TERTIDUR
(Translater : Zerard ; Editor : Hamdi)

Bahkan hingga saat ini, dia masih dapat mengingat ketika suatu hari dia dimarahi oleh kakak perempuannya.
Itu adalah di saat dia membuat gadis itu, teman lamanya, menangis.
Kenapa? Benar.... Itu karena gadis itu akan melakukan perjalanan ke kota. Dia akan menetap di sebuah perkebunan.
Gadis itu terus menyombongkannya. Dia menjadi iri. Dia tidak bisa menahan dirinya lagi.
Dia tidak mengetahui tentang kehidupan apapun di luar desa mereka. Dia tidak mengetahui nama pengunungan yang terlihat di kejauhan atau apapun yang berada di balik gunung itu.
Dia mengetahui jika kamu mengikuti jalan dengan cukup lama, maka kamu akan menemukan sebuah kota, tapi apa maksud dari kota, kota macam apa, dia tidak mengetahuinya.
Di saat umurnya lebih muda, dia berpikir akan menjadi seorang petualang. Dia akan meninggalkan desa, mungkin membasmi satu atau dua naga, dan kembali pulang sebagai seorang pahlawan—petualang tingkat platinum.
Tentu saja, setelah dia menjalani beberapa ulang tahunnya yang datang dan pergi, dia menyadari bahwa itu mustahil.
Tidak—tidak mustahil.
Dia harus meninggalkan kakak perempuannya. Kakak perempuan yang telah merawatnya sejak bapak dan ibunya mati.
Dia bisa saja menjadi petualang. Tapi dia memilih untuk tidak melakukannya.
Itulah alasan mengapa dia marah pada temannya.
Ketika kakaknya menggandeng tangannya pulang, dia memarahinya.
“Ketika kamu marah, kamu akan berubah jadi goblin!” Dan “Kamu seharusnya melindungi perempuan!”
Kakak perempuannya sangatlah bijak.
Namun itu bukanlah karena dia memiliki banyak pengetahuan, melainkan karena pikirannya tajam. Mungkin yang tertajam di desanya. Sebagi bukti, dia bisa mendapatkan makannya dari mengajari anak-anak desanya membaca dan menulis. Anak-anak di butuhkan untuk membantu pekerjaan kebun keluarga mereka, namun membaca dan menulis juga penting.
Dia mencoba untuk mengajari adik laki-lakinya pentingnya menggunakan kepalanya. Jika kamu terus berpikir, dia berkata padanya, cepat atau lambat kamu akan mengetahui caranya.
Kakak perempuannya pastilah bermimpi untuk pergi ke kota untuk belajar. Namun dia tetap tinggal demi adiknya. Oleh karena itu, adiknya juga akan tetap tinggal, demi kakaknya.
Baginya, ini adalah hal yang sangat jelas.
Ketika mereka pulang, kakak perempuannya membuatkannya rebusan susu dan daging ayam. Dia menyukai masakan kakaknya. Dia selalu meminta satu mangkok lagi, dan satu mangkok lagi, tapi sekarang dia sudah tidak dapat mengingat lagi akan rasanya.
Tidak di ragukan lagi, itu adalah saat terakhir dia memakannya sebelum mereka datang.
*****
Dia membuka matanya secara perlahan.
Dia bangun dari tikar bulu dan menatap langit-langit yang tidak asing.
Tubuhnya masih terasa nyeri. Secara perlahan dia meregangkan tubuhnya, dan dengan tenang mengambil baju ke tangannya. Sebuah baju berserat. Baju itu telah pudar oleh pencucian yang berulang-ulang dan sedikit tercium bau sabun. Baju itu melindunginya dari teriknya panas matahari. Dan menutupi semua bekas luka yang ada di tubuhnya.
Dia mengenakan baju berserat dan kemudian gambeson katun (TL Note : Gambeson = https://goo.gl/zKZP1R)
Dia mencoba untuk mengenakan helm baja dan armor kulitnya, namun dia teringat bahwa dia harus memberikannya ke toko untuk di perbaiki.
Dia tidak memiliki perisai juga. Perisai itu sudah terkena serangan kritikal dari Ogre itu.
“....Hmph.”
Apa boleh buat. Dia menggantungkan pedangnya pada pinggulnya untuk perlindungan minimum. Pandangannya lebar dan terang, kepalanya terasa ringan, dan itu membuatnya tidak nyaman.
“Selamat pagi! Tidurmu nyenyak sekali!” Suara yang tiba-tiba itu terasa seperti sebuah serangan kejutan baginya.
Suara itu berasal dari gadis itu, teman lamanya, bersandar di ruangannya, buah dadanya bersandar pada kerangka jendela yang terbuka.
Angin yang sejuk berhembus ke dalam ruangannya. Dia tidak pernah merasakan angin musim panas pada kulitnya yang terbuka seperti ini dalam waktu yang cukup lama.
Temannya dengan pakaian kerjanya. Keringat kecil keluar dari dahinya. Dari cahaya yang membanjiri ruangan, dia dapat menerka bahwa matahari sudah berada tinggi di langit.
“Maaf.” Dia berkata, menawarkan perkataan  permohonan maaf singkat karena sudah ketiduran. Sepertinya gadis sapi sudah memulai pekerjaannya merawat para binatang. Dia sudah kehilangan kesempatannya untuk membantu.
Gadis sapi tidak mempermasalahkannya, tanpa ada nada kesal pada suaranya. “Oh, nggak apa-apa kok. Kamu membutuhkan istirahatmu lebih dari apapun. Aku tau itu, karena kalau nggak, kamu nggak akan melewatkan inspeksi pagimu. Tidurmu nyenyak?”
“Ya.”
“Kelihatannya hari ini akan panas banget. Kamu yakin nggak bakalan kepanasan dengan baju itu?”
“....Mungkin kamu benar.” Gadis sapi memang benar. Baju katun yang tebal hanya akan menghalanginya di saat dia bekerja. Jadi dia melepas dengan kasar armor dalaman yang dia kenakan sebelumnya dan melemparnya ke kasur.
“Ya ampun, nggak perlu sekasar itu juga. Kamu bisa merobeknya.”
“Aku nggak peduli.”
