TERBONGKARNYA SKENARIO
(Translater : Zerard)

“Whoa, apa-apaan dia?”
Apa ada orang yang pernah melihat petualang sekotor dia?”
“Hey, bukannya dia Goblin Slayer?”
“Goblin Slayer?”
“Mereka bilang dia spesialis pembasmi goblin.”
“Goblin Slayer....huh.”
“Heeeeeiiii! Awas goblin!”
Goblin Slayer berlari di antara keramaian, melewati warga kota yang masih mabuk berfestival.
Dia menggunakan armor kulit kotor dan helm yang terlihat murahan, membawa sebuah pedang dengan panjang yang aneh, dan perisai bulat yang terikat pada lengannya.
Bahkan petualang yang masih baru pun memiliki perlengkapan yang lebih baik dari dia, namun sosoknya dengan cepat menghilang dari keramaian.
Dia mendapatkan beberapa tatapan aneh, namun tidak ada yang tidak mengenalnya.
Aula guild berada di di dekat pintu masuk kota, tepat di samping gerbang kota. Setelah meninggalkan Gadis Guild, dia langsung menuju gerbang itu, dan di depan gerbang itu...
“Pak Goblin Slayer!” Dia mendengar sebuah suara layaknya lonceng yang berdenting dari belakangnya.
Dia tidak perlu berputar. Dia sudah mengetahui suara siapa itu.
“Kamu datang.”
“Ya pak! Saya menerima wangsit....sebuah wahyu!”
Dia adalah Priestess, menggenggam tongkatnya—tidak, flail-nya—dengan kedua tangan.
Dia masih menggunakan pakaian ritualnya seraya dia berlari tergesa-gesa, nafasnya terengah-engah.
Jadi dia, dan bukan Goblin Slayer, yang mengundang banyak tatapan.
Priestess mampu berekspresi serius walaupun dia sedang tersipu malu.
“Wahyu itu mengatakan padaku untuk mencarimu... Um, ada apa...?”
“Goblin, aku yakin.”
Seraya mereka berdua berjalan melewati gerbang kota, sebuah bayangan muncul mendekat tanpa suara dari samping mereka.
Suara bening itu, sosok ramping itu, telinga High Elf Archer berayun, matanya menyipit layaknya seekor kucing.
“Kalau Orcbolg berlari, apa lagi kalau bukan goblin?”
“Tentoenja, tentoenja.”
“Beardcutter ini sama sekali nggak sulit untuk di terka.”
Dua bayangan tambahan muncul mengikuti High Elf Archer.
Lizard Priest yang besar menggabungkan kedua tangannya dengan gerakan yang aneh, sementara Dwarf Shaman membelai jenggotnya ceria.
Masing-masing dari mereka sudah bersiap dengan berbagai macam perlengkapan yang mereka anggap penting untuk pertarungan.
“...Hrm.”
Goblin Slayer mendengus dan berdiri terdiam.
Goblin Slayer memperhatikan mereka satu persatu, mereka tidak dapat melihat ekspresi di balik helm kotornya.
“Kamu mau tahu kenapa kita semua ada di sini, walaupun kamu tidak memanggil kami.” Pikirannya tersembunyi, namun tidaklah sulit di tebak. High Elf Archer menjelaskan: “Jangan kamu remehkan telinga seorang elf.” Dia menyentil telinganya sendiri dengan bangga. “Kamu pikir aku nggak bisa mendengar beberapa orang yang berbisik di warung? Atau menyebarkan berita?” Dia mengacungkan jari telunjuknya, menggambar lingkaran di udara. “Satu petualangan! Denganku—dengan semuanya. Itu harga kami untuk membantumu.”
“....Aku mengerti.”
Goblin Slayer mengangguk sigap, dan telinga High Elf Archer berayun.
“Hei, itu—itu aja? Kamu nggak mau berterima kasih dengan kami, memuji kami, atau apalah?”
“Nggak....” Ada keraguan sesaat dalam diri Goblin Slayer. Seperti dia tidak yakin tentang apa yang harus di lakukannya.
Goblin Slayer mencari kalimat, kemudian berkata, tanpa emosi, namun tidak di ragukan.
“...Terima kasih. Atas bantuannya.”
“Jangan khawatir.” Priestess berkata dengan tawaan kecil yang tidak dapat di tahannya. Masih menggenggam flail-nya, tatapannya menatap pada Goblin Slayer. “Kami temanmu, kan?”
“Begitu.” Goblin Slayer mengangguk. “Ya, benar.”
Dengan itu, keempat petualang saling bertukar pandang dan tersenyum lebar. Apapun yang akan mereka hadapi, mereka tidak khawatir. Karena, hari spesial telah berakhir. Ini hanya akan menjadi hari biasa lainnya. Bagi seorang petualang, setiap hari baru adalah petualangan yang baru.”
“Kamu mungkin bilang sama kami untuk menghiraukan dirimu gadis kecil, tapi nggak mudah untuk menghiraukan pakaianmu itu.”  Dwarf Shaman menggoda, membelai jenggotnya dan menyeringai.
“Orang tua mesum.” High Elf Archer mengeluh. Priestess mengayunkan kedua tangannya panik.
