90% RENCANA BIASANANYA GAGAL, 10%-NYA TIDAK BERHASIL
(PART 2)
(Author : Deddy Z)


Waktu yang tersedia nggak banyak buat ngumpulin uang bayaran sekolah Fenny. Aku nggak yakin sehari ngamen bisa dapet sampai Rp300,000. Apalagi ngamennya cuma dari sepulang sekolah.
Tapi Aldi dan Fenny  tetap ingin melakukannya. Aku hanya bisa berdoa yang terbaik untuk mereka. Sambil nonton TV tentunya.
Seperti biasa jam 2 siang adalah waktunya aku menonton Dunia Binatang. Aku dan Tiara cukup menyukai acara ini dan seringkali kami menontonnya bersama. Misalnya seperti sekarang ini.
Yang sedang jadi pembahasan adalah Orangutan. Sang narator di TV menjelaskan kalau satwa ini sudah langka dan keberadaannya dilindungi oleh pemerintah. Ia adalah satwa asli Indonesia yang genetiknya 96,4% mirip dengan manusia.
“Genetik itu apa?” tanyaku bergumam.
“Genetik itu semacam bentuk tubuh kayaknya, Kak,” jawab Tiara yang duduk di sebelah.
“Begitu ya? Tapi kayaknya bentuk tubuh kita nggak 96% mirip orangutan. Orangutan bulunya masih banyak dan tangannya dua kali lebih panjang dari kita. 50 atau 60% aja cukup harusnya.”
“Bener banget, Kak. Seharusnya Kak Alan aja yang jadi ilmuwan,” Tiara membenarkan pernyataan cerdasku.
Hanya di depan Tiara aku merasa jadi orang yang cerdas.
Nggak cuma membahas orangutan. Setelah jeda iklan, hewan yang dibahas berganti jadi ular. Melihat ular ini aku jadi teringat dengan film tentang bencana ular di dalam pesawat yang kutonton sama Tiara minggu lalu.
“Tiara, kamu inget film Snake on A Plane?”
S-sex on A Plane?” Tiara terkaget mundur.
Snake on A Plane! Ular di dalam pesawat!”
“Ular di dalam pesawat? Oh. Inget, Kak. Film yang kemarin itu ya? Tiara nggak takut, Kak. Nonton itu. Ularnya lucu-lucu. Terutama yang warna coklat itu bentuk kepalanya lucu banget!”
Tiara berkata sambil menggambar bentuk kepala ular dengan gerakan tangannya.
Gara-gara salah dengar tadi, dari gerakan tangan Tiara aku jadi membayangkan bentuk kepala ular yang lain.
“Assalamualaikum!”
Terdengar suara orang mengucap salam dari luar. Suara anak perempuan.
Siapa ya?
Untuk sesaat aku dan Tiara saling melihat. Kemudian aku berdiri dan berjalan menuju pintu.
Palingan orang minta sumbangan masjid. Begitu pikirku.
Setelah keluar, ternyata bukan. Tamu yang datang ini adalah orang yang kukenal.
Seorang cewek cantik dengan mata berwarna hijau zamrud yang berkilau bagai permata. Rambut cokelat panjangnya yang halus sedikit terayun oleh angin pelan di sekitar. Tak perlu diragukan. Hanya Cynthia yang memiliki pesona sekuat itu.
"Kamu ngapain kesini?" tanyaku dingin.
“Terserah aku kan mau kemana. Kenapa kamu yang marah?” jawab Cynthia nggak senang.
“Nggak terserah kamu dong! Kemarin bukannya kamu dah janji nggak kesini lagi?”
"Ada sesuatu yang mau kukasih ke kamu. Buruan bukain pagarnya!"
"Sesuatu? Bom atau racun?" tanyaku curiga.
"Suuzon banget sih! Bukain aja cepet!"
Sejujurnya aku malas menurutinya. Tapi nggak ada pilihan lain. Kuanggap ini sekedar sopan santun menerima tamu, meski tamunya nggak diundang.
Kubukakan pintu pagar. Lalu Cynthia mengulurkan tangan ke depan. Di genggaman tangan putih itu, aku melihat lembaran kertas berwarna merah. Lembaran itu adalah uang kertas Rp100ribuan.
