MAJU MENUJU KEMATIAN
(Translater : Zerard)

“Jadi, apa maksudnya dengan binatang itu?”
Di hari berikutnya, kembali ke dalam saluran air, sang elf melihat kepada Goblin slayer dengan satu tangan pada pinggulnya. Goblin slayer memiliki sebuah pedang baru pada ikat pinggangnya, dengan panjang yang aneh tentunya, dan sebuah sangkar kecil menggantung di samping sarung pedangnya.
Di dalamnya, seekor burung kecil dengan bulu hijau muda berkicau dengan riang. Suara tersebut sangat tidak wajar di dalam saluran air yang penuh polusi ini.
Goblin slayer memberikan tatapan bingung kepadanya.
“Kamu nggak tau burung ini?”
“Tentu saja aku tau.”
“Ini burung kenari.”
“Aku bilang aku tau,” High elf archer membalas, telinga menegang.
Di sampingnya, Dwarf shaman mencoba menahan rasa tawa.
“Kamu marah soal ini sejak malam tadi kan?” sang dwarf berkata.
“Apa kamu nggak merasa aneh? Itu burung! Seekor kenari kecil!”
Mereka berjalan perlahan dan tanpa suara di dalam saluran air, melewati kegelapan, namun amarahnya tidak meredam juga. Telinga panjangnya, sempurna untuk mengintai, berayun gelisah naik dan turun. Hanya sebentar saja, mata berbentuk almond miliknya menatap Goblin slayer di belakangnya.
“Yah, itu nggak akan menghancurkan kita kalau kita menyentuhnya kan? Seperti scrollmu?”
“Kamu percaya kenari berbahaya bagi orang?”
Telinga High elf archer melompat tinggi, dan tawaan pelan terlepas dari mulut Dwarf shaman.
“P-pak Goblin slayer, Aku rasa itu bukan maksud dari perkataannya...” Priestess menyela, tidak dapat membiarkan ini terus berlanjut.
Dia terhimpit di tengah-tengah barisan mereka, menggengam tongkat dengan kedua tanganya.
“Apa?”
Goblin slayer melihat kebelakang, dan Priestess mendapati dirinya menatap pada sebuah helm metal. Priestess secara tiba-tiba tidak tahu akan berkata apa.
Satu malam telah berlalu semenjak momen mandinya. Dia tidak bisa tidur sama sekali, namun ketika dia bangun di pagi hari...hampa. Mungkin semua rasa gugupnya telah memberikannya sebuah imajinasi yang aneh.
Sword maiden muncul di saat sarapan pagi dan mengucapkan sepatah kata terima kasih kepada mereka seraya dia berlalu. Semua bayangan hal tidak senonoh di malam sebelumnya telah sirna dari pikirannya seakan-akan itu semua tidak pernah terjadi.
Iya...Aku yakin itu hanya khayalanku saja. Itu bukanlah apa-apa.
“Ada apa?”
“Oh, nggak apa-apa.”
Priestess menjadi tegang pada pertanyaan Goblin slayer yang singkat dan pelan. Priestess menghembuskan nafas perlahan.
“Yang kumaksud itu, kenapa kamu membawa seekor kenari bersama kita?”
High elf archer menatap pada sangkar burung. Makhluk berwarna hijau rumput itu melompat-lompat girang ke atas dan kebawah pada sebuah cabang.
“Memang imut sih, tapi...”
Pria yang ada di hadapannya adalah Goblin slayer. Dia bukanlah seseorang yang sembrono atau irasional jika untuk urusan membunuh goblin.
“Kenari membuat suara ketika mereka merasakan adanya gas beracun.”
“Gas beracun...?”
Goblin slayer mengangguk, menjelaskan dengan nada mekanikal biasanya:
“Goblin di sarang ini sangat teredukasi. Aku nggak akan kaget jika mereka memasang perangkap seperti apa yang kamu temukan di reruntuhan tua itu.”
“Kalau di pikir-pikir lagi, bukannya penambang manusia menggunakan burung untuk mendeteksi adanya udara berbahaya di bawah tanah?” Dwarf shaman mengangguk, menggenggam tas berisikan katalisnya. “Kalau di piker lagi, Para dwarf tidak begitu khawatir mengenai gas beracun di bandingkan dengan naga yang mengincar harta karun kami.”
“Oh, yang benar?” High elf archer menyeringai seraya mengintip sudut demi sudut, kemudian memberi isyarat pada rekannya untuk mengikutinya.
Goblin slayer mengikutinya, dengan langkah perlahan, dan hati-hati. Dia memiliki satu pedang di tangannya. Dan tangan lainnya memegang obor, dan perisainya terikat di lengannya. Seperti biasanya.
“Aku dengar suatu waktu sebuah kerajaan dwarf telah hancur ketika mereka menggali semacam Demon bawah tanah.“ Goblin slayer berkata.
“...Yah, itu memang pasti terjadi sekali-sekali.” Dwarf shaman menjawab sedih dan terdiam. Sepertinya Goblin slayer telah menyinggungnya.
Sudah seperti itulah jalannya sebuah negara untuk bangkit, jatuh, perang, dan terjatuh lagi untuk berbagai macam alasan.
“Saya mengerti,” kata Lizard priest, ekornya berayun di belakangnya. “Dan jika saya di perkenankan bertanya, tuanku Goblin slayer, dari manakah anda mendapatkan pengetahuan seperti itu?”
“Seorang penambang batu bara,” dia berkata, seakan-akan itu adalah hal yang sudah pasti. “Banyak di dunia ini yang mengetahui banyak hal yang aku nggak ketahui.”
Setelah beberapa menit berjalan, mereka telah sampai pada sebuah jalan buntu, walaupun bukan jalan buntu yang natural. Jalan mereka telah terblokir oleh sebuah jalur air selebar sungai, dan sesuatu telah menghancurkan atau menyapu jembatan batu yang dulunya menjembatani.
High elf archer mengacungkan jempolnya dan mengedepankan lengannya, mengukur jarak.
“Kita mungkin bisa melompatinya, jika memang harus.”
“Ada rute lain?” Goblin slayer bertanya.
“Mari kita lihat...” Terdengar suara gesekan seraya Lizard priest membuka peta lama itu. Gambaran kuno telah ternodai dengan berbagai macam tanda baru, menunjukkan apa yang para petualang telah temukan. Lizard priest menelusuri jalur air dan lintasan jalan dengan cakarnya, dan kemudian memberikan gelengan pelan kepalanya.
“Jalur air besar ini sepertinya membagi dua semuanya. Walaupun ada kemungkinan adanya jembatan lainnya yang masih utuh.”
“Harapan tipis.” Dengan sedikit gumaman, Dwarf shaman  memperhatikan ujung jembatan yang rusak dan menyodok batu yang rusak.
“Whoa, jangan sampai jatuh,” High elf archer berkata, menahan Dwarf shaman pada ikat pinggangnya.
“Maaf... Mm. Ini adalah hasil dari banyaknya banjir yang terjadi selama bertahun-tahun. Jembatan ini sudah lama tersapu ombak.” Gumamnya, Dwarf shaman kembali ke lorong. Dia menunjukkan kepada mereka sebagian kecil dari puing yang dia kumpulkan, kemudian menghancurkannya di telapak tangannya.
“Aku yakin kalau jembatan lainnya akan kurang lebih memiliki kondisi yang sama.”
“Kalau begitu, kita lompat.” Kata Goblin slayer tanpa ragu. “Yang pertama lompat bawa seutas tali. Untuk pengaman.”
“A-Aku punya tali,” Priestess berkata dengan gagah berani dan mengeluarkan seutas tali, lengkap dengan  Pengait besi, dari tasnya.
Memang seperti itulah dia, dengan tali yang tergulung dengan rapi. Dan ini adalah saat bagi dia untuk menunjukkan kekuatannya yang sepertinya tidak pernah di gunakan sama sekali.
“Ah, perlengkapan para petualang,” High elf archer berkata akrab seraya dia menyipitkan matanya dan mengintip isi tas Priestess.
Itu adalah perlengkapan yang di tujukan untuk petualang pemula, berisikan segala hal yang mungkin akan mereka butuhkan. Tali dengan pengait besi, rantai yang cukup panjang, dan sebuah martil. Bekal makan Tas ransel. Dan kantung air. Peralatan makan, kapur, pisau, dan lain-lain.
“Kamu akan kaget jika tau seberapa nggak bergunanya kebanyakan barang itu. Kecuali pengait besi itu.
“Tapi pada saat kamu pergi berpetualang, kamu nggak boleh pergi tanpanya.”
“Huh.” High elf archer bernafas, kemudian mengambil ujung tali yang tidak memiliki pengait. Dia mengambil satu, dua langkah mundur, kemudian berlari seringan seperti rusa.
“Jadi, Orcbolg.”
Dia melompat dan mendarat pada sisi seberang tanpa suara, kemudian mengikatkan tali pada salah satu panahnya dan menancapkannya di antara celah batu ubin.
“Bagaimana dengan Gate scroll? Kamu mengetahuinya dari orang lain juga?”
“Aku pernah mendengar seseorang mencoba menggunakan Gate untuk pergi menuju reruntuhan yang tenggelam, dan air membunuh mereka.”
Wanita itu—yaitu, Witch di guild petualang—pasti telah menceritakan kepadanya akan kisah itu.
Pada sinyal yang di berikan High elf archer, Goblin slayer menggenggam pengait besi dan melompat menyebrang. Menimbulkan suara berat dan tumpul di saat mendarat, yang tentunya adalah hal yang wajar bagi seseorang yang menggunakan full armor.
