WAKTU ISTIRAHAT
(Translater : Zerard)

Cahaya matahari hangat menyinari dari langit, dan angin sejuk berhembus meniup air. Orang-orang bercakap ria di pasar, menikmati diri mereka.
Di tempat di mana terdapat banyak orang dengan berbagai ras dan kepercayaan yang berbeda berkumpul, petualang bukanlah pemandangan yang aneh. Namun kebanyakan petualang bukanlah seorang Priestess muda dan seorang pria menggunakan helm baja di kepalanya di tengah-tengah kota di siang bolong.
“Aku senang banget cuacanya bagus!”
“Ya.”
Priestess berjalan di belakang Goblin slayer, bibirnya tersenyum ceria. Dia berjalan dengan berhati-hati, menggendong sesuatu di lengannya.
“....Mau aku yang memegangnya?”
“Nggak, aku nggak apa-apa kok.” Dia membalas dengan senyuman.
“Baiklah.” Kata Goblin slayer, mengangguk seraya dia memperlambat langkahnya.
Tidak lama kemudian pundaknya sejajar dengan kepala Priestess, dan Priestess melirik mengarah helmnya. Gerakan itu terlihat seperti anak anjing yang sedang menikmati jalan pertamanya.
Para pejalan kaki melihat mereka seraya mereka berlalu; pedagang melirik dari toko mereka. Priestess membuka mulutnya untuk bertanya soal ini tapi pada akhirnya dia menutupnya kembali tanpa mengatakan apapun. Dia adalah Goblin slayer. Tidak di ragukan lagi bahwa dia tidak mempedulikan semua ini.
Apa yang akan teman mereka pikirkan jika mereka melihat ini? Priestess tidak bisa membayangkannya.
Akan tetapi, Priestess tahu, bahwa High elf archer, Lizard priest, dan Dwarf shaman berada di bawah kaki mereka pada saat ini.
“Oke, Orcbolg! Kamu santai aja sekarang!”
“Kami akan kekurangan satu petarung garis depan dan satu pembaca mantra. Kami tidak akan mengambil resiko yang tidak di perlukan.”
“Tapi biar aku kasih tau kamu apa yang beresiko: seorang warrior tanpa armor!”
Tiga petualang telah memberikan pendapat mereka pada saat mereka makan. Priestess yang masih belum merasa seperti dirinya yang biasanya, hanya dapat menundukkan kepala dan memohon maaf.
Namun apa yang membuat mereka terkejut, adalah respon Goblin slayer yang cukup blak-blakan:
“Terima kasih. Aku serahkan pada kalian.”
Priestess masih belum dapat memahami apa yang berada di dalam hati Goblin slayer, tapi sekarang dia sudah cukup tahu bagaimana pola pikir Goblin slayer.
Para goblin menggunakan ruang makam sebagai tempat penyergapan, yang berarti itu merupakan daerah kekuasaan mereka. Itu artinya para petualang harus mencari tangga tersembunyi yang mereka temukan di balik peti batu, sebuah alasan lain selain sang champion yang masih hidup.
Pertarungan tersebut tentu saja melemahkan para goblin, namun itu juga berdampak sama dengan party mereka.
Dan waktu sedang berada di sisi para goblin.
Party mereka memiliki ranger, monk, dan pengguna magic yang kompeten, dan mereka tidak mempunyai waktu untuk membuang waktu mereka. Sementara ini, sang warrior dan sang Priestess akan tetap tinggal dan mengistirahatkan pikiran dan tubuh mereka dan memperbaiki perlengkapan mereka agar dapat siap pada explorasi berikutnya.
Akan tetapi, terdapat satu masalah.
Mungkin karena banyaknya pelanggan, workshop pada guild petualang di sini tidak menerima pesanan khusus. Ketika Goblin slayer meminta armor kulit, sebuah perisai, dan sebuah pedang, dia telah di tolak dengan gelengan kepala perlahan.
Singkatnya, dia telah bertekad untuk pergi keluar dan membeli apa yang dia butuhkan, dan Priestess berkata bahwa dia akan pergi bersamanya. Priestess menanyainya  terus menerus, walaupun dia telah memberikan jawaban yang jelas...
“Aku tau mereka semua mengkhawatirkanmu. Apa kamu yakin kamu baik-baik saja?”
“Ya.”
“Lukamu sudah sembuh?”
“Ya.”
“Lukamu lebih parah dari lukaku.”
“Ya.”
“Kamu sadar untuk nggak melakukan hal bodoh sekarang, kan?”
“Ya.”
“Hrm.” Priestess menggembungkan pipimya dan berhenti berjalan.