"Heh? Uang apa ini? Buat apa kamu ngasih uang sebanyak ini ke aku?" tanyaku terkejut.
"Yang bilang buat kamu siapa! Ini buat temen kamu. Masih butuh nggak!?”
Lalu aku teringat kejadian kemarin waktu aku meminta Cynthia meminjamkan uang untuk membantu Fenny.
"S-s-serius nih?! Kamu mau minjemin uang ini?"
"Minjemin? Jadi kamu niat minjem, Cecurut?"
Perlu tiga detik bagi otakku mencerna pertanyaan Cynthia barusan.
“Emang kamu mau ngasih cuma-cuma, Mak Lampir?”
"Ya... ambil aja sih. Gampang kok aku dapet uang segini."
Entah aku harus merasa senang atau kesal mendengar ucapan Cynthia. Satu sisi aku senang karena ia bilang ‘ambil aja.’ Itu adalah kata terindah yang pernah kudengar sepanjang hidupku. Tapi kata setelahnya seolah menghina kondisi ekonomiku dan negara ini. Itu adalah kata paling menyebalkan yang pernah kudengar sepanjang hidupku.
“Kamu dapet uang darimana sih? Kok bisa tiba-tiba segini banyak. Padahal belum lama kamu bilang lagi nggak ada uang,” tanyaku penasaran.
"Semalam Papaku pulang. Trus aku bilang ke Papa ada tas sekolah yang mau aku beli harganya Rp500 ribu. Dan Papa ngasih itu di luar uang jajan mingguanku."
Sumpah. Aku nyesel nanya.
“K-kalau begitu makasih ya. Aku terima ban--”
Baru saja aku mau mengambil uang dari tangan Cynthia. Uang itu tiba-tiba ditarik kembali olehnya.
"Tapi aku ngasih ini nggak gratis ya! Ada syaratnya."
“Syarat?!”
Mendengar kalimat itu, kekhawatiran mendadak memenuhi dadaku.
"Syarat apa yang kamu mau?"
Apakah ia ingin aku melakukan hal memalukan dulu untuknya? Misalnya berjoget dengan kostum ayam, atau mungkin bersujud mencium kakinya? Membayangkannya saja bikin keringatku bercucuran.
“Jangan larang Tiara main sama aku.”
Ah...
Ternyata itu...
Syarat itu...
Berat sekali untuk diterima.
Berjoget dengan kostum ayam rasanya jauh lebih mengasyikkan.
Mengambil uang ini artinya sama saja megizinkan Cynthia masuk dan mengganggu kehidupanku lagi. Tapi kalo nggak diambil, aku bisa menghilangkan kesempatan orang yang ingin bersekolah.
Mana yang lebih penting?
Kedamaian hidupku... atau kelanjutan sekolah Fenny?
Bagiku sebenarnya kedamaian hidup lebih penting. Tapi untuk saat ini, sepertinya aku nggak bisa bersikap egois. Karena kalau aku mengambil pilihan demi kepentingan pribadi, aku sama aja dong dengan orang di depanku ini.
Sifatnya itu sangat kubenci. Tentunya aku nggak mau ikut membenci diriku sendiri.
Sedikit kuhela napas sebelum memberi jawaban.
 “Ha…. iya. Aku ngerti.  Mulai detik ini, aku nggak akan larang lagi Tiara main sama kamu.”
“Bener ya? Janji!” Cynthia menekankan.
“Pake janji segala?”
“Pake nanya segala?”
Pembalikan pertanyaan dari Cynthia membuatku mati kutu nggak bisa jawab.
“Iya janji.”
Terpaksa aku menurutinya.
Cynthia memberi senyum puas. Senyum yang seolah mendeklarasikan sebuah kemenangan.
“Kalau begitu ambil nih!” Cynthia menepuk dadaku dengan tangan kanannya yang memegang uang.
Tentu saja aku reflek menyelamatkan uangnya dan tanganku sedikit menyentuh tangan Cynthia.
Tanpa memikirkan hal tersebut, Cynthia dengan entengnya berjalan melewatiku.
“Tiaraaaa…! Kak Cynthia main lagi…!!!”
“Yeeey…! Ada Kak Cynthia!” terdengar suara sambutan dari dalam rumah.