“Um! Oh! Uh! Aku! Ini karena ritual... Aku nggak sempat ganti pakaian...!”
“Saja rasa pa’aian itoe sangat coco’ dengan anda.” Lizard Priest memutar matanya dan tertawa dengan rahang yang terbuka. “Bagaimana menoeroet anda, toeankoe Goblin Slajer?”
Respon Goblin Slayer sangatlah datar.
“Nggak jelek.”
“Gwaaah?!”
Priestess bukanlah satu-satunya yang terkejut seraya dia tersipu begitu hebatnya, Lizard Priest menjulurkan lidahnya, seolah tidak yakin cara menanggapi jawaban pertanyaannya sendiri. High Elf Archer mulai mengkhawatirkan kesehatan Goblin Slayer, bahkan Dwarf Shaman-pun terbengong.
Goblin Slayer menatap pada partynya, kemudian mengklarifikasikan.
“Yang aku maksud keadaan kita.”
Semuanya menghela. Priestess mengembungkan pipimya dan tidak berkata apa-apa.
“....Sepertinya badai akan datang.”
Goblin Slayer mengangguk pada bisikan High Elf Archer, kemudian dengan segera memberikan penjelasan.
“Dari menara pengawas guild aku melihat banyak bayangan dari segala penjuru. Kemungkinan goblin akan datang.”
“Apa?!” Mata Dwarf Shaman melebar, dia hampir saja memuncratkan anggur yang ada di mulutnya, kemudian dengan cepat menelannya. “Ini gawat sekali, gerombolan goblin yang terakhir saja nggak semudah itu kita hadapi.”
“Mm. Apa’ah ‘ita tida’ dapat meminta bantoean ‘epada para petoealang seperti sebeloemnja?” Tanya Lizard Priest.
“Nggak...” Dia menjawab pendek, kemudian menatap ke arah kota.
Perayaan itu, festival itu, semua telah berakhir. Orang-orang telah kembali pulang ke rumah mereka. Beberapa orang masih bermabuk-mabukkan, tidak ingin membiarkan kesenangan mereka berakhir.
Orang-orang dari berbagai macam ras dan pekerjaan tinggal di sini, begitupun para petualang.
Goblin Slayer berpikir.
Dia berpikir tentang Heavy Warrior, tentang Knight Wanita.
Dia berpikir tentang Bocah Scout, tentang Gadis Druid, tentang Rookie Warrior, tentang Apperentice Priestess.
Dan akhirnya dia berpikir tentang Spearman dan Witch.
“....Kali ini...”
Setelah berpikir sejenak, Goblin Slayer menggeleng kepalanya perlahan.
Dia sekarang telah memahami akan seberapa besar keberanian yang dia butuhkan hanya untuk berbicara.
Apakah ada hal lainnya yang lebih mengerikan di bandingkan dengan mempercayakan segala hal pada keberuntungan?
Dia melihat Priestess dari balik helmnya, Priestess terlihat takut, namun dia tetap menatap ke depan.
Priestess pernah mengatakan bahwa keberuntungan tidak ada kaitannya dengan apapun.
Goblin Slayer mengepalkan tangannya.
“....Aku yakin kekuatan kita sudah cukup.”
“Tapi Beardcutter,” Dwarf Shaman berkata, seraya memeriksa katalisnya di dalam tas, “kalau mereka terlalu banyak... Yah, mereka banyak sekali pada waktu itu. Kita nggak akan bisa menghadapi mereka sendirian.”
“Tentu saja tidak.” Goblin Slayer berkata datar. “Nggak ada satu orangpun yang bisa menghadapi pasukan goblin di tempat terbuka.”
“Jadi menurutmu kali ini akan berbeda?”
“Musuh kita terbagi. Hanya ada beberapa goblin di setiap regu, dan mereka tidak terkoordinasi dengan baik. Dan aku sudah melakukan beberapa persiapan.”
High Elf Archer melirik padanya, terkejut akan ketenangan  Goblin Slayer.
“Persiapan? Gimana sih cara kamu bisa tahu mereka akan datang, Orcbolg?”
“Karena kalau aku tahu sebuah sarang goblin sedang mabuk di karenakan perayaan, aku akan menyerangnya.”
“..Hmph, jadi begitu.”
Jawabannya begitu mutlak.
“Cepat, aku akan menjelaskan sisanya selagi kita berjalan.”
Goblin Slayer berjalan seraya dia berkata, dan yang lainpun mengikuti.
Mereka telah meninggalkan jalan utama, melintas di antara pohon dan tumbuhan pada jalan setapak hutan.
Masing-masing dari mereka mengikuti Goblin Slayer seraya Goblin Slayer bergerak layaknya seorang ranger.
Karena, jika seorang petualang tidak dapat mengikuti seorang pengintai/scout melewati labirin reruntuhan, maka itu akan menjadi sebuah akhir.
“Apa kamu tahu kenapa nggak ada banyak quest membasmi goblin akhir-akhir ini?”
“Aku rasa nggak, memangnya kenapa?” High Elf Archer berlari kecil di sampingnya, telinganya berayun. Dia berlari dengan cukup pelan agar yang lain dapat mengikuti.
Priestess tidaklah atletik, dan para lizardmen dan dwarf tidak terkenal akan kecepatan mereka.