Goblin slayer tetap berjalan beberapa langkah sebelum dia menyadarinya. Dia berhenti dan melihat ke belakang; Priestess hanya menatapnya. Goblin slayer memiringkan kepalanya, tidak mengetahui permasalahannya.
“Kenapa?”
“....Ihhhh! Apa maksudmu , ‘Kenapa’?” Priestess menunjuk Goblin slayer dengan jarinya. “Aku marah!” Dia mengkerutkan alisnya sebisa yang dia mampu, namun gagal untuk mengintimisdasi.
Sebagian karena, tatapan dari orang-orang di sekitar mereka. Mereka pasti berpikir bahwa kedua petualang tersebut adalah pasangan yang sedang ribut atau mungkin mereka saudara yang sedang bertengkar. Siapa yang tahu? Para pejalan kaki melihat mereka dengan penuh curiga pada awalnya, namun tidak lama beberapa senyum muncul di antara mereka.
“Pak—Goblin slayer! Ya hanyalah satu-satunya yang kamu ucapkan selama percakapan kita!”
“Benarkah?”
“Benar!”
“Benarkah...?”
“Dan kamu banyak mengucapkan ‘Benarkah’ juga!”
“...Hrm”
Goblin slayer melipat tangannya dan berpikir.
Mereka berdua berdiri terdiam, di kelilingi riuhnya jalanan. Burung-burung terbang berlalu melintasi langit biru di atas mereka seraya Goblin slayer bergumam akan sesuatu selama beberapa saat. Akhirnya, dia memberikam anggukkan pelan.
“....Aku akan berubah.”
“Tolong di lakukan!” Priestess berkata dan tertawa kecil.
Ketika seorang petualang yang memiliki sikap seserius ini berkata dia akan berubah, sudah pasti dia akan melakukannya. Mereka hanya mengenal satu sama lain dalam beberapa bulan, namun Priestess yakin akan hal itu.
Priestess berjalan kembali dengan langkah riang, dan Goblin slayer mengikutinya. Tidak lama kemudian, mereka kembali berjalan bersampingan, Sekali lagi Priestess sejajar dengan pundak Goblin slayer. Entah mengapa , ini membuatnya sangat bahagia.
“Kamu bilang sesuatu tentang berbelanja...?”
“Ya,” dia menjawab, kemudian mengangkat tangannya seolah-olah ingin mengatakan tunggu. Sepertinya dia memiliki sesuatu untuk di tambahkan.
Sebuah tawaan kecil kembali terlepas dari bibir Priestess melihat sikap tenggang rasanya yang tidak terlatih.
“Aku akan melihat beberapa senjata dan armor. Punyaku sudah rusak.”
Helm Goblin slayer berputar mengarahnya. Helm itu menyembunyikan wajahnya dan ekspresi lainnya, namun mata merah bersinar redup di dalamnya.
“Apa yang mau kamu lakukan?”
“Hmmm...” Priestess meletakkan satu jari kurusnya ke bibirnya dan memiringkan kepalanya. Angin mengangkat rambutnya, meniupnya ke belakang kepalanya.
Dia mengetahui jawaban apa yang akan di katakannya adalah sesuatu yang sudah sangat jelas, tetapi...
“Kamu benar-benar mencoba bertanya apa yang ku pikirkan?”
“Aku rasa begitu.”
“Ya ampun...”
Goblin slayer sepertinya berpikir bahwa jawabannya sangatlah cukup wajar. Priestess menghela nafas. Untuk sementara membiarkannya. “Baju besiku juga rusak,” dia menjawab dengan sigap, menenangkan ekspresinya. “Aku pikir akan ada tempat yang dapat memperbaikinya.”
“Akan lebih cepat kalau kamu beli baru.”
Jawaban Goblin slayer benar-benar datar.
Dia benar-benar nggak mengerti. Priestess melihat dirinya dengan setengah mata tertutup.
“Aku nggak mau.”
“Kenapa nggak?”
Kali ini adalah giliran Goblin slayer yang kebingungan.
Priestess meremas bungkusan yang berisikan baju besinya dan bergumam,
“Karena...ini adalah hal pertama yang aku lakukan yang membuatmu memujiku.“
Goblin slayer berhenti dan melihat Priestess.
Priestess memperlihatkan bungkusan di lengannya itu seakan-akan untuk menunjukkan kepadanya sebuah harta karun. Malu, Priestess mengalihkan matanya.
“Kamu nggak ingat? Kamu bilang nggak jelek dan akan menghentikan pedang.”
