PERTEMUAN ACAK
(Translater : Zerard ; Typo-checker : Hamdi)

Sebuah teriakan melengking menggema di bebatuan saluran air yang di bangun oleh orang-orang jaman dahulu.
Seekor goblin jatuh terlentang, sebuah kapak tertanam di dahinya.
Tanpa ragu Goblin slayer menendang mayat itu masuk ke dalam sungai saluran air yang mengalir di dekatnya. Goblin itu terjatuh dengan cipratan air, kemudian mengambang di antara gelembung-gelembung yang tercemar sesaat sebelum tenggelam dari penglihatan.
“Sepertinya mereka adalah yang terakhir.” Lizard priest mengelap darah dari pedangnya, sebuah pedang taring yang baru saja tertanam di tenggorokan goblin.
Api dari obor yang tergeletak di lantai bergelombang, dan cahayanya berdansa di balik pembantaian yang terjadi di sekelilingnya.
Tubuh-tubuh itu kemungkinan terdiri dari 40 persen goblin; sisanya adalah mayat para petualang yang telah membusuk.
Dan di sana, di depan di mana saluran air terbagi menjadi beberapa persimpangan yang tak terhitung, menyembunyikan bayangan misterius.
“Nggak... Ada sesuatu yang lain.”
High elf archer bukanlah orang yang akan melewatkan sesuatu yang seperti itu. Ketika dia berbicara, dia memasang panah pada busurnya. Telinganya naik turun; kemudian, dengan desisan samar, dia menarik benang laba-laba busurnya dan melepaskannya.
Dengan bunyi twang seperti kecapi yang indah, panah itu melesat di udara.
Lintasan panah melengkung, dan berbelok di sudut seakan-akan panah itu memiliki nyawa. Tidak lama kemudian terdengar teriakan tinggi “Gyaaa!” Kemudian suara halus sesuatu yang terjatuh di air.
Itu baru yang terakhir.”
“Phew... Tembakan bagus.”
Pada seruan gembira High elf archer, Priestess, yang selama ini menggengam tongkatnya, menghela nafasnya.
Dia terus menjaga semangatnya agar tetap tinggi, agar dia dapat mengeluarkan keajaiban kapanpun juga. Dia senang, bahwa dia tidak perlu menggunakannya—untuk di simpan ke depannya.
“Tapi...menemukan goblin sebanyak ini tepat di bawah kota....”
“Ini apa yang sudah aku duga.”
Goblin slayer dengan acuh membalikkan tubuh seorang petualang. Sedikit dari daging yang membusuk terjatuh di lantai.
Mayat itu sudah begitu di gerogoti oleh tikus hingga tidak bisa lagi di lihat apakah mayat itu pria atau wanita, namun dia tidak ragu-ragu.
Baju besi yang menjadi gelap oleh darah kering. Sebuah helm yang rusak. Kemungkinan dia dulunya seorang warrior. Tas perlengkapan mereka telah di robek menjadi sobekan-sobekan. Goblin slayer memeriksa semua yang belum para goblin curi dan mengambil pedang panjang, sarung pedang dan semua, dari pinggul mayat itu.
Dia mengambil sebuah pedang dan menyadari bahwa dia tidak menemukan sedikit karatpun pada pedang itu. Mungkin pedang ini telah di minyaki dengan baik?
“Mereka pasti di sergap.” Kemungkinan satu serangan di kepala. Tidak mempunyai kesempatan untuk mengeluarkan senjata mereka.
Pedang itu terlalu berat untuk goblin dan terlalu panjang untuk Goblin slayer, tapi ini bukanlah senjata yang jelek.
“Baiklah.” Goblin slayer mengangguk, memasukkan pedangnya kembali ke sarungnya. Priestess menghela nafasnya.
“Ini bukan ‘baiklah.’ Bolehkah?”
“Silahkan.”
Goblin slayer meletakkan mayat petualang tersebut dengan posisi terlentang.
Priestess berlutut dekat tubuh itu, ekspresinya gelap. Dia tidak mempedulikan air kotor yang menodai jubah putihnya.
O Ibunda bumi yang penuh ampunan, saya memohon, dengan tangan penuh kasihmu, bimbinglah jiwa mereka yang telah meninggalkan dunia ini...”
Mengenggam tongkatnya, mata tertutup, berbisik dengan ritme layaknya sebuah lagu, dia berdoa, melantunkan, memohon.
Berdoa agar sekiranya arwah para petualang dan goblin yang telah mati di sini akan di selamatkan oleh para dewa yang bersemayam di surga.
Agar kami dapat meninggalkanmu di atas tanah dan tidak di bawahnya...”
Lizard priest, mengikuti Priestess, menggabungkan kedua telapaknya dengan gerakan yang aneh, berdoa untuk kelahiran kembali jiwa mereka.
Namun kami mengambil hikmah, bahwa dengan memberi pangan untuk tikus dan serangga, anda akan kembali ke bumi pada waktunya.”
Sang Ibunda bumi dan naga yang menakutkan. Dewa mereka berbeda; oleh karena itu, ajaran mereka juga berbeda.
Tapi keinginan mereka sama, dalam menginginkan kebahagiaan bagi jiwa yang telah mati. Tidak mengetahui kemana doa mereka berakhir.
Priestess dan Lizard priest saling memandang, mengetahui bahwa mereka telah menyelesaikan kewajibannya.
“Hmm, disana.”
Menjaga mereka berdua dengan sebelah matanya, High elf archer menarik panah dari mayat goblin.
Dia memeriksa ujung mata panahnya dan puas karena tidak rusak, mengembalikan panahnya ke tempatnya.
“Asal tau aja, aku nggak akan melakukannya sepertimu, Orcbolg.” Dia menatap dengan singkat pada petualang berarmor dengan ekspresi yang sulit di terka. Vwip gerakan telinganya, seakan-akan ingin menunjukkan moodnya. “Sepertinya ini akan menjadi pertarungan panjang. Dan aku nggak mau pakai panah goblin. Mereka tumpul sekali.” Gerutunya.
Mata Goblin slayer bergerak kepadanya. “Benarkah?”
“Yeah, benar.”
“Aku mengerti.”
“Ya ampun,” Dwarf shaman mendesah, membelai jenggotnya.
Dia menyiapkan tangannya di dalam tas berisikan katalis miliknya, bersiap untuk membaca mantra, tapi...
Dia melihat jauh ke dalam kegelapan di luar jangkauan cahaya obor. Sebagai penghuni bawah tanah, mereka dapat melihat dengan baik di kegelapan.
“Membuatmu berpikir ada berapa banyak mereka di sini.”
Namun bahkan dengan mata tajamnya dia tidak menemukan seekor goblin
Tiga hari telah berlalu semenjak mereka memulai eksplorasi di saluran air, dan ini adalah kelima kalinya mereka di serang pada hari ini.
****
Saluran air kota air ini telah benar-benar berubah menjadi sarang goblin. Petualang yang memasuki tempat ini dengan cepat mendapati serangan dari iblis kecil ini.