“Tentu saja kamu nggak peduli...” Dia mengangkat bahunya dan menyipitkan matanya seperti dia sedang mengasuh anak laki-laki muda. “Yah, aku nggak ada masalah sih. Aku lapar. Paman harusnya sudah bangun sekarang. Ayo cepat dan sarapan.”
“Baik.” Dia menjawab tenang dan keluar dari ruangannya. Dia melangkah di lorong
Pemilik rumah ini sudah menduduki bangku meja di ruang makan, matanya terbelalak melihat sosok di pintu.
“Selamat pagi pak.”
“Ye... yeah pagi.”
Dia memberikan anggukkan sopan santun dan duduk di seberangnya tanpa mempermasalahkan reaksi pria itu.  Paman merubah posisinya tidak nyaman.
“Kamu, uhhh, kamu bangun agak telat hari ini....”
“Ya.” Dia mengangguk sigap. “Aku ketiduran. Aku akan melakukan inspeksiku nanti.”
“Aku mengerti...” kalimat itu terucap seperti sebuah dengusan. Dia membuka mulutnya, kemudian menutupnya lagi, kemudian mengerutkan alisnya. “Kamu harus... istirahat sesekali. Nggak bisa kerja jika kamu nggak punya tenaga kan?”
Dia terdiam beberapa saat kemudian mengangguk. “Benar.”
Seperti ini percakapan yang mereka lakukan.
Dia mengetahui bahwa pemilik kebun ini adalah orang yang baik. Dia memperlakukan, keponakannya layaknya anaknya sendiri. Namun dia juga mengetahui bahwa pemilik kebun ini juga tidak menyukainya, atau paling tidak, merasa tidak nyaman berada di dekatnya.
Adalah pilihan masing-masing untuk menyukai dan tidak menyukai seseorang. Dia tentu saja tidak berusaha untuk meyakinkan paman untuk menyukainya.
“Whew! Maaf kelamaan! Aku akan bawa makannya sebentar lagi, jadi jangan sungkan-sungkan!” Teman lamanya datang berlari tidak lama setelah itu. Dan mulai meletakkan makanan di meja. Keju dan roti dan sup krim. Semua terbuat segar dari kebun. Dia makan dengan lahapnya seperti biasa. Ketika dia selesai, dia menumpuk piring kotor itu, mendorong kursinya ke belakang, dan berdiri.
“Aku pergi.”
“Apa? Aw, sial, apa sudah waktunya mengantarkan pesanan?” mendengar perkataannya, Gadis sapi mulai makan dengan terburu-buru. Dia menyumpal mulutnya dengan sepotong roti dengan cara yang tidak elok dilihatnya. Memperhatikannya, pemilik kebun membuka paksa mulutnya.
“Gerobak lagi?”
“Oh, Paman ini khawatiran banget. Aku sudah kasi tau, aku ini lebih kuat dari yang kelihatannya...”
“Aku akan membawanya.” Dia berkata pendek. Gadis itu dan pamannya bertukar pandang. Apa dia tidak cukup jelas?
“Aku akan membawanya.” Dia mengulanginya. Gadis itu terlihat bingung, tidak terlalu memandangnya, kemudian menggelengkan kepalanya.
“Nggak, kamu.....kamu nggak perlu melakukannya. Kamu perlu istirahat.”
“Tubuhku akan lemah.” Dia berkata tenang. “Lagipula, aku punya urusan di guild.” Dia tahu bahwa dia tidak banyak berkata. Dia tidak dapat mengingatnya apakah dia memang selalu seperti ini. Namun dia tahu seberapapun sedikitnya ucapannya, gadis itu akan selalu mencari cara untuk merawat dia.
Itulah alasan mengapa dia harus mengatakan apa yang dia ingin katakan.
“Nggak apa-apa.” Dia berkata, dan pergi meninggalkan ruang makan.
Dia dapat mendengar langkah kaki cepat Gadis yang berusaha mengejarnya.
Gerobak itu sudah menunggunya di luar. Pesanan untuk guild petualang sudah di muat di malam sebelumnya. Dia menarik talinya untuk memastikan semua sudah terikat, kemudian menggengam pegangan gerobak dan mulai mendorongnya.
Suara decitan roda mulai terdengar seiring dengan jalan yang berbatu. Dia dapat merasakan beban pada lengannya.
“Kamu yakin nggak apa-apa?” Ketika dia melewati gerbang pagar, Gadis datang berlari, napasnya terengah-engah. Gadis memperhatikan wajahnya.
“Ya.” Dia mengangguk singkat, dan mulai mendorong lagi.
Jalan garis pohon yang menuju kota. Dia berjalan dengan perlahan, langkah demi langkah, merasakan bumi pada telapak kakinya.
Seperti yang sudah Gadis ucapkan, hari ini tampak akan panas sekali. Hari belum mencapai tengah hari, akan tetapi sinar matahari sudah menyengat. Pada saat ini dia berkeringat. Seharusnya dia membawa handuk kecil.
Ketika dia berpikir selama keringat tidak masuk ke matanya maka tidak ada masalah, dia merasakan sesuatu yang lembut mengelap dahinya.
“Apa salahnya untuk istirahat?” Gadis menggembungkan pipinya jengkel seraya dia mengelap dahinya sendiri dengan sapu tangannya. “Kamu langsung pingsan di saat kamu kembali dan tidur selama beberapa hari. Kamu tau nggak sih seberapa khawatirnya aku?” Dia berpura-pura untuk berpikir sejenak, kemudian menggelengkan kepalanya. Tentunya itu bukanlah hal yang terlalu penting.
“Itu sudah tiga hari yang lalu.”
“Itu baru tiga hari yang lalu! Itulah kenapa aku selalu bilang jangan berlebihan.” Dia berkata seraya mengeluarkan sapu tangannya dan mengelap wajahnya. “Kamu hampir nggak sanggup berdiri! Kamu perlu istirahat.”
Masih mendorong gerobaknya, dia mendesah. “Kamu...”
“Huh?”
“....mirip sekali dengan pamanmu.”
Gadis itu terlihat tidak bisa memilih antara senang atau marah. Walaupun begitu, dia tetap tidak akan mundur.
“Ini hanyalah kelebihan bekerja. Kamu nggak perlu khawatir soal aku.” Dia menjelaskan dengan sedikit jengkel.
Tidak, itu bukan rasa jengkel. Dia hanya tidak menyukai jika harus terus di ingatkan bahwa dia tidak sanggup menjaga kesehatannya sendiri.