“Iya. Kamu nggak perlu khawatir lagi sama kakak bejatmu itu karena Kak Cynthia udah bebas kesini buat ngejagain kamu, Tiara!”
Aku merasa ada dua kesalahan dalam satu kalimat Cynthia.
Pertama, aku nggak bejat. Seenggaknya nggak ke adikku sendiri.
Kedua, Tiara nggak perlu penjagaan apapun. Memangnya dia pikir aku ini kakak yang seperti apa?!
Tapi kusimpan saja protesku untuk nanti. Yang penting sekarang aku udah dapat uangnya. Fenny dan Aldi jadi nggak perlu berjerih payah.
Kalau aku kirim SMS ke Aldi sekarang, mereka pasti langsung berhenti ngamen lalu bergegas datang ke rumahku.
Hmm. Kubiarkan dulu aja. Biarlah Aldi menikmati waktu berdua lebih lama dengan cewek yang disukainya dari SMP. Barangkali besok aku mendengar kabar kalau dia menyatakan perasaannya.
Aku jadi nggak sabar menanti hari esok.
***
Rencanaku adalah memberikan kejutan kepada Aldi dan Fenny di kantin. Sekeras apapun mereka berusaha, satu hari Rp300 ribu dari ngamen itu pasti angka yang sulit.
Di kelas aku akan bertanya pada Fenny tentang hasil mereka lalu berpura-pura ikut putus asa. Kemudian di kantin aku akan memancing topik itu lagi untuk melihat wajah suram mereka, lalu secara ajaib aku menunjukkan uang yang kuperoleh dari Cynthia. Mereka pasti langsung terkejut bukan main.
Rencanaku sempurna!
Tapi realita berkata lain. Hari ini Fenny nggak masuk sekolah. Di kantin, aku jadi cuma duduk berdua sama Aldi.
"Fenny nggak masuk, Alan? Kayaknya hari ini aku nggak liat dia."
Ucapan Aldi barusan sepertinya membongkar kebiasaan dia yang suka menguntit Fenny dari jauh.
“Iya. Izin dia. Katanya adiknya sakit nggak ada yang jaga.”
“Begitu ya. Aku kira dia yang sakit. Kemarin dia keliatan capek.”
“Kamu apain aja si Fenny sampe kecapekan begitu?” tanyaku berprasangka buruk.
“Nggak lah. Kemarin kita ngamen sampe jam 7 malem. Berhenti karena akunya dah gak kuat jalan.”
“Lemah banget kamu, Aldi. Masa malah kamu yang nggak kuat.”
“Berisik kamu. Kalo kamu disana juga, jam 5 juga pasti dah terkapar.”
“Yaelah, nyanyi doang apa susahnya.”
“Bukan masalah nyanyinya. Jalan-jalan keliling komplek capek juga tau.”
“Kamu ngamen dimana emang?”
“Daerah Batu Gede. Muter-muter aja dari satu rumah ke rumah sebelahnya, trus rumah lain. Tapi yang pasti dikasih itu ke warung atau rumah makan. Di rumah makan kemarin ada yang request nambah lagu trus ngasih Rp20 ribu dia.”
“Lumayan banget tuh. Trus hasilnya dapet berapa?”
“Dapet Rp97 ribu. Sepertiganya pun nggak sampe,” nada bicara Aldi terkesan mengandung kekecewaan.
“Ya lumayan sih. Yang penting kamu dah berusaha. Tapi santai aja. Aku dah dapet uang buat nutupin hasilnya. Bahkan tanpa Rp97 ribu itu juga bisa ketutup.”
“Uang dari mana? Hasil jaga lilin?”
Sepertinya Aldi menganggap aku lagi bercanda.
“Serius. Uangnya ada di tasku di kelas. Rp300 ribu pas.”
"Sejak kapan kamu pinter bohong. Alan? Biasanya kamu keliatan kayak orang bego kalo lagi bohong," Aldi masih meragukanku.
“Sialan. Beneran aku dapet Rp300 ribu. Ada orang yang ngasih.”
“Siapa orangnya?”
“Ada deh. Pokoknya sekarang uang itu ada.”
Raut muka Aldi masih nampak tak percaya.
