PETUALANGAN DAN KEHIDUPAN SEHARI-HARI
(Translater : Zerard ; Editor : Hamdi)

“Kalau kamu nggak suka, kamu boleh pulang.”
Sebuah suara jernih berbunyi di dalam hutan, yang gelap walaupun sudah tengah hari.
Pohon, lumut, akar. Ini adalah dunia di mana seseorang berjalan pada tulang-tulang mereka yang terlantar pada bangunan batu kapur, sebuah tempat yang di kuasai tumbuhan yang begitu berlimpah hingga saling bertumpukan. Reruntuhan sebuah kota besar, yang kemungkinan di bangun pada masa para dewa—atau paling tidak, pada masa pertama bagi mereka yang dapat berbicara.
Bahkan konon para elf mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang akan bertahan di bawah tekanan bulan dan tahun, akan tetapi…
Pemandangan ini terlihat sangat menyedihkan. Retakan yang menjalar di ukiran-ukiran yang begitu indah; lantai batu yang awalnya berkilau sekarang telah hancur. Melalui ranting-ranting yang membentang di atas kepala seperti plafon, sebuah cahaya redup, tidak akan cukup untuk melihat, tertelan kegelapan. Tempat ini adalah sebuah kota dulunya—namun sekarang tidak lebih dari sebuah reruntuhan. Hanya pepohonan dan tumbuhan yang hidup disini sekarang.
Dalam pemandangan ini lima orang figure berjalan dalam satu barisan, berisikan barang-barang yang dapat di ketahui. Mereka adalah, tentu saja, petualang.
Suara itu berasal dari seorang wanita muda yang berdiri di depan barisan, bertanggung jawab dengan pengintaian. Telinga panjangnya, bukti bahwa dia adalah seorang High elf, bergetar.
“Nggak ada artinya kalau kamu memaksakan.”
“Apanya?” Balasannya singkat, suara itu hampir terdengar mekanikal.
Suara itu berasa dari barisan kedua—seorang warrior manusia dengan helm kotor dan armor kulitnya. Pada pinggulnya sebuah pedang dengan panjang yang aneh; dan pada lengannya sebuah perisai bulat kecil; dan pada pinggangnya tergantung tas berisikan segala macam benda.
Ini adalah perlengkapan yang sedikit lebih baik di bandingkan dengan pemuda dengan mata berbinar dari sebuah desa. Tapi hanya sedikit.  Dia memang terlihat tidak begitu meyakinkan. Namun langkahnya, cara dia berjalan, memancarkan kepastian.
Sejauh warrior terlihat, dia akan meninggalkan sebuah impresi aneh kepada semua orang yang melihat.
“Petualang ini!” High elf archer tidak berputar. Telinga panjangnya naik dan turun gelisah.
Banyak elf yang terlahir sebagai seorang ranger. Mereka adalah pengintai setara dengan rhea, walaupun itu bukanlah pekerjaan utama mereka.
Dia melompati sebuah akar pohon yang menonjol dengan sangat mudah seakan-akan dia tidak memiliki berat tubuh sama sekali.
“Bukannya aku nggak menyukainya,” Warrior berkata.
Telinga High elf archer melompat.
“Ini adalah apa yang sudah kita setujui. Aku nggak akan menolak membayar hutang yang sudah aku miliki,” Dia melanjutkan.
Telinganya melemas lagi.
Orang ketiga pada barisan menghembuskan nafasnya mendengar kalimat pria itu.
Kecil, muda, tidak berpengalaman, dan yang paling cantik dalam grup ini—seorang gadis manusia. Dia menggenggam tongkatnya dengan kedua tanganya dan menggunakan baju besi di balik jubah pendetanya. Dia adalah seorang Priestess.
Dia memberikan sebuah ayunan jari menegur warrior itu, seakan-akan mengatakan, apa boleh buat.
“Kamu nggak boleh begitu. Kamu perlu sikap yang lebih baik lagi.”
“…Apa perlu?”
“Ya, kamu perlu. Karena dia sudah berbaik hati memikirkan kamu!”
“Begitukah…?  Warrior gergumam, dan kemudian terdiam. Ekspresinya tersembunyi di balik helmnya. Setelah pertimbangan singkat, dia memutar helm kotornya pada Elf yang berdiri di depan dan bertanya langsung padanya, “Apa benar?”
“Bisa nggak kamu nggak bertanya soal itu?” High elf archer berkata, mengembungkan pipinya.
Pada kenyataannya, sejak di meminta “Sebuah petualangan” sebagai hadiahnya karena sudah membantu warrior itu melindungi sebuah kebun tertentu, Elf sedang dalam mood yang gembira.
Apakah dia akan mengakuinya secara terang-terangan, adalah pertanyaan lainnya lagi.
“Ahh, nyerah saja!” Seorang shaman yang bundar membelai jenggotnya, tertawa kecil dengan polos.
Dia berada barisan keempat, seorang pengguna magic, yang berpakaian ala Timur—Dwarf shaman. Dia bahkan lebih pendek dari Priestess namun dengan postur tubuh yang seperti batu. Orang awam berpikir bahwa pembaca mantra sangat lemah, namun bangsa dwarf berbeda.