“Apa benar?” Suaranya terdengar tegang, dan kemudian dia berbisik, “Aku rasa memang benar.”
*****
Mereka memasuki sebuah toko perlengkapan yang terlihat cukup mewah.
Dentangan palu yang memukul metal terdengar dari bagian dalam toko. Senjata dan armor di pajang di dalam interior yang redup. Toko ini memiliki suasana yang berbeda dengan workshop di dalam guild.
“Wow...” Priestess berkedip beberapa kali, takjub dengan apa yang di lihatnya.
Toko ini penuh akan senjata yang dia tidak pernah lihat sebelumnya, armor yang dia tidak tahu bagaimana cara memakainya, dan yang lain-lain. Dia menyadari terdapat satu senjata yang dia kenali di antara semua ini dan mengangkatnya perlahan dengan hembusan nafas lembut.
“Mereka bahkan punya flail.” Senjata ini terdiri dari dua stik dengan metal berat yang terhubung dengan sebuah rantai; Konon senjata ini berasal dari alat pengirikan. Murid Ibunda bumi di kenal sering menggunakannya, Dan Priestess sedikit membusungkan dadanya bangga akan pengetahuan sederhananya.
“Mau beli itu?”
“Nggak...” Priestess memeriksa ruangan ini setelah menjawab pertanyaan Goblin slayer. Dia tidak memiliki keberanian untuk berdiri di garis depan party, dan untuk perlindungan pribadi, dia telah memiliki tongkat bunyinya. “...Aku rasa nggak.”
Priestess secara hati-hati meletakkan kembali flail tersebut ke dalam raknya, dan mulai menyadari seorang pria yang sepertinya adalah penjaga toko ini.
“Um, permisi...”
“Hmm?” Pria itu menatapnya, dan Priestess menunduk melihat lantai.
Pria tersebut masih muda, mungkin sekitar dua puluh tahun, namun dia memiliki sebuah aura seorang anak remaja yang baru saja tumbuh dewasa.
Dia tidak terlihat kumal. Bajunya rapi, rambut dan jenggotnya tersisir dengan baik. Namun jawaban tidak bersemangatnya membuatnya terlihat dingin.
“Hrm. Selamat datang, ada yang bisa di bantu?”
“Ah, ahem... Bisakah kamu...perbaiki baju besi ini?”
Priestess memperlihatkan armornya dengan ragu-ragu, dan penjaga toko memperhatikan dengan seksama. Kemudian, penjaga toko menggapai masuk ke dalam lubang di pundak baju besi itu, melebarkannya, dan menghela nafasnya.
“Lubang yang besar sekali. Apa nggak lebih baik beli baru saja?”
“Kalau bisa...aku ingin diperbaiki saja...”
“Perbaiki, baiklah. Pelanggan selalu benar...”
Pria itu melirikkan matanya pada lengan kurus Priestess. Bimbang, mesum, dia melirik keseluruhan tubuh Priestess seakan-akan ingin melahapnya.
“Perlu di modifikasi, nona?”
“Ng-nggak terima kasih...!” Priestess menggelengkan kepalanya, tersipu malu di pipinya.
Apakah memang seperti ini penjaga toko pada kota ini memperlakukan pelanggannya? Akan sangat tidak terbayangkan jika ini terjadi di perbatasan.
Ataukah dia hanya menganggap remeh Priestess karena terlihat jelas bahwa dia adalah seorang pemula? Pikiran itu menyakiti hatinya.
“Aku butuh perbaikan juga.”
Adalah Goblin slayer. Ketika Priestess mengangkat matanya kembali, matanya di hadapkan dengan punggung berlapis besi.
Berhadapan dengan helm baja kotor, penjaga toko mengeluarkan suara tersedak.
“Ting-tingkat s-silver...” Suara penjaga toko bergetar. Sepertinya dia telah menyadari plat silver yang menggantung di leher Goblin slayer. “Ah, ba-baik pak. Perbaikan. Tentu saja pak.”
“Armor kulitku dan perisai bulatku. Kalau bisa cepat. Bersama dengan baju besi itu.”
“Ap-apa mau di bersihkan? Dan sepertinya perisai anda kehilangan pegangannya...”
“Jangan di bersihkan. Dan aku sendiri yang melepas pegangannya.”
“Ahem, untuk pembayarannya, pak, termasuk dengan ongkos kilatnya...”
“Jangan khawatir.”
Tanpa ragu, Goblin slayer merogoh isi tasnya dan meletakkan sebuah kantung kulit di meja penjaga toko. Terdengar suara keras di saat kantung itu mendarat di atas meja. Koin emas kekuar dari mulut kantung itu.