“Mereka parasit. Mereka tidak dapat bertahan hidup tanpa mencuri dari orang lain.”
“Apa kamu yakin—huff huff—belum membunuh mereka semua?”
Goblin Slayer melirik pada Dwarf Shaman, yang berusaha menggerakkan kaki dan lengan gemuknya secepat dia bisa, dan mengatur langkahnya.
“Mustahil.”
“Kenapa?”
“Karena mereka belum menyentuh wanita yang mereka culik. Kalau jumlah mereka menurun, maka mereka akan memprioritaskan reproduksi.”
Goblin yang menghiraukan wanita yang mereka culik merupakan sama anehnya dengan naga yang tidak menimbun emas atau necromancer yang tidak menyukai mayat.
“Hrmm.” Lizard Priest mendengus, menjaga kepalanya tetap rendah agar dia dapat berbicara seraya berlari, menyeimbangkan tubuhnya dengan ekornya. “Artinja... ada sesoeatoe ataoe seseorang jang memberi’an mere’a persediaan, jang memboeat mere’a menghiraoe’an para wanita itoe.”
“Hei, kamu tahu...” Priestess terdengar seperti baru teringat oleh sesuatu.
Lizard Priest, mencoba menunjuk pada flail yang sedang di genggam Priestess dengan ekornya dan bertanya apakah Priestess ingin agar flail itu di bawakan olehnya. Priestess tersenyum dan menolak, kemudian berbicara.
“...Goblin yang kita hadapi waktu itu memiliki perlengkapan yang bagus, kan? Armor, senjata dan semacamnya...”
“Djika ‘ita berasoemsi bahwa perlen’apan itoe boe’an hanya se’edar barang tjoerian, ma’a itoe artinja ada ma’hloe’ lainnja jang menjoeplai mere’a.”
“Ya.” Goblin Slayer mengangguk.
Layaknya makhluk-apa-itu-namanya, monster raksasa yang mereka temui dalam reruntuhan sebelumnya.
Atau makhluk bola mata tidak bernama yang mereka temui pada saluran air di bawah kota air.
Goblin merupakan tentara akan kekacauan, yang berarti pemimpin mereka mungkin bukanlah seekor goblin.
“Aku nggak tahu siapa itu, dan aku nggak peduli. Tapi—“ dia menganggap pertanyaan itu sangat sepele, hanya buang-buang waktu. “—aku sudah memasang perangkap di jalan yang mereka akan lewati dari segala arah. Kita akan hadapi sisanya sendiri.”
Musuh mereka adalah goblin. Tidak lebih.
Goblin Slayer terus berlari, teman-temannya saling bertukar senyum lelah satu sama lain.
Itu karena, berpetualang adalah pekerjaan para petualang...
“Jumlah goblin adalah satu-satunya kekuatan mereka. Hanya pemimpin amatiran yang akan membagi mereka.
...dan pembasmian goblin adalah pekerjaan Goblin Slayer.
“Dan kita akan mengajari itu pada mereka secara langsung.”
Di kejauhan, petir mulai menyambar.
*****
Dengan itu goblin telah tiba di kota perbatasan.
Bagian utara kota, lima belas goblin pada grup pertama mengelilingi kota sangat bersemangat akan kesempatan untuk menyerang pada “siang hari.”
Setelah berbulan-bulan, “pemimpin” mereka telah memaksa goblin untuk menahan hasrat mereka.
Dan tidak peduli apapun hadiah yang akan di berikan kepada mereka, goblin benci untuk bersikap sabar.
Goblin percaya bahwa untuk tidak pernah menunda hingga besok hari apa yang bisa di lakukan hari ini, paling tidak jika itu menyangkut kepuasaan hasrat mereka. Mengapa mereka harus menunggu makan malam jika mereka bisa makan siang?
Ini bukanlah karena mereka terlalu bodoh untuk berpikir tentang masa depan, namun karena mereka melihatnya sebagai satu-satunya cara untuk dapat bertahan hidup.
Bagaimanapun juga, para goblin sedang kelaparan.
Mereka kelaparan, dan lelah serta muak menunggu—dan yang terpenting, mereka menginginkan kenikmatan untuk memuaskan nafsu mereka.
Menyerang kota yang penuh dengan orang tidur setelah festival terdengar seperti hal yang tepat. Dan semangat mereka sangat tinggi.
Mereka menggunakan perlengkapan seadanya, dan langkah kaki mereka sangat ringan seraya mereka berjalan dalam formasi.
Malam telah tiba. Bagi goblin ini adalah subuh, oleh karena itu mereka masih cukup mengantuk. Tapi tidak lama lagi momen mereka akan datang.
Apa yang harus mereka takutkan? Apa yang harus mereka ragukan?
“GROOOOBR....?”
“GROOOB GOROOOB?!”
Namun, mereka berhenti bergerak.
Dalam cahaya bulan yang tersaring awan-awan, mereka dapat melihat seutas tali yang terbentang di depan jalan yang mereka lewati.
Para goblin saling tertawa, akan betapa bodohnya para manusia ini.
Seekor goblin memutus tali dengan ujung tombak, dan sebuah suara dapat terdengar di dalam semak-semak.