Lika-liku jalur air—yang seperti labirin—adalah sekutu goblin.
Party mereka telah di serang berkali-kali dengan selang waktu yang tidak menentu. Dan pencarian berlanjut terus menerus; mereka tidak boleh lengah.
“Saya di beritahu bahwa ini adalah bisnis yang biasa di lakukan oleh para petualang kota labirin.”
Keluhan Lizardman yang biasanya sangat tabah adalah bukti rasa lelah yang membebani mereka.
Penyebabnya tidaklah hanya dari pertarungan maupun perjalanan mereka di dalam. Tapi dari sikap waspada yang terus menerus mereka jaga yang menguras saraf mereka.
“...”
Rasa gelisah terlihat jelas di wajah Priestess juga. Bahkan langkah kakinya entah mengapa terlihat tidak pasti.
“Tetap tenang.”
Goblin slayer, memeriksa setiap inci dari rute mereka secara seksama, dengan sikap seperti biasanya.
Dia telah mengeluarkan obor baru dari tasnya dan menyalakannya dan sekarang mengetuk dinding beberapa kali.
“Ini dinding batu. Nggak mungkin mereka akan menyerang kita dari balik dinding ini.”
“Tolong jangan ungkit kenangan buruk.” Priestess mengekerutkan dahinya dan gemetar. Rasa terror pada petualangan pertamanya masih menghantuinya.
“....Maaf.”
“Nggak apa-apa.” Hanyalah jawabannya merespon gumam pelan Goblin slayer.
Mungkin Dwarf shaman merasakan apa yang terjadi di antara mereka, karena dia tertawa kecil dan berkata, “Paling nggak dengan banyaknya sampah di sekitar kita, kita nggak perlu repot-repot menyembunyikan aroma tubuh kita.”
“Tolong jangan ungkit kenangan buruk.” High elf archer berkata dengan lambaian lemas tangannya.
Di mengangkat lengannya dan mengendus pakaian berburunya.
Di masa lampau, pada perjalanan menelusuri reruntuhan bawah tanah lainnya, Goblin slayer memaksanya untuk bermandikan isi perut goblin, yang katanya untuk menyamarkan bau tubuhnya. Dia telah berhasil mencuci bajunya dan membersihkan tubuhnya, tapi dia tidak pernah benar-benar memaafkannya.
“Aku memperingatimu, Orcbolg, kalau kamu membuatku melakukannya lagi, kamu bersiap-siap saja.”
Goblin slayer tidak menjawab. Dia menggerakkan kepalanya sedikit dari samping ke samping.
Mungkin dia memeriksa aroma area ini. Setelah cukup lama, dia menjawab.
“Benar, kali ini nggak perlu.”
“Hrk.”
Telinga High elf archer menegang kebelakang.
Mata setengah terbuka sang sniper menatap Goblin slayer.
“Hey, aku baru ingat.”
“Apa?”
“Orcbolg. Kamu nggak pernah meminta maaf sama aku.”
“Karena itu memang perlu di lakukan.”
Jawabannya tidak bisa lebih mutlak lagi. High elf archer cemberut dengan “grr” dan merajuk
“....Hmm?”
Tiba-tiba telinganya berayun naik dan turun, dan dia melihat pada langit-langit.
“Kenapa telinga panjang?” tanya Dwarf shaman.
“Ada sesuatu yang aneh.... Dan aku mendengar suara air. Dari atas kita?”
Dan tepat saat itu, tetesan air terjatuh ke dalam jalur air—splish.
Riak air menyebar di jalur air Satu, dua, tiga.
“Hmm...”
Lizard priest menjulurkan lidahnya penuh ragu dan menjilat hidungnya.
Clup! Clup! Semakin banyak tetesan yang jatuh.
Tidak lama kemudian tetesan itu terjatuh tanpa henti.
“Apa ini...hujan?”Priestess mengkerutkan dahinya, melihat langit-langit yang tinggi. Permukaan jalur air penuh akan ombak kecil.
High elf archer mengangkat tangannya berusaha melindungi dirinya dengan sia-sia dari tetesan itu.
“Gimana mungkin bisa hujan di bawah tanah?” Dia bertanya kebingungan.
“Di atas kemungkinan hujan, dan air hujan itu jatuh ke bawah sini melalui celah-celah retakan.” Kata Dwarf shaman membelai jenggotnya. Dia melihat Goblin slayer.
“Bagaimana menurutmu, Beard cutter?”
“Jika kita kehilangan cahaya kita, itu akan menjadi masalah.” Goblin slayer menahan perisainya di atas obor yang baru menyala untuk melindunginya.
Obor yang tidak berguna, yang mudah sekali padam. Di bandingkan ini, lentera pilihan yang lebih baik. Yah, tentu saja ada pro dan kontra dalam semua hal. Goblin slayer menjentikkan lidahnya kesal.
“Pijakan juga akan semakin berbahaya.”
“Hujan ini akan mendinginkan tubuh kita.” Lizard priest menambahkan dengan anggukan dan melihat rekan partynya. “Saya menyarankan untuk beristirahat sejenak. Pendapat?”
Hujan ini menghalangi mereka untuk bergerak maju maupun mundur. Tidak ada yang keberatan
Setelah mereka memutuskan, para petualang dengan cepat bertindak. Karena hujan baru saja di mulai, permukaannya masih cukup kering, namun jika mereka tidak cekatan, mereka hanya akan duduk di tempat yang basah, dan mereka akan semakin kedinginan.
Mereka tidak membawa sebuah kanopi bersama mereka, namun setiap petualang selalu membawa perlengkapan hujan mereka. Setelah mereka semua mengenakan mantel wol, mereka duduk melingkar bersama.
Kemudian, Priestess memindahkan api dari obor mereka menuju lentera yang tertutup dan meletakkannya di tengah-tengah lingkaran mereka.
Ini tidak terlalu menghangatkan mereka, tapi lebih baik daripada tidak ada sama sekali.
“....Hey, Orcbolg. Kenapa kamu nggak suka lentera?” High elf archer menunjuk pada lentera di depannya kebingungan, kemudian menggosok lentera seakan-akan ingin membersihkan jelaga “Kamu bisa menggantungnya di ikat pinggangmu. Kamu nggak perlu menggunakan tanganmu untuk memegangnya.”
“Obor bisa berfungsi sebagai senjata.” Goblin slayer berkata. “Lentera akan tidak berguna jika pecah.”
“Huh.”
High elf archer sepertinya kecewa dengan jawabannya. Dia menarik lututnya hingga ke dadanya.
Goblin slayer melihat jalur air. Menghiraukan rintikkan yang menetes dari helmnya.
Priestess memandangnya iba.
“Paling nggak kamu mungkin perlu lepas helmmu...iya kan?”
“Kamu nggak akan pernah tau kapan atau di mana musuh akan menyerang.”
“Kamu tau, Beardcutter, aku selalu merasa kalau armor kamu sudah cukup usang. Kamu perlu memperbaiki armormu.”
“Ya.”