Kependekkan dari anggota tubuhnya tidak pernah menjadi masalah. Melewati jejak para hewan adalah hal yang sulit baginya.
“Dia ini Beard cutter. Kekerasan kepalanya sudah bukan hal yang baru lagi.”
“…aku rasa iya. Orcbolg memang keras kepala.” Dengan itu, High elf archer menghela nafasnya. “Sebagaimana aku membenci harus mengakui bahwa seorang dwarf benar akan sesuatu.”
Dwarf shaman mengeluarkan “Hmph,” jengkel dan kemudian tersenyum sombong. “Gimana kamu bisa mencari seorang pria kalau bicaramu seperti itu?  Kamu akan menjadi perawan tua berumur dua ribu tahun!”
“Hrk!” Telinginya menyentak. “Aku nggak peduli. Kenapa aku harus peduli? Lagipula, aku masih muda.”
“Oh, yang benar?” kata Dwarf shaman, senyumnya semakin menjadi seketika dia menemukan sebuah kesempatan yang di carinya. “Aku harusnya menyadarinya—jika di nilai dari dada yang sedatar papan!”
“Dasar gentung berjalan!”
Alis High elf archer yang cantik berdiri. Dia berputar dan melototi Dwarf. Menutupi dadanya yang rata dengan lengannya, dia membuka mulutnya untuk membalas ejekannya—
--namun di hentikan oleh desisan nafas.
“Penghuni lahan ini mungkinlah telah hilang di telan waktu, tapi akan sangat lebih baik jika sopan santun tetap di jaga.”
Suara itu adalah Lizardman dengan sebuah jimat pada lehernya.
Dia adalah ekor—secara ibarat dan secara harfiah, dengan desisan di belakangnya—dari formasi mereka. Dia sangatlah besar, nafasnya berbunyi dari balik rahangnya. Menggunakan pakaian tradisional para bangsanya dan menggabungkan kedua tangannya dengan gerakan yang aneh, dia adalah Lizard priest, yang mengikuti jejak leluhurnya, naga yang menakutkan.
“Lahan ini bukanlah tempat bagi orang-orang. Tetap hati-hati, dan jangan mengundang masalah.”
“Hrm. Dia memang terlalu nyaring.”
“Hrk! Apa? Ini salahmu karena—“
“Nyonya ranger, kumohon.” Lizard priest memohon.
Sebuah kata memulainya tertelan di bibir High elf ranger.
Lizard priest bukanlah pemimpin party, oleh karena itu, High elf archer tidak tega untuk melawan wajah yang memohon itu.
“Mungkin anda bisa memulainya. Memanjat akar itu sepertinya tepat untuk menjadi sebuah tantangan.”
“…Baik pak.”
“Dan tuan pembaca mantra, sangat tidak baik untuk mengganggu pengintai kita.”
“Aku tau, aku tau.”
Dwarf Shaman sepertinya tidak menyadari bagaimana telinga High elf archer melemas di bawah teguran yang memelas itu.
Sementara itu, Lizard Priest memutar matanya jengkel.
Priestess tertawa kecil, dengan tidak di sengajanya. Dia menyukai sebagaimana cerianya ketika High elf archer dan Dwarf shaman bertengkar.
Pertemanan mereka cukup bagus sampai berdebat seperti itu.
“Hyup!”
High elf archer melompati sebuah akar pohon yang hampir sama tingginya dengan tubuhnya, dengan satu, dua, tiga langkah, dengan gerakan akrobatik yang melebihi apa yang mampu di lakukan kebanyakan orang.
“Kamu berlatih gerakan itu.”  Sang warrior, yang memperhatikan mereka, berkata dengan perlahan.
“Oh, kamu menyadarinya?”
Dengan jawaban puas High elf archer, sebuah tali panjat di lemparnya dari atas rintangan itu.
Sang warrior memeriksa dan menarik tali itu hingga dua sampai tiga kali, kemudian menginjakkan kakinya pada akar dan mulai memanjat keatas.
Dengan armor yang di gunakannya, sulit di percaya dia dapat memanjat dengan kecepatan dan keringanan itu. Mungkin ini adalah hasil dari kehidupannya di alam liar.
“Baiklah, ini sudah bagus.” Dari atas akar, helmnya berputar dan melihat kebawah. “Selanjutnya.”
“Oh—baik!”
Priestess mengangguk beberapa kali dan mengikutinya.
Dia memindahkan tongkatnya pada punggungnya dan mulai memanjat dengan canggung, menyadarkan dirinya dengan sungguh-sungguh pada akar untuk menopang dirinya.
“Tapi… Hrgh… Nggak nyangka kota sebesar ini menjadi reruntuhan… Yikes!”
“Hati-hati.”
Vwooop. Priestess terpeleset pada sebuah lumut dan hampi terjatuh, namun sang warrior menangkap pergelangan tangannya dan menariknya ke atas.
“Ter-terima kasih…” Dia berkata dengan suara kecil, melihat ke bawah akar dan tersipu.
Dia menggosok pergelangan tangannya yang sedikit nyeri. Tapi dia tidak mengeluh.