Mereka mencari suara itu dan menemukan sebuah alat sederhana yang terbuat dari papan kayu yang terikat dengan tali itu.
Bahkan para goblin pun mengetahui sebuah alarm jika mereka melihatnya.
Apa yang manusia harapkan dari ini? Mereka menendangnya, yang membuat alat itu terbang.
“GROROBR!!”
“GORB!”
Mereka kembali maju.
Kapten mereka melambaikan tangannya, dan para goblinpun mulai berjalan, saling menyeringai satu sama lain.
Tempat perayaan sudah tidak jauh lagi. Orang-orang telah selesai merayakannya. Sekarang adalah giliran para goblin. Mereka melangkah maju, menyanyikan lagu buruk dengan suara busuk mereka.
Semua tanpa menyadari bahwa para petualang sedang memperhatikan mereka dari balik semak-semak.
“Pak Go-goblin Slayer, mereka melepas perangkapmu...!”
“Semua masih terkendali.”
“Huh?” Priestess yang panik, tercengang pada saat dia melihat Goblin Slayer dari balik pundaknya.
“Itu bukan perangkap. Hanya sebuah pengecoh.”
“...Ap? Ap-apa yang harus kita lakukan? Kalau begini....”
“Lihat saja. Kamu akan mengerti.”
Tidak lama setelah Goblin Slayer berbicara, terdengar suara yang pelan dan halus.
Apa para goblin menyadarinya?
Itu adalah suara benang kencang yang tiba-tiba di lepaskan.
Dan dalam sesaat, sesuatu terbang dari balik semak-semak dan menyerang party goblin. Pasak runcing atau tombak—tidak, itu adalah panah raksasa.
Panjang dan tajam, sebuah batang kayu tebal yang telah di asah hingga menjadi runcing.
Terlempar dari cabang yang berperan sebagai busur raksasa, misil itu melambung tepat mengarah para goblin.
“GROROB?!”
“GORB?!”
Jeritan dan erangan. Teriakan kematian bagi mereka yang berada di ujung kesengsaraan.
Beruntung bagi para goblin yang dapat mati dengan segera setelah menjadi sate. Sedangkan yang lain, tertembak pada perut mereka, tidak dapat menariknya dan hanya dapat menunggu ajal mereka.
Tapi satu tembakan serentak itu tidak dapat menghabisi para goblin tentunya.
“GOORB!! GOBRR!!”
Beberapa panah meleset dari sasaran. Mereka yang selamat meneriakkan teriakan kemarahan dan kebencian, kemudian mengangkat senjata mereka dan mulai berlari.
Mereka tidak pernah memutuskan apakah harus berlari menjauh atau terus maju ke depan, karena Goblin Slayer dan lizard Priest melompat dari semak-semak dan membenamkan pedang mereka pada para goblin.
“Perangkap itu sepertinya cukup bermanfaat karena uji coba tembakku.”
“Benar! Dan se’arang sa’si’an! Berbanggalah a’an a’si hamba, O leloehoer’oe!”
Para goblin menjerit seraya jantung mereka tertusuk, tenggorokkan mereka di cabik, tengkorak mereka di hancurkan, dan isi perut mereka terburai.

Di antara jeritan itu dapat terdengar doa unik, bernada tinggi dari Lizard Priest, menggema di kegelapan malam. Kehancuran pembangkang agama adalah misinya dan juga kebahagiaannya.
Walaupun motivasinya berbeda dengan Goblin Slayer, namun tujuan mereka tetap sama.
Di bandingkan dengan Goblin Slayer yang tenang dan Metodis, gaya tarung Lizard Priest penuh akan kegembiraan.
“Tiga belas—ahem, ataoe moeng’in, empat belas!”
“Nggak. Lima belas.”
Pertarungan itu hanya berjalan sesaat, para goblin berakhir menjadi mayat yang terpapar kejam.
Mungkin tidak perlu di singgung bahwa tidak ada goblin yang lebih beruntung di banding dengan para goblin yang mati seketika pada tembakan serentak dari panah raksasa.
“Erk...Oh...” High Elf Archer sedikit memucat melihat pemandangan yang ada dari pohon di mana dia bertengger dengan ujung panah yang siap untuk di tembakkan.
Dia seharusnya menembak para goblin yang berusaha melarikan diri, namun pada akhirnya itu tidak di perlukan.
Akan tetapi—yah, ini—
“Aku sudah nggak bisa hitung berapa kali aku mencoba untuk menebak pikiranmu, Orcbolg...”
“Inilah yang aku pikirkan.”
“...Ampun deh...”
High Elf Archer melompat turun dari cabang, tanpa suara, tanpa mengusik rerumputan atau dedaunan.
Dia hampir tidak sanggup. Jika di bandingkan dengan petualangan lainnya, ini sudah sangat berlebihan.
“Perangkap itu di larang untuk apapun selain membasmi goblin!”
“Hrk...”
“Yah, selalu ada tempat dan waktu untuk segalanya.” Ucap Dwarf Shaman, yang menunggu di belakang bersama Priestess dengan tujuan untuk menghemat mantranya. Dia membelai jenggotnya dan bergumam berpikir, memeriksa alat yang telah membuat kerusakan seperti ini.
