90% RENCANA BIASANANYA GAGAL, 10%-NYA TIDAK BERHASIL
(PART 1)
(Author : Deddy Z)

Aku terjebak di dalam sebuah ruangan tertutup. Ruang tengah satu kontrakan kecil. Aku terjebak bukan karena pintu dan jendelanya terkunci rapat seperti adegan di film horror. Akan tetapi yang kualami ini lebih menakutkan dari film horror.
Sebenarnya aku cuma berada di dalam kontrakan biasa yang pintu depannya ditutup. Nggak ada kesan menyeramkan di tempat ini. Di luar juga matahari masih bersinar terang.
Yang membuatnya menakutkan adalah, di dalam ruangan ini aku nggak sendirian. Tepat di depanku berdiri seorang cewek remaja cantik dengan rambut hitam sepanjang leher.
Jarak kami sangat dekat, cukup untuk membuat diriku mengaktifkan insting mencari keamanan dengan cara memundurkan kaki.
Selangkah. Dua langkah. Aku  terus mundur. Akan tetapi, jarak kami nggak berubah. Malah justru semakin dekat. Itu karena cewek di depanku ini terus maju mendekat.
Aku terhenti karena punggungku menabrak tembok yang dingin. Namun udara disini terasa panas. Bajuku sampai basah oleh keringat.
Dari jarak yang sangat dekat aku dapat melihat wajahnya. Wajah cantik yang makin lama makin membesar. Bukan. Jaraknya saja yang semakin dekat.
Sekarang aku memunduran kepalaku, namun sekali lagi tembok di belakang menghalangi. Kalau aku punya kekuatan super, pasti sudah kuhancurkan tembok ini.
Mata berwarna cokelat karamelnya menatapku hangat. Tatapanya seolah dapat menghangatkan hati siapapun meski orang itu memiliki hati yang sudah beku.
Aku nggak mengarang ini, saat ini aku benar-benar merasa takut.
Badan dan kepalaku terus berusaha mundur akan tetapi aku nggak bisa menjauh lagi meski 1cm.
Sedikit demi sedikit, matanya menutup. Ia terpejam. Lalu 2 detik setelahnya, pikiranku seketika menghilang akibat aksi tiba-tiba yang ia lakukan.
Sesuatu yang lembut menggigit bibirku dengan sensasi yang sulit dijelaskan. Ini bahkan lebih dari kata lembut. Bagaimana aku menjelaskannya ya?
Ah. Aku bingung. Yang jelas ini benar-benar lembut dan nikmat.
Kenikmatannya membuatku terbuai sampai aku lupa kalau kakiku masih menginjak tanah.
'Nggak boleh! Aku nggak boleh melakukan ini!'
Terdengar suara teriakkan dari batinku.
Ya. Aku mengerti.  Ini adalah sesuatu yang nggak boleh dilakukan. Bagaimana mungkin aku mengambil kenikmatan cewek yang disukai oleh sahabatku sendiri?
Ah...
Kenapa ini bisa terjadi?
Ini bukan kemauanku. Situasi ini sama sekali nggak kuharapkan. Lebih dari itu, seumur hidup aku nggak pernah membayangkan ini bisa terjadi.
Lima hari yang lalu. Aku sudah menyerah ingin membantu masalah keuangan yang dihadapi Fenny karena orang yang kukira punya gudang uang, Cynthia, ternyata kehabisan uang.
Sejujurnya aku nggak menyangka rencana ini akan gagal, mengingat Cynthia terlihat punya banyak sekali uang. Jadi aku nggak menyiapkan rencana cadangan.
Paling ya... meminta maaf saja dan memberi kata bijak yang jadi ciri khas seorang presiden: saya prihatin.
Setelah melepas kepergian Cynthia, aku dan adikku, Tiara masuk lagi ke rumah.
“Temen Kak Alan lagi butuh uang, Kak?” tanya Tiara.
Adikku ini sering bertanya hal yang nggak penting untuknya.
