LELAKI PEMIMPI
(Author : R Lullaby)
           
Langit sangat cerah. Berwarna biru muda seolah menjadi pantulan laut samudera. Matahari bersinar terang dan terasa hangat hingga membuat hati orang-orang merasakan perasaan damai.
            Dia berlari. Terus berlari kencang di atas atap bangunan. Senyuman bersemangat tersungging di wajah dia yang melompat melewati rintangan di depan.
            Tas kecil berwarna merah muda terlihat dia bawa. Hasil jarahan hari ini yang membuat dia dikejar oleh polisi keamanan setempat.
            “Berhenti di sana, Bocah!!”
            Mendengar teriakan, lelaki berambut hitam itu pun semakin melebarkan senyuman. Dia menaikkan kecepatan langkah, dan memasuki keramaian di bawahnya.
            Dia melewati kerumunan terlihat elegan seperti sudah terbiasa dengan daerah yang dilewatinya.
            Petugas keamanan benar-benar kerepotan mengejarnya. Mereka tak sanggup untuk menangkap lelaki remaja itu yang berlari gesit.
            Lelaki dewasa berjumlah tiga orang itu hanya mengambil nafas kelelahan. Melirik ke kanan dan kiri berniat memperhatikan sekitar. Mencari keberadaan sang pencuri yang hilang seolah ditelan permukaan.
            “Percuma. Hanya para Kineser yang bisa menangkap bocah itu.”
            “Kau ingin kita meminta tolong pada orang-orang berkekuatan super itu? Jangan bercanda! Aku tak mau harga diriku diinjak-injak lagi!”
            “Aku juga tak mau!”
            “Tapi kita bisa apa?!  Kepolisian di kerajaan ini hanya berjumlah 15 orang termasuk kita. Kita tidak bisa meminta bantuan pada yang lainnya.”
            “.....” Dua orang yang tak setuju hanya menutup mulut sambil mengalihkan pandangan karena tak tau harus menjawab apa.
            “Hei, sudah lama aku berpikir seperti ini .... Apa kita benar-benar dibutuhkan di era para esper ini?” senyum khawatir salah satu polisi bertanya.
            “Entahlah .... Mungkin saja tidak.”
            Kembali ke tempat si lelaki berambut hitam, sang pencuri tas wanita. Dia terlihat duduk menyila di atas atap sambil memeriksa isi tas jarahan dengan senyuman.
            Sambil terus merogoh ke dalam tas, dia mulai menutup mata, menghela nafas, dan tertawa kecil sambil berucap.
            “Waah, benar-benar menakutkan. Tak kusangka pemilik tas ini seorang esper. Untung saja tingkatan wanita itu tidak terlalu tinggi.”
            “BUARSHH!”
            Sesaat, dia menghentikan pencarian. Terkejut karena ledakan es yang terdengar cukup keras. Senyuman kecil pun tersungging di wajahnya sambil menatap ledakan yang berasal dari sekolah terdekat itu.
            “Anak-anak sekolahan sepertinya lebih berbahaya dari wanita yang kucopet tadi.”
            Lelaki itu mulai melirik sekitar. Menatap keramaian yang tak terganggu oleh ledakan. Dia menghela nafas kembali sambil mulai menutup mata dan berucap.
            “Mereka benar-benar tidak terganggu yah ....” Dia tertawa kecil di akhir ucapan sambil kembali memeriksa tas jarahannya.
            “Oi, Bocah!! Cepat turun ke bawah! Sekarang jam kerjamu!” teriakkan lelaki tua dari bawah terdengar keras hingga menghancurkan konsentrasi si lelaki remaja.
            “Hei, Pak Tua! Aku bukan bocah lagi! Apa matamu itu sudah buta, hah?”
            “Kau hanya lelaki berumur 16 tahun. Bagiku kau tetaplah bocah! Cepat turun dari sana atau kubawa turun kau dengan paksa!”
            “Kau menakutkan, Pak Tua. Tolong jangan menggunakan ilmu kinesismu padaku.” Lelaki itu mulai melompat dengan senyuman. Tidak langsung menghantam tanah melainkan mendapatkan tumpuan di sekitar terlebih dahulu. Seperti papan nama dan tiang lampu. Tak aneh jika tindakannya itu membuat dia menjadi pusat perhatian sekelilingnya.