Tali yang terlihat seperti sebuah alarm, telah di sambung dengan cabang tebal yang ada di dekatnya. Cabang itu di bengkokkan seperti sebuah busur dengan pasak yang telah di runcingkan di letakkan di atasnya. Ketika talinya di potong, pasak itu akan tebang—sebuah ballista primitif.
“Perangkap sederhana, tapi cukup efektif.”
“Aslinya ini untuk berburu.”
Pedang Goblin Slayer telah bertahan pada pertarungan ini dan juga pertarungan di aula Guild, dan tanpa ragu dia membuangnya.
“Kamu belajar dari mana?”
“Dari kakak perempuanku.” Dia berkata singkat seraya menggeledah mayat goblin. “Ayahku seorang pemburu, kakakku belajar dari dia.”
Dia mengambil pedang terbaik yang dapat dia temukan, memeriksa ujungnya, dan kemudian menyarungkannya.
“Ini membutuhkan keterampilan tertentu. Para goblin nggak akan bisa menirunya kalau mereka baru melihatnya satu kali.”
 “Namoen ini memboetoeh’an tempat dan wa’toe jang tepat oentoe’ menoetoepi ‘elemahannja. Se’arang, toean’oe Goblin Slajer, apa jang a’an ‘ita la’oe’an?” Lizard Priest menggosok darah dari pedang taringnya, menyentuh ujung hidung dengan lidahnya.
“Aku punya ide.”  Goblin Slayer menolehkan helmnya sedikit. “...Apa kamu sudah selesai?”
“Oh, uh, ya!” Priestess mengangguk, berdiri dari tempat di mana dia berdoa pada jiwa-jiwa yang mati.
Akan terdapat banyak pembunuhan yang akan datang. Tidak ada waktu untuk menguburkan mayat-mayat ini.
Tapi paling tidak, Goblin Slayer tidak pernah menganggu doa Priestess.
“Kekuatan Ibunda Bumi masih kuat. Aku ragu mereka akan menjadi undead malam ini.”
“Begitu... Apa kamu masih mendapatkan wahyu, atau apalah kamu sebutnya?”
“Nggak,” Priestess berkata, menggelengkan kepalanya. “ Aku rasa Cuma satu kali itu saja.”
“Begitu.”  Goblin Slayer bergumam, dan mengangguk.
Goblin Slayer menerima semua ini tanpa mengeluh.
Dari tempat di mana Priestess berdiri, Goblin Slayer berlutut di samping mayat, dan mengambil belati goblin untuk dirinya. Dia menggeledah makhluk itu untuk mencari sesuatu yang dapat di gunakan, dan kemudian melirik pada High Elf Archer.
“Bagaimana?”
“Hmm... tunggu sebentar.”
High Elf Archer menutup matanya, telinganya sedikit bergoyang.
Bahkan Dwarf Shaman menutup mulutnya, hanya meninggalkan keheningan—atau lebih tepatnya, bisikan angin-angin.
Kemudian, terdengar suara rumput yang bergoyang, nafas para binatang, serangga yang berdengung, petir yang menyambar, dan—
“...Barat. di sana paling nyaring, jadi kemungkinan di sana selanjutnya. Timur juga.”
“Aku mengerti, bagaimana dengan yang lainnya?”
“Aku agak khawatir dengan bukit di bagian selatan, walaupun itu jauh sekali...” Telinganya berkibas bangga. Dia menarik nafas, merasakan hawa udara. “Hujan bakal datang, petir semakin nyaring.”
“Mm.” Goblin Slayer mendengus, kemudian berputar pada Lizard Priest, dan berkata. “ Bagaimana menurutmu?”
“...Tjoeatja sedang berpiha’ pada moesoeh ‘ita malam ini. Hoejan a’an sangat sempoerna bagi goblin oentoe’ menjamar’an diri mere’a.” Lizard Priest menepuk hidung dengan lidahnya, dan mengeluarkan desisan. “’ita haroes memboenoeh  mere’a semoea. Dji’a satoe ataoe doea dari mere’a mencapai ‘ota, ma’a ‘emenangan a’an jadi mili’ mere’a.”
“Kalau begitu, kita harus cepat.” Goblin Slayer berkata datar.
“Awan badai itu...Aku punya firasat buruk tentang awan itu.” Priestess berkata. Bukanlah rasa dingin yang membuatnya bergetar. “Awan itu mempunyai aura akan...entahlah. Kekacauan. Sesuatu yang nggak lazim.”
“Hrm...”
Elf mereka, yang merupakan makhluk selaras dengan segala macam hal tentang alam, dan Priestess mereka, yang melayani dewa akan lahan ini, sama-sama gelisah.
Mungkin mereka harus berasumsi bahwa ini merupakan mantra yang di gunakan oleh goblin shaman, atau oleh seseorang yang menjadi dalang penyerangan ini.
Goblin Slayer sendiri tidak pernah bertemu dengan goblin yang memiliki kekuatan seperti itu. Namun itu bukanlah jaminan bahwa makhluk seperti itu tidak ada.
Mereka harus membuat hipotesa dan membuat rencana, dan mereka harus menang.
Pikirannya terbuyarkan ketika sebuah telapak tangan menepuk punggungnya dengan keras.