“Boleh juga.”  Dia berkata seraya memberikan pengait besi kembali kepada High elf archer, yang melemparkannya kembali ke seberang jembatan.
“Kamu benar-benar akan melakukan segala hal untuk membunuh goblin ya?”
“Tentu saja.” Jawabannya.
Dia pasti merasa wawancara ini telah usai, karena dia terdiam dan mulai melihat sekeliling lorong.
“Kamu bisa lompat bocah? Aku sendiri akan minta pertolongan scaly...”
“Oh, iya. Um, aku rasa, aku selanjutnya.”
Pada pertanyaan Dwarf shaman, Priestess, yang selama ini melamun, dengan cepat menggenggam pengaitnya. Mengambil langkah mundur dan kemudian berlari, dan melompat menyebrang dengan sedikit teriakan, ekspresinya sedikit takut.
Dia memasang perangkap dan membunuh anak goblin tanpa rasa ragu; dia sangat cerdik dan tak kenal ampun. Bagi Priestess, pria itu terlihat seperti seekor goblin itu sendiri. Mungkin pria itu mengetahui hal ini lebih baik dari siapapun.
Tidak di ragukan lagi suatu hari, dia, juga, akan menghilang.
Suara merdu nan lembut datang terlintas pikirannya lagi. Berlalu layaknya sungai yang mengalir sebelum secara perlahan memudar.
*****
Investigasi mereka di saluran air berjalan lebih mulus di banding dengan hari sebelumnya. Ini sebagian karena mereka telah lebih memahami jalan lintas yang ada di dalam ini, dan sebagiannya lagi, karena mereka telah mengubah filosofi mereka.
Goblin slayer mengusulkan untuk menghindari pertemuan dengan para goblin. Dia berjalan dengan langkah tak pedulinya, memegang obor dan menyelinap seperti kucing. High elf archer sepertinya meniru pria itu; langkah kakinya seringan seperti sebuah bulu. Terkadang mereka berpapasan dengan goblin, dan terkadang mereka akan mencari rute lain yang tidak terdapat goblin.
Priestess, Dwarf shaman, dan Lizard priest mengikuti mereka melewati lorong ini.
“Aku nggak pernah menyangka akan ada hari di mana kamu membiarkan seekor goblin pergi, Orcbolg.” High elf archer berbisik.
“Aku nggak membiarkan mereka pergi,” dia membalas, merapatkan dirinya pada sebuah dinding dan mengintip dari sudut dinding. “Pertama, kita habiskan pimpinan mereka. Kita akan bantai sisanya setelah itu.”
“Apa mungkin Ogre atau Lord yang lainnya,” Priestess bergumam cemas. Tapi Goblin slayer hanya menggelengkan kepala dan berkata, “Aku nggak tau.”
Goblin adalah yang paling terbawah dalam tatanan hirarki monster. Hampir semua macam makhluk bisa memimpin mereka. Seorang Dark elf, demon, bahkan seekor naga..,
“Saya rasa akan tidak baik bagi kita untuk berdiri di sini dan memikirkannya.” Lizard priest mengambil peta yang terlipat dari tasnya dan membukanya dengan lincah dengan cakarnya. Berkat pengelihatan malamnya yang sangat baik, yang diturunkan oleh leluhurnya, dia dapat membaca bahkan tanpa adanya cahaya.
“Saya pikir kita belum mengetahui sedikitpun siapa biang keladi atas semua ini.”
“Yang kamu maksud,” Dwarf shaman berkata, “Bahwa kita harus terus masuk lebih dalam.”
“Lebih tepatnya ke hulu jalur air ini.” Goblin slayer berdiri dan menahan obor di atas peta untuk membacanya. Dia menelusuri sebuah jalur dengan jari yang terlapisi sarung tangan kulit. Yang menunjukkan hulu jalur air, melewati area pertempuran acak mereka di hari sebelumnya.
“Perahu mereka datang dari hulu jalur air ini. Bisa di pastikan mereka memiliki markas di suatu tempat di daerah itu.”
“Jika kita terus ke hulu... itu artinya kita akan keluar jalur dari peta ini kan?” Jari putih Priestess mengikuti Goblin slayer di atas peta.
Peta yang di berikan Sword maiden adalah satu-satunya peta yang menggambarkan saluran air ini. Peta ini hanya menunjukkan sebagian kecil dari luasnya reruntuhan yang menjalar di bawah kota air.
“Apa kita akan baik-baik saja?”
“Kita nggak akan melakukan hal yang ceroboh.”
Priestess mengatur genggaman pada tongkatnya, tidak dapat menenangkan dirinya, tapi Goblin slayer sudah memutuskan.
Tidaklah jelas apakah ini sikap tenggang rasa untuknya. Namun melihat ekspresi pria itu yang tidak berubah, pipi tegang Priestess menjadi santai dan dia tertawa.
“Benar, itu benar. Mari jangan lakukan hal sembrono ataupun ceroboh.”
Dia menggenggam tongkatnya erat, memaksa lututnya untuk berhenti gemetar, dan menatap kedepan.
“Hulu, huh? Kalau begitu lewat sini.” High elf archer mulai berjalan, telinganya berayun, tanpa rasa enggan, sisa partynya mengikutinya.
Tidak lama kemudian, mereka telah mencapai bagian paling ujung dari peta mereka, hawa udaranya telah berubah cukup drastis. Lorong batu sederhana telah membawa mereka menuju sebuah galeri yang di hiasi lukisan dinding. Jalan yang tertutupi oleh lumut telah menjadi batu marmer yang retak. Bahkan air berubah dari kotor menjadi jernih. Ini sudah sangat jelas bukan lagi saluran air.
“Ada sisa jelaga di sini.”
Goblin slayer, mempelajari lukisan dinding dengan seksama, menahan obornya tinggi dan menunjuk sebuah tempat di dekat langit-langit.
High elf archer melangkah dengan berjinjit mencoba untuk melihat sekitarnya.
“Maksudmu di sini pernah ada cahaya?”
“Dahulu kala sekali.” Goblin slayer mengangguk, mengelap sedikit jelaga dari jarinya. “Goblin memiliki pengelihatan malam yang bagus. Mereka nggak memerlukan pencahayaan.”
“Hmmm...”
Lizard priest mencondongkan tubuhnya memerhatikan lukisan dan memberikan lukisan tersebut sebuah belaian secara hati-hati dengan cakarnya. Manusia, elf, dwarf, rhea, lizardmen, beastmen—setiap ras yang dapat berbahasa tergambarkan lengkap dengan perlengkapan mereka, tua dan muda, pria dan wanita.
“Warrior atau prajurit...bukan.”
Pakaian mereka bukanlah seragam yang biasa di gunakan para prajurit. Tentara bayaran mungkin, atau...
“Petualang.”
“Aku pernah dengar tempat ini dulunya cukup ramai,” Dwarf shaman berkata, berdiri menyamping dan memperhatikan olesan kuas tersebut dengan seksama dengan matanya. Lukisan itu, telah menjadi usang termakan waktu yang panjang, terkikis hanya dengan sentuhan yang sangat lembut. “Gaya lukisan ini terlihat dari masa empat, lima ratus tahun yang lalu.”
“Oh,” kata Priestess, melihat sekelilingnya, “Apa mungkin ini...”
Galeri yang terkonstruksi dengan seksama, figur pada lukisan, air yang jernih. Ini terasa seperti tempat yang Priestess ketahui dengan sangat baik. Kesucian, kesunyian—bukan untuk di lewati. Bukan juga sebuah kuil...
“...Sebuah kuburan, mungkin?”
Katakomba. (TL Note : Katakomba = https://id.wikipedia.org/wiki/Katakomba)
Inilah sebutan tempat ini; Priestess yakin. Dia membelai lukisannya—gambaran orang-orang—dengan jarinya yang kurus. Mereka yang bertarung pada kubu ketertiban di masa para dewa—dan ini adalah tempat peristirahatan mereka. Priestess berlutut mengheningkan cipta kepada mereka yang telah gugur.
High elf archer berdiri di belakang Priestess seraya Priestess mendoakan kedamaian para jiwa yang telah pergi, seakan-akan menjaga sedang menjaga Priestess.  Pundaknya melemas.
“Tempat ini sekarang menjadi sarang goblin.”
Kalimatnya mengundang ekspresi kesedihan seraya kalimat itu bergema dan menghilang secara perlahan. Bagi para elf, yang dapat hidup selama ribuan tahun bahkan masa para dewa terasa belum lama bagi mereka. Atau mungkin dia merasa terpana karena dapat berdiri di antara kuburan para warrior yang pernah di dongengkan oleh ayah dan ibunya.
“Bahkan jiwa para pemberani pada akhirnya akan gugur, huh...?”
“Itu  sudah nggak penting lagi sekarang.”
Goblin slayer memotong kalimat kesedihan para gadis. Dia dengan cepat memeriksa area sekeliling, dan ketika dia merasa puas bahwa tidak di temukannya ancaman akan goblin, diapun mulai berjalan dengan cepat.
Reaksi tersebut memang ciri khas pria tersebut. High elf archer dan Priestess saling bertukar pandang.
“Bagaimana menurutmu soal dia?”
“Aku rasa...dia masihlah Goblin slayer yang kita kenal.”
Jawaban Priestess adalah campuran dari rasa menyerah dan keakraban.
High elf archer berdiri dengan anggun dan berjalan mengikuti sang warrior, Priestess mengikuti di belakang mereka.
“Hmm, nggak pernah ada yang menuduh Beardcutter soal  kesabarannya yang berlebihan.” Dwarf shaman mengikuti berikutnya dengan hembusan huff. “Kamu mungkin bakal menakuti iblis kecil itu hanya dengan muncul begitu saja.”