“Te-terima kasih, pak...!”
“Aku perlu melihat perlengkapan pedang-pedang yang kamu punya.”
“Oh, um, Saya punya pedang mithril untuk saat ini!”
“Aku nggak butuh.”
Langkah sigap, tidak peduli menuntunnya pada suatu tempat di mana berbagai macam variasi pedang terpajang di dinding. Dia mengambil satu pedang bermata dua yang benar-benar biasa. Pedang tersebut memiliki gagang yang panjang: sebuah pedang “setengah tangan” (TL note : aku juga bingung.)
“Ahh, jika itu tipe pedang yang anda sukai, pak, Saya punya pedang yang di tempa oleh dwarf....”
“Terlalu panjang.”
Dia mengembalikan pedang tersebut pada raknya, kemudian kembali melihat-lihat barang dagangan lainnya hingga tiba pada sebuah pedang bermata satu kecil.
“Apa anda lebih menyukai pedang pendek, pak? Saya punya satu yang sudah di bubuhi mantra  yang di temukkan pada sebuah reruntuhan...”
“Di bubuhi mantra?”
“Benar, pak!” Suara penjaga toko naik sati oktaf. “Itu akan membuat pedang anda terhindar dari ketumpulan, tentu saja, dan juga akan menimbulkan suara alarm ketika ada musuh di dekat anda.”
“Aku nggak butuh.” Nadanya setajam sebuah senjata. “Aku ambil ini. Sedikit panjang, tapi aku bisa mengasahnya menjadi lebih pendek. Aku pinjam batu asahmu selagi kami menunggu barang kami di perbaiki.”
“Ta-tapi, pak... dengan pedang seperti itu, satu-satunya yang anda lakukan adalah memburu...goblin...”
“Itu memang tujuanku.”
Sang penjaga toko tidak dapat menjawab.
Namun Goblin slayer, seperti biasanya, tidak menyadarinya. Mungkin dia mencoba untuk mengatakan kepada Priestess: Jangan di ambil hati.
Goblin slayer sangatlah sulit di terka.
Priestess berubah merah dan menghela lembut nafasnya.
*****
“Hee-hee... Ah-ha-ha-ha-ha-ha!”
“Apa?”
“Ka-karena kamu—Dia—”
Seraya mereka meninggalkan toko setelah perbaikan mereka selesai, sebuah angin siang menyambut mereka. Langit biru dengan matahari musim panas, dan gemericik arus di  dekat mereka sangatlah terdengar nyaman di telinga.
“A-aku tau aku seharusnya nggak boleh ketawa, tapi...”
Priestess mengelap  air mata dari ujung matanya, tawanya sejelas dentang lonceng.
Sang penjaga toko yang kebingungan mencoba mengatakan sesuatu seraya Goblin slayer mengasah pedangnya mejadi lebih pendek dan lebih pendek lagi, tapi—
“’Aku cuma akan melemparnya; nggak masalah’!”
“Itu benar kan?”
“Tapi ekspresi yang tergambar di wajahnya! Benar-benar luar biasa!”
“Benarkah?”
“Ya, benar!” Priestess akhirnya dapat menenangkan dirinya di tengah tawanya.
Dia sadar bahwa sikap ini sangat tidak pantas bagi murid Ibunda Bumi, namun tetap  saja dia merasa terhibur. Hati nuraninya menegurnya, karena itu dia mengirimkan sedikit doa: Sesekali saja nggak apa-apa, kan?”
Dan pada saat itu...
“Mendekatlah! Rasakan rasa lezat yang meleleh di lidah anda! ‘Es krim’! Dan nikmati sensasinya!”
Suara berteriak di tengah-tengah keriuhan, bersama dengan denting lonceng tangan.
“Es krim...?”
Rasa penasaran membuat Priestess berdiri terdiam dia depan kios yang padat. Anak-anak kecil bersorak ria dan berlari melintasi jalan aspal untuk memberikan uang mereka.
“Aku penasaran apa yang di jual di tempat itu.”
Dari jarak ini, sulit untuk mengetahuinya, namun jika di lihat dari ekpresi anak-anak kecil, pastilah semacam makanan manis.
Priestess melirik Goblin slayer, yang kemudian mengangguk dan berkata, “Pergilah.”
“Baik, pak! Terima kasih!”
Priestess anggukan kepalanya, tersenyum lebar dan berlari, rambutnya berayun di belakang kepalanya.
Dia sedikit malu karena harus antri dengan anak-anak kecil, tapi...
Aku sendiri masih baru lima belas tahun.