Tapi aku memang perlu untuk di ingatkan. Agar aku tidak mengulangi kesalahan yang sama dua kali.
“Apa itu yang di katakan teman Priestess mu?” Suara gadis itu terdengar sedikit masam. Dia melirik gadis itu dari ujung matanya dan melihat pipinya yang masih sedikit gembung karena mengambek.
“Nggak.”
Dia menatap kedepan lagi dan melanjutkan mendorong gerobak.
“Anggota party yang lain yang mengatakannya.”
“Hmm,” Dia berkata, menenangkan. “Kamu berpetualang dengan banyak orang akhir-akhir ini.”
“Kami baru menjalani satu quest.”
“Itu terdengar seperti kamu berencana untuk pergi bersama lagi?”
Dia tidak menjawab, dia tidak tahu apa yang harus di katakan.
Akan bohong jika dia berkata tidak memiliki niatan itu. Terdapat hal yang lebih buruk lagi. Namun apa dia akan mencoba mengundang mereka untuk quest berikutnya...?
Pada saat itu, angin berhembus. Dia menutup matanya. Mendengarkan suara gemerisik cabang pepohonan dan bermandikan cahaya matahari yang tersaring dedaunan.
Mereka berhenti berbicara.
Hembusan angin. Langkah kaki mereka. Nafas mereka. Gemuruh roda gerobak yang berputar.
Seekor burung bernyanyi dari suatu tempat. Anak kecil berteriak bermain. Keriuhan kota masih terlihat jauh.
“Ini menyenangkan.” Gumaman yang tiba-tiba keluar dari mulutnya.
“Apa...?”
“Ini lebih menyenangkan dari berburu goblin.”
“Kamu ini benar-benar tau cara merayu wanita.” (TL Note:  Sarkasme.)
“Begitu...”
Sepertinya, dia masih tidak dapat berkomunikasi dengan jelas.
Jika kamu tidak tahu apa yang akan kamu katakan, akan lebih baik jika tidak berkata sama sekali. Dari ujung matanya. Dia memperhatikan wajah gadis yang kebingungan. Dia terus mendorong gerobak dalam keheningan.
“Heh-heh!” Gadis tertawa tiba-tiba. Seakan-akan gadis sendiri tidak menyangkanya.
“Apa?”
“Nggak apa-apa!”
“Yang benar?”
“Benar.”
Gadis berjalan mengikutinya. Bersenandung sebuah nada yang tak di ketahui olehnya. Tapi, dia tidak perlu mengetahuinya. Gadis itu sedang bahagia. Itu saja sudah cukup.
Mereka memakirkan gerobak mereka pada pintu belakang dan masuk menuju lobi guild. Suasananya tenang. Sudah hampir tengah hari, jadi tentu saja kebanyakan petualang sudah berpergian. Atau mereka semua sedang berada di ibukota, yang sedang di landa banyak masalah akhir-akhir ini. Dia tidak tahu. Di dalam aula guild, terdapat beberapa pemohon quest yang sedang mengisi berkas dokumen dan beberapa petualang yang di kenalnya sedang beristirahat. Itu saja. Beberapa dari mereka terlihat sedang menunggu seseorang, dan antrian pada Gadis guild terlihat pendek.
“Sempurna,” Teman lamanya berkata dengan bertepuk bahagia. “Aku nggak harus menunggu lama untuk mendapatkan tanda tanganya. Aku akan mengurus ini dan segera kembali, tapi... kamu tadi bilang ada yang harus kamu lakukan kan?”
“Ya.”
“Oke. Kalau begitu, jika kamu sudah selesai, kita bisa bertemu lagi disini dan pulang bareng!”
“Baiklah.”
Dia melihatnya berlari dengan gembira, kemudian melihat sekeliling lobby.
Dia tidak dapat melihat orang yang di carinya. Mungkin dia datang terlalu awal.
Jika seperti itu, dia akan duduk menunggu pada kursi biasanya di dekat dinding. Dia berjalan menuju kursi itu dengan langkah sigap khas nya....
“Hrm...?”
....dan hampir menabrak seseorang yang sedang duduk di sebuah kursi. Orang itu melihatnya penuh curiga. Dia adalah petualang pengguna tombak.
Spearman duduk di kursi dengan bertolak pinggang, menatap tajam padanya.
“Nggak pernah aku melihat orang yang begitu fit tapi begitu pucat. Aku nggak kenal wajahmu. Kamu orang baru disini?”
“Nggak.” Dia menggelengkan kepalanya sekali seusai berkata. Tentu saja, pria itu mengenalinya. Dan tentu saja, dia bukanlah orang baru.
Namun sepertinya Spearman menolak untuk percaya bahwa itu adalah dia tanpa armornya yang biasa. Spearman memperlakukannya dengan bahasa yang biasanya di gunakan pada orang yang tidak di kenal.
“Sepertinya memang bukan orang baru. Petualang yang ingin mencari uang pergi ke ibukota akhir-akhir ini huh?” Dia berkata. “Kamu pasti lagi cuti atau sesuatu lainnya.”
Pendatang baru itu mengangguk pada “Sesuatu lainnya.” dan Spearman tertawa.
“Ibukota itu tempat yang keras. Aku bisa mengerti kenapa kamu ingin mengambil waktu libur.”
Dengan gerakan yang lincah. Dia berdiri dan mengatur pegangannya pada tombaknya. “Aku dengar disana orang-orang sedang khawatir soal roh jahat atau sesuatu. Sebuah pertarungan untuk menyelamatkan dunia? Terdengar seperti sebuah cara yang baik untuk membuat nama mu terkenal.”
“Kamu nggak pergi kesana?”
“Aku? Jangan konyol. Satu-satunya alasanku bertarung adalah demi diriku sendiri. Bukan uang dan nasib dunia.”
“Yah.” Spearman menambahkan. ”Aku dan.....” Dia memberikan Gadis guild tatapan penuh arti.
Ketika sang pendatang baru itu mengalihkan tatapannya menuju meja resepsionis juga, dia melihat Gadis guild berlari di belakang meja itu layaknya anak anjing yang kegirangan. Sepertinya, kerumunan petualang bukanlah satu-satunya hal yang membuatnya sibuk.