            “Hei, Bocah. Bisa kau berhenti menarik perhatian banyak orang? Lagipula kau benar-benar melakukannya lagi yah,” ucap lelaki tua itu sambil menatap tas yang dipegang lelaki muda.
            “Apa boleh buat. Aku harus bertahan hidup di dunia ini. Gaji yang kau berikan masih belum cukup untukku.” Jelas si lelaki muda sambil mengangkat kedua bahu ke atas. Dia juga menutup mata beberapa saat dengan senyuman ringan terlukis di wajah.
            “Aku hanya bisa memberimu segitu. Lagipula kerjaanmu hanya memakai kostum dan berdiri di pusat perbelanjaan. Itu tidak sulit.” Pak tua membalikkan badan. Mulai berjalan meninggalkan si lelaki muda.
            “Tapi panasnya itu benar-benar mengerikan! Kau tau? Seluruh tubuhku selalu memerah, dan mengeluarkan keringat yang banyak setelah menyelesaikan pekerjaan itu. Setidaknya beri aku uang untuk kebutuhan mandi.” Protes lelaki muda itu mulai membuka mata dan berjalan mengikutinya.
            “....” Lelaki tua tak menjawab dan hanya terus berjalan menghiraukan permintaannya.
            “Ledakan yang tadi cukup besar yah, Aeldra?” lanjutnya bertanya tanpa menolehkan kepala.
            “Kau mengabaikan permintaanku ....” Aeldra memasang wajah datar meperlihatkan ketidaksenangan.
            Dan lagi, dia kembali membuang nafas sambil melirik sekolah yang menjadi asal ledakan sebelumnya.
            “Aku berani bertaruh kalau itu ulah putri dari kerajaan ini.”
            “Putri Alyshial, kah?” senyum kecil lelaki tua sambil melirik Aeldra.
            “....” Aeldra tak menjawab dan hanya menganggukkan kepala. Tatapannya masih tertuju pada sekolah yang mereka bicarakan.
            “Apa kau tak ingin memasuki sekolah itu?” lanjutnya.
            “Hei, Pak Tua. Menghina itu ada batasnya. Aku benar-benar akan marah jika kau bertanya seperti itu lagi,” jelas Aeldra tersenyum sambil menutup mata. Urat kekesalan mulai muncul di keningnya.
            “Hee, kenapa? Padahal sekolah khusus itu sangat bagus. Mereka memberikan tunjangan uang, tempat tinggal, dan makanan secara gratis pada siswanya dengan tanpa terkecuali.”
            “....” Aeldra tetap diam dan mulai memberikan tatapan datar ke arah lelaki tua yang berjalan di depan.
“Dengar yah Aeldra, sekolah itu juga merupakan sekolah pencetak para Kineser yang ingin menjadi Front–Liner. Petarung garis depan yang langsung melawan para ibli –“
“Dengar yah, Johanes! Memang benar aku juga tertarik– bahkan sangat menginginkan fasilitas yang diberikan sekolah khusus itu. Tapi aku ini hanya manusia biasa, bi–a–sa! Ketika tes pertama diberikan, aku pasti langsung ditendang dari dalam ruangan.”
Johanes, lelaki tua itu tersenyum kecil. Mulai berbicara kembali sambil sedikit menolehkan kepalanya ke arah Aeldra.
“Ya kalau begitu teruslah bekerja padaku sampai mati. Aku mengandalkanmu, bocah.”
“Jangan bercanda, aku tak mau hidup seperti ini terus! Suatu hari nanti dan entah kapan. Aku akan mendapatkan pekerjaan yang hebat! Mendapatkan uang banyak hingga hidupku dikelilingi kemewahan dengan para gadis cantik. Aku akan berada di posisi puncak, lalu menertawakan mereka yang selalu merendahkanku.” Aeldra tersenyum lebar dan membusungkan dada. Terlihat bangga saat mengutarakan impiannya.
“Kau ..., impianmu benar-benar sesuatu yah.” Johanes menghentikan langkah. Berbalik dan menatap Aeldra dengan datar. Tersirat juga kekhawatiran di wajahnya.
“Kau menghinaku lagi, kan?” senyum kecil Aeldra sambil membalas tatapan Johanes.