“Ya begitulah,” jawabku singkat.
“Tiara tau, Kak. Gimana cara cepat dapat uang banyak!”
Tiara menyusul lalu berdiri sebagai benteng yang menghalangi jalanku.
“Yang bener? Gimana?”
“Kita cari souvenir! Katanya souvenir selalu bisa minjemin uang berapa aja dan kapan aja.”
“Souvenir?” aku berpikir sejenak, “Rentenir kali?”
“Ah iya itu, Kak. Namanya mirip-mirip jadi lupa Tiara. Eheheh.”
Aku menghela napas sejenak lalu bicara dengan wajah mendekat ke Tiara.
“Kamu dapet ilmu begitu dari siapa, Tiara?”
“Dari film di TV, Kak.”
“Kamu pasti nonton filmnya nggak sampe habis ya?”
“K-kok Kak Alan bisa tau?” dengan ekspresi yang lucu Tiara kaget seraya berjalan mundur.
“Kamu harus jauh-jauh dari yang namanya rentenir, Tiara. Jangan pernah sekalipun berpikir buat minjem uang ke rentenir!”
“Emangnya kenapa, Kak?”
Sesaat aku terdiam. Kemudian berpikir. Aku pernah dengar kalau rentenir itu punya bunga yang bisa berlipat-lipat. Tapi sebenarnya aku sendiri nggak begitu ngerti sama sistem bunga yand di maksud. Bagaimana menjelaskannya ya?
Oh iya. Aku ingat. Julukan rentenir itu kan lintah darat.
“Mereka itu berlendir. Uang dari mereka banyak lendir lengketnya.”
"Idiiiih... nggak mau deh Tiara minjem uang ke rentenir!" wajah Tiara nampak seperti sedang membayangkan sesuatu yang menjijikan.
***
Cewek adalah makhluk yang sederhana. Ya. Sangat sederhana. Permintaan mereka cuma satu: ingin dimengerti.
Akan tetapi untuk bisa mengerti mereka sangat rumit. Bahkan mengerti rumus sulit dalam matematika sering kali dibilang lebih mudah daripada mengerti cewek. Meski aku nggak bisa ngerti dua-duanya.
“Kak Alan! Ada temennya tuh.”
Suara Tiara terdengar dari luar kamar. Aku menaruh pulpen dan menutup buku catatan rahasiaku lalu berjalan keluar.
"Yo, Alan. Aku main ya."
Seorang cowok remaja dengan rambut agak ikal berjalan masuk ke dalam rumah. Ia membawa tas besar berbentuk gitar yang berwarna hitam di punggungnya. Dia adalah sahabatku, Aldi.
“Habis ngamen dimana, Pak?” candaku.
"Lampu ijo depan, Pak. Bosen saya ngamen di lampu merah terus, sesekali di lampu ijo lah."
"Greget sekali Anda, Pak.
Aku lalu menggelarkan karpet dan menyuguhkan air putih untuk Aldi. Sebotol air dan dua gelas beling kutaruh di atas karpet.
Aldi duduk seraya menurunkan tas gitar yang dibawanya. Kemudian ia membuka resleting di tas itu, tapi yang di keluarkan bukanlah gitar. Maksudku, di dalamnya memang benar ada gitar, tapi yang diambil justru benda kecil yang diselipkan di dalam. Aldi mengeluarkan buku tulis dan satu buku paket Bahasa Indonesia.
“Bantu aku dong, Alan. Aku ada tugas bikin cerpen tapi aku nggak bisa nulis cerita. Kamu kan jago nulis. Pasti bisa dong bantu.”
“Jago apaan. Emangnya aku pernah nulis cerita?”
“Di SMP kamu sering nulis-nulis di buku gitu katanya lagi bikin novel?”
“Ah… itu…”
Aku nggak bisa bilang kalo yang kutulis itu sebenarnya jeritan hati dan teori-teori aneh tentang cinta.
