SANG TERLEMAH
(Author : R Lullaby)

Masih di kelas permulaan, kelas 1 yang ditempati Aeldra. Suasana terasa hening, Nia dan Alyshial saling berhadapan.
            “Nia, ini permintaan terakhirku. Kumohon bergabunglah dengan kelompokku. Aku sahabatmu dan akan melindungimu. Aku takan membiarkanmu terluka.” Alys mengangkat tangan kanan, berharap Nia menggapai tangannya.
            Nia hanya menutup mata. Semakin khawatir wajahnya. Tak tau harus menjawab apalagi meski dia sudah menolak berulang kali ajakan sahabat dekatnya.
            “Aku sungguh minta maaf, Kak. Aku tidak bisa bergabung dengamu.”
            “Apa itu karena kemampuanmu? Tenang saja, aku tak memperdulikan hal itu! Aku menginginkanmu. Aku ingin melindungimu... seperti dulu.”
            “Maaf, Kak! Aku tidak bisa!” Nia berjalan cepat, berlari melewati Alyshial. Dia menangis kecil, merasa bersalah sudah melukai perasaan sahabatnya.
            Alyshial mengepalkan tangan kanannya yang terangkat, tidak terlalu kuat. Lalu menurunkannya kembali.
            “Alys ...,” Sophia berucap pelan dengan mata terpejam.
            “Aku mengerti,” senyum Alyshial mulai melirik Haikal.
            “Karena Nia gak mau. Haikal, bergabunglah denganku.”
            “Jadi aku hanya dianggap cadangan, yah?” Haikal tersenyum kecil, memiringkan kepala.
            “Jadi bagaimana? Mau atau tidak?”
            “Maaf, sayangnya aku sudah bergabung dengan kelompok Annisa.” Haikal menjawab, menutup mata, dan mengkerutkan dahi ke atas. Annisa hanya terdiam dengan wajah cemas dan terlihat ketakutan.
            “Annisa?” Alys menyipitkan mata. Bertanya penasaran pada Haikal akan siapa gadis yang dimaksud Haikal.
            “Gadis yang berada di samping kananmu, Alys. Dia yang duduk bersebelahan dengan Haikal,” senyum Sophia, memberikan tatapan pada Annisa.
            “Ah, kamu yah?” Alyshial berjalan mendekat, berdiri di hadapan Annisa yang masih duduk.
            “Bubarkan timmu, kau cari tim yang baru saja. Akan sangat sayang jika lelaki sekuat Haikal bergabung denganmu.” Alys mulai menyentuh meja Annisa, tak lupa memberi intimidasi yang cukup kuat padanya.
            Tapi Annisa tak mau kalah.
            “Tap-tapi anda juga mencadangkan Haikal. Bukankah itu juga sama saja karena tak menghargai dirinya?”
            “Hoo, berani sekali kau yang hanya keluarga biasa –“
            “Kenapa enggak pergi aja sana, Aly sial!” Seica menggerutu keras. Memberikan hinaan pada Alyshial. Aeldra sontak terkejut, menatap Seica cukup dalam.
            “Se-Seica!?”
            Astaga ..., padahal aku sudah berusaha keras untuk tidak menatap wajahnya.” Alys berwajah khawatir, tak menggubris hinaan Seica.
            “Hei, gadis sombong. Aku sedang berbicara denganmu!”
            “Tu-tu-tunggu, Seica! Ada apa dengan ucapanm –“
            “Biarkan mereka,” Haikal tersenyum khawatir memegang pundak Aeldra.
            “In-ini bukan urusanmu, Seica,” pelan Alys, tak menatap wajah Seica. Tubuhnya bergemetar, terlihat seperti segan padanya.
            Sophia mulai berwajah khawatir ketika menatap sahabatnya. Dia berjalan cepat mendekati Seica. Menutup mulut gadis itu yang ingin menghina kembali Alyshial.
            Tapi itu adalah kesalahan. Seica malah berontak, terus mengeluarkan suaranya yang semakin manis. Tubuh Alys semakin bergemetar, lekas berbalik dan berteriak.
            “Ap-apa yang kau lakukan, Sophia!! Kau hanya membuat dia menjadi lebih manis!!”