“Kalau kamu tidak terluka, kita akan turun.”
“Baik.”
Priestess berjalan di atas akar itu, sang warrior menggengam tangannya untuk membantunya.
Saat mereka mencapa tempat yang aman, High elf archer mengangkat kepalanya dan bertanya, “Semuanya baik-baik saja?”
“Ya… Aku hanya…perlu menguatkan tenagaku sedikit lagi…”
“Yah, jangan berlebihan,” Elf berkata dengan sentilan telingannya. Dia menyipitkan matanya dan memberikan Priestess tatapan naik dan turun penuh arti. “Kamu nggak bakalan mau menjadi kayak Dwarf.”
“Aku mendengarmu telinga panjang! Dan aku sudah bilang sama kamu, kalau aku itu normal bagi bangsa dwarf!” Dwarf shaman berteriak dari sisi lain akar itu. “Lagipula, nggak ada satupun yang akan menang melawan aliran waktu. Pohonmu, gua kami… apapun itu.”
Sang Dwarf, dengan bantuan dorongan dari Lizard priest untuk memanjat akar, menyiapkan mentalnya dan melompat ke tanah.
Dia mendarat dengan bokongnya dengan gedebuk.
High elf archer bermuka masam melihat penampilan yang tidak elegan itu. “Apa kamu nggak bisa lebih konyol lagi?”
“Lihat kakiku! Mereka pendek! Kalian para elf, selalu mengkhawatirkan bagaimana cara orang melihat kalian.”
“Jika itu menganggumu, kamu bisa menggunakan Falling control.”
“Bah! Menggunakan mantra untuk ini? Apa elf nggak punya konsep penghematan magic?”
“Sudah, sudah…” Priestess menyela mereka dengan senyuman yang tidak dapat dia tahan.
“Kalau kalian terlalu nyaring, kalian akan dapat omelan lagi.” Dia mengingatkan.
“Oh, siapa yang akan mengomeli aku? Dari sudut pandang seorang elf, ular itu masihlah seorang bocah…”
“Oh-ho?”
Telinga High elf archer melompat mendengar suara rendah itu.
“Bahkan para elf pun tidak abadi. Mungkin satu-satunya yang abadi adalah, keabadian itu sendiri…”
Suara itu di ikuti dengan desiran Lizard priest memanjat akar dengan bantuan cakar dan ekornya.
Dia memanjat dengan anggun dan mendarat dengan gesit. Sangat menakjubkan, walaupun sedikit nyaring. “Mungkin akan sangat menyenangkan untuk mengetahui apakah High elf abadi atau tidak?”
“…aku nggak tertarik.”
Mungkin dia bermaksud menunjukkan ekspresinya sebagai bermain-main atau menggoda, tapi bagi siapapun yang tidak memiliki sisik, itu hanya terlihat seperti kadal besar dengan mulutnya yang bertaring terbuka lebar.
High Elf archer mengkerutkan dahinya dan menggelengkan kepalanya ke kiri dan kanan.
“Dan?” Sang warrior berkata. “Dimana goblinnya?”
“…Ini dia lagi.” High elf archer mengangkat bahunya dengan lebay seakan-akan mengatakan nggak pantas untuk di balas dan di ikuti dengan desahan nafas yang lebih besar lagi. “Aku repot-repot mencari sebuah reruntuhan yang sepertinya terdapat goblin di dalamnya, hanya untukmu, Orcbolg.” Kamu harusnya lebih sedikit bersyukur.
Mendengar itu sang warrior melanjutkan dengan, “Hmmm. Dengan kata lain, kamu sudah bersikap tenggang hati.”
“…Yeah, kamu bisa bilang begitu.”
“Aku mengerti.”
Goblin slayer sepertinya menunggu semuanya untuk tiba. Sekarang dia memberikan sebuah anggukkan dan berjalan di depan barisan. High elf archer dengan terburu-buru menyusulnya dan menyalipnya untuk memulai lagi pengintaiannya.
Jika di pikir, sang warrior adalah seorang pengintai yang cukup bagus. Walaupun dengan gerakan cepat, acuh, dan hampir terlihat gaduh, anehnya armornya tidak mengeluarkan suara. Dia mungkin terlihat seperti penjahat yang sederhana, namun dia tidak menginjak satupun sebuah cabang, dan tidak menginjakkan batu.
“Ahem, tidak perlu resah, tuanku Goblin slayer.” Lizard Priest mengeluarkan sebuah gulungan kertas dari tasnya dan membukanya, mempelajarinya seraya dia berjalan.
Kertas itu telah pudar, usang, dan nampaknya setengahnya telah hilang, tapi itu terlihat seperti peta kota ini.
Berusaha untuk tidak merusak kertasnya, Lizard priest menyusurinya cakarnya di atas kertas itu dengan hati-hati. “…Seharusnya ada sebuah kuil di bagian dalam. Saya percaya, bahwa kita harus pergi kesana. Apa yang kalian semua pikirkan?”