“Itu akan jadi masalah,” Goblin slayer berkata pelan. “Aku benci jika mereka lari.”
Rekannnya tersenyum lemah pada respon serius berlebihannya, dan petualangan mereka kembali berlanjut—masuk menuju katakomba.
Semua tentang arsitektur di sini sangatllah berbeda dengan di saluran air. Jalannya berbelok-belok membingungkan, berputar dengan sendirinya, bercabang-cabang, layaknya sebuah labirin. Jika di lihat dari atas, katakomba ini terlihat seperti jaring laba-laba.
“Mereka pasti membuatnya seperti ini untuk membuat bingung monster apapun yang berkeliaran disini, menghalau mereka agar tidak mengusik warrior yang telah gugur,” Dwarf shaman menjelaskan dengan siulan kagum. Bahkan para dwarf yang merupakan ahli batu yang terbaik tidak akan dengan mudah membuat bangunan seperti ini. “Untuk menghantui tempat ini sebagai roh yang tersesat...itu benar-benar takdir yang kejam.”
“Ya, karena itu akan menghilangkan satu tahapan proses akan kematian dan kelahiran kembali,” Lizard priest berkata. “Tapi tempat ini sudah jatuh ke tangan para goblin.”
Tidak di ragukan lagi bahwa tempat ini sudah menjadi bibit kekacauan sekarang.
“Terlebih lagi...” gumam Lizard priest, menambahkan beberapa goresan arang pada kertas kulit domba, “Proses penggambaran peta ini tidak boleh di lakukan dengan setengah hati. Masing-masing dari kita harus tetap siaga.”
“Kalau begitu, ruangan ini yang pertama.”
Memegang tongkat dengan kedua tangannya, Priestess menatap pada sebuah pintu yang tebal dan berat. Berwarnakan gelapnya langit malam, dengan emas di ujungnya, dan sepertinya telah membantah aliran waktu. Ajaibnya walaupun berada di tempat yang lembab ini, pintu ini sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kerusakan maupun keausan. Terlihat jelas bahwa pintu ini telah di perkuat oleh magic tua yang terlupakan. Selain sedikit karat di sekitar lubang kunci, tidak ada goresan pada tempat lainnya.
“Nggak terkunci, “ High elf archer berkata. “Dan kelihatannya nggak ada perangkap—paling nggak pada pintunya.” Dia telah menyelesaikan inspeksinya pada lubang kunci, mengangguk, dan melangkah ke samping. “Tapi ini bukan keahlianku. Jadi jangan salahkan aku kalau aku salah.”
“Baiklah.” Goblin slayer memutuskan, kemudian menendang pintu akan ruang makam ini.
Para petualang membanjiri masuk ke dalam ruangan layaknya tanah longsor.
Ketika mereka semua masuk, Dwarf shaman memalu sebuah ganjal di bawah pintu untuk menahannya tetap terbuka. Dia selalu menyimpan barang untuk hal-hal yang tidak terduga, dan dari mudahnya cara dia menggunakannya menunjukkan akan pengalamannya yang sudah lama.
Lizard priest mengangkat senjatanya untuk melindungi Dwarf shaman dari serangan yang tidak terduga, sementara sang dwarf bekerja, adalah pekerjaan High elf archer untuk memeriksa ruangan ini.
Ukuran ruang makam ini adalah sekitar tiga meter persegi, berlantaikan sembilan keramik berbaris tiga. High elf archer berkeliling untuk memeriksa ruangan, sebuah panah telah siap pada busurnya...
“Lihat itu!”
“Mengerikan sekali...!”
High elf archer dan Priestess menelan liur bersamaan, ekspresi jijik terlihat jelas di wajah mereka.
Ruangan ini berisikan beberapa peti batu yang kosong. Di tengahnya, terlihat sebuah sosok  di terangi oleh cahaya redup obor. Seseorang terikat, tubuh terbentang seolah-olah sengaja ingin menunjukkannya.
Sosok itu telihat seperti manusia, kepala tertunduk kelelahan—seorang wanita dengan rambut panjang. Wanita tersebut menggunakan armor metal yang telah buram. Mungkin dia adalah salah satu petualang yang pergi sebelum mereka dan belum kembali.
“Pak Goblin slayer!”
“Apa boleh buat...”
Dengan ijin Goblin slayer, Priestess berlari mengarah wanita yang tertangkap.
Dia berlutut dan bertanya, “Halo? Halo? Kamu nggak apa-apa?” Tidak ada jawaban.
Wanita tersbut bahkan tidak menoleh mengarah Priestess. Kepalanya hanya tetap tertunduk begitu saja.
Apakah dia sudah kehabisan tenaga? Atau dia...?
“...! A—Aku akan coba sembuhkan kamu....!”
Priestess mengesampingkan rasa takut akan hal terburuk dan memulai berdoa kepada Ibunda bumi untuk menyembuhkan.
O ibunda bumi yang penuh ampunan, ulurkanlah tanganmu kepada—”
Dengan vwish lembut, rambut sang wanita terjatuh ke lantai, tepat di depan Priestess di kala dia mengangkat tangannya meminta keajaiban.
Sebuah mata kosong menatapnya.
Dia adalah manusia.
Dulunya.
Sebuah tengkorak berdebu, berpakaian wanita yang telah di sangka masih hidup.
“Ini nggak benar! Ini...ini semua nggak benar!”
Priestess meneriakan teriakan tersedak.
Dan pada saat yang sama, pintu masuk mereka telah tersegel dengan hantaman yang keras.
Ganjal pintu terlempar di lantai, seolah-olah mengejek mereka.
“Hrr—!”
Lizard priest dengan segera mencoba mendobrak pintu dengan pundaknya, namun tidak bergeming.
“Ini masalah! Saya rasa pintunya telah di di kunci!”
“Ayo Scaly! Mungkin kamu dan aku bersama bisa...!”
Lizard priest dan Dwarf shaman mendobrak pintu sekuat tenaga mereka. Pintu berbunyi, namun tetap  tidak bergeming. Tidak menunjukkan tanda akan terbuka sama sekali.
“GROOROOROROB!!”
“GORB!! GORRRRB!!”
Suara terkekeh-kekeh menggema di sisi lain dinding batu, mengejek usaha sia-sia para petualang.
High elf archer menggigit bibirnya.
“Goblin...!”
“Mereka memerangkap kita.” Goblin slayer meludah jengkel.
Mereka seharusnya sudah menduganya. Goblin tidak mungkin akan membiarkan begitu saja sebuah party petualang memasuki sarang mereka.
Menyudutkan mangsa yang berhati-hati sangatlah sulit. Akan lebih mudah untuk menyiapkan serangan tiba-tiba—dengan memasang perangkap. Para goblin tahu bahwa tidak ada petualang yang akan meninggalkan wanita yang sedang dalam masalah.
Sekali-sekali, semua akal kekejaman dalam kepala kecil mereka dapat mengelabui bahkan para manusia. Ini, bersamaan dengan cepatnya mereka berkembang biak, yang membuat mereka dapat bertahan selama ini.
“Tidak...!”
Mereka terperangkap. Kenyataan itu membuat Priestess tak mampu berkata. Lututnya gemetar, giginya gemetar, dan dia berpikir bahwa kakinya tidak akan sanggup menopang tubuhnya. Sebuah tragedi akan petualangan pertamanya kembali terngiang di kepalanya.
“Jangan panik.”
Ucapannya mekanikal seperti biasanya. Dan bukan bermaksud untuk menenangkannya dari rasa takutnya, melainkan untuk menghadapinya. Priestess mengangguk  berani, seakan-akan bergantung akan ucapan Goblin slayer. Wajahnya pucat, dan sesuatu berkilau di ujung matanya. Jika Goblin slayer tidak berada di sana atau jika dia sendirian, sudah pasti Priestess akan pingsan.
Dan itu artinya adalah kematian—atau sesuatu yang lebih buruk.
Namun Goblin slayer berdiri di sampingnya, perisainya terangkat, senjatanya siap.
“Kita masih hidup.”
Sang kenari mulai berkicau berisik.
*****
“Gas!”
Tidak ada yang yakin siapa yang mengatakannya pertama kali.
“GROB! GORRB!!”
“GROOROB! GORRRB!!”
Kicauan kenari bercampur dengan tawaan mengejek para goblin di balik pintu.
Sebuah kabut putih mulai memasuki ruangan dari beberapa lubang yang telah di lubangi pada dinding. Para petualang berkumpul di tengah ruangan makam seperti sudah terkepung. Tidak salah lagi mereka sedang dalam keadaan genting.
“Kita dalam masalah sekarang. Mereka akan menghabisi kita sekaligus.”
“Tidak semua gas berbahaya... Namun saya yakin bahwa gas ini tidak akan berdampak baik bagi kita.”
Lizard priest menjentikkan lidahnya, dan Dwarf shaman mendengus dan mengelap keringat dari alisnya. Matanya tidak sengaja menatap tengkorak buruk rupa dengan kulit wanita.
Melihat seluruh bagian ruangan dengan putus asa, berharap menemukan sebuah jalan untuk melarikan diri, High elf archer berteriak.
“Ini nggak bagus! Nggak ada jalan keluar lainnya!”
“Apa...yang akan...kita lakukan, pak Goblin slayer...?”
Priestess masih belum menerima keajaiban Cure, yang dapat menetralisir racun, dan bahkan efeknya tidak akan bertahan lama. Ketika efeknya telah habis, maka itu akan menjadi sebuah akhir. Tanpa mengetahui seberapa lama gas akan terus masuk, yang hanya dia dapat lakukan  mencoba mengulur waktu.