            “Hah?” Aeldra menatap datar Alys. Sungguh penasaran akan pernyataannya itu.
            “Le-lepaskan dia! Aku tak tahan, ingin memegang pipinya.” Alys berwajah gembira. Kedua tangannya bergemetar, seolah ingin meraih Seica.
            “Alys tolong tahan dirimu. Kita masih di depan umum.” Sophia berwajah khawatir melihat Alys yang sungguh berbeda.
            “Haikal, mungkinkah Putri Alyshial itu menyukai... Seica?” bisik Aeldra bertanya pada Haikal.
            “Ya, mau seberapa dalamnya hinaan Seica. Alys mustahil membencinya. Dia benar-benar menyayangi Seica, bahkan sudah menganggapnya seperti adik kandungnya sendiri.”
            Ehhh ..., aku benar-benar tak mengerti pemikiran orang-orang bangsawan ini.” Aeldra menatap datar Alyshial dan Seica. Alys ingin memegang dirinya, tapi Seica selalu menolak.
Benar-benar terlihat menggemaskan, ketika Seica menepak tangan Alys yang berniat menyentuhnya. Terus menerus, bagai pertengkaran kakak beradik yang menghibur.
Kasih sayang dari Putri Alyshial pada Putri Seica sudah menjadi rahasia umum. Bahkan para rakyatnya juga tau jika dua kerajaan, antara Skyline dan Liviandra sudah terkenal sangat dekat.
“Ba-baiklah, karena permintaan dari Seica. Aku akan memberimu kesempatan. Lawan aku dalam pertarungan. Perwakilan dari timmu juga tak apa.”
“Eh?” Annisa terkejut dan kembali menunjukan wajah kecemasan. Dia sadar akan keterbatasannya. Mustahil baginya menang melawan sang putri.
“Aku tak meminta itu, Otak Udang!” Seica kembali berteriak.
“Tenang, Sayang. Aku tahu permintaanmu itu kok.”
“Hentikan, najis tau gak!?” Perkataan Seica semakin lama, semakin menyakitkan. Tapi Alyshial tak menggubris, tak marah padanya. Dia malah semakin ingin menyentuhnya.
“Jadi bagaimana!?” Alyshial tersenyum sombong, terus mencoba memegang Seica. Wajahnya terpaku pada Annisa, dan seolah berbeda.
“Tenanglah, Annisa. Biar aku yang melawannya. Aku juga kan bagian dari timmu.” Seica berjalan cepat mendekati Annisa. Memegang tangannya.
Alys terdiam. Biru wajahnya. Sungguh tak menyangka akan ucapan yang dikeluarkan oleh Seica. Ucapan itu sejuta lebih menyakitkan dari hinaan dari Seica.
“Cu-cucurang, berlindung di belakang Seica!! Dasar kau, emm .... Matahari Senja!!”
Suasana terasa hening setelah perkataan Alys yang menunjuk Annisa. “Eh?” Seisi ruangan menatap penasaran gadis berambut kuning itu.
“Al-Alys, apa itu tadi hinaan?” tanya khawatir Sophia.
“Iya, aku menghinanya karena warna rambutnya. Apa aku salah?” Alys bertanya pelan, melirik Sophia. Dia tetap menunjuk Annisa.
“Itu lebih terdengar seperti... pujian, Alys.” Sophia menutup matanya. Tersenyum khawatir padanya.
“Heeh?!”
“Terima kasih atas pujianmu, Putri Alys. Ta-tapi tenang saja, aku yang akan langsung melawanmu.”
“Tapi Annisa!”
“Baguslah kalau begitu. Siapapun yang menang, akan mendapatkan Haikal.” Alys memberikan senyuman semangatnya.
“Lalu bagaimana dengan pendapatku,” Haikal tersenyum khawatir menutup mata.
“Ah, daripada memperebutkanku. Kenapa tidak langsung memperebutkan dirinya? Diantara semua orang di kelas ini, lelaki ini lah yang terkuat.” Haikal melirik ke balakang, ke arah Aeldra.
Aeldra malah tak sadar, ikut berbalik ke belakang, menatap penasaran seseorang yang dilihat oleh Haikal.
“Aku melihatmu,” senyum khawatir Haikal.