“Setuju,” Warrior berkata dengan sigap. Dia telah menghentikan langkahnya dan memperhatikan jalanan—yang dulunya sebuah batu ubin—dengan jarinya, mencari jejak kaki. “Kemungkinan ada goblin disini.”
“Apa itu yang cuma kamu pikirkan?!” High elf archer berkata lelah.
“Apa ada yang lain?”
“Lihat sekelilingmu!” Dia berkata, tidak lengah, namun melebarkan kedua tangannya. “Lihat ini! Keajaiban! Rahasia! Misteri! Legenda! Apa kamu nggak merasakannya sama sekali?”
“Ini bukan waktunya untuk itu.”
“…kamu ini sulit di percaya.”
“Begitukah?”
High elf archer mengkerucutkan bibirnya mendengar jawaban pendek itu. Telinga panjangnya menyentil.
“Sudah sudah telinga panjang. Jika kamu mengasah sebuah batu dengan terburu-buru, batu itu hanya akan hancur.” Dwarf shaman tertawa, memutar jenggotnya pada elf pemarah itu. “Kasih dia waktu. Tuhan, kalian para elf ini sangat tidak sabaran.”
“Itulah kenapa kalian semua sangat gemuk, dwarf—hanya makan dan minum, tidak pernah melakukan apapun.”
“Aww, apa masalahmu dengan sedikit makanan dan minuman? Kamu harusnya sedikit mengisi dirimu dengan makanan dan minuman itu sendiri!” Dwarf meneguk panjang sebuah kendi fire wine yang ada pada ikat pinggangnya, sepertinya tidak terganggu dengan komentar elf. “Walaupun begitu, teman telinga panjangku, kamu nggak salah.”
High elf archer memberikan Dwarf shaman sebuah tatapan seketika Dwarf mengeluarkan sebuah sendawa yang tidak sopan.
“Beard cutter, apa kamu nggak pernah terpikir akan lebih mudah jika kamu move on?”
“Pernah,” Sang warrior menjawab singkat seraya dia berjongkok rendah, bersandar di sebuah dinding, dan mengintip dari sebuah sudut.
“Oh-ho.” Dwarf mengeluarkan suara tertarik mendengar jawaban yang tidak di sangkanya.
Sang warrior melihat ke kiri, kemudian kanan, dan melanjutkan berjalan kedepan. “Untuk meningkatkan reputasiku, menjadi tingkatan Gold, dan mengambil pekerjaan lainnya sebagai seorang petualang adalah salah satu kemungkinan.” Dia berkata.
“Kalau begitu kenapa kamu nggak melakukannya?” Dwarf bertanya.
“Karena jika aku lakukan goblin akan menyerang sebuah desa.”
Berjaga di samping mereka, High elf archer menggelengkan kepalanya seakan-akan ingin menghilangkan sebuah sakit kepala.
“Aku dengar manusia memiliki pandangan yang sempit, tapi… apa semua manusia seperti ini?”
“Aku rasa dia special,” Priestess berkata dengan senyum apa yang bisa kita lakukan?
Sudah berbulan-bulan yang lalu sejak mereka bertemu—yang pada awalnya sangat membingungkan.
“Dia lebih banyak berbicara tentang hal yang lain di bandingkan dengan sebelumnya sih.”
“…….”
Sang warrior tanpa bersuara melanjutkan pencariannya dengan langkah cepatnya yang seperti biasa. Priestess mengikutinya, masih tersenyum. Maksudku, coba lihat.
“Dan dia mudah di mengerti kan?”
“Paling tidak, aku paham soal itu.” High elf archer berkata dengan anggukan dan tawaan kecil.
Dwarf shaman dan Lizard priest bertukar pandang, kemudian tersenyum tanpa kata.
Pada akhirnya mereka telah tiba pada tempat yang sepertinya adalah sebuah ujung jalan utama dan telah tiba pada tempat tujuan mereka: sebuah alun-alun besar dan sebuah tempat yang tidak berpohon. Mereka dapat melihat sebuah dinding putih yang terbuka seperti pintu masuk sebuah gua.
“Nggak ada penjaga.” Sang warrior menghela nafasnya seketika dia bersembunyi di balik rerumputan di balik baying-bayang pepohonan pada wilayah musuh.
Sejak memasuki hutan, mereka sama sekali tidak melihat satupun binatang liar, apa lagi seekor monster.
“Oh, jadi… itu artinya nggak ada goblin!” Dari belakang barisan Priestess berusaha menyemangati warrior yang terlihat kecewa itu.
“Belum tentu.”
Jawaban itu hampir terdengar mekanikal, namun Priestess tidak terlihat terganggu oleh itu. Priestess terlihat seperti seekor anak ayam seketika dia berlari kecil di belakangnya.
“Aku nggak percaya mereka akan membiarkan sarang yang siap jadi begitu saja.”
“Kamu nggak perlu membayangkan mereka ada disini kalau mereka memang nggak ada,” High elf archer berkata, kemudian bergumam pada dirinya sendiri, “Goblin, goblin. Ya ampun.”
Sang warrior menghiraukannya dan berkata, “Atau mungkin mereka baru saja menggali sebuah terowongan dari sarang mereka sampai kesini.”