Priestess menatap memohon kepada Goblin slayer, matanya penuh akan air mata.
Goblin slayer tidak merespon.
“Pak Goblin slayer?”
“........”
Dia sedang merogoh isi tasnya tanpa berkata.
Seraya Priestess memperhatikan, Goblin slayer mengeluarkan sebuah benda hitam dan memberikannya kepada Priestess.
“Lipat ini pada sebuah kain, dan tutupi mulut dan hidungmu dengan itu.”
“Apa ini—arang?”
“Ini akan sedikit melindungimu dari gas beracun. Kalau kamu punya tumbuhan herba denganmu, masukkan ke dalam kain juga. Cepat, kalau kamu nggak mau mati.”
“Baik pak!”
Priestess dengan cepat mengambil arang tersebut dan duduk di tempat untuk mencari barangnya sendiri. Ketika dia menarik enam buah kain bersih, dia mendapati sebuah tangan bersisik mendekati dari sampingnya.
“Biarkan saya membantumu. Gas beracun tidak terlalu berpengaruh terhadap saya.”
“Te-terima kasih...!”
Mereka berdua dengan cepat melipat arang dan tumbuhan herba pada setiap kain, membuat sebuah masker gas sederhana. Priestess terus melanjutkan menyiapkan kain untuk rekannya seraya Lizard priest memasang kain itu pada wajah Priestess.
“Pak Goblin slayer!”
“Terima kasih.”
“Ini, ambil ini juga...!”
Dua masker gas, satu dengan kain yang lebih besar. Goblin slayer sepertinya memahami apa yang sedang di pikirkan Priestess; dengan segera dia membungkus sangkar burung dengan kain besar itu. Kemudian, dia mendorong masuk maskernya sendiri melalui celah helmnya dan mulai merogoh isi tasnya kembali. Tas tersebut penuh akan benda yang tidak di kenali oleh yang lainnya.
“Ya tuhan. Kamu punya segalanya kecuali tempat cuci piring di dalamnya ya?” Dwarf shaman berkata seraya dia kesulitan untuk memasukkan jenggotnya ke dalam kain yang di berikan Priestess.
“Hanya hal yang minimum,” Goblin slayer menjawab, mengeluarkan dua kantung dari berbagai macam barangnya. “ Aku ingin membawa masker yang di gunakan dokter ketika menangani penyakit Black death, tapi masker itu terlalu besar.” (TL Note : Black death = https://id.m.wikipedia.org/wiki/Maut_Hitam)
“Jadi, kamu punya ide apa Beard cutter?” Sang dwarf sepertinya menyengir berani dari balik maskernya.
Goblin slayer melempar salah satu dari kantung itu kepadanya. Dwarf shaman berusaha untuk menangkapnya, kemudian memberikan tatapan penuh tanya ketika merasakan berat yang tidak di duganya.
“Apa ini?”
“Kapur mentah dan tanah vulkanik.” Goblin slayer mekanikal seperti biasanya. “Campur mereka bersama dan sumbat lubang di dinding.”
“Dwarf shaman tiba-tiba menepuk lututnya. Bahkan dengan masker, senyum menyeringainya terlihat jelas.
“Beton!”
“Tapi itu tidak akan mengering dengan cepat,” Goblin slayer berkata, namun dia mengangguk, dan Dwarf shaman menepuk dadanya sendiri.
“Apa yang kamu khawatirkan Beard cutter? Aku punya mantra cuaca!”
Mendengar itu, High elf archer menarik kantung tersebut dari genggaman Dwarf shaman.
“Hey, telinga panjang, apa yang kamu lakukan?”
Di balik masker gasnya, matanya menyipit dan telinganya berayun.
“Aku akan sumbat lubangnya, dwarf. Kamu baca mantranya!”
“Setuju sekali!” Respon cepatnya layaknya sebuah palu yang memukul paku.
Dia dan High elf archer mulai berkeliling ruangan. High elf archer akan menyebarkan campuran beton dimana dia menemukan lubang, dan Dwarf shaman akan membaca mantranya.
Tik tok ujar sang jam, detiknya tak pernah terdiam. Pendulum, mengayun—mengkalikan waktu!”
Dia menyelesaikan dengan teriakan lantang dan sebuah hembusan nafas, dan campuran berlumpur itu mengeras sekejap mata.
Lizard priest memutar mata di kepalanya melihat pemandangan itu.
“Hmm. Talenta anda sangatlah banyak, master pembaca mantra.”
Dia menggerakkan rahangnya ke atas dan ke bawah. Yang tertutupi oleh sebuah kain, yang tidak cukup panjang; yang telah di tambahkan dengan sebuah perban. Suaranya teredam namun masih terdengar normal; dan terlebih, dia terlihat cukup santai. Bagi seorang Lizardman yang hidup pada hutan bagian selatan, medan tempur layaknya rumah kedua bagi mereka.
“Apakah anda punya rencana selanjutnya, tuanku Goblin slayer?”
“Kita pindahkan salah satu peti menuju depan pintu sebagai barikade,” Goblin slayer berkata datar. Dia terdengar tidak berbeda dari biasanya; tidak terlihat bersemangat sama sekali. “Pada saat gas sudah menghilang, mereka akan masuk.”
“Oh, A—Aku akan bantu!”
Dengan terburu-buru Priestess membersihkan barang-barangnya dan berdiri.
Goblin slayer mengangguk sebagai jawaban, dan Lizard priest pergi ke salah satu peti secara acak.
Priestess datang menuju sisinya. Apakah mereka dapat menggerakkannya? Mereka tidak mempunyai pilihan.
“Kapanpun kamu siap.” Goblin slayer berkata.
“Bersama-sama.” Dari belakang mereka, Lizard priest meletakkan tangannya yang besar pada peti batu.
“Satu... Dua...”
“Hrr!”
“Hnnn!”
Bersama dengan Warrior dan sang priest, Priestess mendorong sekuat tenaganya dari tubuhnya yang langsing. Lengan kurusnya dan kulitnya yang lembut sama sekali tidak bisa di samakan dengan rekannya. Walaupun begitu, dia tetap mendorong dengan sekuat tenaga, keringat bercucuran di wajahnya.
“Hrr! Hrrnnnn!”
Pada saat ini dia telah berhenti gemetar.
Tidak lama kemudian, dia mendengar suara sesuatu yang terseret, dan peti secara perlahan mulai bergerak.
Peti tersebut meninggalkan sebuah goresan putih di lantai seraya mereka mendorongnya, yang pada akhirnya memblokir pintu dengan hantaman yang keras.
Lizard priest memberikan dua atau tiga kali dorongan lagi sebelum dia mengangguk puas.
“Ini akan memblokir pintu dengan baik.”
“Kami sudah selesai juga!”
High elf archer datang kembali mengarah Lizard priest.
Dwarf shaman datang dengan terhuyung, mengelap keringat dari dahinya.
”Sayangnya, begitu pula mantraku.”
“Kalau begitu, ambil senjata.” Goblin slayer menarik sebuah dagger dari sarungnya.
Dia mengambil sangkar burung yang di mana kenari berdiam diri, dan meletakkannya di tengah-tengah ruangan. Dia kemudian memeriksa kondisi perisainya dan tas dan menyiapkan dirinya untuk bertarung pada detik ini.
“Oh-ho nggak perlu takut kehabisan amunisi di sini,” Dwarf  shaman berkata, mengeluarkan ketapelnya. Dia mengambil banyak kerikil dan batu dari lantai dan memasukkannya ke dalam kantongnya. High elf archer mengikuti petunjuk mereka, memeriksa ikatan busurnya untuk memastikan tetap kencang.
“Apakah saya perlu memanggil Dragontooth warrior?”
“Bagaimana dengan Protection...?”
“Silahkan.”
Mendengar respon Goblin slayer, dua pendeta mereka memulai membaca doa kepada dewa mereka masing-masing.
“O tanduk dan cakar leluhur kami, iguanodon, jadikanlah empat anggota tubuh menjadi dua kaki untuk berjalan di bumi ini.”
“O ibunda bumi yang penuh ampunan, dengan kekuatanmu, berikanlah perlindungan pada kami yang lemah.”
Dengan kekuatan dari leluhur Lizard priest, naga yang menakutkan, cakar yang dia lempar ke lantai berubah menjadi Dragontooth warrior seraya mereka memperhatikan.
Dan Ibunda bumi yang maha pengasih memberikan mereka semua, termasuk warrior yang baru saja tercipta, keajaiban Protection. Ibunda bumi telah mendengar permohonan Priestess seraya dia menggenggam tongkatnya.
Sekarang telah aman berada di belakang sebuah pelindung tidak terlihat, High elf archer dengan lincah memasang panah pada busurnya dan membidik mengarah pintu. Telinganya berayun naik dan turun, tidak menunjukkan kegugupannya.
“Sudah nggak ada suara di luar.”
“Mereka menyadarinya.” Goblin slayer, dengan kuda-kuda sigap, merangkak menuju pintu. “Dengan lubang-lubang itu yang tertutup, gas beracun itu akan kembali mengarah kepada mereka. Kita mungkin sudah membunuh beberapa dari mereka...“
Itu merupakan tebakan yang bagus. Gemuruh genderang perang menggema dari dalam bumi. Kemudian langkah kaki sebuah gerombolan besar akan sesuatu mendatangi mereka. Sebuah suara gesekan metal yang berarti adalah armor.
Pintu, yang terbarikade dengan peti mulai bergetar, kemudian terdengar suara sesuatu yang di hantamkan pada pintu. Dentuman pertama tidak membuahkan hasil, namun terdapat dentuman kedua, dan ketiga. Pintu mulai berderit di bawah tekanan dentuman tersebut.