Hanya berbeda dua atau tiga tahun, dia berkata pada dirinya sendiri. Dan  akhirnya dia mendapatkan manisan tersebut untuk dirinya.
Es krim terlihat seperti es putih yang meleleh. Es krim tersebut memiliki ceri merah di atasnya, mungkin untuk menambahkan variasi  warnanya. Priestess menyendok es krim tersebut dari kulit renyah berbentuk mangkuk. Masuk ke mulutnya.
“W-wow!”
Dengan instan, pipinya tersipu, dan senyum mekar di wajahnya. Dia menoleh mengarah Goblin slayer dengan campuran terkejut dan kegirangan.
“Ini Enak banget! Ini dingin dan manis—!”
“Kamu suka?”
“Suka banget! Di kuil, kami nggak punya banyak kesempatan untuk makan makanan yang manis...” dia tersenyum malu dengan tawaan kecil. “Aku merasa seperti sudah melanggar peraturan...sedikit.”
“Begitu. Hmm. Es krim.”
Goblin slayer memperhatikan kios yang penuh akan antusiasme anak-anak kecil.
Es krim tersebut di simpan di sebuah wadah metal yang dingin. Dan di keruk dengan sebuah sendok dan di tumpuk di atas sebuah mangkuk. Sejauh mata memperhatikan, tidak ada tanda sebuah magic di gunakan.
Dengan kata lain, penjaga toko berkulit coklat itu tidak tampak seperti seorang wizard.
“....Ini bukan mantra. Bagaimana kamu membuatnya?”
“Yahhh, Bagaimana cara kerjanya juga masih sebuah misteri bagiku.” Sang penjaga toko tidak terlihat terganggu dengan pertanyaan itu; dia berlanjut dengan senyuman seraya dia membuka penutup wadah. “Seorang professor menemukan bahwa air akan lebih cepat dingin jika kamu memasukkan beberapa takmurnian di dalamnya.” (TL Note : Takmurnian = bahan asing yg terdapat dl bahan semipenghantar.)
“Hmm?”
“Dan kalau kamu menambahkannya lebih banyak lagi ke es nya, maka es nya akan jadi lebih dingin.”
“Begitu.”
“Mau anggur dingin? Mudah saja dengan ini, percaya padaku—buah juga bisa.”
“Hmm.”
“Jadi professor itu berpikir, bagaimana kalau di coba dengan susu sapi? Dan jadi lah es krim!”
“Aku mengerti. Sangat menarik.” Dia terdengar seperti anak kecil yang telah mempelajari rahasia trik sulap. Nadanya sangatlah berbeda dengan biasanya yang membuat Priestess berkedip beberapa kali.
Goblin slayer mengambil sebuah koin emas besar dari kantungnya dan memberikannya kepada penjaga toko.
“Tolong satu. Simpan kembaliannya.”
“Baik, pak!”
Penjaga toko yang bersemangat menyendok es krim dengan gerakan yang terlatih. Goblin slayer memperhatikannya, terpaku.
“....Hee-hee.”
Goblin slayer melihat ke belakang, terheran dengan tawa kecil yang terlepas dari bibir Priestess.
“Apa?”
“Nggak apa-apa. Aku akhirnya baru sadar kenapa kamu bisa mengetahui banyak hal, pak.”
“....Begitu.”
Mungkin akan sangat baik untuk duduk dengan tenang daripada berdiri selagi mereka makan. Mendengar saran Priestess, mereka berdua duduk di sebuah bangku di pinggir jalan.
Mereka duduk bersampingan, menyendok es krim masuk ke mulut mereka dan menikmati sensasi dingin dan manis pada lidah mereka, seraya memperhatikan keramaian berlalu lalang.
Pada saat Priestess melirik ke samping, dia melihat Goblin slayer makan melalui celah helmnya, seperti biasanya.
Cahaya matahari hangat tersaring dedaunan. Angin sejuk bertiup melintasi air. Orang-orang bercakap ria. Pria dan wanita dengan pakaian yang rapi berlalu lalang, sedangkan anak-anak kecil berlari-larian dengan senyum di wajah mereka. Kereta kuda berbarisdengan rapi di atas batu ubin.
“Ini sangat aneh,kan?” Priestess berbisik, mengkerutkan alisnya melihat pemandangan. “Nggak satupun dari mereka yang menyadari adanya goblin tepat di bawah kaki mereka...”
“....Ya.”
“Beberapa orang sudah terluka, dan aku yakin...mereka mungkin takut akan itu, tapi...”
Tapi tidak ada seorangpun yang terlihat peduli. Tidak penjaga toko pada toko senjata. Tidak penjual es krim.