“Hey… Kamu mencium sesuatu nggak?” High elf archer mengkerutkan dahinya. Dia tidak bermaksud untuk merespon warrior itu.
Lizard priest memberikan sebuah gelengan pelan. “Sangat di sayangkan hidung saya sedikit kurang peka di dalam hutan ini. Aroma seperti apa?”
“Seperti….huh, kayak…telur busuk?”
“…Jadi mereka ada disini.” Sang warrior bergumam pendek. Dengan itu, para petualang masing-masing menyiapkan senjatanya. High elf archer mengangkat panahnya, sebuah panah yang terbuat dari cabang yew (TL Note: pohon cemara?) yang dililitkan dengan benang laba-laba dan anak panah dengan kuncup sebagai matanya.
Dengan doa pada leluhurnya, Lizard priest merubah sebuah cakar menjadi pedang yang terasah.
Dwarf shaman menggapai katalisator pada sebuah tas kecil, sementara Priestess menggengam tongkatnya dengan kedua tangan.
Mereka berpencar dengan cepat, mengelilingi Pintu masuk gua itu.
“Apa yang harus kita lakukan? Apa kamu mau masuk kedalam? Atau aku perlu menggunakan keajaiban protection—?”
“Nggak.” Sang warrior menggelengkan kepalanya, memotong pertanyaan Priestess yang gelisah. “Apa ada jalan masuk lain dalam reruntuhan ini—kuil ini? Apa yang tergambar di peta itu?”
“Sejauh yang saya lihat tidak ada sama sekali,” balas Lizard priest, yang hapal peta itu di luar kepala. “Walaupun begitu, ini adalah reruntuhan yang sangat kuno, kita tidak bisa meyakinkan bahwa sebuah longsoran dapat membuat sebuah pintu masuk baru.”
“Kalau begitu, kita akan mengasapi mereka sampai keluar.” Dengan lengan kiri yang terikat perisai, sang warrior merogoh isi tasnya.
Apa yang dia keluar kan adalah sesuatu yang berwarna kekuningan dan seukuran telapak tangannya; itu terlihat seperti gumpalan sesuatu. Dia menggunakan tali untuk mengikat gumpalan itu, sampai dia telah mengencangkannya hingga berbentuk sebuah bola.
Priestess terlihat sedikit tidak nyaman. Mungkin dia mengingat benda ini.
“Itu—um…itu getah pohon pinus kan?”
“Ya.”
“Dan…sulfur.”
“Ini akan menjadi asap tebal yang bagus.”  Walaupun dia sedang berbicara, sang warrior dengan mudahnya menyalakan batu api, membakar bom asap itu. Berhati-hati supaya tidak menghirup asap yang langsung mengepul dari gumpalan itu, dia melemparnya masuk ke dalam gua.
“Dan itu akan meracuni udara. Ini nggak akan membunuh mereka, tapi…” Dengan itu, warrior mengeluarkan pedang kecilnya dari sarungnya. “Sekarang kita tunggu.”
Kabut yang keluar dari bom asap itu berguling jauh masuk ke dalam reruntuhan.
Para petualang saling menghela nafas mereka satu sama yang lain dengan campuran jengkel dan ragu-ragu bercampur takut.
“Kamu tau benar trik yang paling keji,” kata Dwarf shaman.
“Apa benar?”
“Kamu nggak menyadarinya?”
Namun dengan munculnya sebuah hasil perdebatan itupun hilang. Sebuah bayang-bayang kecil datang berlari melewati dinding asap, berteriak dengan suara melengking.
Mereka adalah monster berwajah buruk seukuran akan kecil : goblin
“Hmph.”
Ketika dia melihat goblin yang menggunakan armor kulit, dia memotong mereka dengan pedangnya layaknya sebuah kapak yang memotong kayu bakar.
Benturan. Teriakan. Semprotan darah.
Dengan santainya dia menginjak goblin yang telentang di lantai, sebuah pedang tertancap di kepalanya, dan mengambil senjata milik goblin itu untuk dirinya.
Sebuah sabit kecil. Sang warrior memberikan senjata berlumur darah itu sebuah ayunan kecil, kemudian mengangguk. Nggak jelek. Senjata itu adalah buatan goblin untuk pemakaian dalam gua, namun terasa akrab di tangannya.
“Mereka memiliki perlengkapan yang bagus. Hati-hati.”
“Ini bukan petualangan yang aku maksud...”
“Ini bukan?”
“Bukan!” High elf archer menembakkan sebuah anak panah dengan sebuah kerutan di dahinya.
Anak panah itu terbuat dari sebuah cabang yang cocok untuk sebuah panah, dan melesat cepat seakan-akan di hisap oleh kuil ini.
Tiga teriakan terdengar.
“Bukannya biasanya kamu masuk kedalam reruntuhan untuk melawan goblin?”
“Aku rasa itu salah satu cara yang konvensionalnya.”
Lizard priest berdansa dari satu goblin yang menggeliat ke goblin lainnya, menghabisi mereka dengan pedangnya.
“Jika seseorang ingin bergabung dengan tuanku Goblin slayer, persiapan harus di lakukan untuk hal yang tidak terduga.”