“Bukan dari maling kan uangnya?” tanya Aldi.
“Bukan lah! Ngapain aku maling demi cewekmu.”
“Iya sih. Lagian kalo kamu maling pasti nggak akan masuk sekolah hari ini gara-gara diamuk warga. Yasudah deh. Trus kapan kamu mau ngasihnya, Alan?”
“Besok paling. Mau gimana lagi, yang butuh hari ini nggak masuk.”
“Kita ke rumahnya aja yuk. Besok kan sabtu, mepet banget. Kalo Fenny besok nggak masuk juga gimana?”
“Ke rumahnya?” tanyaku ragu.
“Iya. Ntar ama aku kesana. Rumahnya nggak jauh dari sekolah.”
"O-oke deh."
Kurasa aku tak punya pilihan lain.
***
Ini pertama aku mendatangi rumah seorang anak cewek bukan untuk kerja kelompok. Meski aku nggak begitu menanggap Fenny sebagai cewek, tapi jenis kelaminnya tetaplah cewek.
Rumahnya ternyata memang nggak jauh. Kalau jalan kaki mungkin 10 menit. Karena kami naik motor, waktu perjalanan jadi jauh lebih singkat.
Di tengah perkampungan yang nggak jauh dari jalan besar, ada satu rumah yang dibangun berdempetan dengan dua rumah di sebelahnya. Sebuah rumah kontrakan.
Aldi menghentikan motornya di depan rumah yang paling kanan.
"Turun, Alan," kata Aldi.
Dengan hati masih bertanya aku menuruti Aldi.
Setelah menurunkan standar motornya, Aldi nampak ingin memanggil Fenny. Tapi aku menghentikannya.
"Sebentar, Aldi!" ucapku.
“Kenapa?”
Aku lalu mengambil tas dari gemblokanku untuk mengeluarkan benda yang tersimpan di dalam resleting depan.
“Nih. Kamu aja yang ngasih biar lebih berkesan.”
Yang kuberikan pada Aldi adalah amplop berisi uang dari Cynthia. Aku udah kehilangan momen. Jadi nggak ada artinya lagi kalo aku yang ngasih.
"Kenapa aku? Nanti aku bingung jelasin darimana asal uang itu.”
"Hmm. Iya juga sih."
Aku nggak terpikir sampai kesitu. Padahal niatku adalah supaya Aldi bisa punya kesan lebih lagi di mata Fenny.
“Tapi kalo aku yang ngasih, ntar Fenny jadi tertarik sama aku gimana?” tanyaku khawatir.
“Nggak lah. Itu uang dari orang kan? Bukan uang kamu sendiri.”
“Benar juga ya.”
Pemikiran Aldi memang selalu dua langkah di depanku. Aku merasa aman sekarang.
Kemudian aku memberi isyarat gerakan kepala tanda meminta Aldi melakukan tugasnya.
 “Assalamualaikum… Fenny!” Aldi memanggil.
“Waalaikumsalam.”
Tak lama setelahnya muncul suara jawaban dari dalam.
Pintu terbuka. Dari dalamnya keluar seorang cewek dengan rambut hitam sepanjang leher. Mukanya nggak menggunakan satu pun make up, tapi cantiknya sudah natural.
Kaos yang berwarna kuning cerah seolah menggambarkan dia adalah karakter cewek periang. Meski kenyataannya berbalik 180 derajat. Lalu sepasang kaki jenjang terlihat di bawah celana pendeknya.
Satu hal yang membuat diriku tertegun, selain karena kaki putih mulus yang membuat mata siapapun terfokus kesana sesaat, leher Fenny terbuka begitu saja. Nggak ada kain wol hitam yang biasanya selalu melingkar disana.
Kalau kuperhatikan baik-baik, nggak ada keanehan seperti luka atau tanda-tanda alergi di lehernya. Jadi... sebenarnya kenapa dia selalu memakai syal di sekolah?
“Aldi? Alan? Ada apa kalian kesini?” tanya Fenny.
“Alan mau ngasih sesuatu ke kamu, Fenny,” Aldi menjawab.
“Eh? Langsung?” tanyaku.
“Ya emang tujuan kita kesini apa, Alan?”
“I-iya juga sih.”