“....alasan pribadi.” Spearman menyelesaikan kalimatnya.”Aku nggak butuh motto, seruan perang.”
“Kamu tau kan?”
“Nggak.” Dia berkata. Spearman kembali duduk di kursinya.
Mereka berdua melihat witch yang sensual sedang berjalan mengarah mereka.
“Yah, sampai ketemu lagi.” Spearman berkata. “Aku punya kencan dengan—atau mungkin lebih tepatnya di dalam—suatu reruntuhan. Doa kan aku beruntung!”
“Baik.” Dia mengangguk tenang.
“Kamu benar-benar orang yang akrab” Spearman berkata sambil tertawa. Dan: “Itu bukan hal yang jelek.”
Ketika mereka berdua meninggalkan ruangan, Witch melihat ke belakang kepada “Orang akrab” ini dan memberikan kedipan mata yang penuh arti dan tertawa.
“Hati-hati, ya.” Witch berkata.
“Baik.”
Dan kemudian dia menduduki kursi yang sekarang telah kosong itu.
Dia menatap kosong pada langit-langit tinggi aula guild. Baru tersadar olehnya bahwa Spearman dan Witch adalah satu party. Dan dia mengira bahwa dia sudah mengenal mereka dengan baik sebelumnya.
“Um, pak goblin slayer! Goblin slayer, apa kamu ada di sini pak?!”
Kali ini, suara yang penuh ragu terdengar. Dia mengarahkan pandanganya kepada sumber suara itu tanpa menggerakkan kepalanya, sebuah kebiasaan di karenakan menggunakan helm terlalu lama.
Dia melihat seorang anak laki-laki magang dari workshop, berdiri disana dengan mencolok celemek kulit penuh dengan noda grease.
“Itu aku.”
“Oh syukurlah. Aku nggak tau kamu yang mana. Boss mencarimu. Katanya pekerjaannya sudah selesai.”
“Baiklah. Aku akan kesana.
Guild petualang bukan hanya tempat untuk menyerahkan quest saja. Tempat ini menyediakan beberapa aktifitas kewirausahaan, Selain kantor, terdapat penginapan, bar, toko item, dan toko perlengkapan. Tentu saja, bukanlah hal yang wajib untuk mempunyai toko seperti ini dalam bangunan guild. Namun sejauh negara memperhatikan, akan lebih mudah untuk mengatur orang-orang liar di satu tempat sebisa mungkin di bandingkan jika mereka berkeliaran di mana-mana.
Ketika dia berdiri dan berjalan, dia berjalan menuju salah satu workshop yang ada di guild. Melalui ruangan-ruangan. Menuju sebuah ruang yang lebih di dalam. Di depan sebuah tempat penempaan yang bercahaya, berdiri seorang pria tua yang mengayunkan palunya tanpa lelah. Mengerjakan sebuah pedang yang baru saja keluar dari sebuah cetakan menjadi sebuah pedang yang sesungguhnya.
Memang benar, ini hanyalah pedang yang di produksi massal yang tidak terlalu sulit untuk di tempa; yang tidak bisa di bandingkan dengan pedang-pedang legenda. Akan tetapi, kemampuan untuk menempa pedang yang sama berulang-ulang dengan hampir tidak ada perbedaan, adalah talenta yang luar biasa.
“....Kamu datang.” Pria tua itu melihatnya. Jenggot blacksmith tersebut sangatlah tebal yang dapat membuatnya di sangka sebagai dwarf. Mungkin di karenakan lamanya dia bekerja menempa membuatnya menyipitkan sebelah matanya hampir tertutup dan membuka lebar sebelah matanya. Ekspresi wajah itu sangatlah tidak menarik.
“Kamu memesan dan terus memesan tapi hanya barang-barang yang paling murah. Katakan padaku, bagaimana caranya aku mengisi tabunganku jika seperti ini terus?”
“Maaf.”
“Jangan meminta maaf. Hanya saja berhati-hatilah dengan barang buatanku.”
“Aku akan coba.”
“Hmmph.” Pria tua itu mendengus. “Kamu nggak tau lelucon bahkan jika itu menggigitmu di.....hmph. kemari.” Pria tua itu memanggil. Ketika Goblin slayer mendekatinya, pria tua itu memberikan armor dan helm kepadanya.
“Seharusnya nggak ada masalah, tapi di coba saja untuk memastikan. Aku akan mengubahnya jika di perlukan. Gratis.”
“Terima kasih.”
Armornya yang hancur, peyot dan kotor telah di buat sebagus—yah, tidak sebagus seperti baru, tapi sebagus seperti sebelum pertarungannya dengan ogre. Paling tidak, dia bisa mempercayakan nyawanya lagi pada benda ini.
“Dan scroll? Kamu mendapatkannya?”
“Kamu memberiku uang, maka aku akan memberikanmu barang. Tapi scroll sangat langka dan mahal.” Pria tua itu mendengus marah dan melihat kembali mengarah tempat tempanya. Dia menarik sebuah pedang besi biasa, dia memeriksanya, dan meletakkannya kembali ke perapian dengan sebuah jentikkan lidah. “Ketika seorang petualang menemukannya dan menjualnya, aku akan membelinya untukmu, tapi Cuma itu saja yang bisa aku lakukan.”
“Aku tau, itu sudah cukup.” Dia menyerahkan sebuah kantong emas pada muridnya, dan berjalan ke ujung workshop agar dia tidak menghalangi.
Blacksmith itu bahkan memberikan sebuah pelapis gambeson katun baru untuk di kenakannya sebagai perlindungan di balik armornya. Betapa baiknya dia.
Sarung tangan, baju besi, armor, pelindung dada, dan helm. Dia mengenakkan perlengkapannya dengan gerakan mekanikalnya, sesuai urutannya. Dan ketika itu, dia mendengar suara murid blacksmith yang kebingungan.
“Hei boss, orang itu petualang tingkat silver kan?”
“Aku dengar begitu.”
“Kenapa dia menggunakan armor itu, jika dia ingin bergerak secara tersembunyi, kita punya baju mithril, atau....”
“Kamu nggak tau bocah?”
“Nggak pak, kenapa nggak menggunakan pedang sihir dari pada scroll atau...”