Bagaimana dengan kota perbatasan tempat dia tinggal? Dia merasakan ancaman monster sangatlah nyata dan dekat, namun...
“...Saat aku masih kecil...”  dia bergumam.
“Apa...?”
“Ada masa di mana aku pernah berpikir jika aku mengambil satu langkah, bumi akan terbelah di bawah kakiku dan aku akan mati.”
“Huh...?”
Gerakan sendok terhenti di tangan Priestess seraya Goblin slayer berbicara.
“Aku sama sekali takut untuk berjalan.”
Ceri terjatuh dari atas es krim Priestess yang meleleh dan bergulung hingga ke bagian bawah. Dia menghiraukannya dan berfokus mengarah wajah Goblin slayer, walaupun dia tidak dapat melihat eskpresi di balik helmnya.
“Hal itu nggaklah mustahil. Tapi nggak ada orang yang mengkhawatirkannya. Aku merasa itu aneh.”
Namun dia terlihat seperti tertawa pelan.
“Kakaku mentertawakanku—begitu pula dia—butuh waktu cukup lama bagiku untuk menyadari bahwa, takut atau nggak, aku harus berjalan.”
“Apa itu...? Apa itu benar?”
“Itu benar.”
Angin bertiup melewati mereka, menerbangkan daun-daun.
“Tapi sampai sekarang, aku masih sangat takut.”
Takut akan apa dan kenapa, dia tidak mengatakan. Dan Priestess tidak menanyakannya.
Baru beberapa bulan semenjak mereka bertemu, namun Priestess hampir selalu bersama dirinya sepanjang waktu. Tidaklah mungkin dia gagal untuk memahaminya.
“Aku menghargai bantuanmu,” Goblin slayer berkata, memaksa dirinya sendiri untuk tetap tenang, seperti biasanya. “Tapi bantuanmu itu nggak sepenuhnya di perlukan.”
Priestess tidak menjawab.
Dia melihat ke bawah dan memutar sendoknya tanpa henti di dalam es krim yang telah meleleh. Akhirnya, dia mengambil ceri itu dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Rasa manis pahit terasa.
Dia menggembungkan pipinya, mencoba untuk cemberut.
“Kamu bilang padaku untuk lakukan apa yang aku suka, kan?”
“Apa iya?”
“Iya.”
“....”
“...Kamu ini benar-benar terlalu.”
Goblin slayer mendongak ke atas menatap langit biru, seakan-akan tidak yakin bagaimana akan merespon hal ini.
Priestess memainkan batang ceri di antara bibirnya, tidak mempedulikan akan etika.
Akhirnya, Priestess mengatakan satu kata pendek.
“Maaf.”
“Aku nggak mau dengar itu.”
“....Maaf.”
“....Aku nggak  terlalu peduli.”
“Maksudku, ada hal yang membuatku takut juga,” dia berbisik.
Apakah bisikannya mencapai telinga dia atau tidak, Priestess tidak yakin.
“...Ahh dingin!”
Sebuah tetesan lelehan es krim menetes di tangannya, membuatnya berteriak terkejut. Dia menatap canggung pada Goblin spayer dan mengelapnya dengan sapu tangan.
Kulit es krim yang sebagai mangkuk wadahnya telah melempem.
“....Hrk.”
Dia memakan sisa es krim masuk ke dalam mulutnya, dan rasa dingin membuat kepalanya sakit. Dia diam-diam mengelap air mata yang keluar dari matanya, menganggap air mata itu tidak pernah keluar; kemudian dia berteriak.
“Oke! Ayo kita pergi pak Goblin sla—”
“Goblin slayer! Di sana kamu rupanya!”
Priestess berhenti. Dia sangat yakin mengenal suara bersemangat itu, namun dia tidak mengira akan mendengarnya di sini.
Dia melihat sesosok petualang tangguh dengan armor berwarna biru, membawa tombak—dia adalah Spearman.
“Apa maksudmu, memanggil seseorang lewat surat...? Aku laporkan kamu pada Gadis guild!”
“Laporkan ke dia soal apa?”
“Kalau kamu dan gadis ini sedang berkencan!”
“Kami lagi belanja.”
Goblin slayer menepis ucapan Spearman, yang telah datang dengan perlengkapan lengkap di kota perbatasan.
Di dekatnya, Priestess menjadi sedikit merah dan dengan buru-buru menegakkan tubuhnya, walaupun tidak ada gunanya.
“Heh, heh, heh-heh.”