Dwarf shaman, duduk bersila, mengeluarkan sebuah botol firewine dari tas di mana dia menyimpan katalisnya. Membuka penutupnya, dia menuangkan beberapa gelas firewine yang jernih, kemudian dengan cepat membagikannya kepada rekan partynya.
Aroma lembab di udara bercampur aduk dengan aroma yang di hasilkan anggur itu.
“Minum dulu, kita nggak akan berdaya dengan tubuh yang kedinginan.”
“Tapi aku....”
“Aku tau. Minum saja sekali teguk. Aku tau cuma segitu yang kamu bisa. Aku nggak akan mengejekmu”
High elf archer mengambil gelas itu dengan bimbang—benar, dengan takut. Dia menyeruput gelas itu, meringis ketika anggur itu membakar tenggorokannya.
“Ohh...”
“Masih bocah untuk urusan minum meminum ya?”
“Kamu nggak apa-apa?” Priestess bertanya.
“Y-yeah... Tapi ranger yang mabuk nggak akan berguna.”
High elf archer mengangguk kepada Priestess, yang menyuruh High elf archer agar tidak memaksakan dirinya.
Tetapi juga, Priestess sendiri tidaklah terbiasa dengan fire wine. Dia hanya menganggap bahwa anggur keras itu adalah obat dan meminumnya tanpa suara.
Rasa yang kuat membakar lidahnya. Matanya bergerak tidak karuan.
“Jika begitu, saya juga ingin meminumnya.” Kata Lizard priest.
“Tentu saja! Minum!”
Berbeda dengan yang lain, Lizard priest, ekor melingkar mengelilingi kakinya, mengambil gelas meluap yang di berikan Dwarf shaman dan menuangkannya sekaligus kedalam rahangnya yang besar.
“Benar-benar rasa yang tak ada banding. Saya bisa meminum satu drum penuh.”
“Walaupun dengan trik yang aku punya, aku nggak bisa membawa drum itu bersama kita. Ayo minum, Beard cutter.”
“....”
Goblin slayer meminum anggur itu dari celah helmnya, tidak pernah mengalihkan pandangannya dari jalur air.
Air hujan berubah menjadi semakin deras, dan aliran air bergolak, bergelembung liar.
Setelah beberapa saat, mereka semua terdiam.
Air hujan yang jatuh di mantel hujan mereka, suara gayungan anggur yang di minum, nafas pendek mereka sendiri—terdapat suara dari segala arah, akan tetapi anehnya tempat ini terdengar sunyi.
“Kita harus memasukkan sesuatu ke perut kita.” Goblin slayer berkata singkat dengan nada pelan. “Perut setengah kosong akan menjaga darah kita agar nggak mengental. Tapi terlalu kosong maka gerakan kita akan melambat.”
“Yah, kalau sesuatu yang sederhana sudah cukup....”
Priestess merogoh tasnya dan mengeluarkan sesuatu yang di bungkus dengan kertas minyak.
“Oh-ho!” Dwarf shaman berteriak senang merasakan adanya makanan yang di keluarkan dan tersenyum mengejek pada High elf archer dan menyikutnya. “Sudah ku duga. Telinga panjang, kamu sadar kan skillmu kurang di beberapa area?”
“K-k-kamu—!”
Tapi dia tidak bisa membalasnya.
“....Mungkin aku akan coba belajar memasak.” Dia bergumam, yang di mana Priestess menawarkan diri untuk mengajarinya dan tersenyum.
Makanan mereka adalah roti yang di panggang keras dan sebotol anggur yang dicampur air
Ini bertujuan agar dapat di simpan dalam jangka waktu yang lama, akan tetapi membuatnya menjadi tidak berasa dan dingin. Ini hanyalah makanan sederhana, yang bertujuan untuk mengisi perut mereka dan melembabkan tenggorokkan mereka.
Para petualang mengunyah roti itu tanpa menikmatinya, tapi mereka tidak mengeluh.
“Aku berharap bisa membuat sesuatu yang nggak terlalu keras, tapi...” Priestess berkata memohon maaf, menggerakkan tubuhnya seraya membersihkan remah roti dari pipimya dan memasukkannya ke mulutnya. “Aku rasa nggak ada yang berniat makan makanan yang terlalu mewah disini juga kan....”
“Iya benar...” High elf archer mengangkat bahunya dan membuat gerakan menutup hidungnya.
Penuh akan ombak yang bergolak oleh hujan, jalur air yang kotor telah menjadi seperti air sungai yang kotor. Bau memainkan peranan penting dalam menentukan rasa akan sesuatu, dan disini aroma anggur telah tersamar oleh lumut, jamur dan bermacam bau lainnya.
“Aku rasa aku nggak akan pernah mengerti kenapa ada orang yang ingin makan di bawah tanah.” High elf archer berkata.
“Oh-ho. Liat saja nanti, bocah.”
Kamu akan menyesalinya nanti ketika kita kembali ke atas. Pikir Dwarf shaman seraya dia menatap High elf archer dengan menyipitkan mata. Tapi High elf archer seperti tidak menyadarinya.
“Ketika kita lulus akan ujian ini, marilah kita mencari sesuatu yang lezat untuk perut kita.”
Lizard Priest yang selama ini terus meminum anggur dan fire wine dengan takaran yang sama, ikut menimbrung percakapan mereka.
Priestess menyetujui, membelai segelas anggur dengan kedua tangannya.
“Berhubung kamu menyinggungnya, makanan apa yang enak di sini?”
“Hmm. Iya juga. Coba ku ingat...” Dwarf shaman membelai jenggotnya. “Sekitar sini...”
“Ikan tepung sungai, ati sapi dan anggur.” Goblin slayer berkata tanpa mengalihkan pandangannya dari jalur air.
Mereka semua melihat kepadanya.
“Dan aku dengar gandumnya masih murni, jadi adonannya cukup bagus.”
Dwarf shaman, tanpa ada yang mau di tambahkan, mengangkat bahunya lebai. “Kamu dengar dia.”
“Sepertinya anda cukup banyak tahu, tuanku Goblin slayer.”
“Salah satu kenalanku yang tau.”
Lizard priest mencondongkan tubuhnya dengan rasa ketertarikkan, namun jawaban Goblin slayer sangat singkat.
“Ketika aku datang ke sini, mereka memberi tau ku soal makanannya.”
Seorang kenalan?
Priestess memikirkan kemungkinan yang ada di kepalanya: Gadis guild, Gadis sapi, Atau Witch. Mungkin Spearman atau Heavy warrior...
Dia menyadari seberapa banyak kenalan yang sekarang dia miliki di bandingkan dengan ketika pertama kalinya dia bergabung dengan Goblin slayer beberapa bulan yang lalu dan tertawa kecil di balik nafasnya.
Dengan demikian, istirahat pendek dari petualangan mereka berlalu dengan damai.
Tapi setiap petualang selalu berhadapan dengan bahaya; di saat bekerja, tidak ada seorangpun yang aman.
Ini terjadi ketika anggur itu mulai menghangatkan tubuh para petualang.
“...Hmm?”
Goblin slayer tiba-tiba membuat suara. Dengan cepat dia berlutut sebelah kaki dan menatap seksama pada jalur air.