“Karena hanya orang tolol yang cukup bodoh untuk menggunakan pedang sihir untuk melawan goblin!” Blacksmith tersebut memukulkan sebuah besi dengan sekuat tenaganya, sebuah suara keras yang berdenging terdengar ketika palu itu bertemu dengan pedang.
“Dia adalah pria yang tau apa yang dia lakukan.”
*****
Sepertinya aku populer sekali hari ini? Dia bepikir. Ketika dia keluar dari workshop dan kembali menuju lobby, dia melihat seseorang berlari mengarahnya. Tap-tap-tap suara kaki yang terdengar di iringi dengan ayunan buah dada yang indah dan sebuah wajah yang penuh akan senyuman.
“Pak Goblin slayer!” Priestess melambai seraya berlari mendekatinya.
“Ya, apa?”
“Ini, liat ini!”
Dia mengeluarkan plat tingkatannya dari dalam lengan bajunya. Plat tersebut tidak lagi putih porcelain, melainkan obsidian yang gemerlap
Oh, jadi itu?
Dia mengangguk pada rekannya yang berseri-seri. “Kamu naik tingkat dari tingkat sepuluh ke sembilan.”
“Ya pak! Aku sudah di promosikan!” sistem tingkatan yang di jalani para petualang di tentukan dengan seberapa banyak hal baik yang telah di lakukannya pada dunia—beberapa menyebutnya sebagai “experience point.” Atau semacam itu, tapi, dengan kata lain, berdasarkan hadiah yang sudah mereka kumpulkan dari quest. Mereka yang meraih jumlah tertentu dapat di promosikan tingkatan, yang melalui evaluasi personal singkat. Tidak ada yang salah dengan sifat dan sikap priestess, oleh karena itu promosi ini merupakan penghargaan atas kekuatannya yang berkembang. “Aku nggak yakin mereka akan memberikannya padaku, tapi pertarungan dengan ogre itu berpengaruh besar....” dia menggaruk sebelah pipinya yang tersipu dengan jarinya.
“Jadi begitu.”
Apa itu ogre tadi?
Oh, benar—itu adalah makhluk yang mereka temui di reruntuhan itu kan? Dia mengangguk. Jadi pada akhirnya ekspedisi kecil mereka menjadi cukup penting. Setelah beberapa saat dia bepikir, dia menambahkan pendek :
“Bagus untukmu.”
“Semua ini berkat kamu pak!” Tatapannya, matanya yang indah, menatap kepadanya. Dia menahan nafasnya. Apa yang harus di katakannya? Terdapat jeda panjang.
“Nggak sama sekali.” Akhirnya dia berbicara. “Aku nggak melakukan apapun.”
“Banyak yang sudah kamu lakukan!” dia merespon dengan senyumnya. “Kamu sudah menyelamatkanku waktu kita pertama kali bertemu.”
“Tapi, aku nggak bisa menyelamatkan rekanmu.”
“Betul, tapi...” Wajahnya menegang sesaat. Dia tidak bisa menyelesaikan kalimatnya—tentu saja.
Bahkan Goblin slayerpun masih mengingat kejadian mengenaskan itu dengan sangat jelas. Warrior, Wizard, Fighter, mereka yang telah kehilangan segalanya. Party mereka yang telah di injak menjadi debu.
Priestess menelan liurnya. Namun melanjutkan dengan tegas. “Tapi kamu menyelamatkanku. Paling tidak aku ingin berterima kasih untuk itu.” Kemudian dia tersenyum. Pada wajahnya, senyum itu layaknya bunga yang sedang mekar. “Jadi, terima kasih!” Dia berkata sambil menundukkan kepalanya. Seperti prediksi, Goblin slayer kehabisan kata-kata.
Priestess berkata bahwa dia akan pergi ke kuil dan memberitahukan ibunda kuil akan promosinya. Dia berdiri, dan melihat Priestess yang langkahnya yang anggun dan tangannya yang memeluk erat tongkatnya.
Dia diam.
Dia melihat menuju meja resepsionis, di mana teman lamanya sepertinya masih sibuk dengan berkas dokumen.
“Aku akan menurunkan isi gerobak.” Dia berkata. Dan teman lamanya meresponnya dengan melambai.
Dia pergi dari lobi, menuju pintu masuk aula guild. Dia mengambil sayuran dan beberapa barang produksi dari gerobak satu per satu dan meletakkannya di dekat pintu masuk dapur. Bekerja di bawah terik matahari, keringat mulai bermunculan di dahinya di balik helmnya dengan cepat.
Tapi sangatlah penting untuk melindungi kepala. Dia tidak bisa menurunkan penjagaannya. Disitulah dia berpikir ketika :
“Hei....  Kamu ada waktu?” Sebuah suara tenang secara tiba-tiba memanggilnya dari belakang.
Dia meletakkan muatannya dan berputar perlahan.
“Orcbolg? Kamu lagi ngapain...?” Dia adalah High Elf Archer. Telinganya berdiri tegak ke atas.
“Apa, Beard Cutter ada di sini? Oh memang benar! Apa seharusnya kamu sudah boleh bangun?”
“Saya dengar anda tertidur selama tiga hari... namun sepertinya anda sudah sehat sekarang.”
“Terlihat dari langkah kakinya kan?” Elf membalas kepada Dwarf dan Lizardman, yang berdiri di sampingnya. Sepertinya mereka menetap di kota setelah perjalanan mereka membasi goblin.
Biasanya, para petualang selalu berkelana, berpindah markas operasi mereka di saat yang menguntungkan bagi mereka atau di saat yang di butuhkan.
 “Tempat ini bagus.” Elf berkata. “Sangat nyaman. Tapi, kamu lagi ngapain?” Dia mencondongkan tubuhnya penasaran.
“Aku lagi menurunkan muatan gerobak ini.”
“Hmm...tunggu dulu, jangan bilang... kamu kesulitan uang, sampai kamu mengambil pekerjaan sebagai tukang antar barang.”
“Nggak.” Dia berkata jengkel. “Kamu mau apa?”
“Oh yeah. Orang ini, uh...” Elf mengoceh penuh arti. Menunjuk Lizard priest dengan jempolnya. Lidah lizardman menjulur menyentuh hidungnya dan kembali lagi. Tangannya gelisah terus menerus.
“Tuanku Goblin slayer, saya...hrm...”
“Apa?”
“Dengan rendah hati, saya meminta beberapa...haa...”