Witch dengan keanggunan seluruh bagian tubuhnya, dan berdiri di dekat Spearman sedekat bayangan. Matanya melirik mengarah Priestess, kemudian mengkedipkan matanya dengan penuh pesona. Membuat Priestess menelan liurnya.
“Ah, um...”
“Kamu, tampak, baik-baik saja. Syukurlah.”
“Ah, iya bu.”
Priestess dengan tergesa-gesa berdiri dari bangku dan menundukkan kepalanya, kemudian menggapai kepalanya untuk meluruskan topinya.
Witch adalah wanita yang mengagumkan di mata Priestess dan segan mempermalukan dirinya sendiri di depan sang pembaca mantra.
“Ahem... Dan... Apa yang membuat kalian datang kemari? Apa kalian ada pekerjaan di sini juga?”
“Ya, pekerjaan. Itu, benar.”
Sebuah senyum menyeringai. Jawabannya, layaknya tawanya, di selimuti oleh asap. Priestess tidak yakin apakah sang pembaca mantra ini sedang menjahilinya.
Witch mengeluarkan sebuah pipa panjang dari suatu tempat dan dengan ayunan tangannya menyalakannya dengan sebuah gumamam “Inflammarae.”
Sebuah aroma manis di hasilkan dari pipa tersebut. Terlapisi oleh aroma, Witch berkata. “Ayo.” Dan memberikan Spearman sebuah ketukan di sikutnya.
“...Feh.”
Spearman terus melotot kepada Goblin slayer, dan setelah beberapa saat, dia menjentikkan tajam lidahnya.
“Dengar.”
“Hmmm.”
“Ahhh. Aku bukan bocah pengantar pesananmu, ngerti? Kamu menyuruhku datang jauh-jauh ke sini Cuma untuk membawakanmu ini...”
Dia memberikan Goblin slayer sebuah kantung serat rami dengan sesuatu di dalamnya. Kantung itu terlihat berat.
Goblin slayer memasukkannya dengan hati-hati ke dalam tasnya. Helmnya bergerak mengarah Spearman, dan berkata, “Maaf. Terima kasih atas bantuannya.”
“...Hrg.”
“Aku memintamu karena kamu petualang yang paling mudah bergaul dan terpecaya yang aku kenal.”
“....Hrrrgg...!!”
“Heh, heh, heh-heh.”
Witch tidak dapat menahan tawanya, dan Spearman menatap tajam kepada Witch.
Tentu saja, Witch tidak mempedulikannya.

Tambahan lagi? Kami mungkin bisa membantu kalian...dengan bayaran tentunya.”
“Nggak. Kami sudah cukup.”
Priestess melirik Witch dan sedikit tersipu.
Sejak pertempuran mereka dengan para goblin, kedua pembaca mantra tampaknya telah dapat mengerti satu sama lain.
“Ngomong-ngomong, bukannya mereka punya benda ini di sekitar di sini? Beli lokal saja!”
“Aku nggak bisa gunakan produk lokal di sini.” Apakah itu rasa malu, atau penyesalan, atau keduanya? Goblin slayer menggelengkan kepalanya mendengar komplain Spearman. “Kualitasnya nggak cukup baik.”
“Terserah apa katamu.” Spearman mengangkat bahunya, mencoba sebisa mungkin menyampaikan perasaan jengkel dan tidak pedulinya secara bersamaan. “Mau kamu pakai buat apa?”
“Aku rasa kamu tau.”
Senyum Priestess semakin melebar. Ya, tentu saja. Hanya satu yang selalu ada di pikirannya. Memang benar, itu juga terkadang yang membuat Priestess khawatir, yang membuatnya tidak bisa meninggalkan Goblin slayer sendiri.......
“Membasmi goblin.”
*****
Dengan begitu Priestess dan Goblin Slayer berpisah jalan dengan Spearman dan Witch, selesai dengan berbelanja merrka , dan kembali pulang. Hari musim panas yang panjang telah menuju senja, matahari merah sore menciptakan bayang-bayang panjang. Bahkan dalam bayangan panjang itu, Priestess hanya tetap setinggi pundak Goblin Slayer.
“.....”
Priestess menatap kosong kepadanya—atau helm yang menyembunyikan ekspresinya.
Apa aku bisa mengejar dia?
Kalung tingkatan yang bergantung di sekitar lehernya adalah Obsidian. Tingkat ke sembilan. Jauh dari dia yang merupakan tingkat Silver.
Dia di juluki Goblin Slayer karena hanya goblin yang selalu di burunya. Telah sebulan sejak dia bertemu dengannya. Ada beberapa hal yang telah dia pahami sekarang, namun ada pula hal lainnya yang tidak dia pahami. Dan ada beberapa hal yang Goblin Slayer ajarkan kepadanya, dan ada pula yang tidak.