“Kenapa lagi, nggak perlu terlalu serius Beardcutter!” dia adalah Dwarf Shaman, bangsa dwarf dengan figurnya yang kecil berbanding terbalik tenaga fisik mereka. Dan ini memberikan Goblin Slayer satu tepukan di punggungnya lagi. “Kita bahkan nggak memainkan permainan yang sama seperti mereka, lakukan saja apa yang selalu kamu lakukan”
“...Benar.”
Kenyataannya adalah, sudah tidak ada banyak waktu untuk berpikir.
Jumlah mereka sedikit, sedangkan musuh mereka adalah sebuah legiun.
Mereka harus cepat, licik, dan tepat jika mereka menginginkan kesempatan untuk menang.
Adalah karena kehadiran rekannya yang membuatnya tidak ingin mengangkat bendera putih. Sesuatu yang dia tidak tahu harus bagaimana cara untuk membalas budi mereka.
Dia tidak mengetahui caranya—namun jika mereka meminta untuk berpetualang, maka dia akan pergi berpetualang.
Bahkan walau mereka melarangnya untuk menggunakan perangkap—yah, dia masih mempunyai taktik lain.
“Dari timur dan barat kan? Mereka akan melancarkan serangan dua arah.” Goblin Slayer berdiri. “Kita akan menghentikan mereka.”
*****
Dengan resiko membeberkan sisa ceritanya, ini adalah hal yang dia lakukan.
Petir menggelegar di atas kepala mereka, dan suara serangga dari balik rerumputan tersembunyi.
Para goblin yang maju dari hutan di bagian barat berhenti ketika mereka melihat cahaya kota.
Mereka dapat melihat sesosok manusia.
Sesuatu sedang bersandar pada pepohonan di pinggiran jalan, seperti sedang bersembunyi.
Tapi helm itu sangatlah mencolok. Tidak di salah lagi. Itu tampak seperti seorang petualang.
Goblin yang memimpin mereka—tidak melalui keinginan pribadi ataupun ambisi—membuat gerakan “tunggu”.
Dia menunjuk salah satu bawahannya, dan menyodorkan tombak yang di pegangnya pada makhluk itu. Pergi tusuk bayangan itu.
“GRRB.”
“GOOB!”
Bawahannya menolak dengan menggeleng kepala cepat, pemimpinnya menjawab dengan tamparan di muka dan sebuah tendangan.
Goblin itu sekarang memegang senjatanya, dengan takut berjalan mendekati.
Tidak terdapat pergerakan di sana, goblin itu menelan liurnya.
Dia mengangkat tombaknya, dan memberikan tusukkan terbaiknya.
Itu adalah tusukan yang bagus, dalam standar goblin. Tentunya dapat mencabut nyawa seseorang.
Tombak itu mengenai sesuatu dengan suara gedebuk.
Dan pada saat yang sama, bayangan itu menjadi miring, dan terjatuh tanpa suara.
Goblin adalah makhluk sederhana. Puas akan hasilnya, mereka melanjutkan jalan mereka.
Karena itu, mereka tidak menyadarinya hingga sudah terlambat.
Mereka tidak menyadari bahwa helm berkarat yang berguling di tanah, menunjukkan wajah yang di hias oleh kapur.
Itu bukan orang?
Dan dalam sekejap, katrol yang di beratkan beraksi, menghujani kematian dari atas kepala goblin.
“___!”
“_____?!”
Kematian datang dalam bentuk pasak runcing berbentuk bola.
Bola itu terikat pada katrol dengan sebuah tali, dan tekanan pada pemberat katrol itu menerbangkan bola itu tanpa ampun pada korbannya.
Para petualang menyebut bola beduri ini sebagai Guten tag, atau yang lebih di kenal dengan “Good day—now die!” (TL note : Guten tag berasal dari bahasa jerman yang artinya “selamat siang”.  Sedangkan untuk “Good day—now die!” sengaja saya biarkan inggrisnya saja.)
Setelah bola itu melewati para goblin, bola itu kembali berayun di karenakan beban dan kecepatannya, seperti sebuah pendulum.
Sebagaimanapun mereka menginginkannya, para goblin mendapati dirinya tidak bisa berteriak dan gagal menyuarakan alarm.
Lebih tepatnya—tidak ada suara sama sekali.
“O Ibunda Bumi yang maha pengampun, berikanlah kami kedamaian dalam menerima segala hal...”
Itu adalah, jika kamu berkenan menyebutnya, sebuah keajaiban.
Angin menghembus pakaian Priestess seraya dia mengangkat flail-nya dengan gerakan memukau dalam membaca mantra.
Hening. Bukti bahwa para dewa telah menjawab hati Priestess yang taat.
Priestess terlindungi dari goblin yang ada di depannya oleh berkah Ibunda Bumi.
Namun para goblin, yang jumlahnya telah terkikis oleh perangkap, tidak semudah itu merasa takut.
Mereka percaya bahwa semua makhluk selain mereka sendiri harus menderita, dan api kemarahan terpicu di dalam hati mereka ketika melihat rekan mereka yang berguguran.
Itu sudah menjadi sifat mereka.
“—!!!”