“Emang cerpen apaan?” tanyaku beralih.
“Cerpen tentang azab anak sekolah yang makan bayaran sekolahnya sendiri.”
“Hmm... ngingetin aku sama seseorang.”
“Berisik kamu. Itu kan dulu. Aku nggak pernah ngelakuin hal berdosa itu lagi sekarang,” Aldi nampak kesal.
“Bukan. Bukan kamu, maksudnya Fenny."
“Hah? Fenny pernah makan bayaran sekolahnya sendiri juga?!”
“Bukan, bukan, bukan. Dia itu kan cari uang sendiri buat bayar sekolah. Apaan yang mau dimakan."
"Iya sih. Trus maksud kamu apa tema cerpen ini ngingetin sama Fenny?"
Melihat dari reaksinya yang nggak kaget, sepertinya Aldi sudah tau kalau selama ini Fenny mencari uang sendiri untuk bayar sekolah. Jangan-jangan cuma aku aja yang nggak tau?
"Fenny lagi nggak bisa bayar iuran sekolah."
Aldi terdiam sesaat. Seperti memikirkan sesuatu yang jauh di depan.
"Minggu depan UTS kan? Bukannya semua iuran harus lunas ya kalo mau bisa ikut UTS."
"Hebat kamu langsung kepikiran kesitu," ucapku terkagum.
"Kira-kira bisa nggak ya dia lunasin tepat waktu?" Aldi menatapku dengan wajah khawatir.
"Mana kutau, tapi ngeliat mukanya kemarin, kayaknya dia lagi putus asa. Dia sampe nanya pertanyaan aneh ke aku."
"Pertanyaan apa?"
"Dia bilang 'Alan. Menurut kamu gimana cara mendapat uang 300 ribu dalam satu malam?' begitu."
"Banyak amat, Pak. 300 ribu."
"Jangan tanya saya, Pak. Yang ngutang bukan saya."
Sekarang Aldi terlihat berpikir keras. Tangannya di tempel terus di dagu. Sepertinya ia peduli banget dengan masalah Fenny, sampai-sampai ia lupa tujuan awal datang kesini.
"Kamu niat bantu dia, Aldi?" tanyaku.
"Ya, nggak ada salahnya kan bantu temen."
"Yakin temen?"
"Ya, buat sekarang si temen," Aldi menekankan.
"Itu ada gitar bagus kali. 300 ribu mah laku cepet."
"Sialan. Gitar baru beli ini, Alan. Masa mau langsung dijual."
"Pengorbanan lah demi cinta."
“Nggak ah. Kalo cintanya nggak dapet, gitar ilang doang. Mending pake buat ngamen dah."
"Bener tuh, Aldi. Pake buat ngamen aja."
Sejenak Aldi terdiam. ia seperti mempertimbangkan usul asal ceplosku barusan.
“Ngamen sehari kira-kira dapet berapa ya?” tanya Aldi.
“Tanya pengamen lah, Pak.”
“Misalnya ada 20 orang sehari yang ngasih Rp1,000. Berarti sehari Rp20,000. Dikali lima hari... Rp100,000 doang dong?” Aldi mempertanyakan perhitungannya sendiri.
“Ya lumayan lah, Pak. Buat bantu dikit-dikit. Emang kamu mau ngamen dimana, Aldi?”
"Dimana ya? Nggak tau dah. Menurut kamu bagusnya dimana, Alan?"
"Meneketehe."
Kami berdua pun terjebak dalam keheningan.
"Kamu yang nyanyi ya, Alan," Aldi memecah hening.
"Hah? Kenapa aku?"
"Emang siapa lagi? Temenin dong. Masa aku ngamen sendirian. Seenggaknya nanggung malu bareng-bareng."
"Nggak mau ah. Lagian suaraku malah bikin kuping orang-orang sakit ntar."
“Bagus dong.”
“Kok bagus?” aku terheran.
“Jadi orang bakal ngasih uang buat nyuruh kamu diem.”