“Minta apa?” Goblin slayer bertanya.
Dwarf memotongnya dengan senyum menyeringai. “Si Scaly ini ingin minta keju.”
“Dia harusnya langsung ngomong saja.” High elf archer menyarankan, menyipitkan matanya seperti kucing. Lizardman mendesis kepada mereka berdua, namun mereka sepertinya tidak mempedulikannya. Mungkin mereka senang bisa melihat sisi lain dari rekan mereka yang sulit di ajak bercanda. Karena normalnya Lizardman lah yang selalu menjadi penengah di antara mereka.
Goblin slayer sadar bahwa dia tidak dapat keluar dari situasi ini. Mereka baru menjalani satu quest bersama. Banyak hal yang masih tidak di ketahuinya.
“Apa ini cukup?”
Dia membuka salah satu bungkusan di gerobak itu, mengeluarkan sebuah keju bulat, dan melemparnya kepada mereka.
“Oh-ho!” Lizardman menangkapnya. Matanya berputar girang di kepalanya.
“Kamu bisa membayarnya di guild.”
“Ya, ya, saya mengerti tuanku Goblin slayer! Oh madu manis! Nilaimu lebih berharga dari emas!” Bisa di bilang dia sedang berdansa. Dia membuka mulutnya dan mengigit besar keju itu.
Sang Elf tersenyum tidak berdaya. “Aku rasa bahkan orang yang paling seriuspun harus sesekali membebaskan dirinya.” Dia berkata.
“Aku mengerti.” Goblin slayer mengangguk. Dia tidak merasa bahwa itu hal buruk. Dia meraih barang selanjutnya di dalam gerobak.
Dia mengambil sebuah kotak kayu, mengangkatnya, dan menurunkannya. Kemudian yang berikutnya dan berikutnya lagi. Ini pekerjaan yang sederhana, namun dia tidak membencinya. Setelah beberapa kotak kayu berikutnya, Elf masih berdiri di sana.
Tubuhnya bergerak gelisah ketika dia memperhatikan pekerjaan Goblin slayer yang berulang-ulang.
“Ap-apa? Aku nggak boleh di sini?”
“Nggak.” Dia sedikit menggelengkan kepalanya. “Tapi hari ini akan panas.”
“De....dengar!” Suaranya terdengar sedikit nyaring. Telinganya berayun naik dan turun, naik dan turun.
“Apa lagi?” Dia berkata sambil mendesah.
“Um, kami... kami sedang memeriksa sebuah reruntuhan sekarang...”
“Reruntuhan.”
“Yeah, seperti perjalanan quest terakhir kita. Mencoba mencari tau apa yang sedang di rencanakan roh jahat atau yang lainnya....”
“Begitu.”
“Tapi party kami nggak memiliki pemain baris depan kan?” maksudku, aku ranger, dia seorang priest, dan si cebol pembaca mantra. Dia memainkan rambutnya seraya dia berkata dan tidak begitu melihat Goblin slayer.
“Benar.” Dia menyetujui. Apa yang di katakan oleh Elf adalah benar.
“Jadi, maksudku....” Dia mengalihkan perhatiannya dan melihat ke tanah. Goblin slayer menunggunya untuk menyelesaikan kalimatnya. “Aku pikir mungkin.... mungkin kami harus berbicara denganmu....”
Dia tidak menjawab. Itu saja? Dia mengangkat kotak lainnya tanpa kata.
Telinga Elf jatuh lemas. Dan Goblin slayer meletakkan kotaknya.
“Akan ku pikirkan.”
Goblin slayer dapat mendengar telinga Elf yang kembali berdiri kegirangan. “Ya! Benar! Kamu pikirkan dulu!” Dengan lambaian kecil, Elf pergi menuju meja resepsionis aula guild. Dwarf mengikutinya, membelai jenggotnya dengan sebelah tangan dan sebelah tangannya lagi menarik Lizardman—yang masih terpesona dengan hadiahnya yang lezat—dengan yang lainnya.
[Ilustrasi]
 “Bagaimana Beard cutter? Hidup Telinga panjang begitu susahnya, sampai dia malu-malu mengajakmu!”
“Diam Dwarf. Aku belum kehabisan panah ku.”
“Kaki ku gemetar di dalam sepatuku, bocah.”  Sepertinya Elf masih dapat mendengar perkataannya. Goblin slayer memperhatikan mereka berdua berjalan dan beradu mulut dengan nyaring.
Tanpa di sadarinya, dia hampir selesai menurunkan semua muatan gerobak. Dia menghembuskan nafas lega dan menggelengkan kepala. Matahari sudah berada tinggi di langit. Musim panas akan tiba.
Kemudian...
“Yaaahhhhh!”
“Heyaaaahhh!”
Tiba-tiba, teriakan terdengar, di ikuti dengan benturan antara metal dengan metal.
Suara pertarungan pedang. Dan ini tidaklah baru saja. Dia hanya tidak memperhatikan sekelilinganya.
Dia memutar lehernya untuk mencari sumber keributan itu. Suara itu berasal dari sebuah plaza di belakang bangunan guild—tepat di depannya.
“Ha-ha-ha, kamu bilang itu sebuah serangan? Kamu bahkan nggak bisa membunuh goblin dengan itu!”
“Sial! Dia terlalu besar. Menyebalkan sekali! Kelilingi dia dari sebelah kanan!”
“Baiklah, bersiaplah!”
Seorang warrior dengan armor beratnya menggunakan sebuah pedang besar dengan mudahnya layaknya sebuah tongkat kayu dan menangkis serangan dari dua orang anak laki-laki muda. Salah satu dari anak laki-laki itu ada scout dari party Heavy warrior, dan yang satunya.... dia adalah seorang warrior pemula yang sedang dalam perjalanan menuju saluran pembuangan air. gerakannya memiliki ciri khas seorang tingkat porcelain yang tidak berpengalaman. Namun dia mencoba mencari alur dari pertarungan ini dengan sangat baik.
“Rencananya nggak jelek.” Warrior yang berpakaian berlebihan itu merespon. ”Tapi nggak akan ada gunanya jika kamu meneriakkannya kepada musuhmu!”
“Yrrahh?!”
“Waaaargh!”
Perbedaan pengalaman dan kekuatan antara mereka sangatlah jauh. Warrior menangani mereka dengan sangat mudah.