“Terserah padamu…”
Priestess menatap penuh ragu pada sang warrior.
Dia membenamkan sabitnya, mengenggamnya secara terbalik, pada tenggorokan goblin. Dia merobek batang tenggorokannya dengan senjata yang di ambilnya; kemudian melemparknya. Senjata itu melesat melewati asap kabut asap, dan teriakan goblin dapat terdengar. Gerakannya sangat brutal dan cekatan.
“Aku rasa nggak perlu mantra kalau begini,” Dwarf shaman berkata, menyiapkan sebuah batu pada ketapelnya.
Ini hanyalah sebuah perlengkapan untuk berjaga-jaga jika garis depan mereka telah pecah; dia bahkan terlihat cukup santai.
“Nggak.”
Sang warrior mengambil sebuah dagger dari goblin yang tenggorokannya telah dia hancurkan. Menggoyangkan kepalanya ketika dia mencoba ujung dagger itu.
Sebuah racun mematikan terlumasi pada badan dagger. Sang warrior mengelap racun itu dia kain yang goblin gunakan, menghiraukan Priestess yang gemetar.
“Simpan magicmu sampai kita berada di dalam,” Warrior berkata pada Dwarf shaman, memasukkan dagger itu pada ikat pinggangnya.
Dia memperhatikan pintu masuk kuil ini. Mayat goblin bergeletakkan di tanah, namun tidak terasa bahwa mereka akan keluar lagi dari dalam.
Apakah mereka sudah membunuh mereka semua? Atau beberapa telah melarikan diri?
“Mereka kuat…”
Dia menarik pedang dari tubuh goblin yang pertama dia bunuh, mengelap daging yang tertinggal pada pedang itu untuk membersihkannya. Ini sudah cukup.
Tanpa ragu dia memasukkan pedangnya lagi ke dalam sarungnya, kemudian mengangguk. “Ketika asapnya sudah menghilang, kita masuk.”
“Sekali lagi, bukan petualangan yang aku maksud.” Gerutu High elf archer.
“Bukan?”
“Karena ini bukan sebuah petualangan! Ini nggak masuk hitungan, oke?”
“Baiklah.”
Hanya itu yang di katakan warrior seketika dia memasuki kuil. Partynya mengikutinya.
Seorang warrior manusia dan cleric, seorang High elf archer, seorang Dwarf shaman, dan seorang Lizard priest.
Planet-planet dan bintang telah hampir menyelesaikan putaran mereka sejak grup yang tidak biasa ini datang bersama.
Masih tidak lama sejak pertarungan tiada akhir dengan kekacauan dan kegelapan telah berakhir. Mereka pergi ke reruntuhan dan gua di sekitar kota perbatasan, mencari masing-masing lokasi. Banyak dari benteng, kuil, reruntuhan, dan gua yang telah terlupakan dalam pertarungan panjang ini. Para sekutu kegelapan mungkin akan mencari tempat berisitirahat dan menunggu hingga waktu mereka telah tiba. Seseorang harus selalu berjaga—tapi tidak hanya untuk monster.
Para pemimpin lahan, yang mempunyai waktu untuk melanjutkan persaingan mereka, membiarkan persaingan itu di lanjutkan oleh mereka yang tinggal di alam liar.
Ini bukanlah apa-apa: para petualang akan menyelesaikan pertarungan mereka dan kembali pada kehidupan sehari-hari mereka.
Orang-orang menjadi petualang di karenakan rasa penasaran mereka pada lahan yang tidak di ketahui. Mimpi mereka untuk mengukir nama mereka pada dunia dengan membasmi para monster dan mencari harta karun. Dan jika mereka mendapatkan hadiah karena melakukan itu, maka akan lebih baik.
Warrior ini sama sekali tidak peduli di mana para goblin tinggal, entah itu di gua atau reruntuhan kuno.
Orcbolg, Beard cutter. Goblin slayer—dia memiliki banyak nama. Namun walaupun dia berjalan dengan sigap masuk kedalam gua, dia masih bukanlah seorang petualang.
“Cari semua goblin. Bunuh mereka.”
Dia adalah Goblin slayer.
*****
Sore hari. Matahari telah melewati waktu tertingginya dan tidak lama akan mulai tenggelam.
Yang pertama menyadari kepulangannya adalah sang pemilik kebun.
Sebuah jalan kecil yang menuju kota berada di samping kebunnya, sekarang telah bermandikan dengan cahaya senja.
Dia berjalan dengan pada jalan itu dengan sigap, acuh tak acuhnya. Seperti biasa, dia menggunakan helm kotornya dan armor kulitnya, pedang dengan panjang yang aneh, dan perisai bundar kecilnya.
Sang pemilik kebun sedang berada di luar memperbaiki pagarannya ketika dia menyadari aroma karat dan berdiri.
“….Kamu kembali,” dia berkata pendek.
Dia mengangguk, berjalan menuju sang pemilik kebun. “Ya. Aku sudah menyelesaikan pekerjaanku.”
“Begitu….”