“Ada yang salah, pak Goblin slayer...?”
“Nggak.” Dia bergumam. ”...Tapi bersiap siaplah.”
Priestess mengganguk mendengar jawaban tidak jelas itu.
Dia pasti sudah merasakan sesuatu. Priestess dengan cepat mengepak tasnya, tapi dengan sebelah mata memeriksa sekelilingnya. Walaupun tidak terdapat apapun di sana, sudah waktunya bagi mereka untuk mulai bergerak.
“Saya akan membantu anda. Tuanku pembaca mantra, selimut anda.”
“Ini.”
Tidak ada yang memberitahukan mereka apa yang harus di lakukan. Para petualang veteran ini bergerak dengan cepat dan efisien.
High elf archer, membungkuk seperti Goblin slayer, menyiapkan tangannya di tempat panahnya, mendengarkan. Telinga panjangnya yang berayun naik dan turun adalah yang paling tajam di antar rekan partynya.
“.....Sesuatu mendekat.”
Masing-masing dari mereka menyiapkan senjatanya. Goblin slayer mengeluarkan sebuah pedang panjang yang baru saja dia ambil, Lizard priest sebuah pedang taring, Priestess menggengam tongkatnya gugup; Dwarf shaman dengan ketapelnya; dan High elf archer mengeluarkan panah dari tempatnya.
“Beard cutter!”
“Baik.”
Goblin slayer mengambil lentera Dwarf shaman dengan tangan kirinya, yang terikat sebuah perisai di lengannya. Sudah tidak ada waktu untuk menyalakan sebuah obor. Apakah dia perlu memegang lentera itu di tangannya?
Tidak. Tapi dia menggantungnya pada pinggulnya.
Mereka semua menatap jauh melewati hujan menuju sisi ujung jalur air, yang di mana kabut tipis mengambang rendah menyebar menjadi kabut asap tebal.
Kali ini, mereka semua dapat mendengar suara air yang menciprat dengan jelas.
Itu bukanlah gelombang. Seseuatu sedang mendekati mereka melewati air.
Tanpa ragu, Goblin slayer berusaha menyinari sebuah bentuk sosok yang tersembunyi di balik kabut. Mereka dapat melihat sebuah kapal air sederhana, seperti perahu terbuat dari kayu apung.
“Goblin!”
Dengan segera, para monster di atas perahu itu melepaskan tembakan panah buatan mereka.
Tembakan mereka sangat tidak terarah, namun di tempat sempit seperti ini, panah itu menjatuhi mereka layaknya hujan yang sedang berlangsung.
“O Ibunda bumi yang penuh ampunan, dengan kekuatanmu berikanlah perlindungan kepada kami yang lemah...!”
Tidak hanya panah itu, bahkan tetesan air hujan pun berhenti menghujani mereka.
Pelindung yang tidak bisa di tembus berkilau dengan cahaya samar. Di tengahnya berdiri Priestess, menggengam tongkatnya dengan kedua tangannya. Doa ini memiliki harga yang di bayar dengan jiwanya, tapi doa itu telah mencapai surga, dan Dewi maha pengampun telah memberikannya keajaiban Protection.
“Aku nggak bisa bertahan la—”
“Ini sudah cukup.”
Priestess mulai berkeringat, namun Goblin slayer menenangkan Priestess dengan singkat. Pedang panjang itu sudah berada di tangan kanannya, dan perisai di kirinya. “Berapa banyak?” dia bertanya.
“Aku nggak bisa menghitung mereka semua!” teriak High elf archer seraya dia menarik panah lain ke busurnya, dan tali busurnya bernyanyi seketika dia melepaskan tembakannya. “Apa yang akan kamu lakukan?”
“Seperti yang selalu aku lakukan.” Goblin slayer, tidak gentar oleh hujan panah. Dia memutar pedang panjangnya hingga terbalik. “Bunuh semua goblin.”
Dia menahan pedang itu di atas kepalanya dan kemudian, hampir terlalu cepat untuk di lihat, dia melemparnya.
Karena dia tidak memiliki maksud untuk melukai Priestess, pedang itu dapat menembus dinding Protection, seperti peraturannya.
Pedang itu terbang di antara panah-panah yang melewatinya dan menusuk kepala goblin yang tampak seperti pemimpinnya. Goblin itu bahkan tidak memiliki waktu untuk berteriak dan langsung terjatuh ke dalam air, dan tongkat yang di genggamnya mengenai air dengan cipratan yang luar biasa.
“GROOARBB!!”
“GAROOROROROR?!”
Para goblin mulai berteriak atas kehilangan shaman mereka, dan untuk sekejap, serangan mereka berhenti.
“Satu. Seberapa banyak sisa mantramu?”
“Banyak. Aku sudah menyimpan mereka!” Dwarf shaman menjawab seraya dia menaruh batu permata ke dalam ketapelnya dan menembakkannya.
“....Terowongan. Buatkan kita lubang.”
Matanya melebar mendengar instruksi blak-blakan itu.
“Jangan bodoh. Kamu mau menghancurkan kota di atas sana?!”
“Bukan ke atas. Bawah.”
Goblin slayer menggapai tasnya.
“Gali jalur air ini dan kuras habis.” Dia berkata, seolah-olah itu adalah hal paling wajar sedunia.
“Tapi kota ini seperti roda gigi yang berjalan seirama!” Dwarf shaman berteriak, “Ubah satu saja strukturnya, dan saluran air ini bisa banjir!”
“Bukan api. Bukan air. Dan bukan gas beracun.”
Kebingungannya mungkin akan terlihat lucu di waktu yang lain, tapi sekarang High elf archer berteriak kepadanya. “Yang lain!”
“....Hrm.”
Goblin slayer terdiam, kemudian mulai merogoh isi tasnya.
Para goblin, tentu saja, tidak hanya diam berdiri. Mereka menembakkan panah secepat mereka bisa, perahu mereka semakin mendekati sisi tepian.
Priestess, tangan masih menggengam tongkatnya, berteriak.
“Aku nggak bisa menahannya lagi...!”
“Kamu nggak punya mantra scroll gate itu lagi ya?” Dwarf shaman berkata.
“Aku akan membawanya kalau aku punya.”
Taktik yang di gunakannya saat melawan ogre masihlah segar di pikiran mereka, tapi Gate scroll adalah item yang sangat berharga dan tidak mudah untuk di dapatkan. Apa yang membuat Goblin slayer unik adalah kesediaannya untuk menggunakan sesuatu yang sangat berharga tanpa sedikitpun rasa ragu. Itu karena, dia memang berniat untuk mengunakannya pada goblin cepat atau lambat.
Seraya dia berbicara, Goblin slayer menarik sesuatu dari tasnya.
“Anda punya strategi?” Lizard priest bertanya.
“Kita akan menyerang ketika efek Protection habis.” Goblin slayer menjawab.
“Tentu saja.”
“Goblin atau perahunya? Mana yang lebih baik?”
“Saya rasa perahu.”
“Baiklah.”