“Ah, iya tentu saja. Ma-maaf ...,” Aeldra berwajah cemas, lekas menatap sekitar yang memperhatikan dirinya.
“Haikal benar juga, dia lelaki yang mengalahkan Goblin itu.” Annisa tersenyum kagum menatap Aeldra.
“Hmmm, jadi kau yang mengalahkan Goblin dan menyelamatkan Nia.” Alys berjalan mendekati Aeldra.
Dua insan itu bertemu. Saling memberikan tatapannya. Aeldra tetap diam, tak merespon pernyataan sang putri.
“Siapa namamu?”
“Ae-Aeldra ....”
“Aeldra? Nama yang aneh, tapi aku berterima kasih padamu, Aeldra.” Alys tersenyum, sedikit menundukkan kepala.
“....” Wajah Aeldra memerah ketika melihat senyuman menawannya. Hatinya kembali berdetak cepat. Tangan kanan yang bergemetar dia pegang erat dengan tangan kirinya.
“Tapi jangan terlalu sombong hanya karena kau mengalahkan satu goblin. Sejujurnya aku juga bisa mengalahkannya.
Berapa lama ...? Asal kau tau, aku bisa mengalahkan monster itu –“ Alys mulai bersikap sombong kembali, tapi perkataanya langsung terpotong oleh Aeldra.
“Berapa lama? Berapa lama apanya?” Aeldra bertanya dengan tatapan penasaran pada Alys.
“Berapa lama kau mengalahkannya? Waktumu?” Alys tersenyum menutup mata.
Aeldra terlihat berpikir, mengingat berapa lama lelaki misterius itu mengalahkan goblin itu.
“Maaf aku tidak menghitungnya. Ketika dia datang, aku langsung ledakan tubuhnya,” Aeldra tersenyum khawatir dengan mata tertutup sesaat.
“...!!” sontak, semua orang di sana melebarkan mata. Bergemetar tubuhnya. Mereka ketakutan menatap Aeldra. Termasuk Alyshial yang sedikit membuka mulutnya.
“Eh, ap-apa itu hebat ...?”
“Itu bukan hebat lagi untuk tingkatan kita! Kau juga tau kan, untuk menjadi Front–Liner, subyek harus bisa mengalahkan monster setingkat goblin. Seberapa lama waktunya pun tak masalah. Jika kau bisa mengalahkan monster itu, maka kau tetap akan diangkat menjadi gelar pahlawan itu.” Haikal menjelaskan dengan nada khawatir, dan menatap Aeldra penuh penasaran.
“Rata-rata, orang-orang menyelesaikan tes itu lebih dari 38 menit. Bahkan ada yang sampai 1 jam lebih. Hanya Putri Alyshial saja yang bisa mencapai 28 menit,” khawatir Annisa melirik Alys.
“Bahkan dua serangkai dari Kerajaan Central, yang kini jadi Front–Liner juga tidak seperti dirimu. Mereka yang dijuluki anak jenius dari para jenius itu hanya bisa menyelesaikannya dalam waktu 3 dan 5 menit.”
“Eh, be-benarkah?” Aeldra tersenyum khawatir, tetap mendapatkan tatapan penasaran dari sekitarnya.
“....”
“Ka-kau pasti membual! Itu mustahil! Kau pasti hanya diselamatkan oleh Front-Liner profesional yang datang. Karena kesalahpahaman, kau pasti membuat kebohongan ini!!” Alys terlihat tak terima. Berjalan mundur karena cukup ketakutan.
Menakutkan, tebakan Putri ini benar-benar menakutkan! Hampir semua yang dia katakan mendekati kebenaran!!” batin cemas Aeldra menatap Alyshial.
“Lagipula saat kejadian itu berlangsung Nia tak sadarkan diri. Bisa saja kan dia membual, dan membuat cerita palsu demi memasuki sekolah ini!! Dia pasti –“
“Dia tak berbohong ....” Selenia memasuki kelas, memotong perkataan Alyshial. Wajahnya terlihat kesal karena tuduhan Alyshial pada Aeldra. Ya, meski itu adalah kebenaran.
“Ap-apa maksudmu, Nia? Bukankah kau tak sadarkan diri –“
“Aku memang tak sadarkan diri, Kak. Tapi itu sampai Goblin itu hancur berbekas. Aku tak tau Kak Aeldra mengalahkan goblin itu dengan cara apa.”