“....Oh.”
Tersadarkan  dari lamunannya, dia menyadari bahwa mereka telah sampai pada tujuan mereka.
Suara gemericik air terdengar begitu riuh sekarang, dan ketika dia menoleh ke atas, terdapat kuil hukum.
Dan tiga petualang berlengkapan penuh.
Sebuah senyum tergambar di wajah Priestess. Dalam cahaya matahari sore, senyum tersebut terlihat layaknya bunga yang mekar.
“Kalian semua kembali dengan selamat!”
“Pastinya dong! Ughhh, tadi nyaris sekali!” High Elf Archer melambai, terlihat lelah namun tetap semangat. “Pas kita kembali kepermukaan, kalian belum kembali. Jadi...”
“Kami baru saja membahas untuk mendatangi kalian.” Berdiri di sampingnya, Dwarf Shaman membelai jenggot putihnya dan menepuk perut bulatnya. “Yah, kami mengalami beberapa kejadian yang cukup berbahaya. Kita bahas nanti saja saat makan malam.”
“Tunggu dulu dwarf! Bicara soal kerjaan saat makan itu di larang! Di larang!”
“Oh, semuanya ‘di larang’ kalau sama kamu! Gimana kamu bisa dapat pria kalau begitu?”
“Hm..!”
High Elf Archer bertanya tentang apa maksud dari ucapan dwarf.
Dwarf Shaman tentu saja, sudah menyiapkan sebuah balasan, dan tidak lama kemudian mereka berdebat seperti biasanya.
“Hehe. Senang rasanya melihat kalian selalu akur.”
Ketika mereka baru bertemu, Priestess selalu mencoba menghentikan perdebatan mereka, namun sekarang dia sudah terbiasa.
Goblin Slayer memperhatikan berdebatan mereka, namun tidak lama kemudian mengalihkan pandanganya.
“Ceritakan padaku. Keadaan nyaris seperti bagaimana? ....Apa itu melibatkan goblin?”
“Saya rasa ini bukanlah cerita yang patut di ceritakan seraya kita berdiri di sini.” Lizard Priest berkata dan menepuk ekornya pada lantai. “Mari kita adakan rapat di dalam kuil.”
“Kalau begitu....” Priestess mengutarakan idenya. Dia memberikan sebuah bungkusan yang di genggam kepada Lizard Priest, yang mengulirkan tangan dan mengambilnya. Bungkusan tersebut berisikan perlengkapan pribadinya, bersama dengan persediaan untuk keseluruhan partynya. Mereka semua harus melihatnya bersama. “Aku akan buat makan malam untuk malam ini. Kita bicarakan saja setelah itu.”
“Saya tidak keberatan. Tuanku Goblin Slayer?”
“Aku nggak masalah juga.” Jawaban mekanikal seperti biasanya.
Priestess mengerucutkan bibirnya. Ini adalah saat yang tepat.
“Pak Goblin Slayer. Selama makan malam nanti kamu harus berbicara hal lain selain goblin, oke?”
“Hr...”
“Ha! Ha! Ha! Ha!” Mata Lizard Priest berputar dengan riang di kepalanya, dan dia menyentuh hidung dengan lidahnya. “Sudah sewajibnya bagi seseorang untuk menghargai permintaan rekan perjalanannya. Mari, kalian berdua, kita masuk ke dalam.”
High Elf Archer dan Dwarf Shaman terdiam ketika Lizard Priest mendesis kepada merrka—seperti biasanya.
Lizard Priest menggiring mereka masuk ke dalam dengan berani. Priestess mengikuti mereka, namun:
“......?”
“________”
Tiba-tiba dia tersadar bahwa Goblin Slayer, yang berada di sampingnya, telah berhenti dan berdiri terdiam.
Dalam bayangan panjang yang tercipta oleh matahari sore, dia berdiri sendiri. Dia terlihat seperti seorang anak kecil yang telah di tinggalkan temannya pulang seraya dia sedang asik bermain.
Priestess tidak yakin mengapa gambaran itu terlintas di kepalanya.
“Pak Goblin Slayer? Ayo pergi?”
“....Ya....” Dia bergumam ketika Priestess memanggilnya. “Hmm.”
“Rekan.” Dia mengutarakan sebuah kata yang asing di mulutnya. “....Aku rasa mereka memang rekan.”
Kemudian Goblin Slayer dan Priestess mengikuti mereka secara perlahan—rekan mereka.