“Sialan.”
***
Pada akhirnya tugas Bahasa Indonesianya Aldi sama sekali nggak dikerjain. Kami cuma bahas masalah Fenny, ngamen, dan nyanyi-nyanyi setelahnya.
Diskusi kami berujung pada mengajak Fenny untuk jadi penyanyi. Menurutku itu ide bagus karena kalo cewek cantik yang nyanyi, orang pasti lebih gampang ngasih uang. Kalau beruntung, mungkin sehari bisa dapet 100 ribu lebih.
Itu cuma ekspektasiku aja sih.
Akan tetapi aku nggak mengubah keputusan buat nggak ikut. Malas sekali aku keluar panas-panasan trus nyanyi-nyanyi gitu. Malu juga.
Dan juga, keputusanku ini menguntungkan Aldi karena dia jadi bisa berduaan sama cewek yang disukainya.
Aldi setuju juga buat ngamen berdua sama Fenny meski di awal dia menolak gara-gara malu.
Esok harinya di jam istirahat sekolah, seperti biasa aku duduk sendiri di meja kantin sambil minum segelas es teh manis.
"Kamu penggila teh ya? Tiap hari belinya teh terus."
Aldi datang bergabung di meja tempat aku duduk. Ia membawa sepiring batagor dan minuman berwarna cokelat. Mungkin Pop Es.
"Bukan penggila. Aku beli ini karena ini minuman paling murah di kantin."
"Hahahaha. Hemat mode selalu."
Mataku memperhatikan sekitar. Aku mencari keberadaan satu-satunya siswi yang memakai syal berwarna hitam di sekolah ini.
Dimana dia ya? Biasanya kehadirannya mencolok.
Pandanganku terhenti di satu tempat. Ada satu meja yang sangat menarik perhatianku. Meja di sisi kantin yang nampak nampak berbeda dari meja-meja yang lain.
Sebenarnya baik warna maupun bentuk sama aja. Yang membuatnya nampak berbeda adalah meja itu diisi oleh satu sosok anggun yang duduk sendiri bak seorang putri.
Kalau kuperhatikan, mukanya nggak asing.
Ternyata dia adalah siswi yang kukenal. Kenapa bisa aku masih terpesona oleh kecantikannya padahal sudah sering melihat sifat buruknya?  Orang yang mengisi meja itu adalah Cynthia.
Kenapa dia duduk sendiri ya? Apa dia selalu disitu?
"Muka kamu keliatan lebih mesum dari biasanya, Alan."
Suara ejekan yang nggak asing membuat pandanganku beralih ke orang di sebelah yang baru saja datang. Siswi bersyal hitam yang kehadirannya tadi kucari-cari.
"F-Fenny? Apa maksud kamu lebih dari biasanya. Seolah-olah kamu bilang muka aku ini selalu mesum."
"Bukan seolah-olah. Aku memang bermaksud bilang begitu."
"Sialan. Mukaku nggak mesum tau! Bener kan, Aldi?"
Aku beralih ke Aldi sambil menunjuk mukaku sendiri.
"Nggak kok."
Syukurlah. Aku lega mendengar jawab--
"Nggak salah lagi," lanjut Aldi.
 "Sialan."
"Katanya kamu lagi ada masalah keuangan, Fenny?"
Pertanyaan Aldi mengalihkan topik pembicaraan.
Untuk sesaat, pandangan mata karamel Fenny mengarah padaku. Melihat reaksinya dia seperti sedang mencurigai aku  yang mengatakan masalah itu ke Aldi.
"Nggak apa-apa kan aku cerita ke Aldi?" aku menjawab pertanyaan yang disampaikan oleh matanya.
Fenny nggak menganggapi. Ia hanya mengembalikan pandangannya ke depan.
"Dia bilang mau bantu kamu, Fenny," lanjutku.
Kemudian Fenny menatapku Fenny menatapku lagi. Kali ini dengan pandangan serius.