Sepertinya Goblin slayer terilhat terlalu mencolok ketika dia memperhatikan mereka sedang berlatih.
“Hm, Ternyata Goblin slayer.” Berkata dengan suara rendah penuh akan kecurigaan. Dia adalah wanita yang mengenakan knight armor. Seingat dia, wanita itu juga merupakan bagian dari party heavy warrior.
“Aku nggak melihatmu beberapa hari ini.” Dia berkata. “Aku mulai berpikir bahwa ogre itu sudah membunuhmu. Tapi disini lah kamu. Hidup dan bergerak.”
“Ya.”
“....Seperti itukah kamu berbicara dengan semua orang yang kamu kenal?”
“Ya.”
“....Begitu..” knight mengerutkan alisnya seakan-akan dia memiliki sakit kepala dan menggeleng kepalanya.
Goblin slayer tidak menganggap ada hal yang aneh. Namun dia tidak mengatakannya. Namun dia mengatakan. “Aku nggak berpikir bahwa warrior itu adalah anggota partymu.”
“Oh, dia nggak. Kami hanya melakukan latihan dengan bocah-bocah disini....”
Sepertinya, mereka menyadari ada warrior muda lainnya yang sedang berlatih pedang di dekat mereka dan mengundangnya untuk bergabung.
Kebanyakan dari mereka yang bercita-cita menjadi warrior datang dari sebuah desa dengan pedang dan mimpi tentang cara penggunaannya. Bahkan latihan dengan petualang yang sudah berpengalaman ini mungkin dapat menyelamatkan hidupnya suatu hari.
“Sekarang aku harus mengajarkan para gadis itu cara untuk berprilaku seperti seorang wanita.”
Di seberang dari scout dan warrior muda berhadapan dengan heavy warrior dengan gagah berani, seorang Cleric dan gadis Druid bersandar pada sebuah tembok yang rendah, memperhatikan pertarungan itu dengan semangat.
“Dan si kepala batu itu mungkin sudah capek sekarang. Mungkin aku harus bergabung dengannya.” Knight berkata dengan senyum menyeringai. Dia menggerakkan perisai besarnya dan pedangnya—kebanggannya. Dan melompati dinding menuju kegiatan yang sedang berlangsung.
“Baiklah, sekarang kalian sedang dalam masalah! Aku kira aku mendengar ada warrior yang perkasa disini, tapi sejauh aku melihat cuma ada gerombolan bocah tengik lemah!”
“Apaaa? Gimana mungkin seorang paladin berbicara seperti itu?!”
“Ini jawabanku!”
“Berlatih!” Teriak warrior, yang selalu menyerang dari depan—inilah mengapa orang-orang menyukainya. Pedang besarnya berputar seperti tornado, perisai besarnya menghentikkan serangan demi serangan.  Dia menghindar dari setiap serangan balasan dan selalu menemukan sebuah celah dari setiap balasan itu. Cleric dan gadis Druid baru saja akan pergi membantu para laki-laki muda yang terdesak itu ketika...
“Knight itu nggak bisa mengurus urusannya sendiri ya?” Tawa yang terdengar jelas seperti sebuah bell. Sejak kapan ada seseorang di sampingnya?
“Maaf sudah mengganggu Goblin slayer ku, tapi gimana kalau kamu minum ini? Disini sangat panas....” Dia baru saja keluar dari pintu dapur. Dan sekarang menawarkannya secangkir minuman.
“Terima kasih.” Dia berkata, mengambilnya. Dia meminumnya dengan sekali teguk masuk ke dalam helm nya. Terasa dingin dan manis.
“Ada sedikit campuran lemon dan madu di dalamnya.” Gadis guild berkata. “Seharusnya bagus untuk menghilangkan rasa lelah.” Goblin slayer mengangguk setuju. Ini mungkin akan menjadi tambahan yang bagus untuk persediaannya nanti. Dia harus mengingatnya.
“Akhir-akhir ini ada pembicaraan mengenai bangunan baru yang akan di dedikasikan untuk latihan seperti itu.” Dia berkata dan mengangguk kepada gerombolan yang sedang berlatih itu.
“Oh?” Dia mengelap tetesan cairan pada bibirnya.
“Kami dapat mempekerjakan para petualang yang sudah pensiun sebagai pengajar. Banyak pemula yang nggak tau tentang apapun sama sekali.” Jika kita bisa mengajari mereka walapun Cuma sedikit, mungkin akan lebih banyak dari mereka yang dapat kembali pulang. Gadis guild melihat menuju kejauhan dan tersenyum.  Gadis guild telah banyak melihat para petualang yang datang.... dan pergi. Walaupun dia hanya mengurus berkas dokumen namun tetap saja dia merasakan dampaknya. Tidaklah sulit untuk memahami mengapa dia ingin menolong pendatang baru.
“Dan....” Dia menambahkan. “Walaupun kamu pensiun, kamu tetap perlu menjalani hidup, semua orang pasti membutuhkan sesuatu untuk mengisi waktunya.”
“Begitukah?” Dia memberikan cangkir kosong itu kepadanya.
“Ya, memang begitu.” Dia memaksa dengan anggukkan penuh semangat biasanya, kepangnya berayun. “Jadi, kamu harus juga menjaga dirimu sendiri, oke?”
Dia terdiam sesaat. “Sepertinya itu adalah nasehat orang-orang kepadaku akhir-akhir ini.”
“Aku akan menunggu hingga kamu sembuh total sebelum aku memberikanmu quest lagi. Mungkin sekitar sebulan,”
“Erk....” Dia mengeluh.
“Dan jika kamu bekerja lagi sampai kamu pingsan, enam bulan.”
“Itu akan menjadi...masalah.”
“Iya kan? Jadi tolong belajarlah dari ini.” Dia tertawa kecil. Kemudian Gadis guild memberitahukan padanya bahwa dia sudah menyelesaikkan berkas dokumen untuk bahan produksinya. Goblin slayer kembali menuju aula guild, suara pedang metal petualang muda yang beradu dengan mentornya masih terdengar di belakangnya.
Gadis itu, teman lamanya. Menunggu dengan tidak sabar di dekat gerobak. Ketika dia melihat Goblin slayer, wajahnya menjadi ceria. Goblin slayer memanggilnya dengan pelan.
“Ayo kita pulang?”