Sebenarnya aku merasa ini terlalu terburu-buru. Senggaknya aku ingin satu momen dulu. Tapi benar kata Aldi. Nggak ada hal yang bisa dilakukan selain ini.
“Ini, Fenny. Isinya Rp300 ribu. Ini dari orang yang kemarin kubilang bisa bantu kamu itu.”
Agak malu aku menyodorkan amplop di tanganku ke Fenny.
“Heh? Beneran?!” Fenny nampak terkejut, “Kamu bilang ke dia nggak kalo kemungkinan aku balikinnya bakal lama?”
"Dia bilang nggak usah dibalikin.”
"S-serius!?" ekspresi Fenny seperti sulit percaya.
“Iya. Orang kaya dia. Nggak usah kamu pikirin. Anggap aja ini pertolongan dari Tuhan karena selama ini kamu udah berusaha keras.”
Untuk waktu yang sangat singkat aku seperti melihat ekspresi terharu di mata Fenny. Tapi dengan cepat menghilang. Setelah itu bibirnya menggores senyum kecil.
“Siapapun orang itu, sampaikan ucapan terimakasih aku ke dia, Alan,” ucap Fenny seraya menerima amplop di tanganku.
"Kalian mau masuk?” tanya Fenny.
“Eh? Err…” aku berpikir. Rasanya agak merepotkan. Tapi aku bingung alasan apa yang bagus buat menolak.
“Nggak usah, Fenny. Hari ini Alan dipesenin suruh pulang cepet sama adiknya.”
“I-iya bener,” ucapku membenarkan perkataan Aldi.
Salut. Pemikiran Aldi cepat dan akurat. Aku nggak bisa mencari alasan selain memandikan kucing.
“Begitu? Kalau begitu mau gimana lagi.”
“Kita pergi dulu ya, Fenny,” kataku.
“Jangan lupa besok masuk ya. Sabtu hari terakhir bayar UTS,” Aldi menambahkan.
“Iya, aku ngerti, Aldi. Nggak usah khawatir.”
Setelah itu Aldi menyiapkan motonya untuk kembali diberangkatkan.
“Oh iya, Alan. Kamu bisa masuk sebentar?”
Ucapan Fenny membuat Aldi terhenti dan kami berdua kembali menoleh padanya.
“Emang ada apa?” tanyaku.
“Adik aku lagi sakit. Bisa beri dia ucapan agar cepet sembuh?”
“Heh? Kenapa aku?” ucapku terkejut.
“Karena doa orang yang sering dianiaya itu biasanya terkabul kan?”
“Sialan.”
Di saat seperti ini dia masih saja mengejek. Tapi karena kelemahanku yang sulit mencari alasan aku jadi nggak bisa menolak.
“Yaudah iya. Tapi aku harus ngomong gimana?” tanyaku.
“Adikku namanya Mila. Kamu tinggal bilang ‘Mila, cepet sembuh ya!’ gitu aja. Trus setelah itu boleh langsung pergi.”
“O-oke.”
Tampaknya bukan hal sulit.
Sampai disini aku nggak merasakan satu pun keanehan. Dengan lugunya aku mengikuti langkah Fenny masuk ke rumah.
Setelah di dalam, pintu depan ditutup oleh Fenny.
Kemampuan akting Fenny begitu luar biasa sampai aku nggak sadar kalau sedang ditipu.
“Diam disitu sebentar, Alan.”
“...?”
Tanpa mengerti apa-apa, aku menurut. Disini perasaanku mulai nggak enak karena Fenny melihatku dengan tatapan yang nggak biasa. Matanya seperti berkata ia ingin melakukan sesuatu tapi ragu dan dia nampak tegang. Ketegangannya seolah menular tapi dengan kadar yang digandakan dua kali lipat.
Perlahan Fenny berjalan mendekat. Seketika itu juga ketakutan meledak di dadaku. Ia mendekat seperti ingin memeluk. Tapi aksi yang dilakukan ternyata bukan sebuah pelukan. Ia memberiku ciuman tepat di bibir.
Sebuah kelembutan yang baru pertama kali kurasakan. Pikiranku seketika jadi kosong. Namun samar-samar aku mendengar suara teriakan di dada yang memaksaku untuk segera berhenti. Memaksaku untuk mendorong Fenny menjauh.