“Kalau begitu–“
“Tapi aku sudah sadarkan diri setelah itu. Aku mendengar percakapan Kak Aeldra dengan lelaki itu. Dia memuji kekuatan Kak Aeldra, dan cukup segan padanya. Aku juga melihat luka serius di tangan kanan lelaki itu. Luka di dada Kak Aeldra. Mereka terlihat baru saja selesai bertarung! Pertarungan yang hebat dan berbahaya menurutku.”
“Le-lelaki itu? Siapa maksudmu, Nia?” Haikal bertanya dan menatap Nia penuh penasaran.
“Aku tidak tau siapa dia, tapi dia terlihat sangat kuat. Memakai jubah coklat, topeng berwarna ungu kehitaman.”
“Tu-tunggu, Nia .... Jika memang seperti itu ciri-cirinya, bukankah orang itu adalah ‘dirinya’? Buronan yang paling dicari setelah Penyihir Hitam.” Annisa bertanya gugup. Terlihat sangat ketakutan hingga bergemetar tubuhnya. Seica juga terlihat memegang baju Annisa sangat erat, menangis kecil dan ketakutan.
“Dirinya ...?” Nia bertanya, menatap Annisa penasaran.
“Ta-tangan kanan penyihir hitam Engelina. Sang pengkhianat yang mengikuti jejak ayahnya, anak pertama Sang Demigod .... Hardy D. Mayfield.” Sonia menutup mata amat rapat, keringat dingin terlihat di sekitar wajahnya. Tubuhnya pun tak pernah berhenti bergetar. Gadis yang selalu terlihat tenang itu juga merinding ketakutan setelah mengingat lelaki yang dimaksud.
Kak Hardy ...!?” Alyshial bergemetar, ingin menangis ketika mendengar namanya.
Para siswa saling berbisik, menatap penasaran Aeldra yang hanya bisa diam, tak bisa menjawab, apalagi membantah.
“Apa aku tidak salah dengar, jika dia yang saat ini sudah setara dengan salah satu jendral iblis Gehena.” Annisa tersenyum khawatir melirik Haikal.
“Ya, aku juga mendengarnya seperti itu. Sekarang pertanyaannya, seberapa kuat kau sampai bisa memukul mundur lelaki semacam itu!?”
“....” Semua orang menatap Aeldra sangat dalam. Beberapa ada yang menaruh kagum padanya, bahkan sampai ketakutan setelah mendengar percakapan para pangeran dan putri kerajaan.
Aeldra hanya bisa tersenyum cemas. Bergumam dalam hati terdalamnya. Mulai menutup mata, mengkerutkan dahinya ke atas. Kebingungan menjawab pertanyaan Haikal.
Alih alih tak mau rahasiaku terbongkar, kesalahpahaman sebelumnya malah bertambah besar. Aku pasti dihukum mati jika rahasiaku terbongkar ....”

***

            Langit sudah berubah jingga. Tanda mulai menggelap, dan hari yang panjang sebentar lagi berakhir. Sebagian siswa pun sudah pulang kembali ke asrama mereka.
            Ketika Aeldra berjalan menuju asrama, dia sendirian. Para siswa lekas memberi jalan padanya. Rumor itu sudah tersebar luas, akan betapa kuatnya lelaki bernama Aeldra.
            Selain itu, luka bakar di sebagian wajahnya membuat dia disegani dan ditakuti. Tidak hanya para siswa saja, tapi para guru juga mulai mewaspadai dirinya.
            Kesalahpahamannya benar-benar semakin memburuk. Membuat dia kesulitan mendapat teman.
            “Ah, lebih baik aku menonton pertarungan itu saja.” Aeldra mulai menghentikan langkah. Tatapan para siswa kembali tertuju padanya. Dia benar-benar diwaspadai semua orang.
            “Astaga, ini yang terburuk ....” Aeldra membuang nafas. Lekas berbalik, dan berjalan menuju lapangan tempat untuk latih tanding.
            Putri Alyshial sudah bertarung dengan Annisa di sana. Pertarungan khusus yang tidak bisa disaksikan sembarang orang.