Pada akhirnya, pintu berhasil terkoyak dengan suara keretakkan yang lantang, dan kumpulan mata kuning menatap para petualang.
“Hati-hati!” Bahkan ketika dia berteriak, High elf archer melepaskan tembakannya.
“GRRB?!”
Panah berbentuk kuncup terbang melewati pintu yang telah terkoyak dan menusuk seekor goblin tepat di matanya. Makhluk tersebut jatuh ke belakang dengan teriakan memekikkan telinga, namun rekan-rekannya dengan cepat mengisi kekosongan yang tersedia.
“Aku nggak bisa memastikan ada berapa langkah kaki di sana, tapi ada sesuatu yang aneh di sana!” Teriak High elf archer.
Para goblin, tentu saja, tidak akan diam begitu saja hanya untuk di tembak.
Begitu mereka menyadari para petualang di ruangan melawan balik, panah mulai berterbangan melalui celah pintu.
“O ibunda bumi yang penuh ampunan, dengan kekuatanmu, berikanlah perlindungan pada kami yang lemah!” (TL Note: saya nggak paham kenapa di sini priestess pakai  Protection untuk kedua kalinya.)
Sang Ibunda bumi melindungi muridnya yang taat seperti seorang ibu melindungi anaknya. Protection telah menyelamatkan mereka dari hujan panah sebelumnya; tembakan asal-asalan tidak akan dapat menembusnya.
Selama gadis tersebut menggenggam tongkatnya dan berdoa, panah-panah tersebut tidak akan pernah mencapai mereka.
“Mereka datang.... Mereka datang.... Mereka datang!” Dwarf shaman berteriak dengan kerutan dahi. Tangannya bergerak dengan kecepatan yang dasyhat, memuat batu pada ketapelnya secepat dia bisa menembakkannya.
Panah dan batu, ratapan dan jeritan, semua bercampur menjadi satu, namun tembakan bolak balik yang terjadi di antara pintu tidak berlangsung lama. Pintu kayu hitam ini mungkin merupakan artifak kuno jauh di luar ingatan, namun bahkan pintu ini tidak akan sanggup bertahan pada gempuran senjata dan tenaga kasar selamanya. Walaupun sudah terganjal oleh peti batu, pada akhirnya berhasil terdobrak.
“GORORB!!”
“GROOROB!!”
Goblin membanjiri ruangan melewati puing-puing pintu kayu yang telah hancur. Walaupun apa yang mereka pakai merupakan perlengkapan apa adanya, mereka membawa pedang, tombak, dan busur. Mereka bahkan menggunakan armor kulit dan baju besi.
“Mereka memiliki perlengkapan yang bagus.”
Goblin slayer menyadari satu makhluk besar yang berbeda dengan lainnya yang sepertinya memimpin mereka.
“Seekor hob... Nggak.”
Dengan dengusan pendek dan ayunan lengan kanan secepat kilat, dia melemparkan daggernya pada makhluk itu.
Dagger tersebut menusuk tepat sasaran, menembus bagian vital dari pundaknya yang terpapar, tapi luka tersebut sangat jelas tidak mematikan.
Goblin sering di gambarkan sebagai “iblis kecil,” namun ungkapan tersebut tidak ada artinya dihadapan makhluk ini. Kulit hijau kehitaman berlapiskan otot, yang begitu kekar seolah-olah akan meledak dari tubuhnya. Dia menggenggam sebuuah pentungan, wajah buruk rupanya tentu saja mirip dengan goblin, tapi....
“GORAORARO!!”
“Jadi. Seekor goblin champion.”
Sang goblin champion tidak bergeming ketika dagger tersebut menusuknya, dan sekarang dia mencabut dagger tersebut dan seringai lebar.
Tanpa sedikitpun rasa ragu, Goblin slayer menarik pedang tidak biasanya.
“Aku akan maju.”
“Benar sekali! Biarkan pedang saya membantu anda!”
Lizard priest yang melolong menarik pedang taringnya dan mengikuti Dragontooh warriornya, terjun ke medan perang.
Pedang berdenting, dan teriakan, dan erangan. Ruang makam kecil ini dengan cepat bermandikan aroma bau darah. Para goblin menekan para petualang dengan jumlah yang banyak. Bunuh satu, dan yang lainnya akan terus berdatangan. Mereka harus membunuh pemimpinnya.
Pedang dan perisai tergenggam erat di tangannya, Goblin slayer bersiap akan maju ke depan dengan gagah berani.
“U-um!”
Sebuah suara terdengar di belakangnya.
Suara itu berasal dari Priestess, masih memeluk erat tongkatnya di dadanya.
Priestess melihat pria itu, terlindungi oleh ketapel dan busur dari Dwarf shaman dan High elf archer.
Priestess membuka mukutnya untuk mengatakan sesuatu, tapi tidak ada kalimat yang keluar.
Goblin slayer tidak melihat kebelakang.
Akan tetapi, berlari tepat menuju pertempuran yang sedang berlangsung, dan tidak lama kemudian Priestess sudah tidak dapat melihatnya lagi.
Goblin slayer terus bergerak supaya dia tidak dapat di serang dari belakang, mengarahkan pedangnya pada tenggorokan goblin. Dia mendorong pedang yang di genggamnya secara terbalik dan menghabisi goblin lainnya. Apa yang tidak bisa dia tebas, dia akan menghantamnya dengan perisainya.
Dia tidaklah sendiri. Dragontooth warrior bertarung di sampingnya. Salah satu goblin merayap mendekatinya dengan sebuah dagger, namun Dragontooth warrior memberikan sebuah tendangan yang menerbangkan goblin tersebut. Cakarnya menghancurkan rahang goblin.
Goblin slayer berputar dan melempar pedangnya pada goblin bersenjatakan tombak. Dia mengambil sebuab pentungan di dekat kakinya.
“ORARARAGA?!”
“Lima.”
Jika dia di paksa untuk beradu pedang dengan setiap monster yang ada di ruangan ini, dia kemungkinan hanya akan  menghancurkan dirinya sendiri. Tidak ada yang mengetahui seberapa banyak goblin yang ada di gerombolan ini dan menghadapi mereka semua satu persatu secara adil hanya akan membuat dirinya kelelahan.
Yah, dia tidak akan menghadapi mereka secara adil, Goblin slayer selalu bersedia untuk menggunakan segala jenis taktik.
“Bantai mereka semua!” dia berkata.
“Dengan senang hati!” Teriak Lizard priest. “Ahhh! Saksikan aksi saya, wahai  leluhurku!”
Dengan ekornya, dia mengibas semua musuh yang mendatanginya dari belakang, kemudian menarik salah satu yang berada di depannya dan berputar sebelum dia melemparnya pada sebuah dinding.
“GORARA?!”
“GROOOROBB?!”
Cakar dan taring dan ekor. Seluruh tubuh Lizard  priest adalah senjata, teknik bertarungnya sebrutal seperti tornado.
Musuh mereka adalah sebuah legiun. Empat anggota tubuhnya menyambuk tanpa henti, mencari sesuatu untuk di serang. Dragontooth warrior membantu membuka sebuah celah di antara musuh, dan Goblin slayer berlari di celah-celah itu.
“Ya ampun, mereka banyak sekali!”
“Jangan main api kalau takut terbakar! Terus tembak!”
High elf archer dan dwarf shaman menembakkan proyektil mereka pada musuh yang terlewatkan oleh tiga petarung jarak dekat mereka.
“Bagaimana keadaanmu bocah?”
“Aku...masih bisa...”
Keajaiban yang di anugrahi Priestess oleh Ibunda bumi masih dalam efek, dan para petualang dapat berhadapan cukup baik melawan goblin yang melewati pintu.
Namun ini tidak akan berlangsung lama. Goblin slayer mengetahui hal ini lebih dari siapapun.
Dia bergerak melewati medan perang, menghancurkan tengkorak goblin dengan pentungan di tangan kanannya. Menggunakan perisainya untuk menghajar seekor goblin yang mendatanginya dengan sebuah pedang panjang, kemudian menghancurkan makhluk itu dengan pentungannya.
Kemudian dia melempar pentungannya, menghabisi monster ketiga, sebelum mengambil pedang panjang dari goblin yang dia bunuh sebelumnya.
“Tujuh belas...”
Akhirnya dia membungkuk, melindungi dirinya dengan perisai dan berlari menuju dinding yang terbarikade oleh peti batu. Dia berlari tepat menuju goblin champion, yang di lindungi oleh beberapa bawahannya.
Sang champion merupakan raksasa kecil, menggunakan armor berwarna kelam, mengayunkan pentungannya dan meraung. Setidaknya dia sama kuatnya dengan tiga ekor goblin dan dapat mengalahkan dua orang sekaligus.
Banyak hal dari goblin champion yang sangat mirip dengan hobgoblin. Hob merupakan kata lama yang artinya adalah pengelana, giant, kepala pimpinan, atau demon. Otot kekar makhluk ini benar-benar menggambarkan semua nama itu, sebuah warisan dari leluhurnya. Dia telah melatih tubuhnya dengan berpindah dari sarang demi sarang, bertemu dengan petualang demi petualang dalam pertarungan. Makhluk ini seperti seorang petualang dengan talenta alami yang telah mendapatkan banyak experience point—tingkat platinum ras goblin.
Itu, dengan kata lain, adalah goblin champion.
Salah satu makhluk seperti ini yang telah berhadapan dengan Heavy warrior dan Female knight bersama di sebuah kebun. Dan kemungkinan, makhluk ini merupakan warrior yang berpengalaman.
“Walaupun begitu, goblin tetaplah goblin...”
Ini bukan berarti dia meremehkan makhluk ini. Dia tidak pernah meremehkan seekor goblin.