Dengan percakapan singkat itu, Goblin slayer menoleh mengarah Priestess.
Gadis itu menggengam tongkatnya dengan sekuat tenaga; dia bahkan tidak memiliki waktu untuk menoleh mengarah Goblin slayer.
Goblin slayer terdiam sesaat. Bagaimana mengatakannya?
“...Gunakan Protection lagi. Perkuat pertahanan kita.”
“B-baik, pak!”
Priestess mengangguk sigap. Goblin slayer menghela nafasnya. Telapak tangan kanan kosongnya membuka dan menutup.
Dia membutuhkan senjata. Paling tidak mungkin dia dapat menemukan sebuah pisau di suatu tempat...
“Tunggu sebentar, tuanku Goblin slayer.”
Lizard priest mengeluarkan sebuah taring makhluk liar dari tasnya dan menggengamnya dengan gerakan yang aneh.
O sayap maha tajam Velociraptor, robek dan cabik, terbang dan berburu...”
Sebuah doa untuk nenek moyangnya yang mulia. Sebuah permohonan kepada leluhurnya.
Kedua tangan bersisiknya menelusuri taring itu, mengaruniainya dengan kekuatan naga yang menakutkan. Seraya dia berkata, taring itu membesar dan berubah menjadi sebuah Swordclaw.
“Saya percaya bahwa ini adalah panjang yang anda sukai. Oh, tapi...jika anda bisa, tolong jangan di lempar.”
“Akan ku coba.”
Goblin slayer mengambil pedang yang di tawarkan dengan tangan yang terlatih, Nggak jelek.
“Sedikit....lagi....!”
Dinding yang tidak terlihat mulai berbunyi di bawah tekanan panah yang terus menghujani.
Bunyi itu berubah menjadi retakan, dan perisai itu pecah menjadi debu.
“Tutup mata dan mulutmu, dan jangan bernafas. Ayo mulai!”
Dengan segera, Goblin slayer melempar sebuah telur dari tangan kirinya tepat menuju perahu itu.
“GARARARAOB?!”
“GRORRR?!”
Teriakan.
Merica yang telah di haluskan dan potongan ular tercampur menjadi satu di dalam cangkang telur retak di udara. Mata goblin berair. Mereka tersedak oleh campuran bahan itu dan berteriak kesakitan.
Melintasi kabut asap merah, Goblin slayer dan Lizard priest melompat naik ke dalam perahu. Perahu itu bergoyang dengan beban mereka, membuat satu atau dua goblin terjatuh ke dalam air.
Sebuah cipratan air yang nyaring dan sebuah semburan. Tetesan hujan masih menghujani mereka.
“Hrm.”
Goblin slayer mendengus seketika dia melihat makhluk itu berusaha menjaga keseimbangannya di atas perahu yang bergoyang. Selagi dia memperhatikannya, seekor goblin menggunakan kesempatan itu untuk menyerangnya dari belakang. Dengan perisainya, dia memberikkan hantaman yang menggema.
Clang. “GAROU!”
“...Jadi kamu punya armor ya?” Goblin slayer meludah jengkel. Tanpa melambat, dia berputar, menendang goblin yang berteriak keluar dari perahu.
“GROOROB?!”
Makhluk itu berusaha sekuat tenaga untuk bisa keluar dari air, akan tetapi armornya terlalu berat.
Akhirnya, wajah buruk rupa itu di telan oleh air. Beberapa gelembung muncul, dan kemudian goblin itu, layaknya bidak pada papan permainan, hilang.
“Hmm.”
Dengan sekali gerakan, Goblin slayer menyerang monster terdekat dengan punggung pedangnya. Goblin itu dan tangis air matanya terjatuh tidak berdaya dari kapal.
“GAROOARA?!”
“Lebih mudah mendorong mereka jatuh.”
“O, naga yang menakutkan! Saksikanlah aksi anakmu dalam pertarungan!”
Respon satu-satunya Lizard priest kepada Goblin slayer adalah teriakan doa ini dan lompatan menuju goblin.
Ketika penglihatan goblin mulai membaik, mereka membuang busur mereka ke samping dan menarik pedang mereka.
Tapi gerakan mereka terlalu lambat.
Mereka menjadi korban cakar dan taring dan ekor, hingga pedang dan perisai dan kaki. Dengan gerakan lincah dan taktik yang telah lama di pelajari, kedua warrior itu bergerak dari ujung satu hingga ujung lainnya dari perahu.
Goblin memanglah lemah.
Dalam pertarungan satu lawan satu dengan petualang yang berpengalaman, goblin biasa tidak memiliki sedikitpun kesempatan untuk menang. Beberapa makhluk melompat panik ke dalam air. Melupakan fakta bahwa mereka tidak bisa berenang, mereka tenggelam dengan segera.
“Enam belas.”
Walaupun begitu, para goblin tidak kehilangan keuntungan dari pemimpin mereka.
“Sepertinya kita sedang berada dalam situasi yang cukup sulit. Mereka banyak.”
Yang di artikan, jumlah.
Di mana satu terbunuh, dua muncul; di mana dua tenggelam; empat keluar. Empat menjadi delapan. Delapan menjadi enam belas. Enam belas menjadi tiga puluh dua.
Berapa banyak goblin bisa muat di perahu kecil ini?
“GOOOOORRB!”
“GROB! GOOBR!!”
Dua petualang itu berhadapan dengan gerombolan goblin dan membunuh mereka satu persatu. Tapi jumlah mereka tidak ada habisnya.
Akan tetapi petualang itu tidak hanya mereka berdua.
“GRRB?!”
Sebuah panah terbang melintasi di udara.
Berfokus sepenuhnya dengan ancaman yang ada di depannya, para goblin tidak menyadarinya sampai batang panah itu tertanam di matanya dan dia terjatuh di lantai.
“Seorang elf nggak perlu menggunakan matanya untuk bisa menembak!”
Dia, tentu saja, High elf archer, berdiri di tepian.
Telinganya berdiri tegak, dan dia menembakkan panah lebih cepat dari mata bisa melihat. Cepat—sangat cepat hingga segalanya terlihat lambat.
Di antara mereka yang dapat berbahasa, tidak ada yang dapat memanah lebih baik dari seorang elf. Bahkan dalam kericuhan pertempuran, panahnya tidak pernah meleset dari sasaran. Dengan cepat, dia telah mengosongkan tempat panahnya, akan tetapi bukan berarti dia kehabisan peluru.
Dengan jentikkan lidah tidak menyukai, High elf archer mengambil panah para goblin sebelumnya.
“Benda ini jelek sekali.”
Tapi jelek atau tidak—walaupun mata panahnya terbuat dari batu—sang elf tetap tidak akan meleset.
Salah satu goblin, menjadi tidak sabar, mengambil busurnya lagi. Dia membungkuk, menggunakan temannya sebagai perisai (Bermain kotor, layaknya seekor goblin), dan menyiapkan dirinya untuk menembak dari bayang-bayang.
Sebenarnya, untuk seekor goblin, bidikannya cukup terarah.
“ORGGG...”
Targetnya adalah elf kecil kurang ajar itu.
