aya dan yang lainnya dan juga pada akhirnya keluar dari hutan yang menyebalkan ini.
Matahari belum sepenuhnya terbenam tetapi itu juga akan segera berakhir. Malam tidak jauh. Ini akan segera menjadi waktu bagi mayat hidup untuk berkeliaran dengan bebas.
"Jika kamu bisa menjanjikan itu padaku, aku pasti akan membawamu ke ibukota bersama dengan yang lain." (Renji)
Ada saat dimana ada seseorang yang memelukku ketika aku takut akan kematian.
Takut, menggigil tak terkendali, menangis, tak bisa bergerak--- namun orang itu memelukku dan memberiku kehangatan. Orang itu tetap di dekat ku sepanjang waktu dan terus berbicara kepada ku. Aku ingin tahu, apakah orang itu juga merasa seperti ini saat itu.
"Aku ingin melindungi hidup seseorang yang aku peluk dengan tanganku ini." Aku ingin tahu apakah orang itu juga berpikir seperti itu …….
Aku tidak bisa bertemu orang itu sekarang, tapi mungkin suatu hari---
"Aku berjanji kepadamu. Aku pasti akan membawa kalian semua selamat sampai ke ibu kota. Aku tidak akan membiarkanmu mati. "
Ya, itulah kenapa aku tidak bisa mati di sini. Aku telah berhasil mengatasi hal-hal berbahaya seperti ini berkali-kali. Dibandingkan dengan Dewa Iblis atau Raja Iblis, Makhluk itu tidak lebih dari gumpalan tulang.
Aku berjanji--- “Aku akan menunjukkan kepadamu dunia ini.” Jangankan  setengahnya, aku bahkan belum menunjukkan seperempatnya saat ini.
"Baiklah, aku janji." (Mururu)
"Bagus, kalau begitu aku juga berjanji."
Aku bersumpah.
Janji yang sama dengan saat itu, sumpah yang aku ucapkan, tanpa mengatakannya dengan keras, Aku mengukirnya di dalam pikiran.
---Kali ini pasti, aku akan melindungi. Aku bukanlah seorang pahlawan protagonis, Aku seorang pembunuh dewa.
Jika musuh adalah keturunan Dewa Iblis, aku bisa bertarung. Aku bisa membunuhnya. Aku ada untuk alasan itu, dan Ermenhilde adalah senjata untuk memenuhi alasan itu.
Setelah membunuh Dewa Iblis, dan memusnahkan keturunannya --- Aku mencari cara agar Ermenhilde bisa hidup selain menjadi senjata. Sehingga aku bisa hidup bersama senjata pembunuh dewa bahkan didunia dimana senjata pembunuh dewa tidak dibutuhkan lagi.
Untuk keinginan egoisku ini yang bahkan dewi tidak bisa memenuhinya, aku tidak boleh mati di sini.
"Aku tidak akan mati." (Mururu)
"Aku pasti tidak akan membiarkanmu mati. Kita semua akan hidup dan pergi ke ibukota. "
Aku menutup mata. Aku mencium aroma samar yang keluar darinya, berbeda dari keringatku sendiri atau bau lumpur hutan, ---itu adalah aroma seorang gadis.
Hatiku menjadi lebih tenang karenanya. Entah kenapa, Aku merasa bahwa cara berpikir ku menjadi agak mesum tetapi aku perlu cara untuk menenangkan diri. Dan tidak mungkin aku menyembunyikan pikiran jahat terhadap Mururu.
Dia masih remaja. Usia yang sama dengan Aya ketika dia dipanggil di sini.
Jika aku mencoba meletakkan tangan padanya, aku akan menjadi seorang cabul yang tidak bisa dimaafkan. Aku mungkin akan dipukuli sebelum aku mencoba melakukan sesuatu yang seperti itu. Ketika aku memikirkan hal tersebut, semua pikiran untuk benar-benar melakukan sesuatu hilang dari pikiran ku. Bahkan, dia lebih seperti seperti seorang anak perempuan bagiku.
Aku hanya memejamkan mata sesaat.
[Fumufumu. aku pasti mengatakan ini kepada Aya nanti.]
"Cobalah untuk membaca suasananya, idiot."
[Selain itu, Renji.]
Bahkan dia tidak mencoba untuk membalasnya. Terkadang dia benar-benar bertindak seperti manusia.
[Maukah kamu melindungiku juga?]
"Jangan takut."
Sambil menghela nafas, aku keluar dari rongga pohon. Aku tersenyum masam, seolah mengharapkan sesuatu, seolah-olah aku memikirkan sesuatu yang nakal.
Tidak ada zombie. Mungkin, kerangka itu juga tidak ada di sini. Aku tidak bisa mendengarnya atau merasakannya. Aku tidak yakin apakah Makhluk itu benar-benar keturunan Dewa Iblis, aku mungkin saja salah. Tapi, aku yakin makhluk tersebut pasti akan mencoba menyerangku, yang terluka, dibandingkan menyerang Mururu.
Untuk saat ini, aku meminta Mururu untuk bersembunyi di dalam rongga pohon itu. Saat ini kita hanya harus menunggu makhluk itu jatuh pada umpannya. Mari berharap makhluk itu cukup bodoh untuk terjebak pada rencana seperti ini.
Sedikit menjauh dari rongga pohon itu, aku duduk dengan punggung bersandar ke pohon yang cukup besar. Tangan kanan ku masih terasa sakit tetapi berkat itu, kepala ku menjadi terasa jernih.
"Jika kita mati, kita mati bersama, partner."
[………. Sejujurnya aku tidak merasa senang dengan itu.]
Jika memungkinkan, aku harap kerangka itu menyerang sebelum malam.
Aku ingin tahu apakah diriku terlalu optimis?
Sekarang aku berpikir tentang itu, aku bertanya-tanya berapa banyak Mururu tahu tentang diriku. Mengingat dia tidak benar-benar terkejut dengan suara Ermenhilde, dia seharusnya mengetahui hubunganku denga Aya dan yang lainnya — dengan para pahlawan.
Setelah pertarungan selesai, aku pikir aku harus bertanya padanya. Untuk alasan itu juga, mari kita cepat-cepat menyingkirkan kerangka menyebalkan itu. Berpikir sampai disana, aku menghela nafas.
Apakah ini sebuah tanda kematian?