            Beberapa saat kemudian, Aeldra menghentikan langkah, tepat di depan bangunan megah yang mirip seperti stadion, atau mungkin lapangan gladiator.
            Lelaki berpakaian serba biru, berdiri di pintu  luar. Menjaga sekitarnya.
            Pasukan elit yang tidak kalah terkenalnya dengan Front–Liner. Pasukan utama keamanan kota, Adjoin.
            “Maaf, tempat ini sudah dipesan khusus oleh anggota kerajaan. Tidak sembarang orang bisa masuk.”
            “Ah, saya Aeldra. Putri Selenia yang mengundangku ke dalam sini.”
            “Ah, jadi anda orangnya. Si-silahkan masuk ...,” petugas itu terlihat segan. Bersikap sangat sopan mempersilahkan masuk Aeldra.
            Bahkan mereka juga ...,” datar Aeldra menutup mata sesaat sebelum pada akhirnya berjalan memasuki stadion.
            Lelaki itu sampai di ujung lapangan. Terdiam, terpukau melihat lapangan megah yang ia masuki. Dia benar-benar berpikir keras akan alasan kenapa lapangan semegah itu hanya digunakan untuk latihan.
            Memang benar banyak wilayah kosong di benua ini, karena penduduknya yang bisa dikatakan sangat sedikit, mungkin amat sedikit.
            Tapi dia tetap saja tak mengerti dengan pikiran para bangsawan, khususnya para anggota kerajaan.
            Perhatiannya langsung teralihkan oleh pertarungan cukup hebat. Annisa terlihat bersusah payah melawan sang putri Kerajaan Skyline.
            Annisa membuat perisai angin kuat di depannya. Angin itu berputar kencang, berniat menahan tombak es atau mungkin kristal milik Alyshial.
            Tapi daya tahan tombak itu sangat kuat, tak retak sedikitpun. Shingga langsung menghancurkan pertahanan Annisa dengan mudahnya.
            Gadis berwarna rambut jingga itu melompat ke samping kanan. Berwajah cemas karena serangan Alyshial yang sudah di depan mata.
            Tombak itu menancap tanah, cukup dalam. Sekitarnya dalam radius 1m mulai membeku. Sungguh terlihat berbahaya.
            Annisa berwajah ketakutan, lekas berdiri dan berlari. Menghindari serangan Alyshial.
            Tapi saat dia menatap ke depan. Sudah ada belasan jarum es tajam yang melayang di sekitarnya. Itu akhir baginya. Dia hanya terdiam, menundukkan kepala dengan wajah ketakutan.
            “Sudah cukup!!” Haikal berteriak keras dari arah bangku penonton. Aeldra menatap penasaran dirinya. Semua orang di sana juga memperhatikan Haikal yang berteriak.
            “Tenanglah ..., aku tak akan melukainya,” Alyshial tersenyum kesal. Mengangkat tangan kirinya ke atas sangat cepat. Seluruh kemampuannya menghilang dalam seketika.
            [[ Winner Alyshial S. Ramony ]]
            Alys mengusap sebagian keringat di wajah. Dia juga terlihat kelelahan karena pertarungan itu.
            Ah, aku terlambat datang. Mungkin pertarungan mereka lebih dari tiga puluh menit tadi ...,” batin Aeldra, berpikir sambil menyentuh dagunya.
            Nia berlari mendekati salah satu sahabatnya, Annisa. Wajahnya terlihat khawatir. Bertanya pada dia yang bercucuran keringat.
            Haikal juga berjalan mendekati Annisa, berwajah khawatir dan merasa bersalah.
            “Sesuai perjanjian, mulai saat ini kau bergabung dengan kelompokku, Haikal.“
            “Tapi ...,” khawatir Haikal menatap Annisa yang terus mengambil nafas kelelahannya.
            “Tidak, Putri Alys. Sejak awal, taruhan yang anda dan Annisa ciptakan itu tak mendapatkan persetujuan dari Haikal. Kalian hanya saling membenarkan perjanjian yang belum jelas itu.” Aeldra berjalan memasuki lapangan. Tersenyum kecil menatap Alyshial.
            “Haah?! Be-berani sekali ka –“ Alyshial terlihat gugup karena cukup ketakutan.