"Orang yang kamu bilang bisa bantu aku kemarin... apa itu Aldi, Alan?"
"Bukan, bukan. Orang yang kumaksud kemarin ternyata lagi nggak bisa bantu. Tapi sebagai gantinya Aldi mau bantu. Kami udah punya satu solusi."
"Solusi apa?" tanya Fenny.
"Aldi, jelasin ke Fenny," kataku menyuruh Aldi.
"Kenapa aku?"
"Ide brilian ini kan datangnya dari kamu."
"Berlebihan kalo bilang ini ide brilian, Alan. Rencana ini perlu usaha keras baru bisa berhasil."
Aku memilih diam guna memberikan kesempatan untuk Aldi menjelaskan rencananya.
"B-begini, Fenny. Kita cari uang tambahan dengan cara ngamen. Di rumahku ada gitar. Aku bisa maininnya. Cuma masalahnya aku nggak bisa nyanyi. Jadi... err... kamu bisa kan nyanyi?"
Nampak penuh grogi Aldi menjelaskan.
Fenny nggak langsung memberi jawaban. Ia menatapku sesaat, kemudian menatap ke Aldi lagi.  Sekarang ia menatap ke bawah.
“Aku pernah jadi penyanyi di kafe jadi menyanyi itu bukan masalah..."
"Bagus dong kalau begitu!" Aldi bereaksi penuh semangat.
"Tapi..."
"Tapi apa?"
"...Pulang sekolah aku harus kerja. Jadi aku nggak ada waktu buat ngamen. Ada sih pas libur. Tapi itu cuma sehari. Di hari kamis. Memangnya bisa dapet uang cukup dari satu hari ngamen?"
Jawaban Fenny di luar dugaan. Aku dan Aldi jadi saling melihat dengan tatapan penuh tanda tanya. Seolah-olah kami sedang menyampaikan pesan 'Bagaimana ini?'
Jadwal kerja Fenny nggak sedikitpun terbahas di dalam pembicaraan kami kemarin.
"J-jangan berputus asa, Fenny! Kalo yang nyanyi kamu, satu hari juga pasti bisa cukup. Kamu pernah nyanyi di kafe kan? Berarti suara kamu udah diakui bagusnya. Ngumpulin cuma 300 ribu pasti bisa!" Aldi berusaha menyemangati Fenny.
Wajah Fenny masih tampak ragu. Aku ingin ikut menghibur tapi ketika aku ingat bagaimana terakhir kali aku menghibur orang, aku memilih diam saja.
Satu-satunya kata bijak yang terpikirkan olehku hanya 'Saya prihatin.'
"Aku ngerti. Kalau begitu kita akan berusaha."
Jawaban Fenny memberikan ekspresi lega di wajah Aldi. Aku pun ikut lega mendengarnya.
"Kamu ikut, Alan?" tanya Fenny.
"Eh? Hari kamis itu aku harus..." aku berpikir sejenak, "Bantu adikku mandiin kucingnya."
"Kamu punya kucing?" Aldi bertanya. Kemudian aku memberinya tatapan tajam.
"O-oh iya. Kucing yang itu ya."
"Iya bener."
Untunglah Aldi mengerti kode yang kuberikan.
Aku merasa alasan ini terkesan konyol. Tapi itu alasan terbaik yang bisa kupikirkan. Apa Fenny akan percaya ya?
Ketika aku melihat ke arah Fenny, aku sudah membayangkan wajah meragukan atau menertawakan. Bahkan wajah mengejek pun aku nggak heran.
Tapi yang kulihat malah goresan senyum yang amat lembut. Seperti orang yang baru saja melihat makanan favoritnya setelah tiga hari nggak makan.
"F-Fenny...?" tanyaku terheran-heran.
"Ternyata ada sesuatu dari diri kamu yang masih seperti dulu."
 "...???"
Tanda tanya meletup-letup di atas kepalaku. Apa maksud perkataan Fenny barusan?
***