“Impianmu terlalu berlebihan, Aeldra. Lagipula apa kau benar-benar bisa mewujudkan impian itu? Meski kau seperti ini? Tak mempunyai apapun, bahkan ilmu kinesis sekalipun?”
“Tak ada salahnya jika memiliki mimpi sebesar itu, kan? Lagipula impianku itu benar-benar yang kuinginginkan selama ini. Tak mempunyai ilmu kinesis bukan halangan bagiku. Aku tak akan menyerah untuk menggapainya.” Aeldra mulai berjalan kembali, dan melewati Johanes yang masih memasang wajah khawatir padanya.
“Kalau begitu berjuanglah. Semoga kau bisa mewujudkan impianmu.”
“Ya. Aku pasti akan mewujudkannya. Lihat saja nanti, Pak Tua!” Aeldra menolehkan kepalanya ke belakang dan menatap Johanes. Dia tersenyum lebar hingga membuat Johanes juga ikut tersenyum melihat semangatnya.
            Di tempat lainnya yang tidak jauh dari sana. Lebih tepatnya di sekolah khusus yang sebelumnya dibicarakan oleh Johanes dan Aeldra.
            Sekolah khusus kineser, Acies Highschool. Di lapangan luas, tengah-tengah sekolah yakni tempat latihan bertanding. Telah terjadi pertarungan hebat yang baru saja selesai.
            [[Winner, Alyshial S. Ramony]]
            “Kyaaa!!” para siswi langsung berteriak histeris setelah pengumuman pemenang dari sistem. Mereka benar-benar menaruh kagum pada sang pemenang yang tetap berdiri elegan.
            Dia mengibaskan rambut panjangnya yang berwarna kuning layaknya buah lemon masak.  Lalu perlahan mulai membuka matanya yang berwarna biru seperti langit cerah.
Wajahnya terlihat sangat indah. Apalagi ketika dia tersenyum menatap lawannya yang sedang terdiam duduk ketakutan.
            “Kau hebat.” Gadis rupawan itu mulai berjalan mendekati lawan. Menawarkan bantuan padanya untuk berdiri.
            “Tidak, ma-maafkan saya karena tidak sebanding dengan anda, Putri.” Gadis itu mulai menggapai tangan kanan sang putri yang dibicarakan oleh Johanes dan Aeldra sebelumnya. Putri Alyshial.
            “Jika kamu terus berlatih. Kuyakin kamu juga pasti akan menjadi kuat,” senyum Alyshial sambil menarik tangan kanan. Membantu lawannya untuk berdiri.
            Gadis itu tersenyum kagum menatap Alyshial. Wajahnya memerah karena tak menyangka jika sang putri akan memuji kemampuannya.
            Para penggemar Alyshial mulai bersuara. Bersorak iri pada sang lawan yang mendapat bantuan. Mereka benar-benar terbakar cemburu karena ingin juga disentuh sang putri yang dikagumi.
            Alyshial mengangkat tangan kirinya ke atas. Para penonton langsung terdiam. Menghormati tindakannya yang mungkin berniat menenangkan kericuhan.
            Tapi maksud Alyshial bukan begitu. Setelah dia mengangkat tangan kirinya, dia mulai melambaikan tangan. Kembali memberikan senyuman manis pada sekitar.
            Sontak teriakkan penonton semakin menggila. Bahagia melihat wajah sang putri yang sangat rupawan. Terlihat jika putri kerajaan itu benar-benar dicintai rakyatnya.
            Gadis berambut kuning lemon itu berbalik dan berjalan pergi meninggalkan lapangan. Wanita tak kalah rupawan darinya juga terlihat berdiri menunggu di sisi lapangan. Wajahnya melukiskan senyuman pada Alyshial yang berjalan mendekat.
            “Sophia, apa kau melihat Nia?” tanya Alyshial bertanya pada gadis itu yang bernama Sophia. Dia memiliki rambut panjang berwarna hitam dengan poni besar menutupi keningnya. Layaknya boneka dengan mata berwarna merah seperti batu delima.
            “Entahlah. Kenapa kau begitu tertarik dengannya, Alys? Dia memang seorang putri sepertimu, tapi dia sangat lemah. Tak cocok untuk bergabung dengan kelompok kita. Ilmu Kinesisnya bukan tipe untuk bertarung.” Sophian menjawab dengan senyuman kecil berisi rasa penasaran.