            “Aku benar, kan?” Aeldra menutup mata perlahan, lekas melirik Haikal.
            “Ya, di-dia benar. Aku tak menginginkan pertarungan ini.”
            “Nah ..., Haikal juga memiliki hak untuk menentukan timnya. Sekarang pertanyaanya, apa kau ingin masuk tim Annisa atau Putri Alyshial?”
            “Ak-aku memilih tim Annisa,” Haikal membuang wajah dari Alyshial. Annisa menatap Haikal sangat lebar. Wajahnya memerah, terlihat begitu menawan.
            “Kau dengar sendiri, kan?” Aeldra melirik Alyshial.
            Alys sontak menundukkan kepala. Panas hatinya, karena merasa terhina dan direndahkan. Dia marah, bukan pada Haikal. Tapi pada lelaki berambut hitam yang memiliki luka bakar di wajah.
            Dia menatap tajam Aeldra. Sangat tajam, membuat Aeldra mengalihkan pandangan. Tak berani membalas tatapannya.
            “Aku membencimu.” Semua orang terkejut dengan pernyatan langsung Alys pada Aeldra.
            “Anda memang seorang Putri. Tapi itu bukan berarti anda bisa mendapatkan apapun. Setidaknya anda tidak bisa memaksakan kehendak sendiri hingga merebut hak orang lain.”
            Alyshial terdiam melebarkan mata. Terkejut akan perkataan yang pernah diucapkannya kini dikeluarkan oleh Aeldra. Lebih buruk dari itu, perkataan itu ditunjukan pada dirinya sendiri.
            Gadis berambut kuning lemon itu menundukkan kepala kembali. Semakin panas hatinya. Harga dirinya yang begitu tinggi seakan dihancurkan oleh perkataan Aeldra.
            Dia berjalan cepat menuju pintu keluar, menyenggol keras tubuh Aeldra. Seolah memberikan intimidasi yang kuat.
            “Aku tak takut lagi padamu. Akan kuhancurkan kau di tunamen nanti.” Dia melirik sinis Aeldra. Sangat dalam hingga menyakiti hatinya. Lalu berjalan cepat, meninggalkan tempat latihan bersama sahabatnya, Sophia. Tentunya, dengan penuh kemarahan.
            “Aeldra, terima kasih. Kau benar-benar membantuku ....” Haikal langsung mengecilkan suara. Terdiam dan memberikan tatapan pensaran Aeldra yang terlihat aneh.
            Aeldra tersenyum kecil. Tapi entah kenapa wajahnya itu sedikit membiru seolah sedang ketakutan.
            Ba-bagus, sekarang aku malah membuat marah gadis yang kukagumi. Lebih buruk dari itu, dia juga terang-terangan ingin menghancurkanku–“
            “Kak Aeldra ...?” Nia mulai menyentuh pundaknya dan bertanya dengan nada cemas.
            “Ah, ya. Ada apa!?” Pikiran Aeldra langsung dihancurkan oleh sentuhan gadis berambut hitam itu.
            “Kakak baik-baik saja?” tanya Nia kembali, menatap Aeldra cukup dalam.
            “Aku baik-baik saja. Tapi yang lebih penting, kenapa kelompok kalian tidak disatukan saja? Lagipula memang apa gunanya membentuk kelompok seperti ini?”
            “Ini kelompok untuk turnamen nanti. Kelompok ini memiliki maksimal 3 orang, mustahil bagi kami untuk bersatu.”
            “Ohh, turnamen 2 miliar itu?!” Aeldra melebarkan mata dan senyuman.
            “Eh, turnamen 2 miliar?” Seica bertanya, melirik Haikal dan Annisa. Tapi keduanya hanya menggelengkan kepala, tak tau maksud si lelaki bermata biru.
            “Ah, jangan terlalu dipikirkan, Seica. Itu hanya panggilanku pada turnamen itu,” khawatir Aeldra menatap Seica. Gadis manis itu hanya menganggukan kepala sambil kembali menatap Aeldra.
            “Jadi, Aeldra. Ap-apa kau berniat mengikuti turnamen ini?” tanya Haikal. Nada suaranya terdengar gugup dan penuh kecemasan.