“....”
“ORGOORORB!!”
Sang champion meneriakan sesuatu yang mengintimidasi kepada bawahannya yang ketakutan untuk mendorong mereka agar lebih berani dalam menghadapi petualang.
Goblin slayer, yang telah berhasil menyelinap di belakang makhluk itu, dengan perlahan mengatur genggamannya pada pedangnya.
Sebuah kisah kuno menceritakan seorang rhea berhasil membunuh seekor goblin king dengan satu kali pukulan menggunakan pentungannya. Goblin slayer sama sekali tidak tahu apakah legenda itu benar atau tidak, namun itu tidak akan menghentikannya untuk mencoba.
Khususnya untuk membunuh makhluk ini dengan sekali serang.
Dia berniat untuk menusuknya dari belakang, tepat menuju otaknya yang rentan.
Dia menyiapkan pedangnya untuk menyerang.
“OROAGA?!”
Dia merasakan pedangnya menusuk daging, melihat cipratan darah...
“Hrm!”
Tapi Goblin slayer tiba-tiba mendengus.
Secara pasti tusukannya sudah menusuk goblin. Namun itu merupakan goblin yang berbeda, goblin yang telah di lempar mengarah padanya.
“GORAGAGA!!”
Sang champion telah menggunakan bawahannya sebagai perisai.
Ini bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Goblin slayer merasa ini adalah hal yang sangat normal. Tidak ada di dunia ini yang seegois seperti goblin.
Apa yang mereka inginkan hanyalah kemenangan. Jika untuk menang mereka harus mengorbankan rekannya ataupun gerombolannya, bahkan keseluruhan ras mereka, maka terjadilah. Ini adalah titik penting akan perbedaan cara pikir goblin dan mereka yang dapat berbahasa. Kecendrungan ini, di kombinasikan dengan kemarahan tidak terjustifikasi yang mereka rasakan ketika rekan mereka terbunuh, membuat mereka sangat berbahaya.
“GOROROROB!”
Dia telah menusuk goblin tersebut pada perutnya, di antara celah armor yang di gunakannya, goblin itu berteriak akan sesuatu seraya darahnya menciprat dari lukanya.
“Feh...”
Goblin slayer dengan cepat menarik pedangnya dan menyiapkan serangan berikutnya. Mata kuning kotor sang champion menatap sang petualang yang berniat untuk menyergapnya. Mungkin dia mengenal pria ini yang telah melempar sebuah dagger padanya sebelumnya, karena sebuah senyum buruk rupa terlukis di wajahnya.
“GROOOORB!!”
Lengannya yang perkasa mengangkat pentunganya dari bawah ke atas dengan gerakan mengayun.
“Hrggh?!”
Metal, daging, dan tulang berbunyi; terdengar suara memecah udara.
Tak berbeban, benturan, ketidakberdayaan. Sebuah rasa hangat muncul dari dalam bagian tubuhnya. Rasa sakit.
Dalam sekejap, Goblin slayer memahami apa yang terjadi. Perisai yang secara reflek dia angkat untuk melindungi dirinya telah terlontar bersama dirinya.
Dan dia sendiri mendapati dirinya menabrak salah satu peti yang berjejer di ruangan. Peti batu tersebut pecah dengan keretakkan yang luar biasa, debu berterbangan di segala penjuru. Lentera terlepas dari pinggulnya dan pecah, membebaskan api.
“Pak Goblin slayer!” Priestess meneriakinya dari tempat di mana dia memperhatikan pertarungan pada garis belakang.
“Orcbolg! Kamu nggak apa-apa?!”
High elf archer dan Dwarf shaman berdua melihat mengarah Goblin slayer pada saat mendengar teriakan Priestess.
Namun tidak ada jawaban.
“Tidak! Pak...Goblin slayer....?”
Kakinya gemetar, seolah-olah berada di atas kapal yang di ayun ombak.
Dia baik-baik saja. Pasti dia baik-baik saja. Dia bahkan masih sanggup berdiri dari hantaman ogre itu. Dia akan berkata, Kita tidak akan melakukan hal bodoh atau ceroboh. Seperti yang selalu dia lakukan.
Namun dia hanya terbaring di sana, berselimutkan debu-debu, layaknya boneka yang telah di buang. Dengan suara batuk, darah kental keluar dari celah helm metal.
Tidak salah lagi; itu merupakan serangan kritikal.
“Ti....!!”
Tongkatnya berbunyi lemah seraya terlepas dari genggamannya dan terjatuh di lantai. Dia mendekatkan tanganya yang gemetar ke wajahnya. Figurnya yang indah menjadi sosok yang ketakutan.
“Arrrrrgh! Pak Goblin slayer! Goblin slayer!”
“GORB! GRROB!”
“GROROB!”
Tangisan gadis bergema di penjuru ruangan. Para goblin terkekeh-kekeh mengerikan; tangis tersebut merupakan suara favorit mereka.
Warrior baris depan telah terluka. Semangat pengguna magic telah di hancurkan. Protection yang mereka benci akan segera hilang juga. Party mereka telah kehilangan pemimpinnya—itulah yang terpenting. Para goblin, tentunya, tidak akan membiarkan kesempatan ini begitu saja. Seperti ini lah bagaimana cara mereka mengubur banyak petualang sebelumnya.
“Apa-apaan ini...?!” Teriak Lizard priest, seraya dia bertarung dengan tenaga yang hanya di miliki Lizard priest.
Walaupun Dragontooth warrior telah cukup banyak membunuh gerombolan goblin, pada akhirnya Dragontooth warrior pun berhasil di kalahkan.
Lizard priest dengan cepat terpojok. Tiga pemain bertahan telah menjadi satu. Walaupun dia mempertahankan posisinya dan menggunakan semua tenaganya, dia tidak akan bisa menghadapi keseluruhan pasukan goblin.
“Tetap tenang! Jaga konsentra—Grk?!”
Dengan begitu, High elf archer menjadi tangkapan pertama mereka hari ini.
Dia telah menembakkan panahnya tanpa henti, dan tidak ada goblin yang dapat mendekatinya.
Namun ketika ritmenya melambat, walau hanya sekejap saja, seekor goblin mengambil kesempatan itu untuk melompat mengarah padanya.
Bangsa elf adalah makhluk yang elegan dan langsing secara turun temurun. Kelincahan mereka tidak ragukan, namun kekuatan bukanlah keunggulan mereka. Dia berjuang untuk menyingkirkan goblin yang ada di punggungnya, namun itu adalah usaha sia-sia di hadapan gerombolan membanjirinya.
“Lepaskan! Menyingkir—huh? Ahh! Ahhhhh!”
Dia di seret di lantai, dan dengan teriakan, dia menghilang di bawah tumpukan hitam goblin.
Hanya sebentar saja, satu kaki kurus mencuat keluar dari tumpukkan itu, menendang udara.
“Telinga panjang!”
Dwarf shaman adalah yang pertama menyadari apa yang terjadi, dan yang satu-satunya dapat merespon. Dia melempar kesamping ketapelnya dan, dengan teriakan, mengeluarkan sebuah kapak dari ikat pinggangnya.
“Kalian iblis kecil! Demi tuhan, lepaskan dia!”
Keputusannya sudah tidak bisa di pertanyakan lagi; sudah tidak ada waktu untuk menggunakan mantra. Jika Dwarf shaman tidak dengan segera menghalau, High elf archer mungkin telah di bawa ke tempat yang entah kemana, tanpa mengetahui takdir apa yang menunggunya.
Namun tanpa adanya serangan jarak jauh untuk mendukung petarung jarak dekat mereka yang tinggal seorang diri, tidak ada lagi yang dapat menghentikkan serangan gencar goblin.
Ini adalah momen kritikal.
Sekarang...
“Oh...ahh...”
Sekarang sudah tidak ada lagi yang menghalangi di antara Priestess dan goblin champion.
“Tidak... Oh.. Oh tidak...”
Giginya bergetar, dan keseluruhan tubuhnya merinding ketakutan, dia hampir tidak sanggup berdiri. Terdengar suara hentakkan lembut ketika dia terduduk lemas di lantai; kemudian dia merasakan sesuatu yang hangat dan basah menyebar di antara kakinya.
“GROB! GROOORB! GORRBB!”
Aroma itu membuat goblin champion menyeringai mengejek pada Priestess. Akan sangat mudah jika saja dia dapat kehilangan kesadarannya. Ironisnya, semua pengalaman yang telah dia dapatkan menghalaunya untuk melakukan itu.
Lengan berotot goblin champion menjulur dan menggapai pinggul Priestess.
“Hrr...?! Ahh....!” Dia berteriak kesakitan seraya makhluk itu menghancurkan organ dalamnya.
Dia ketakutan. Bagaimana jika makhluk itu terus memerasnya hingga tulangnya patah?
“Hrr...?! A-app....? Apaaaa...?”
Namun bukan itulah yang terjadi.
Sang champion mendekatkan wajahnya. Nafasnya berbau daging yang telah membusuk.
“Erryaaaaaaaaaaargh!”
Dan kemudian menggigit besar pundak Priestess, jubah dan baju besi dan semuanya. Darah meluap keluar, mengaliri merah akan kulitnya yang putih.
“Arrgggh! Ahhh!!”
Dia tidak pernah mengenal rasa sakit seperti ini sebelumnya. Dia sudah mencapai batas akan ketahanannya. Penglihatannya menjadi buram. Dia tidak dapat berbicara, hanya menangis seperti anak kecil. Dia sedang dalam kondisi yang mengenaskan, matanya penuh akan air mata, hidungnya dengan ingus, liur mengantung dari bibirnya.