“Ya, ayo!”
Gerobak itu menjadi lebih ringan di banding dengan pagi hari tadi.
Ketika Goblin slayer telah kembali ke kebun, dia menemukan sebuah batu yang terjemur matahari dan mulai membangun sebuah dinding batu. Pondasi sebuah dinding sebenarnya sudah ada, namun dengan goblin, tidak ada salahnya untuk lebih berhati-hati. Bahkan paman pun dengan berat hati mengakui nilai kegunaan dinding ini, dengan logika bahwa dinding itu dapat menghalau hewan liar.
Goblin slayer bekerja tanpa sepatah katapun hingga matahari melewati puncaknya, teman lamanya datang dengan sebuah keranjang di lengannya. Mereka duduk di rerumputan bersama, memakan roti lapis dan anggur dingin untuk makan siang. Waktu berlalu secara perlahan.
Dengan dinding yang hampir selesai dan pesanan untuk hari berikutnya telah di muat di gerobak, matahari mulai terbenam di ujung khatulistiwa. Temannya berkata bahwa dia akan menyiapkan makanan dan pergi meninggalkannya. Meninggalkannya seorang diri berkeliling tanpa arah di padang rumput. Rerumputan bergemulai seiring angin musim panas berhembus.
Di atasnya bersinar dua bulan dan langit penuh bintang. Bintang-bintang itu pastinya sudah menempati tempat barunya untuk musim yang baru. Namun dia tidak memastikannya. Baginya, bintang-bintang adalah caranya untuk mengorientasi dirinya. Ketika dirinya masih muda, hatinya masih membara semangat mendengar kisah dongeng para pahlawan. Dulunya dia ingin mempelajari kisah tentang konstelasi. Tapi sekarang....
“Ada apa?” Dia mendengar sebuah langkah kaki yang samar-samar di rerumputan belakangnya. Dia tidak berputar untuk melihatnya.
“Hmmmm? Makan malam sudah siap. Tapi nggak usah buru-buru. Kamu lagi pikirin apa?” Ketika dia melihat bintang di langit, teman lamanya duduk di sampingnya. Goblin slayer berpikir sejenak kemudian duduk juga. Bajunya besinya berbunyi sedikit.
“Tentang masa depan.”
“Masa depan?”
“Ya.”
“Huh...”
Percakapan mereka melenceng, dan mereka terdiam, menatap langit. Ini bukanlah keheningan yang tidak mengenakkan. Namun ini adalah keheningan yang mereka nikmati. Keheningan yang damai. Satu-satunya yang terdengar adalah bisikan angin, keriuhan kota di kejauhan, serangga dengan nafas mereka. Mereka sepertinya saling mengerti apa yang akan masing-masing mereka katakan.
Lagipula, dia hanyalah manusia. Dia akan tumbuh tua, terluka, dan ketika dia terlalu lelah, dia akan pingsan. Suatu hari dia akan mencapai batasannya. Jika dia tidak mati duluan, maka hari di mana dia tidak bisa membunuh goblin lagi tidak dapat di hindari.
Dan apa yang akan di lakukannya jika itu terjadi? Dia tidak mengetahuinya.
Dia lebih lemah dari yang aku kira. Gadis pikir, memerhatikannya dari ujung matanya.
“Aku minta maaf.”
Kata-kata itu tiba-tiba saja terlontar begitu saja dari bibirnya.
“Untuk apa?” Dia memiringkan kepalanya yang tidak terlihat seperti dirinya. Mungkin karena helmnya, gerakan itu terlihat sedikit aneh, seperti anak kecil.
“Nggak...nggak apa-apa.”
“Kamu aneh.” Dia bergumam, sementara gadis tertawa kecil.
Apa dia mengambek? Ini adalah hal yang kecil. Namun hal ini tidak pernah berubah sejak dia masih kecil. Dengan itu, gadis menarik lengan dia.
“Erk...” Goblin slayer mendapati pandangannya yang tergerak, dan kemudian belakang kepalanya bersandar pada sesuatu yang empuk. Ketika dia melihat ke atas, dia melihat bintang, dua bulan—dan matanya.
“Bajumu akan terkena minyak.”
“Aku nggak peduli. Baju ini bisa di cuci dan aku bisa mandi.”
“Nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa.” Kepala Goblin slayer bersandar pada lutut temannya. Temannya membelai helmnya seraya mendekatkan kepalanya dan berbisik. “Coba kita pikirkan ulang lagi. Waktu kita masih panjang.”
“Waktu kita, huh....?”
“Benar, kita punya semua waktu yang ada di dunia.”
Goblin slayer merasakan sebuah rasa santai yang aneh. Layaknya sebuah tali yang telah di longgarkan dari ikatannya yang kuat. Ketika dia menutup matanya, dia masih mengetahui bagaimana temannya melihat dirinya, walaupun dia tidak bisa melihat temannya. Layaknya temannya yang mengetahui bagaimana dia melihatnya walaupun wajahnya yang tersembunyi di balik helmnya.
Makan malam hari itu adalah sup.
*****
Hari-hari santai ini terus berlanjut hingga satu bulan telah berlalu.
Di suatu tempat, pertarungan antar para petualang dan roh jahat semakin memanas hingga....
Kemudian, tiba-tiba berakhir.
Konon seorang petualang pemula yang mengikuti bimbingan pedang legendaris, pada akhir petualangan mereka berhasil mengalahkan Demon king. Petualang yang masih hijau itu—seorang gadis muda—menjadi petualang tingkat platinum yang ke enam belas dalam sejarah.
Sebuah perayaan dirayakan di ibu kota, bahkan Goblin slayer yang sedang beristirahatpun mengamati perayaan itu.
Walaupun ini semua tidak ada hubungannya dengan dia.
Dia hanya tertarik dengan cuaca, binatang, tanaman, dan orang-orang yang ada di sekelilingnya. Waktu berlalu perlahan namun pasti. Hari-hari berlalu dengan tidur siang yang berkualitas.
Namun semua hal akan berakhir—dan terkadang terlalu cepat.
Akhir dari masa rehatnya muncul dari sebuah bercak-bercak hitam di rerumputan yang basah oleh embun pagi. Garis lumpur dan kotoran-kotoran yang tersebar di padang rumput, tidak salah lagi itu adalah jejak kaki kecil.