            “Tentu saja!!” Aeldra berteriak, terlihat bersemangat. Tubuhnya bergemetar, tak sabar ingin mengikuti turnamen itu. Atau mungkin ingin uang hadiahnya.
            Seluruh orang di sana terkejut dan melebarkan mata. Lekas membuang wajah mereka yang cukup ketakutan. Sesaat, mereka melirik satu sama lain dengan tatapan khawatirnya.
            Ah, tapi bagaimana caraku untuk menang? Aku ini hanya manusia biasa. Hmm ..., cara satu-satunya hanyalah mencari Kineser sangat kuat, hingga aku tak perlu ikut bertanding.”
            “Ae-Aeldra ...? Ka-kau yakin tentang ini? Tak perlu mengikuti turnamen ini pun, kau sudah bisa masuk Front–Liner. Setidaknya berikan peluang untuk kami,” Annisa mulai berdiri, tersenyum khawatir menatap Aeldra.
            “Benar yang dikatakan Annisa. Tujuan apa yang kau capai sampai lelaki sekuat dirimu mengikuti turnamen kecil ini?” Haikal ikut bicara, masih memberikan ekspresi cemasnya.
            Kampret ..., aku benar-benar lupa akan pandangan mereka tentangku.” Aeldra tersenyum khawatir. Berbicara dalam hatinya sendiri.
            “Te-tenang saja. Aku tidak akan ikut bertanding. Aku tak akan memasuki arena.  Biar seluruh rekan timku yang maju.” Aeldra membuang pandangan dari sekitar, tak lupa tetap memberikan senyuman khawatirnya.
            “Lalu tujuan Kakak mengikuti turnamen ini?” Seica bertanya, memiringkan sedikit kepala. Masih terlihat menggemaskan.
            Aku tak bisa bilang ingin uang hadiahnya yah. Tapi ....”
            “Aku ingin ikut berpatisipasi dalam acara tahunan ini,” Aeldra tersenyum ramah pada Seica dan yang lainnya. Mereka bertiga kecuali Nia melebarkan mata. Terkejut mendengar perkataan sederhana miliknya. Sungguh tak menyangka dengan jawaban dari Aeldra.
            Nia terlihat menyentuh seragam Aeldra. Menundukkan kepala, dan bertanya dengan nada pelan.
            “Kau yakin... ak-akan membiarkan rekanmu ikut bertempur? Meski dia... yang terlemah sekalipun?”
            “Ya, akan kubiarkan bertarung. Dia memiliki hak untuk itu. Meski dia terlemah –“
            “Eh, terlemah!?” Aeldra langsung bertanya penasaran, menatap khawatir Nia.
            “Ya terlemah. Kineser terlemah di sekolah ini. Sang Putri yang tak memiliki bakat seperti para pangeran dan putri kerajaan yang lainnya.” Nia masih menundukkan kepala, meski kini matanya tertutup rapat.
            “Nia ...” Seica dan Haikal saling melirik satu sama lain. Memberikan tatapan penuh keprihatinan pada Nia.
            Aeldra tersenyum, menutup mata sesaat. Dia mengelus pelan kepalanya sambil berkata. “Meski dia yang terlemah, akan kusuruh dia bertarung. Dia juga berhak mendapatkan pengalaman bertarung itu.”
            Nia membuka mata, sangat lebar. Hatinya berdetak sangat cepat, wajahnya memerah. Dia lekas mengangkat kepala, menatap Aeldra dengan senyuman yang lebar.
            “Ijinkan aku masuk dalam kelompokmu!! Kumohon!!”  Nia berteriak amat keras, membuat semua orang di sana terkejut.
            “Ya, kau bisa bergabung dalam kelompokku. Mohon kerja samanya, Nia.” Aeldra membalas senyuman lebarnya. Menutup mata sambil mengusap kepala Nia.
            “Aku juga mohon kerja sama. Aku Putri Selenia, yang mendapatkan julukan Sang Terlemah akan berusaha sekuat mungkin agar bisa membawamu menjadi juara!” Nia tersenyum lebar. Terlihat amat sangat bahagia ketika seseorang membutuhkan kekuatannya.
            Haikal, Seica, dan Annisa tersenyum. Saling melirik satu sama lain. Mereka bahagia melihat kelompok Nia yang baru saja terbentuk.
***