“Hentikan—! –ial, le...pas...kan...aku...! Ahh!”
High elf archer menambahkan teriakannya sendiri dari balik tumpukkan goblin.
Terdengar suara baju yang terobek, pukulan, teriakan, erangan.
“Ini tidak bagus! Master pembaca mantra, saya takut jika kita tidak menyelamatkan mereka bertiga dan mundur, kita semua akan mati!”
“Kamu pikir aku sedang ap—? Hey! Menyingkir, kalian monster! Menyingkir!”
Lizard priest  dan dwarf shaman terus bertarung dengan gagah berani, namun mereka tidak bisa melakukan ini selamanya.
“GOROROROB!”
“GORRB! GORB! GOB!”
Sang champion dan para goblinnya menujuk mereka dengan telunjuknya dan  terkekeh dengan cukup lantang untuk bisa mengusik mereka yang mati. Ini adalah takdir yang di bawa oleh goblin, maupun itu kepada petualang atau sebuah desa.
Ini nasib, ini takdir. Di karena sebuah kemungkinan. Sebuah lemparan dadu.
Persetan.
Semua itu teresonasi dengan sesuatu jauh di dalam dirinya.
Ketika dia meletakkan satu tangannya ke lantai untuk mendorong dirinya berdiri, dia menemukan sebuah anak tangga yang mengarah masuk ke dalam bawah tanah yang lebih dalam.
Mungkin bisa di sebut sebuah keberuntungan bahwa peti itu kosong dan menyembunyikan sebuah anak tangga yang tersembunyi. Dan tidak berisikan mayat ataupun peralatan makam seperti yang lainnya.
Karena jika berisi, maka itu tidak akan menghaluskan benturan, dan dia akan mati.
Namun untuk saat ini, dia menghiraukan semua ini. Yang terpenting adalah bahwa dia masih hidup. Dan jika dia hidup, maka dia akan bertarung.
Dia merogoh tas peralatannya dan mengeluarkan sebuah botol potion yang telah retak. Dia kesulitan untuk membuka penutup botol dengan pergelangan tangan yang telah bengkok pada sudut yang aneh, kemudian meminum isi botol tersebut. Efek penyembuhan obat tersebut sangat minim. Tidak seperti keajaiban ilahi yang dapat menutup luka secara instan.
Tapi rasa sakit dapat teredam, dia dapat bergerak. Dan jika dia dapat bergerak, dia dapat bertarung.
Tidak ada yang dapat menghalanginya.
Dengan tangan kanannya dia mencari sesuatu yang dapat di jadikan senjata. Tangannya menggenggam apa yang dia temukan, dan kemudian dia memaksa pinggulnya yang terluka untuk berdiri.
Beberapa goblin telah menyadari bahwa dia masih hidup dan berjalan mendekati mereka, masing-masing dari mereka menggenggam senjata dan sebuah tawaan kejam keluar dari tenggorokan mereka; tidak di ragukan lagi bahwa mereka berpikir untuk menghabisinya.
Namun memangnya kenapa?
“...........!”
Dia mengayun perisai di lengan kirinya dengan sekuat tenaganya dan memukul goblin tersebut sampai mati.
“GORARO?!”
Ujung perisai yang terasah sudah cukup untuk menjadi senjata.
Dia menghancurkan kepala mereka, darah dan otak terbang ke segala penjuru. Maju. Maju. Dia tidak akan berteriak hingga detik terakhir. Dia tidak bisa. Seperti biasanya. Dia pasti tidak menyadarinya.
Sang goblin champion terfokus menyiksa tangkapan barunya. Dia sepertinya lupa akan fakta bahwa penyelundup yang telah dia hancurkan baru saja, sedang berdiri di belakangnya. Priestess telah terbujur lemas dalam pelukan sang iblis, hanya terkejang-kejang beberapa kali. Bibirnya, berubah lebih merah oleh darah yang mengalir dari lehernya yang putih, dua hingga tiga kali.
Tidak ada suara yang keluar.
Apakah, selamatkan aku?
Ataukah Oh Tuhan?
Ataukah Ibu atau Ayah?
Bukan Larilah. Yang akan membuatnya pergi.
Dia.... Dia....
Goblin slayer....
“Y-yaaaaah!”
Goblin slayer melompat mengarah punggung sang champion.
Pada awalnya, sang champion tentu saja tidak mengetahui apa yang terjadi.
Sesuatu melingkar di sekitar lehernya—di antara tulang belakang dan kulit seorang wanita, yang sekarang telah terjatuh lemas di lantai.
Makhluk itu berusaha menggapai dengan kejengkelan untuk menyingkirkan, apa yang menurutnya, hanyalah serangga....
“......!”
Namun kemudian, sesuatu tersebut di tarik dengan kencang di tenggorokkannya.
“GO-ORRRRRRRBBBB?!?!?!?!”
Dia tidak cukup bisa mengeluarkan teriakannya keluar dari tenggorokkannya.
Sang champion bergerak membabi buta pada tulang-belulang di sekitar, tidak dapat bernafas. Beberapa helai rambut terputus, namun itu tidak mengubah apapun. Makhluk itu sudah tidak dapat melihat Priestess lagi yang akan menjadi bahan mainannya. Gadis tersebut telah tergeletak di lantai layaknya mainan yang telah di tinggalkan.
“Ahh...”
Suara yang halus. Priestess masih hidup.
Dan hanya itu yang perlu di ketahui oleh Goblin slayer.
“Haa—haaaaaaa!”
Dia mempunyai sebuah tulang di tangan kanannya dan rambut seorang wanita yang terlilit di kirinya. Dia menarik sekuat yang dia bisa; rambut tersebut menggigit tembus sarung tangan kulitnya dan masuk ke dalam dagingnya.
Namun hal yang sama juga terjadi pada goblin champion.
Konon seorang assassin menggunakan sebuah rambut manusia untuk membunuh; ini adalah hal yang sama. Tidak mudah bagi seseorang untuk bisa melepaskan lilitannya.
Sang champion memutar tubuhnya, berusaha lepas dari cengkraman. Dia menabrakkan punggungnya sendiri pada sebuah dinding.
“Hrk...!”
Darah mengalir kembali dari helm Goblin slayer. Dia berteriak seraya organ tubuhnya di hancurkan. Walaupun begitu, genggamannya tidak melonggar.
“GORORORORB?! GROOORB?!”
Sang champion menjadi ketakutan.
Tentu saja, goblin yang lainnya tidak hanya tinggal diam dan melihat pemimpin mereka tercekik. Beberapa dari mereka telah mengangkat senjata mereka dan mulai menyerang untuk membunuh musuh yang telah bangkit kembali.
Hingga tiba-tiba, kepala mereka terbang, di gantikan dengan cipratan darah.
Mereka telah terbunuh oleh pentungan champion seraya dia mengayunkan senjatanya dalam usaha melepaskan dari cekikan. Goblin yang tak berkepala terjatuh lemas di lantai.
Ini sudah berlebihan, bahkan bagi mereka.
Goblin tidak mempunyai rasa takut jika mereka percaya bahwa mereka dapat menang. Jika barang jarahan dan pekacuran menunggu mereka di sisi kemenangan tersebut, maka akan lebih baik.
Namun di sini—dapatkah mereka menang?
Yaaaaaaaaaaahhhhhhh!”
Raungan lantang.
Sebuah momen kebimbangan, sebuah keraguan sesaat, meng-ejakan kekalahan goblin.
Dengan teriakan untuk memberikan rasa hormat pada leluhurnya, Lizard priest, yang sekarang telah terbebas, menyerang para monster. Pedang taring miliknya, bermandikkan akan darah goblin, berputar layaknya badai di tangan bersisiknya.
“GRRB?!”
“GORORORB?!”
Dengan setiap tebasan pedang, sebuah tangan atau kaki atau kepala terbang di buatnya. Dengan ekornya, dia menjatuhkan mereka yang berusaha melarikan diri, dengan taringnya, dia menyelesaikan mereka.
 Kebingungan di buatnya, para goblin berbondong-bondong mengelilingi Lizard priest—hanya untuk di hujani oleh panah kayu.
“Maju!”
Suara tidak asing berteriak.
Dia berusaha menutupi dadanya yang terpapar dan berlumuran akan darah goblin, namun dia di sana. Seraya dia menembak panahnya dengan berlutut, High elf archer berteriak, “Aku akan tangani mereka!”
“Terima kasih!” Lizard priest berteriak kembali dan mulai melangkahkan kakinya melewati mereka yang menyerang.
Dia berusaha mencoba untuk bisa sampai di tempat di mana Priestess terbaring di lantai. Dia masih mempunyai beberapa mantra.
Itu artinya gadis itu akan baik-baik saja, pikir High elf archer dengan hembusan nafas lega.
“....Terima kasih.”
“Apa-apaan ini, kok tumben?”
Yang menjawab gumamnya adalah Dwarf shamman yang berada di sampingnya.
Berlumuran oleh cipratan darah, terengah-engah, dan masih menggenggam kapaknya, dengan ahli dia menghabisi goblin yang berusaha membunuh musuh pemanah mereka.
“Aku nggak percaya akan berhutang nyawa kepada seorang dwarf. Memalukan sekali.” Dia berputar, berusaha menutupi dadanya yang kecil. Telinganya berkedut. “Bagi seorang elf, satu-satunya hal yang lebih memalukan adalah untuk tidak mengucapkan terima kasih.”
“Dasar elf, dari menangis meminta tolong kembali menjadi tinggi hati lagi.” Dwarf shaman berkata dengan menahan tawa.
High elf archer mengedipkan matanya. “Lebih baik dari rendah tubuh mu kan?”