Tali busur yang kasar membuat suara mendecit ketika dia menariknya.
Seorang elf. Dan seorang wanita. Akan sangat menyenangkan untuk membawanya hidup-hidup...akan tetapi, membunuh mereka juga akan sangat menyenangkan.
Dia akan menembak pada matanya. Atau mungkin telinganya? Dengan senyum menjijikkan, dia melepaskan tembakan...
“O ibunda bumi yang penuh ampunan, dengan kekuatanmu berikanlah perlindungan kepada kami yang lemah!”
Tembakkkan itu bahkan tidak mencapai High elf archer, dan hanya terpantul dan tegeletak di lantai.
Ibunda bumi yang penuh ampunan tidak bisa menolak doa khusyuk dari pengikutnya bukan?
Dengan momen berikutnya, goblin archer tersebut menjadi korban selanjutnya dari panah High elf archer dan bertemu dengan akhir hidupnya.
“Terima kasih.”
“Nggak masalah. Aku juga harus ikut berjuang.”
High elf archer mengkedipkan matanya kepada gadis di sebelahnya. Priestess tersenyum tegas dan mempertahankan doanya.
“Aku bisa menahan mereka yang mencoba mengusik kita. “Priestess berkata. “Aku mengandalkanmu untuk menangani penyerangannya!”
“Terdengar seperti rencana! Dan aku memiliki sesuatu yang pas untuk ini!”
Dwarf shaman lah yang menjawabnya, merogoh isi tas katalisnya yang dengan hati-hati dia simpan untuk saat ini.
Dia memiliki segenggam tanah liat di masing-masing tangannya.
Ujung bibir High elf archer berubah menjadi senyuman, tapi dia tidak pernah mengalihkan pandangannya dari perahu goblin.
“Kita sudah tau, lakukan saja! Dwarf lambat sekali dalam melakukan segala hal!”
“Bawel. Kamu punya gaya bertarungmu, dan aku punya gaya bertarungku sendiri.”
Dwarf shaman mulai menggulung masing-masing tanah liat menjadi bola.
Dia meniupkan nafasnya pada bola itu, dan bergumam sesuatu, kemudian berteriak lantang :
“Beardcutter, Scaly! Mundur!”
Dan pada saat yang sama, dia melempar bola tanah itu ke udara. Bibirnya penuh mengalir dengan kalimat berkekuatan.
“Keluarlah kalian gnome, ini waktunya bekerja, jangan kau berani melalaikan kewajibanmu—sedikit debu tidak akan memberimu arti, tapi beribu debu akan membuatmu menjadi batu yang indah!”
Seraya mereka memperhatikan, bola kecil itu berubah menjadi batu yang besar dan meluncur menghancurkan perahu itu.
Stone blast yang di perkuat dengan aliran kekuatan rohani menjadi lebih mengagumkan di banding biasanya.
“T-tuanku goblin slayer!”
“Baik.”
Dua petualang di perahu itu saling bertukar pandang dengan cepat, kemudian melewati para goblin yang berusaha melarikan diri, dan melompat tinggi menuju tepian.
Di belakang mereka, terdengar raungan, dan jalur air melonjak layaknya sebuah mata air. Tetesan air hujan kotor menghujani Goblin slayer dan Lizard priest seraya mereka berguling di lantai padat.
Perahu itu tenggelam ke dasar air, goblin dan semuanya. Beberapa dari mereka berhasil lolos dengan nyaris, namun armor mereka menyeret mereka masuk ke dalam air dan mereka menghilang.
Tidak ada yang berbicara seketika mereka memperhatikan semua ini terjadi.
Hujan tidak mereda; rasa dingin masih terasa pada tubuh mereka yang berdiri, bercampur rasa panas dari pertarungan. Nafas mereka berembun; aroma darah dan kotoran tercium di sekeliling mereka.
High elf archer bertanya dengan suara yang terdengar tegang.
“Jadi, apa yang kita lakukan selanjutnya?”
“....Yang benar saja.” Dwarf shaman berkata dengan murung. Dia mengeluarkan botol anggurnya dan membuka tutupnya. “Trik kecil tadi benar-benar mengurasku.”
Di sampingnya, Priestess berlutut lemas.
“Ayo...istirahat sebentar. Aku membutuhkannya juga...”
“Nggak.” Goblin slayer menggelengkan kepalanya.
Walaupun baru saja melewati pertarungan sengit, dia tidak terlihat lelah; dia memandang seksama mengarah pada air.
“Kita harus bergerak secepatnya.”
“Ap...?”
Priestess menatap kosong kepadanya.
Goblin slayer melihat waspada, masih memegang senjata dengan kedua tangannya.
“Saya sependapat.” Lizard priest mengangguk, membuat gerakan tangan yang aneh, “Pertarungan tadi bukanlah pertarungan yang sunyi. Bahkan dengan redaman suara air hujan...”
Sesuatu yang lain kemungkinan menyadari keberadaan kita.
Tepat ketika dia mengatakan ini...
Terdapat cipratan lain.
High elf archer melihat pada air dengan ekspresi suram.
“Berhasil lolos dari kejaran harimau hanya untuk masuk kandang singa ya?” dia bergetar seraya dia mengucapkan pepatah lama.
Permukaan air berayun; gelombang semakin membesar dan mendekati.
Dengan sekejap, sebuah rahang besar melompat keluar dari air yang keruh.
“AAAAARRRRRGGGGG!!!!”
Dengan secepat kilat, para petualang memutuskan untuk melarikan diri.
Mereka berlari menyelamatkan nyawa mereka melewati hujan, tetesan air hujan yang tersebar di segala arah. Mereka terus belari tanpa rasa ragu, walaupun dengan minimnya cahaya saluran air ini. Itu karena mereka mengikuti arahan High elf archer dan Lizard priest, yang memiliki kemampuan bermanuver dalam kegelapan dan melewati rintangan-rintangan kecil. Priestess dan Dwarf shaman mengekori dari belakang.
Priestess yang ramping dan Dwarf yang pendek bukanlah pelari yang cepat. Goblin slayer, lentera masih menggantung di pinggulnya, melindungi mereka seraya mereka berlari secepat kaki mereka bisa belari.
Di belakangnya, permukaan air kembali mengamuk.
Dia berusaha menoleh ke belakang. Rahang putih raksasa mengisi penglihatannya: panjang, dan sempit, besar dan penuh akan gigi tajam. Mulut yang muncul dari kegelapan itu sangatlah cukup untuk menggigit seseorang menjadi dua.
Rahang itu menggigit udara kosong dan kembali masuk ke dalam air, namun mereka terus memperjauh jarak.
“Aku sudah memastikan satu hal dari observasiku.” Goblin slayer berkata, dengan nafas yang teratur. “Itu bukan goblin.”
“Aku sudah tau itu!” teriak High elf archer, yang tidak menoleh kebelakang untuk melihat makhluk itu.
Terdapat monster yang di sebut alligator, atau lebih di kenal dengan “swamp dragon.”