Dengan teriakan perang tanpa suara, para goblin mengangkat senjata primitif mereka dan berusaha menyerbu Priestess.
Sebentar lagi, perawan itu akan di kerumuni, terinjak-injak oleh kaki para goblin.
Tidak ada seorangpun yang berperan sebagai pendukung yang akan menghadapi gerombolan goblin sendirian.
“—?!”
Salah satu monster itu tiba-tiba tersandung dengan begitu spektakuler ke tanah.
Ada apa ini? Mereka semua berhenti untuk melihat. Sebuah panah menembus dahi dari makhluk yang terjatuh itu.
Tiba-tiba sebuah panah mekar dari dalam tenggorokan monster lainnya, hingga menembus mulutnya.
Ini mengingatkan sebuah pepatah bahwa sebuah kemampuan yang tinggi, sangat sulit di bedakan dengan sihir.
Tidak ada yang bisa membuktikan kebenaran pepatah itu sebaik High Elf Archer yang menunjukkan kemampuan memanah bangsa elf. Terkadang hanya penyair hebat yang dapat lebih memahaminya di bandingkan dengan para leluhur elf.
Panah itu tidak mengeluarkan sedikitpun suara seraya terbang, melintasi kerumunan musuh-musuh.
Satu demi satu terbunuh, mengundang kepanikkan—dan para goblin tidak dapat menahan situasi panik dan sergapan dalam jangka waktu yang lama.
Tapi tetap saja, beberapa dari mereka sudah berada beberapa langkah lagi dari Priestess.
“Terima...ini!”
Priestes terdengar lega seraya dia memukul keras penyerangnya dengan flail-nya. Seraya goblin itu berguling karena terkena pukulan, dua, kemudian tiga, sebuah panah mendapatinya... Dan semua terdiam.
Huff... Huff...”
Kerja bagus. Aku rasa tadi berjalan dengan lancar.” High Elf Archer menepuk pundak Priestess. Gadis muda itu masih terengah-engah mencari udara, sementara musuhnya tergeletak beberapa langkah di depannya.
“Te-terima kasih. En-entah bagaimana, aku...”
Keringat bercucuran pada wajahnya, akan tetapi di tersenyum berani. Dia berusaha keras untuk tetap berdiri.
“Ihhhh.” High Elf Archer tertawa, mengelus kepala Priestess.
“Huh?”
“Ketika seseorang menyuruhmu untuk menjadi umpan, nggak apa-apa buat sedikit merasa marah.”
“Yah, maksudku... aku rasa...” Priestess menyimpulkan, “Ini hanya peranku dalam rencana ini.”
“Kamu cuma nggak peduli bila bersama Orcbolg, ya? Dia bisa memukulmu di wajah dan kamu akan memaafkannya.”
“Ah— Ah, ha-ha-ha....”
High Elf Archer membuat suara jijik dan teringat bahwa pria itu menyuruhnya untuk menghitung jumlah mayat yang ada.
Priestess tidak mengatakan apapun dan mengangkat sebuah helm dari tanah dengan ekspresi tegang.
Helm itu sudah sering di pakai dan penuh dengan noda mengerikan, mirip dengan helm Goblin Slayer. Ini mungkin helm lama pria itu yang telah di simpannya untuk saat-saat seperti ini.
Priestess mengelus pelapis helm itu. Tersenyum dan bergumam.
“Yah, dia memang begitu.”
Dan apa yang sedang di lakukan orang “memang begitu” saat ini?
Dia sedang membunuh goblin, tentunya.
*****
“Hmph.”
Sebuah batu bersiul melintasi udara, memecahkan tengkorak goblin.
Makhluk itu terhuyung dan terjatuh kebelakang sebelum menghilang di dalam lumpur.
“GOROOG?!”
Mungkin menghilang  merupakan kata yang salah—atau lebih tepatnya, hanya dari perspektif manusia. Kemampuan melihat di dalam kegelapan para goblin dapat dengan sempurna melihat apa yang telah terjadi pada rekannya.
Makhluk itu  berada di bawah celah di tanah—sebuah lubang penuh akan pasak runcing.
“GRRRROROR!”
“GORRRB!”
Lubang itu merupakan lubang sederhana. Tapi tetap saja itu sebuah lubang.
Para goblin tidak mengetahui bahwa perangkap seperti ini telah merengut banyak nyawa para petualang di dalam berbagai macam labirin.
Namun mereka paham bahwa berlari maju ke depan secara acak merupakan pilihan yang tidak bijak.
Ketika makhluk pertama yang terjatuh ke dalam lubang di jalan itu, pasukan perang itu berhenti.
Kerikil berwarna tersebar di depan mereka.
Ah, sebuah penanda!
Pemimpin party goblin, merasa senang dengan kejeliannya sendiri, memerintahkan pasukannya untuk menghindari kerikil itu.
Langkah pertama yang mereka ambil cukup berjalan dengan lancar. Kemudian kedua, ketiga, keempat. Pada langkah kelima—
Goblin lainnya secara tiba-tiba tertelan oleh lubang yang menganga.
“GOROOB?!”
“GROOROB! GOROBOB!!”
Para goblin menjadi panik. Tidak ada kerikil berwarna di sini.