Sang pemilik kebun menggelengkan kepalanya pada pria yang bersikap jujur itu dan menjauhkan pandangannya dari helm itu, yang menyembunyikan apapun yang sedang di pikirkan oleh sosok misterius itu.
Sang pemilik tidak mempunyai apapun untuk di katakan pada pria yang di kenalnya ini—atau dia yang dia kira dia sudah mengenalnya—dari masa kecil pria ini.
Bahkan, sang pemilik merasa kesulitan untuk menghadapi pria ini. Dia dapat mengerti pria itu, tidak mau mengusirnya, namun dia juga adalah orang yang sang pemilik tidak ingin ada di sekitarnya.
“Kamu sudah tau berapa tahun sudah berjalan?” Sang pemilik bergumam tanpa di sadarinya.
Ketika goblin menyerang desamu, itu seperti kekuatan dari alam, seperti kehendak para dewa.
Kemudian, pria itu hanya memiliki satu pilihan:lari. Namun dia tidak hanya menyelamatkan dirinya sendiri; sekarang dia melawan balik.
Apa itu tidak cukup?
“Ya.” Dia mengangguk seperti dia mengerti.
“Kalau begitu jangan berlebih melakukannya…aku kasihan pada gadis itu.”
“….Aku akan berhati-hati.” Dia menjawab, dengan sedikit keraguan.
Inilah yang membuatnya sangat sulit, pikir sang pemilik.
Jika dia adalah pria yang tidak mempedulikan apapun, sang pemilik tidak akan perlu untuk mempedulikannya.
Mungkin dia merasakan apa yang sedang ada di pikiran sang pemilik, karena dia melanjutkan dengan suara kasarnya. “Maaf. Aku ini menyewa kandang kudanya.”
“….Seperti biasanya. Jangan mempermasalahkan detailnya, lakukan saja apa yang kamu mau.”
Sepertinya dia menerima respon pendek itu tanpa memperhatikannya dan hanya berjalan melewati sang pemilik.
Sekarang pada property kebun, dia berjalan ke belakang lumbung ternak. Melewati sebuah gundukan rumput kering—yang berada di luar. Terdapat sebuah kandang kuda yang sangat tua hingga telah di abaikan sejak lama.
Dinding-dinding telah banyak di tambal oleh papan dan lubang-lubang pada plafon yang telah di tutupi. Ini adalah pekerjaan yang apa adanya, namun ini adalah hasil pekerjaan tangannya. Yang dia lakukan tanpa keluhan.
Gadis sapi, anak perempuan adopsi sang pemilik dan temannya sejak masa kecil, memaksa bahwa gadis sapi lah yang akan mengerjakannya. Namun pria itu merasa sebagai seorang penyewa, adalah hal yang masuk akal bahwa dialah yang harus mengerjakannya.
“Oh!” Tepat di saat pria itu membuka pintu, sebuah suara terdengar di belakangnya dengan kegirangan seperti anak kecil. Dia berputar dan melihat seorang wanita muda menunjuk kepadanya—Gadis sapi. Wanita itu berlari ke arahnya, dada berayun, melambaikan lengannya.
“Selamat pulang! Ya ampun, paling tidak kamu bisa memberi tauku kapan kamu akan kembali!”
“Aku nggak ingin menganggumu.”
“Mengatakan halo ke aku itu nggak menganggu sama sekali.”
“Begitukah?” Dia mengangguk tenang; Gadis sapi menyodok kan jari telunjuknya padanya.
“Nggak! Jadi sambut aku dengan benar!”
Dia tidak berkata apapun dalam beberapa saat, kemudian mengangguk perlahan. “…Aku pulang.”
“Itu lebih bagus. Selamat datang.” Gadis sapi tersenyum, wajahnya berseri layaknya matahari.
“Aku mendengarmu pertama kali tadi.”
Dia membuka pintu usang dengan sebuah decitan dan masuk ke dalam kandang kuda.
Gadis sapi mengikutinya, melewati pintu itu.
Pria itu berhenti dan memutar kepalanya, melihat wajah teman lamanya. “Bagaimana pekerjaan…?”
“Aku sedang beristirahat.”
“Oh?”
“Yeah!”
Pria itu tidak terlihat seperti tertarik. Dia melempar tasnya ke lantai; kemudian dia mengambil sebuah batu api dan menyalakan sebuah lentera usang yang mengantung pada sebuah balok.
Kandang kuda itu mulai terang, terlihat seperti sebuah gua itu sendiri.
Sebuah karpet tersebar di lantai, dan ruangan ini adalah rumah berisikan rak-rak kecil dan bermacam-macam barang misterius lainnya. Botol, herba, sebuah senjata aneh berbentuk salib yang telah rusak, sebuah buku lama yang tertulis dengan hufuf yang tidak bisa di terjemahkan, kepala seekor makhluk liar…dan masih banyak lagi yang tentunya Gadis sapi tidak mengetahuinya.
Gadis sapi berpikir bahwa kebanyakan petualangpun tidak akan bisa mengerti apa yang dia lakukan dengan berbagai macam barang itu.
“Hati-hati.”