Dragon (TL Note: naga) hanyalah sebuah nama; mereka lebih mirip dengan saudara mereka lizard, mereka bukanlah makhluk dari legenda.
Akan tetapi, mereka buruk rupa: tubuh mereka dan rahang yang panjang dan datar, memaksa mereka untuk merayap, akan tetapi, seekor alligator yang mengamuk di air dengan ayunan ekor panjangnya bukanlah sebuah lelucon.
Di tempat ini, alligator putih yang berenang mendekati mereka, lebih di takuti daripada makhluk mistis manapun.
“Hey, Scaly! Bukannya itu sepupumu? Lakukan sesuatu soal dia!”
Dwarf shaman berlari dengan kaki pendeknya secepat dia bisa. Air liur terbang dari mulutnya ketika dia berteriak.
“Sungguh di sayangkan, ketika saya memasuki kependetaan saya harus memutuskan tali persaudaraan dengan keluarga saya.”
“Apa, kamu nggak pernah pulang?”
“Rumah saya cukup jauh.”
Dengan nafas berat, Lizard priest menyanggal Dwarf shaman dari lantai dengan sapuan ekornya.
“Whoooa?!” Dwarf shaman berteriak ketika kakinya sudah tidak berpijak di tanah dan melayang di udara.
Dan pada saat dia mengira dia akan kembali terjatuh, dia mendapati sebuah lengan besar bersisik mengelilingi tubuhnya, menahannya. Lizard priest sama sekali tidak melambat sedikitpun ketika dia menangkap Dwarf shaman dan terus berlari.
Mata unik lizardman berkedip cepat.
“Dan untuk lebih pastinya, pembaca mantra, wyrm itu bukanlah saudara saya!” (TL Note : wyrm = semacam naga atau ular naga.)
“Oh-ho! Aku suka ini! Mudah dan nyaman!”
Tampak tak mempedulikan perkataan temannya. Dwarf shaman menunggangi pundak Lizard priest, dan tertawa selagi di gendong.
“Da-dari mana menurutmu dia d-datang?” Priestess bertanya dari belakang mereka, terengah-engah.
Berdoa pada dewa sudah membuat beban yang sangat kepada jiwanya. Doa Itu tidaklah lebih mudah dari pertarungan fisik. Oleh karena itu dia sudah hampir kehabisan nafas, kakinya tidak seimbang; dia merasa mungkin akan terjatuh dalam waktu dekat.
Goblin slayer menjentikkan lidahnya dan mengangkat pinggang langsingnya.
“Ap—?”
“Atur nafasmu.”
Priestess berteriak, terkejut, tapi setelah respon pendek Goblin slayer, dia mendapati dirinya berada di pelukan tangannya.
Dia menendang dan menggeliat malu, keduanya berasal dari kemampuan fisiknya yang mencapai batas dan karena menjadi beban secara harfiah kepadanya.
“A—aku nggak apa-apa! K-kamu nggak harus menggendongku...”
“Jangan bergerak. Atau aku jatuhkan kamu.”
“Ohh...”
“Kamu punya satu keajaiban lagi, kan?”
Akan sangat merepotkan kalau dia sampai pingsan di sini, kalimatnya memberitahunya.
“Aku mungkin akan perlu kamu untuk menggunakan mantra lagi.”
Setelah beberapa saat pipi Priestess memerah, dan dia menjawab pelan, “Baik.”
“Saya rasa akan sangat baik sekali jika kita menjauh dari jalur air.” Lizard priest berkata. Menggendong Dwarf shaman di pundaknya dengan satu tangan, dengan mudahnya dia merogoh isi tas dengan tangan satunya dan mengeluarkan peta.
Dia terus berlari, membaca peta walaupun tetesan hujan mulai menodainya.
Lingkungan basah dan hujan, bahkan udara lembab, adalah sahabat bagi Lizard priest, yang telah tumbuh di hutan yang lebat.
“Jadikan aja dwarf itu sebagai umpan! Kita bisa melarikan diri selagi monster itu menyantap makan malamnya!” High elf archer, melompat melewati hujan layaknya seekor rusa, berucap dengan kesungguhan yang terlihat jelas “Aku yakin monster itu akan keracunan makanan!”
“Nggak lucu!”
Priestess memotong perdebatan High elf archer dan Dwarf shaman, menunjuk kedepan dengan tongkatnya.
“Se-seuatu datang dari depan kita juga!”
Telinga High elf archer naik dan turun, mendengarkan seksama.
Splash. Sesuatu memukul air. Ada sesuatu. Dayung? Dia mengenali suara ini.
“Goblin lagi?” dia berkata lelah. Dia masih merasakan rasa lelah dari pertarungan sebelumnya.

Perahu lainnya yang penuh akan goblin mendekati dari kanal yang redup.
“Ap-apa yang harus kita lakukan...?” Priestess mendongak kepada Goblin slayer dengan mata yang ketakutan.
“......”
Dia tidak menjawab, tetapi mematikan lampu lentera mereka.
“Priest,” dia berkata. “Apa ada jalan bercabang di depan?”
“Saya pikir begitu. Saluran air ini seperti labirin.” Lizard priest menelusuri cakarnya di peta ketika dia menjawab.
“Tunggu dulu, aku nggak tau apa yang kamu pikirkan, tapi gas beracun dan api dila—”
“Dilarang. Aku tau,” Goblin slayer berkata kepada High elf archer. Dan menghela pendek.
“Kita akan lakukan dengan rencanamu.”
“.....?”
“High elf archer dan Dwarf shaman bertukar pandang kebingungan.

*****
Para goblin berusaha membuat kapal perang mereka (atau apa yang mirip sebuah kapal perang bagi goblin) bergerak lebih cepat. Pemimpin mereka, seekor shaman, mendorongkan tongkatnya ke depan dan, dengan teriakan, memaksa para pendayung untuk mendayung lebih kuat.
Sudah cukup lama waktu berlalu semenjak gema suara pertarungan telah menghilang di saluran air ini. Kemungkinan besar, rekan mereka sudah mati, tapi itu bukan masalah. Yang terpenting adalah para petualang, musuh dan mangsa mereka, lelah. Mereka tidak bisa membiarkan kesempatan ini begitu saja.
Para goblin sudah mencapai batas kemampuannya. Terowongan ini lembab, akan tetapi hujan ini semakin tidak mengenakkan. Goblin tidak peduli akan kotoran ataupun sampah, tapi itu bukan berarti mereka suka berbasah-basahan. Mereka menginginkan tempat yang hangat untuk tidur. Mereka menginginkan makanan yang enak.
Dan jika mereka mendapatkan tawanan untuk di siksa, akan lebih baik, sudah terasa lama sekali semenjak mereka menyiksa dan membunuh para petualang itu yang datang ke dalam saluran air pada waktu itu.
Itulah mengapa mereka harus meraih kesempatan ini.
Mungkin akan ada elf di antara petualang ini. Atau seorang manusia. Wanita mungkin. Pasti ada!
