AKAN KEDUA KALINYA RENCANA SANG NECROMANCER DIGAGALKAN
(Translater : Zerard)

“Fwaaah!”
Seraya sang pahlawan bangun dengan bermandikan mentari pagi, di atas sebuah ranjang pada penginapan, dia meregangkan lengannya lebar. Langit di luar sangatlah biru, dan dia merasa penuh akan energy, kuat, dan siap untuk berangkat.
“Oke! Satu hari lagi untuk melakukan yang terbaik!”
Dia menyemangati dirinya sendiri dengan tepukan cepat di pipinya, kemudian menggunakan semangat itu untuk bangun dari ranjangnya.
Ini sangatlah penting, karena arunika pagi sangatlah menyergarkan yang ingin membuatnya kembali masuk ke dalam selimutnya. Namun ini sangatlah tidak pantas untuk bermalas-malasan pada hari yang indah ini.
Dengan cepat dia berpakaian. Tubuhnya masih muda, namun tubuh itu memiliki lekukan layaknya seorang wanita dewasa. Berpikir tentang apa yang kira-kira akan terjadi nantinya, dia memastikan dirinya menggunakan armor. Akhirnya, dia mengambil pedang sihirnya, rekan kepercayaannya, dan dia telah siap. Seseorang harusnya menggunakan senjata dan armor secara bersamaan, karena jika tidak, maka semua ini tidak akan ada artinya.
“Seeeeeelaaaaaamaaat pagi, semuanya!”
Dia membuka pintu dan melangkah masuk di dalam lorong, melangkah riang dari atrium menuju lantai pertama.
Untungnya, di karenakan hari yang masih pagi, belum banyak orang yang berada pada rumah makan. Satu-satunya yang memperhatikan dirinya seraya dia melangkah adalah pelayan yang bertugas di pagi hari.
Sword Master—rekannya, yang telah bangun terlebih dahulu dan telah selesai memakan sarapannya—menghela napas terkejut. “…Apa-apaan, ceria dan riang sekali sehabis bangun tidur. Kamu anak kecil kah?”
“Huh? Bukannya ini sudah biasa?” Sang pahlawan duduk di seberang Sword Master dengan kepala yang di miringkan, membiarkan kakinya menggantung. Dengan cepat dia meraih roti dari keranjang yang ada di tengah meja, mengolesinya dengan mentega dan memasukkannya ke dalam mulutnya.
Mmm, enak!
“Oh, Aku mau… Coba ku lihat. Aku mau sosis dan telur goring!”
“Ba-baik, mbak! Segera!”
“Oh, dan roti! Menteganya yang banyak!”
Sang pelayan memperhatikan sikap ceria itu dengan terbengong, kemudian bergegas menuju dapur.
“Huh? Apa anggota kita yang ketiga masih tidur?”
“Kejadian kemarin memang sampai larut malam.”
Sword Master memukul tangan Pahlawan, yang menjulur untuk mengambil roti lainnya, dan melihat ke atas ruang tidur pada lantai dua. dia ini tampak khawatir dengan keadaan Sage, yang masih belum bangun.
“Yah, mereka memang ada banyak sekali!”
“Dan party kita nggak bisa menggunakan Dispel.”
Itu artinya mereka tidak dapat mengembalikan para hantu dan undead kembali ke bumi. Sebagai hasilnya, mereka harus memotong kepala pemimpin dari pasukan Necromancer—secara harfiah. Jika sang raja tidak menghadapi gerombolan pasukan musuh, maka keadaan akan menjadi sangat merepotkan.
“Akan gampang banget kalau aku bisa mengalahkan mereka semua dengan satu tebasan!”
“Hentikan. Kalau kamu bisa melakukannya, maka itu akan sangat mengerikan.”
“Menurutmu?”
Seraya gadis itu bergumam, “Yang benar…?” dan mengayunkan kakinya, Sang Pahlawan memberikan kesan seperti gadis kecil. Sword Master sulit untuk mempercayai bahwa gadis ini adalah sang pahlawan—di lihat dari manapun juga. Yang dapat Sword Master dapat lakukan hanyalah mengayunkan pedangnya, namun dia ingin membantu gadis ini jika dia mampu.
“Oh, hei, Aku bermimpi aneh.”
“Mimpi?”
“Yeah. Para dewa, kan? Mereka seperti , Pergilah ke kota itu.”
Sword Master berpikir ketika dia mendengar ini. Dia tidak memiliki banyak pengetahuan tentang sihir atau rahasia ilahi. Yang dia ketahui hanyalah untuk “bunuh ini, tusuk itu.”
“…Itu wangsit, sebuah wahyu.”
Suara pelan itu berasal dari atas.
Seorang gadis menggunakan jubah panjang dan memegang tongkat datang melangkah menuruni tangga, menggosok matanya. Sage—salah satu pembaca mantra hebat di dunia ini.
“Pagi!” Pahlwan melambai kepadanya, dan Sage menjawab dengan sebuah anggukan. Dia menarik sebuah kursi dan duduk. Pahlawan menyipitkan matanya senang melihat mereka bertiga berkumpul di sekitar meja.
“…Kota apa?”
“Hmm. Mungkin mereka sedang mengadakan festival? Ada ini…semacam cahaya samar.”
“Itu aja?”
“Dan ada sebuah badai besar, seperti bwah! Mungkin seekor raksasa?”
“…Sepertinya aku tahu.”
Sage bergumam satu atau dua kata untuk membuat mantra dan mengeluarkan kertas kulit domba dari udara kosong. Sword Master sama sekali tidak mengetahui apa yang sedang terjadi, namun Sage selalu mengeluarkan barang seperti ini. Menyebarkannya di atas meja, kertas itu ternyata adalah sebuah peta perbatasan. Sage menunjuk pada sebuah titik khusus dengan ujung tongkatnya.
“…Di sini.”
“Baiklaaaahhhh!”
Hero mengepal tangannya seraya sang pelayan tiba dengan makanannya, dan berkata, “Maaf sudah menunggu.”
“Kamu mau juga?” Sword Master bertanya, dan Sage menjawab singkat, “Telur dadar.”
Pahlawan tertawan seraya dia menebarkan saos pada telur gorengnya.
“Aku rasa kita tahu di mana petualangan kita selanjutnya!”
Adalah benar: para petualang berada di seluruh pelosok dunia ini.