            “Dia sahabatku sejak kecil. Aku tak bisa meninggalkannya hanya karena dia lemah.”
            “Dia hanya akan menghambatmu. Selain itu, dia  sudah menolak ajakanmu lebih dari lima kali. Lebih baik kamu menyerah. Tindakanmu ini hanya menghancurkan harga dirimu sendiri saja, Alys.”
            Alyshial terdiam berpikir. Memang benar yang dikatakan rekannya itu. Dia tak bisa memaksakan kehendak dan memaksa seseorang untuk bergabung dengan kelompoknya.
            “Akan kuajak dia sekali lagi. Jika memang tidak mau ..., kita ajak lelaki itu.” Alyshial berjalan melewati Sophia.
            Sophia hanya tersenyum kecil menganggukkan kepala.  Lalu berjalan mengikuti gadis yang dikaguminya.

***

            Langit sudah berwarna jingga seperti buah jeruk yang masak. Suhu udara juga sudah mulai menurun. Pertanda, jika malam akan segera datang.
            Di pinggiran ibu kota Kerajaan Skyline. Aeldra terlihat berjalan dengan senyuman kecil penuh kekesalan. Tangannya terlihat bergerak menghitung jumlah penghasilannya hari ini.
            Keringat masih terlihat jelas di sekitar wajahnya yang lelah. Bahkan rambut hitamnya pun terlihat cukup berantakan.
            “Pak tua itu ..., dia benar-benar tidak menaikkan upahku.” Aeldra menutup mata dengan cukup rapat. Lekas memasukkan kembali uang ke dalam sakunya. Dia berjalan sambil memperhatikan sekitar yang mulai menggelap.
            Saat berjalan ingin melewati jembatan tua, langkah lelaki berambut hitam itu terhenti. Dia menatap penasaran seorang gadis yang bersikap aneh.
            Gadis itu mondar-mandir di pintu masuk jembatan. Wajahnya terlihat khawatir bahkan ingin menangis ketika menatap sekitar. Dia bahkan sampai menggigit ibu jari, syarat jika dirinya benar-benar sedang dalam masalah.
            Di sekitar jembatan itu terlihat sepi. Apalagi setelah jembatannya. Itu hal wajar mengingat tak banyak orang yang berjalan lalu lalang di tempat paling terpinggir itu. Tak ada yang menarik di sana kecuali tumpukan sampah di pantai yang ditinggalkan.
Aeldra berjalan mendekati si gadis yang kebingungan. Berniat bertanya pada dia yang sedang dalam masalah.
            Tapi gadis yang menyadari kedatangannya itu langsung berwajah semakin cemas dan ketakutan. Tubuhnya benar-benar bergemetar dengan air mata di sisi mata semakin terlihat jelas.
            “...?”Aeldra memiringkan kepala. Kebingungan dengan tingkahnya yang semakin mengkhawatirkan.
            “Kumohon lepaskan aku!! Aku tak membawa apapun!” Gadis itu tiba-tiba beteriak ketakutan sambil memeluk tubuhnya sendiri seolah sedang mempertahankan diri.
            “Haahh!?” Aeldra menghentikan langkah. Memasang wajah terkejut dan kebingungan menatap si gadis.
            Gadis itu berambut pendek sampai pundak dengan warna hitam legam. Matanya berwarna biru tua. Kulitnya putih dan mulus. Dia memakai pakaian sederhana yang berkelas. Sungguh cocok dengan wajahnya yang rupawan.
            “Kau salah paham Nona, aku tak bermaksud ....” Aeldra semakin mengecilkan suara. Melebarkan mata, cukup terkejut ketika melihat wajahnya yang terasa familiar.
            “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya kembali Aeldra.
            Gadis itu menggelengkan kepala dengan ekspresi wajah yang masih terlihat ketakutan. Tapi ekspresinya itu cukup manis dan menggemaskan. Maka tak heran membuat hati Aeldra sedikit bergetar.
            Aeldra mulai memperhatikan gadis itu lebih dalam. Sangat dalam hingga membuat wajah sang gadis semakin cemas tak karuan.