Mereka menyanyikan lagu jelek para goblin seraya mereka mendayung, sama sekali tidak seirama satu sama lain. Layaknya sebuah perahu mereka yang dapat berbahasa, semua goblin di atas kapal perang itu adalah prajurit. Satu kapal mungkin akan mudah di kalahkan. Tapi armada tiga kapal ini tidak akan menghilang begitu saja melawan keseluruhan petualang pemula.
Atau itulah yang goblin percaya, apapun realita yang mungkin terjadi. Dan itulah yang membuat mereka berbahaya. Sebuah pikiran bahwa mereka masih lemah walaupun dalam grup tidak pernah terlintas di benak mereka. Wajah mereka semakin menjijikkan dengan hasrat, liur mengalir dari mulut mereka, mereka berusaha untuk mendayung lebih cepat.
Mata dari shaman cukup mampu dalam melihat di kegelapan, terfokus pada satu titik cahaya—sebuah sinar yang berkelip yang sudah pasti merupakan lentera para petualang. Sangat di sayangkan, manusia membutuhkan cahaya, karena kegelapan membuat mereka buta. Di dalam lubang tak bercahaya ini, para goblin berada di titik terkuatnya.
Terbuai akan kepastian kemenangannya, mereka bergerak menuju cahaya itu, tanpa menyadari kejanggalan yang ada.
Namun mereka tidak melihat seorang petualangpun. Bahkan, mereka menyadari bahwa cahaya itu hanyalah pantulan di dalam air.
“ORAGARA!”
“GORRR....”
Sang shaman menjadi curiga; dia memberikan sebuah pukulan pada salah satu bawahannya dengan tongkatnya dan memarahinya. Goblin itu, yang hanya bernasib sial karena berada di dekat shaman, mencoba mencari sekeliling air, menyodok air dengan dayung tanpa lelah.
Kemudian:
“ORAGA?!”
Goblin itu kehilangan kepalanya.
Rahang pucat dari seekor monster melompat keluar dari dalam air.
“GORARARARARAB!!”
“GORRRB! GROAB!!”
Para goblin berteriak panik seraya mereka bergegas menuju stasiun tempur mereka. Dalam kondisi panik, beberapa melompat keluar dari kapal dan berusaha melarikan diri. Beberapa lainnya tinggal dan bertarung.
Tapi percuma saja. Goblin yang berada paling dekat dengan air adalah yang pertama tercabik-cabik.
*****
“Sepertinya mereka memiliki jumlah, tapi tidak keuntungannya.” Lizard priest mengamati.
“Mm. Aku nggak punya rasa kasihan untuk mereka.” Dwarf shaman menjawab.
Para petualang melihat semua dari balik kegelapan sebuah tepian.
O Ibunda bumi yang penuh ampunan, limpahkanlah cahaya sucimu kepada kami yang tersesat dalam kegelapan.”
Priestess berdoa kepada Ibunda bumi, di lindungi dari hujan oleh, perisai Goblin slayer. Menjawab doanya, dewi maha pengampun mengirimkan keajaiban holy light pada ekor alligator.
“Jika aku nggak boleh menggunakan gas atau api atau air, ini yang terbaik yang bisa aku lakukan.”
Goblin slayer terdengar sedikit jengkel. Memperhatikan goblin slayer dengan lelah, High elf archer berusaha menghiburnya.
“Terserah. Kita selamat, itu yang terpenting.”
Inilah petualang yang seharusnya! Dia mengendus dan membusungkan dada kecilnya. Dia cukup senang, terlihat jelas dari telinganya yang berayun girang.
“Tapi, aku nggak mengira mereka akan tertipu trik kecil dengan menggunakan cahaya.”
“Mereka belajar para petualang bergerak dengan cahaya.”
“Yang benar?”
“Aku nggak tau, tapi pada akhirnya, ini telah menjadi pengetahuan umum bagi mereka.” Goblin slayer berkata, memperhatikan pertarungan di saluran air berlangsung. “Mereka nggak lebih dari seekor pemulung. Mereka nggak memiliki konsep untuk menciptakan sesuatu.”
Dia benar. Goblin membuat pentungan dan peralatan batu atau mungkin memotong peralatan lain agar muat untuk di gunakan mereka, tapi hanya itu saja. Barang, makanan, ternak.... mereka mencuri apa yang mereka butuhkan daripada membuatnya.
Dan kenapa tidak? Desa-desa penuh akan manusia yang bodoh yang hanya menunggu mereka datang dan mengambil apapun yang mereka inginkan. Karena mereka dapat memuaskan diri mereka sendiri dengan mencuri, maka tidak ada gunanya untuk melakukan hal yang lain. Selama mereka mendapatkan cukup anak gadis dan petualang, mereka sudah senang.
“Tetap saja, walau bodoh, tapi mereka nggak tolol.” Goblin slayer melanjutkan, walaupun dia tidak mengalihkan pandangannya dari pertarungan itu. “Mereka belajar menggunakan item dengan cepat. Kalau kamu menunjukkan cara membuat perahu, mereka akan cepat menguasainya.”
“Kamu memahami mereka sekali.” High elf archer berkata.
“Aku mempelajari mereka dengan seksama.” Goblin slayer menjawab dengan cepat. “Inilah kenapa aku berhati-hati agar nggak memberikan mereka ide baru. Aku membunuh mereka semua.”
Bersandar di sebuah dinding, Dwarf shaman membelai jenggotnya.
“Jadi maksudmu, seseorang mengajari mereka membuat perahu-perahu itu.”
“Ya.”
Priestess menyelesaikan doanya dan menghela nafas. Dia mengelap keringat dan hujan dari dahinya.
“Kamu yakin? Mungkin itu ide shaman mereka...”
“Mungkin. Tapi jika jumlah mereka meningkat dengan natural disini, maka itu... apapun makhluk itu....”
“Um...alligator?”Priestess mengajukan.
“....Benar. makhluk itu nggak akan membuat mereka kaget. Aku rasa mereka nggak akan menggunakan perahu kalau mereka mengetahui keberadaan makhluk itu.” Gumamnya, dia menambahkan, “Pengecut sampai ke intinya.”
“Apa maksud anda, tuanku Goblin slayer?” Lizard priest bertanya pelan.
Goblin slayer sepertinya memiliki sesuatu yang spesifik di pikirannya. Semua responnya sangat tertuju pada sesuatu.
“Wabah goblin ini buatan seseorang.”
Goblin slayer menunggu hingga suara pertarungan telah menghilang, kemudian menyarankan untuk mundur sementara.
Tidak ada yang protes. Mereka telah kehabisan mantra dan kehabisan panah. Mereka tidak memiliki item yang cukup dan tenaga mereka melemah. Mereka berjalan tanpa suara melewati saluran air yang redup, meninggalkan pertarungan antara goblin dan alligator di belakang mereka.
Tidak lama kemudian mereka tiba di sebuah tangga. Mereka memanjat ke permukaan hanya untuk di sambut oleh hujan deras. Prieetess sudah basah, namun air hujan terus membasahinya. Di mendongak wajah lelahnya ke langit. Dengan suara pelan, dia bergumam:
“Sepertinya hujannya nggak akan berhenti.”