Akan tetapi gigitan lembut di bibir ini membuat tubuhku nggak bisa melakukan gerakan selain diam. Aku hanya bisa menikmatinya.
Kurang lebih lima detik bibir kami menempel lalu Fenny mundur memposisikan tangan kanannya di depan mulut.
“Uhm… Kali ini aku akan berkata jujur. Itu ciuman pertamaku. Aku nggak nyangka akan melepaskannya disini.”
Mendengar itu membuatku ingin mengeluarkan kata yang persis sama dengan Fenny. Tapi lidahku sulit bergerak.
“Mau mencobanya lagi?” kata Fenny.
Sesaat aku menelan ludah. Kemudian kepalaku mengangguk meski otakku memerintahkan sebaliknya.
 [Bagian ini disensor demi kepentingan publik]
“Maaf ya. Tiba-tiba. Kamu pasti kaget,” ucap Fenny, “Mungkin agak berlebihan, tapi aku nggak tau lagi gimana cara berterimakasih ke kamu.”
“B-berterimakasih? Kamu nggak perlu ngelakuin itu. Uang itu juga bukan uangku,” kataku.
“Ya. Tapi tetap aja kamu yang memberikannya. Kalo nggak ada kamu  uang itu nggak akan sampai ke aku.”
“…”
Ternyata Aldi salah! Meski bukan uangku, memberikannya tetap membuat kesan yang besar.
Kalau tau begini lebih baik aku tetap berpegang pada pendirianku tadi. Sekarang sudah tak ada jalan kembali.
“Tolong jangan beritau ini ke Aldi ya, Alan,” ucap Fenny.
Tanpa diminta pun aku nggak akan bisa memberitaukannya.
Di tengah perjalanan pulang aku nggak banyak bicara dengan Aldi. Meskipun nggak ada tanda-tanda kecurigaan dari Aldi berkat tipuan sempurna Fenny, perasaan khawatir di dadaku nggak bisa disembunyikan.
Tambah lagi, aku orang yang nggak pandai berbohong. Kalau Aldi sampai bertanya apa yang terjadi di balik pintu itu, matilah aku.
Sesampainya di rumah aku ingin bersantai melepas penat. Tapi malah ada mobil hitam terparkir di depan rumahku.
Ah. Moodku sedang rusak.. Kenapa harus di saat begini?
Seseoang keluar dari dalam rumah. Itu adalah Tiara dan Cynthia. Dilihat dari bajunya yang rapi, mereka seperti ingin pergi pergi.
“Kalian berdua mau kemana?” tanyaku.
“Mau jalan-jalan, Kak! Tiara diajak Kak Cynthia jalan-jalan,” jawab Tiara.
Aku ingin melarang tapi mengingat perjanjian kemarin, aku jadi nggak bisa apa-apa.
“Udah makan belum kamu? Jangan keluar kalo balum makan,” kataku.
“Aku akan beliin makan buat Tiara di luar, Cecurut. Kamu nggak usah khawatir,” kata Cynthia.
“Aku dibeliin juga nggak, Mak Lampir?”
“Hah? Kenapa aku harus beliin kamu juga?” Cynthia nampak tak senang.
“Ya… karena aku kakaknya Tiara!”
“Huh, Kamu itu cecurut! Cecurut cari makan sendiri di got sana! Ayo kita pergi Tiara.”
“Oki doki, Kak!”
Setelah bilang begitu, dua anak perempuan itu berjalan melewatiku lalu membuka pintu mobil.
Sialan. Kenapa Tiara nggak berpihak padaku? Si Mak Lampir itu pasti udah mencuci otak Tiara buat menurutinya.
Memikirkan itu membuat aku jadi merasa adikku sudah direbut. Aku jadi khawatir akan kehilangan adikku.
Dan kalau kuingat kejadian di balik pintu rumah Fenny tadi, kejadian yang membuat ada rasa aneh di bibirku yang nggak kunjung hilang hingga sekarang ini sampai diketahui Aldi, aku juga bisa kehilangan sahabatku.
Haaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
Kenapa ini harus terjadi padaku?! Apa salahku?!
Oh dewi kesialan, bisakah kau berhenti mencintaiku?
***