Kerikil itu tidak menandai apapun. Kerikil itu hanya berfungsi sebagai pengalih.
Para goblin terjatuh satu persatu ke dalam lubang. Mereka tidak bisa maju dan mereka tidak bisa mundur.
Langkah pertama itu hanyalah sebuah keberuntungan. Tidak ada jaminan bahwa tanah itu akan tetap aman jika mereka melewatinya kembali.
“GROB! GORORORB!”
“GOOROBOG!!”
Tidak lama kemudian mereka saling bertengkar satu sama lain.
Para bawahan menyalahkan pemimpin mereka yang telah menyuruh mereka untuk terus melangkah maju, sementara sang pemimpin berusaha untuk melempar kesalahan pada para pengikutnya.
Terpaku pada rasa saling curiga dan kemarahan, membuat mereka tidak menyadari bahwa inilah tujuan sebenarnya.
Itulah mengapa beberapa kerikil berwarna itu, memang menandakan sebuah lubang.
Dan Goblin Slayer bukanlah orang yang akan menyia-nyiakan elemen kejutan.
Beberapa batu kembali bersiul melintasi udara, membunuh goblin satu persatu.
Jeritan, monster yang telah kacau balau melempar tombak mereka, melempar batu, sadar bahwa mereka bertarung untuk menyelamatkan diri mereka sendiri.
Namun semua proyektil itu telah di tangkis oleh dinding pelindung yang pria itu siapkan sebelumnya.
“Buset. Bukannya pekerjaan kita bakal lebih mudah kalau telinga panjang kita bersama kita?” Dwarf Shaman menggerutu, memainkan batu dan ketapel dengan jari gemuknya. Dia selalu membawa senjata, namun sihir adalah andalannya.
“Nggak memungkinkan.” Goblin Slayer dengan tenang menembakkan batu, bergumam, “Sembilan belas.” Kemudian dia menjelaskan, “Daya tahan tubuh dia kurang. Dalam pertarungan dengan dinding pelindung, akan sangat berbahaya kalau sesuatu yang nggak di duga terjadi.”
“Sesoeatoe jang tida’ di doega... Apa anda berma’soed tentang see’or shaman?” Lizard Priest mengumpulkan batu untuk mereka berdua, meletakkannya di dekat kaki mereka. Dia menonjolkan kepalanya dari balik dinding.
Dua di sebelah kanan, beberapa di sebelah kiri. Dia memberi tahu jumlahnya kepada Goblin Slayer dengan jarinya, di mana Goblin Slayer mengangguk mengerti.
“Benar.” Goblin Slayer mengangguk, mengundangkan gerutu dari sang dwarf.
“Yah, dia memang punya dada papan, tapi aku rasa dia lebih terbiasa melompat dari pohon ke pohon di bandingkan berjongkok di belakang tumpukkan tanah.
“Jujur, aku kepikiran,” Goblin slayer berkata.
“Tentang dia yang dadanya nggak bisa bergoyang saking kecilnya?”
“Bukan.” Seraya dia menjawab datar, dia mengintip para goblin yang sedaang porak poranda melalui sebuah celah di dalam benteng mereka. “Lima belas dari setiap empat regu, total enam puluh... Apa kamu melihat goblin yang berbeda?”
“Mere’a semoe tampa’ biasa, sedjaoeh saja menilai.”
“Scaly benar. Walaupun mungkin Telinga panjang bisa menemukan sesuatu yang lain.”
“Nggak ada pembaca mantra, champion, lord, perisai daging. Dan semua menyerang pada saat yang bersamaan...?” Goblin Slayer berkata. “Yang bisa aku pikirkan adalah mereka sedang mempermainkan kita.”
Dwarf Shaman mengangguk. Tidak sepenuhnya bercanda, dia lebih serius dari sebelumnya.
“Apa kita nggak bisa menganggap ini sebagai salah satu kebodohan goblin?”
“Mereka bodoh, tapi mereka nggak tolol.”
“Itoe artinja,” Lizard Priest berkata dengan ayunan ekornya, “Pemimpin misterioes mere’a pertjaja bahwa dia memli’i ‘emoeng’inan oentoe’ menang.”
“Kita harus berasumsi seperti itu.”
Yang terakhir. Goblin Slayer memecah tengkoraknya, menghitung, “Tiga puluh.”
Setelah memastikan mayat itu terjatuh ke dalam lubang, dia berdiri dari balik dinding.
“Kita harus berkumpul dengan yang lain, kemudian pergi memperkuat rute selatan.”
“Selatan—itu tempat kebun kamu, kan?” Dwarf Shaman bertanya.
“Ya.”
Pertanyaan berikutnya datang dari Lizard Priest.
“Apa anda soedah memasang perang’ap di de’at ‘eboen?”
“Nggak.”
“Tapi kamu ingin di sana menjadi tempat pertempuran final?” Dwarf Shaman terdengar ragu dengan rencana ini.
“Itu adalah tempat di mana mereka akan melancarkan serangan.” Dia berkata. “Mereka salah.”
Dengan kata lain.
“Kita akan membantai seluruh goblin.”
Itu saat di mana setetes air turun dari surga dan menetesi helm Goblin Slayer.
Sepertinya ini akan menjadi pertempuran yang basah.