Seraya dia mencoba acuh tak acuh, dia melepaskan sebuah tembakan pada goblin champion dan meneriakkan.
“Hajar dia, Orcbolg!”
“Hrr!”
Goblin slayer menggenggam bundalan rambut layaknya menunggani seekor kuda. Dia menempel pada punggung goblin champion, yang mengayunkan Goblin slayer ke kiri dan kanan layaknys kuda liar. Pada awalnya, setiap hentakkan melukainya dengan begitu sangat hingga membuatnya berpikir bahwa tubuhnya akan terburai. Namun sekarang dia tidak merasakan sakit, tidak sedikitpun. Yang hanya terasa adalah keringanan yang aneh layaknya mengapung pada sebuah air.
Beberapa bagian dari pikirannya menyuarakan peringatan. Rasa sakit adalah bukti bahwa kamu masih hidup. Dan sekarang dia sudah tidak merasakan rasa sakit. Mungkin sarafnya telah terputus.
Apakah dia membuat pilihan yang salah?
Dia pernah tidak sengaja mendengar suatu bisikan:
Majulah menuju kematian, pukul paku pada peti matimu sendiri.
Namun tidak adanya rasa sakit juga menguntungkan baginya.
Tidak peduli hal bodoh dan tolol apa yang bisa membuatku menang—Aku akan lakukan!
“Hey...!”
Suaranya keluar di antara bibirnya.
Dapatkah suara yang menggema di pikirannya dapat masuk ke dalam pikiran goblin champion?
Makhluk itu berusaha memutar kepalanya dan melihat sang musuh yang berada di punggungnya. Sebuah helm kotor, berlumur darah terpantul di mata kuning hina nya.
“Liat baik-baik, goblin.”
Goblin slayer mengangkat lengan patah kanannya dan menghajar menuju mata, dia menggenggam sesuatu yang lembek, mencakarnya dan mencongkelnya.
“GROARARARARAB?! GROORORORORORB?!?!”
Sang champion meraung tidak karuan dalam kesakitan, tubuhnya terjatuh ke belakang.
Goblin slayer terikut bersamanya, berguling di lantai batu. Dia hampir tidak dapat menghindari akan gencetan tubuh besar itu seraya terjatuh di lantai dengan suara yang menggema.
Napas terengah-engah, Goblin slayer menggunakan tulang terdekat untuk membantunya berdiri. Sang warrior penuh akan darah dan luka, mendekati kematian, namun para goblin hanya memandangnya dari kejauhan.
Tidak ada alasan yang bagus bagi mereka untuk melakukannya. Akan sangat mudah sekali untuk menghabisi pria itu saat ini.
Akan tetapi tidak salah lagi mereka takut akan pria itu.
“Siapa selanjutnya...?” Suara itu tak bernada, dan dingin layaknya angin yang berhembus melewati padang. “Apa kamu...?”
Goblin slayer melempar gumpalan daging di tangan kanannya. Mata sang champion menyentuh lantai dan hancur dengan suara basah.
“GORB...! GARARARARAB!!”
Sang champion sempoyongan di kakinya dan mulai mengoceh. Darah dan nanah mengalir layaknya air terjun pada mata kirinya yang telah hilang.
Para goblin berdiri tak bergerak. Salah satu dari mereka menjatuhkan tombaknya. Matanya melirik bolak balik antara goblin champion dan Goblin slayer, Mereka berdua bermandikan darah.
Pada akhirnya.
“GORROROROROROB!!”
Sang champion berteriak lantang yang merupakan sebuah perintah untuk mundur.
“GORARARAB! GORAB!”
“GROOB! GROB!”
Berteriak, para goblin melupakan segalanya dan melarikan diri.
Pada ini, seperti sebelumnya, sang goblin champion memimpin mereka. Dia memang champion, namun dia tetaplah goblin.
Masing-masing dari goblin mementingkan keselamatannya sendiri; yang mereka inginkan adalah melarikan diri dari tempat ini. Oleh karena itu, sebuah pemikiran untuk mempertahankan perlawanan mereka pada kemungkinan yang mustahil tidak pernah terlintas di pikiran mereka, dan momentum ini berlangsung dengan cepat. Satu, dua, kemudian empat, kemudian delapan melarikan diri....
Satu persatu, para goblin berlari menuju pintu keluar, menangis dan berteriak. Pada akhirnya, hanya tumpukan mayat goblin dan petualang yang kelelahan yang tersisa.
Tidak ada dari mereka yang menyarankan untuk mengejar musuh. Mereka semua terluka dan kelelahan; mereka hampir tidak dapat bergerak.
“........”
Hanya Goblin slayer yang berbeda.
Dia menggali tumpukkan tulang dan menggunakan sebuah tombak genggam yang dia temukan sebagai sebuah stik dan berjalan pincang sekeliling ruangan. Menyeret kakinya dengan menyedihkan seraya dia bergerak, dia mulai memeriksa tubuh setiap mayat.
Seraya dia melakukannya, dia menjatuhkan sebuah jejak darah, seakan-akan dia adalah sebuah kuas di atas kanvas.
“.........hrr....”
Satu langkah. Dua. Sebuah getaran, kemudian tubuh Goblin slayer terhuyung pada sudut yang aneh.
“Orcbolg....!”
High elf archer berlari mendekatinya dan memapahnya dari samping. Dia tidak mempedulikan darah goblin slayer yang menempel pada bajunya yang terkoyak dan kulitnya yang terpapar.
Dengan suara yang sangat pelan, Goblin slayer bertanya. “Kamu...nggak...apa-apa...?”
“Kurang lebih... Tapi....” Suara High elf archer sama pelannya “Aku nggak yakin denganmu...”
Bagi sang elf, Goblin slayer terasa seperti sebuah tas penuh akan onderdil.
Walaupun begitu, dia sanggup bergumam. “Mungkin,” dan mengangguk. “Bagaimana dengan gadis itu...?”
“....Lewat sini. kamu bisa jalan?”
“Aku akan coba.”
High elf archer kesulitan membantu Goblin slayer, yang terlihat seperti akan pingsan. Dia merasakan sebuah kehangatan di pipinya dan menyadari air mata mengalir dari matanya.
Dia menggigit bibirnya.
“Kalian berdua, cobalah meminta.....tolong sedikit.”
Seraya mereka berjalan terseok, mereka mendapati sebuah lengan dwarf membantu mereka.
Kondisi Dwarf shaman tidaklah lebih baik dari mereka berdua. Darah terbasuh dari ujung kepala hingga ujung jenggot kesayangannya, dan tas katalisnya, begitu pula ikat pinggangnya yang telah terkoyak parah.
Walaupun begitu, Dwarf shaman sanggup untuk membantu Goblin slayer berdiri dengan tangannya.
“karena, kita masih...harus pulang...”
“....Benar.”
Kemudian, bersama, mereka menjalani jarak yang pendek namun terasa sangat jauh. Tidak lama kemudian mereka berada di tengah ruangan, di samping peti batu yang telah hancur. Sebuah pedang taring yang rusak tertancap di sana, Lizard priest duduk di sampingnya.
“Itu tadi hampir saja. Namun saya rasa dia akan baik-baik saja.”
Priestess terbaring di kakinya. Dipeluk oleh ekornya.
Api dari lentera yang telah rusak hanya satu-satunya penerangan mereka. Cahaya tersebut menggambarkan sosok Priestess.
Jubahnya yang berlumuran darah dan baju besinya yang telah terkoyak; sebuah perban telah di lilitkan di sekitar pundaknya yang pucat dan dadanya. Rambutnya lengket dipipinya oleh keringat, Dan matanya masih terpejam. Dadanya yang naik dan turun adalah satu-satunya tanda bahwa dia masih hidup.

“Bagaimana keadaannya?”
Lizard priest menyipitkan matanya dan secara perlahan mengangkat kepala Priestess dengan ekornya.
“Mm. Nyawanya sudah tidak dalam bahaya lagi. Namun jika saja lukanya lebih dalam, maka itu akan di luar dari kemampuan saya.”
“Aku mengerti.”
“Tunggu, aku akan bantu kamu duduk. Supaya lebih mudah.” High elf archer berkata seperti berbisik, seraya Goblin slayer kesulitan menarik nafas. “Dwarf, kamu ambil sisi  sebelahnya.”
“Baik.”
Bersama, mereka menurunkannya di sebuah peti batu, di samping Priestess.
Dia terlihat seperti akan terjatuh ketika mereka melepaskan tangan mereka. Bahkan dari cara dia duduk terlihat seperti merosot ke belakang.
“A...Aku...mi-mi...nta...ma...”
“Jangan di pikirkan.”
Goblin slayer mengulurkan tangannya, sarung tangan kulit yang telah rusak, kotor, dan kondisi yang buruk secara keseluruhan. Dia meletakkannya pada lantai di samping Priestess. Priestess menggenggamnya dengan lemah menggunakan tangan kecilnya sendiri.
“Pak...Gob....s...ayer...”
Pada akhirnya, dia berucap:
“Hal seperti ini pasti terjadi.”
“Ayo kembali ke atas,” High elf archer berkata. “Kita nggak bakaln mau berada di sini ketika mereka kembali. Orcbolg, kamu bisa berdiri?”
“Ahh, kamu cari mantel atau apapun buat dirimu sendiri bocah. Aku bisa menolong Beardcutter.”
“Sepertinya saya harus memapahnya di pundak saya,” kata Lizard priest. “Persiapkan dirimu. Tidak lama lagi kita akan aman..,”
Seseorang mengatakan sesuatu.
Namun Goblin slayer merasakan kesadarannya mulai menghilang, dan kemudian semua menjadi gelap.