            Sebuah kalung permata hitam menghiasi lehernya. Sangat indah dan berkilauan memantulkan cahaya yang datang padanya. Kalung itu lebih dari cukup untuk mengetahui akan siapa identitas si gadis.
            Aeldra lekas memasang wajah cemas dan mengalihkan pandangan darinya sesaat. Dia tersenyum kecil sambil menatap penasaran dirinya, dan lalu berucap.
“Kenapa seorang putri dari kerajaan seberang bisa sampai di sini?”
            “....” Gadis itu melebarkan mata, syarat terkejut setelah mendengar pernyataan Aeldra.
            “Putri Selinia D. Azahra,” lanjut Aeldra sambil menutup mata kembali untuk beberapa sesaat.
            “Ka-kau mengenalku?”
            “Bagaimana bisa aku tidak mengenalmu. Selain itu bisa kau hentikan untuk waspada padaku. Aku bukanlah penjahat– ma-maskudku penculik. Aku bukan lelaki bajingan seperti yang ada di dalam pikiranmu.” Jelas Aeldra dan cukup gugup memperbaiki pernyataan terakhirnya.
            “Be-benarkah?” Selenia bertanya ragu sambil menatap khawatir sebagian wajah Aeldra yang berbeda.
            “Ah, apa karena luka bakar ini? Memang wajar sih jika orang-orang akan ketakutan setelah melihat luka ini.” Aeldra tersenyum kecil sambil menyentuh sebagian pipi kanannya yang memiliki luka bakar.
            “....” Selenia merasa bersalah dan mengalihkan pandangan darinya cukup cepat.
            “Anda pasti tersesat, kan? Biar kuantar anda ke pusat kota. Tak heran anda tak mengetahui tempat pinggiran seperti ini, Putri.” Aeldra berucap pelan dan sedikit menundukkan kepala memberi hormat.
            “Ah, panggil aku Nia saja. Ma-maaf sebelumnya ..., ka-karena sudah berpikir aneh tentangmu. Seharusnya aku tak menilai seseorang dari penampilannya.” Jelas Selinia gugup dengan wajah yang masih cukup cemas.
            “Tak apa. Aku tidak merasa marah.” Aeldra menjawab dengan kepala yang mulai terangkat. Dia mulai menyunggingkan senyuman kecil di wajah.
            “Apa kau tinggal di sini, emm ....” Selenia kembali bertanya dan membalas senyuman Aeldra. Dia memiringkan kepala dengan ekspresi penasaran. Suaranya perlahan memudar di ucapan terakhir.
            “Aeldra.” Aeldra berucap melanjutkan ucapan Selenia.
            “Ya, Aeldra. Apa kau tinggal di sekitar sini?” Selenia mengulang kembali pertanyaan sebelumnya.
            “Ya, aku tinggal di sekitar sini. Lebih tepatnya, setelah jembatan di depan sana.”
            “Apa ada pemukiman juga di depan sana?”
            “Sebaiknya anda tak datang ke sana. Itu tempat yang tak pantas untuk anda datangi.” Aeldra tertawa kecil menutup mata.
            “Be-begitu. Emm ..., apa kau tinggal bersama orang tuamu juga di sana?”
            “....” Suasana terasa hening untuk sesaat setelah pertanyaan Selenia sebelumnya.
            “Emm, Aeldr –“
            “Langit sudah semakin gelap. Sebaiknya kita bergegas, Putri Nia.” Aeldra tersenyum ramah dengan mata yang tertutup. Nada suaranya juga terdengar lembut. Tapi Nia merasa jika senyuman milik Aeldra itu memiliki arti.
Aeldra mulai membalikkan badan dan berjalan pergi menjauhi gerbang jembatan.
            “Ah, ba-baiklah ....” Nia menganggukkan kepala. Berjalan mengikuti Aeldra dengan suasana canggung yang mulai terasa.
Tapi saat beberapa langkah mereka berjalan. Tiba-tiba terdengar auman keras dari arah jembatan.
Keduanya berbalik. Lekas menatap penasaran jembatan di belakang.
Ekspresi wajah keduanya mulai terlihat cemas ketika memperhatikan lebih dalam jembatan itu yang gelap dan menakutkan.
“Putri Nia –“
“GROAARR!!”
Seketika, bayangan monster berwarna hitam muncul di dekat jembatan. Melesat cepat dari tepi sungai yang hanya beberapa meter dari Nia. Monster itu berniat menyerang putri kerajaan sebrang itu.
Refleks, Aeldra pun berlari dan melompat mendorong Nia. Kepala Nia membentur tanah hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. Lebih dari cukup membuat Selenia tak sadarkan diri.
Sedangkan Aeldra mendapatkan luka di dada karena serangan monster tak di kenal itu. Cakar berbentuk silang, meski tidak terlalu dalam.
Aeldra menyipitkan mata dan menatap tajam monster itu. Mulai memperhatikan rupa mahluk yang memberikan luka padanya.
“Goblin ....” Aeldra tersenyum cemas sambil berjalan mundur. Dia lekas melirik cemas Selenia yang terbaring tak sadarkan diri.
“GROARR!!”
“Entah sial atau buruknya hari ini. Tapi yang jelas aku ingin segera keluar dari masalah –“
Perkataan Aeldra terpotong oleh ledakan tiba-tiba dari monster berkulit hijau kehitaman itu. Di meledak keras seolah ada bom dari dalam tubuhnya.
Darah dan dagingnya berceceran di sekitar. Benar-benar terlihat menjijikan hingga membuat Aeldra menatap datar monster itu.
“Aku semakin ingin pergi dari sini,” pelan Aeldra sambil menutup mulut. Merasa mual karena bau busuk di sekitar.
Tak lama setelah ledakan itu, mulai muncul sosok misterius lainnya.
Lelaki yang sedikit lebih tinggi dari Aeldra. Memakai jubah besar berwarna coklat dan topeng berwarna hitam keunguan. Baju di lengan kanannya terlihat sobek hingga memperlihatkan lukanya yang mengeluarkan darah.
Lelaki itu tiba-tiba muncul di dekat goblin yang baru saja meledak. Menatap daging goblin yang berceceran terlihat menjijikan.
“Ini kesalahanku karena membiarkan monster ini kabur. Maaf jika membuat kalian ketakutan ....” Lelaki itu tiba-tiba terdiam tak menyelesaikan ucapan. Dia menundukkan kepala dan memberikan tatapan tajam pada Aeldra.
“Siapa kau ...?” lanjutnya dengan nada terdengar dalam.
“Itu seharusnya pertanyaanku.” Aeldra menjawab dengan senyuman kecil menatap si lelaki misterius.
Lelaki misterius itu tetap memperhatikan Aeldra secara seksama. Cukup lama, hingga dirinya mengangkat kepala seolah mendapatkan ingatan.
“Kau terlihat berbeda, yah ....”
“Siapa kau ...?” Aeldra bertanya dengan senyuman kecil yang masih terpasang.
“Seharusnya kau juga tau siapa aku. Tapi mari kita lupakan masa lalu kita. Tak kusangka kau bisa mengalahkan monsterku.“ Lelaki itu berjalan mundur beberapa langkah menjauhi Aeldra.
“Hah? Apa maksudnya itu?“
“Sungguh, kau pasti Kineser yang sangat kuat sampai bisa mengalahkan goblinku dengan mudah.”
“Sudah kubilang, apa maksudnya itu? Kineser? Aku bukan –“ Aeldra terlihat kesal karena omongan anehnya.
“He-hebat ...!” Tapi perkataanya terpotong oleh Selenia yang sudah siuman, dan kini menatap Aeldra dengan kedua bola mata berbinar.
“Hah ...?” Aeldra terkejut  sambil melirik cemas sang putri.
“Sebutkan dari sekolah mana kau berasal–“
“Apa yang sedang kau bicarakan bodoh! Jelas-jelas monster itu hancur olehmu. Aku di sini –“
“Kita akan bertemu lagi, anak muda. Sampai saat itu tiba, bertambah kuatlah.” Lelaki itu memegang tangan kanannya yang terluka, lalu mulai menghilang tak berbekas. Nadanya yang terdengar gembira membuat Aeldra semakin diselimuti kemarahan.
“....” Setelah dia menghilang. Suasana langsung terasa hening. Aeldra menatap khawatir Nia yang terus memberikan tatapan kagum padanya.
“And-anda bisa berdiri?“ Aeldra menawarkan bantuan dengan nada gugup. Merasa bersalah membuat Selenia sedikit terluka.
“Terima kasih, Aeldra. Karena sudah menyelamatkanku.” Nia tersenyum lebar menerima bantuan dengan pipi yang sedikit memerah. Dia benar-benar terlihat rupawan hingga membuat Aeldra mengalihkan pandangan canggungnya.
“Kau hebat dan sangat kuat. Apa kau juga siswa dari Acies Highschool? Kebetulan aku juga dari sana.”  Selenia berjalan mengikuti Aeldra yang baru saja berjalan.
“Dengar yah, Putri. Bukan aku yang mengalahkan monter itu. Selain itu, aku ini bukan siswa dari sekolah terkenal yang kau sebutkan tadi.”
“Sayang sekali. Padahal kau sekuat ini, tapi tidak bersekolah di sana.” Nia berucap sambil menyentuh dagu. Terlihat sedang berpikir.
“Hei, anda benar-benar mengabaikan pernyataan pertamaku,” Aeldra mengeluh dengan senyuman kecil.
“Masuklah ke sekolah itu! Biar keluargaku yang merekomendasikanmu.”
“Apa kau tidak mendengar perkataanku sebelumnya? Bukan aku yang mengalahkan monster itu. Lagipula aku juga bukan seorang Kineser.”
“Kamu ini ..., bercanda saja. Jangan terlalu merendah seperti itu.”
“Dengar yah, Putri. Sebelum kesalahpahaman ini semakin parah, tolong dengarkan –“
“Ah, aku tau jalan itu! Terima kasih sudah mengantarku sampai sini. Aku sungguh berhutang banyak padamu.” Selenia berlari melewati Aeldra. Mendekati persimpangan jalan yang besar.
“Ya, ba-baiklah. Hati-hati, Putri.” Aeldra tersenyum kecil menatap dirinya yang terus berlari pergi.
“Tenang saja. Aku pasti akan merekomendasikanmu untuk masuk ke Acies Highschool.”
“Sudah kubilang, bukan aku –“
“Daaah!!” teriak Selenia. Langsung berlari meninggalkan Aeldra.
Aeldra memasang wajah datar. Tak senang karena perkataanya yang sering terpotong oleh Nia.
Tapi dia tak bisa berbuat apapun. Merasa tak enak jika memarahi wanita yang baru ditemuinya beberapa jam lalu. Apalagi wanita itu adalah seorang putri dari kerajaan seberang.
Beberapa menit berlalu sejak dia mengantarkan Nia. Kini Aeldra sudah sampai di depan rumahnya. Gubuk sederhana yang terbuat dari barang rongsokan sekitar.
Aeldra mulai memasuki rumah kecilnya.
Di luar memang terlihat berantakan dan membaur dengan sampah sekelilingnya. Tapi tidak di dalam, di dalam sungguh terlihat rapih. Meski terlihat sempit juga.
Aeldra menyalakan lilin putih di dekatnya. Sontak cahaya api jingga menyala menyinari ruangan. Alat penerangan tradisional abad ke-19.
Kasur gantung langsung terlihat ketika Aeldra memaski rumah. Lemari sederhana yang tidak terlalu besar berada di samping kiri. Lemari yang sudah termakan usia itu hanya setinggi pinggangnya.
Tepat di atas lemari, terlihat bingkai foto yang sengaja ditutup. Di sampingnya ada kalung berwarna hitam yang indah dan berkilauan. Sama persis dengan kalung yang dipakai Putri Selenia.
Aeldra tersenyum kecil menatap dua benda itu. Lekas berjalan cepat, dan merebahkan tubuh di atas kasur gantungnya. Dia menutup mata dan beristirahat karena rasa letihnya.
Aeldra tak tau, jika itu adalah hari terakhir bagi dia untuk beristirahat di gubuk kecilnya. Karena keesokkan harinya, dia langsung didatangi dua pengawal kerajaan wilayahnya.
Mereka menunggu tepat di gerbang jembatan. Lalu memberi kabar pada Aeldra jika minggu depan dia harus bersekolah di Acies Highschool.
Dan sebelum Aeldra memasuki sekolah, mereka akan mengantar Aeldra untuk pindah ke asrama sekolah berkelas itu.

***