“Ya, baik…”
Pria itu memberikan kalimat itu ketika wanita itu melihat-lihat koleksinya, kemudian duduk dengan kasar tepat di tengah lantai.dia mengambil pedang dari pinggulnya dan meletakkannya, beserta sarung dan lainnya, kemudian dengan berisik mulai melepas armornya.
Gadis sapi berlutut di sampingnya, memperhatikan tangan pria itu dari atas pundaknya.
“Hey, kamu lagi ngapain?”
“Memperbaiki lekukan pada helmku, mengganti engsel pada armorku, memperbaiki baju besiku, mengasah pedangku, dan mengasah lingkaran perisaiku.”
“Yang lainnya aku mengerti, tapi…lingkaran perisaimu? Emang pengaruhnya apa?”
“Pada saat yang tepat, ini akan membantu.”
“Huh…”
Gerakannya sangat rajin, bertangung jawab. Dengan sebuah palu, dia bekerja dan mengganti semua metal pengikat, membuat rantai dari kawat yang di bengkokkan, dan mengasah pedang dan perisainya dengan batu asah.
Sebuah senjata bisa di ganti dengan sesuatu yang di ambil dari goblin, tapi armor adalah hal yang berbeda. Sangat tidak biasa melihat goblin memakai sebuah helm metal yang mungkin akan melindungi nyawanya. Dan walaupun dia menemukan sebuah helm baru, mereka tidak akan mau repot-repot mengganti helmnya.
Sebuah benturan pada armor yang sudah usang memiliki kemungkinan yang tinggi menjadi mematikan. Itulah mengapa pekerjaannya sangatlah penting baginya, ini adalah penyelamat nyawanya.
Gadis sapi memperhatikan setiap gerakannya dengan meyipitkan mata dan sebuah senyum yang menandakan bahwa dia menikmati apa yang terjadi.
“…..Menurutmu ini menarik?”
“Aku rasa begitu. Aku selalu suka melihat apa yang sedang kamu lakukan.” Dia tertawa kecil dan mendorongkan dadanya dengan sedikit sandiwara. “Dan? Bagaimana petualanganmu?”
Gadis sapi mendekat kepadanya, matanya berbinar. Terdapat aroma susu manis pada dirinya.

Dengan nada yang tidak berbeda, dia menjawab:
“Ada goblin.”
“Oh yeah?”
“Ya,” Dia menjawab singkat, masih bekerja. Kemudian menambahkan, “Cukup banyak.”
Gadis sapi menatap dengan seksama pada punggungnya, kemudian…
“Yah!”
Pria itu menghembuskan nafasnya seketika dia merasakan ada sesuatu yang berat dan lembut pada punggungnya.
Gadis sapi menekankan dirinya padanya dan mengacak rambutnya.
Tangan pria itu terhenti; dia berputar melihat wanita itu dengan tatapan curiga. “Ada apa?”
“Nggak ada! Aku hanya ingin mengucapkan selamat atas pekerjaan bagus kamu.” Dia berkata dengan niat baik.
“Aku akan berhati-hati jika jadi kamu.”
“Aww, nggak apa-apa kok!”
“Nggak.”
“Ada hal lain yang menarik terjadi? Tempat seperti apa itu?”
Pria itu terdiam. Mungkin dia merasa apa yang di katakannya tidak akan ada gunanya.
Dia memasang perisai yang telah selesai di asahnya pada dinding, kemudian beranjak merogoh rak-rak. Dia mengeluarkan beberapa botol, sebuah tas, dan sebuah mangkuk adukan, kemudian membuka satu botol dengan sarung tangan. Dia dalamnya terdapat sisa-sisa dari seekor ular.
Menghiraukan Gadis sapi seraya dia bergumam “ugh” dari belakangnya, dia meletakkan ular itu ke dalam mangkuk adukan.
“Jangan di sentuh. Kamu bisa ruam.”
“Baik… Jadi, um…”
“Itu adalah reruntuhan di dalam hutan.”
“Reruntuhan… Jadi, kamu pergi membasmi goblin?”
“Nggak.” Dia menggelengkan kepalanya. “…Aku di undang oleh yang lain.”
Dia mengangguk dengan suara yang tertarik, seketika pria itu menambahkan isi salah satu botol itu satu persatu ke dalam adukan.
Ular, kemudian sebuah bubuk merah—semacam rempah-rempah. Herba kering. Semua yang dapat menyebabkan iritasi. Dia tidak membuat sebuah ukuran yang tepat; proses ini sangatlah akrab baginya. Dia menumbuk semuanya di dalam adukan hingga tercampur secara merata.
“….Itu sepertinya sebuah kota dulunya.”
“Kamu nggak tau namanya?”
“Maaf, aku nggak peduli.”
“Yah, aku rasa memang banyak yang seperti itu di sekitar sini. Tempat ini memang daerah perbatasan sih.”
Setelah dia puas dengan ularnya yang telah tercampur, dia mulai mencari sesuatu pada rak di dekatnya.
Dia mengeluarkan sebuah telur—cangkang telur yang berasal dari kebun ini. Mereka memiliki ayam, namun mereka tidak bertelur setiap hari.
Dengan berhati-hati dia menuangkan isi bubuk adukan itu masuk ke dalam telur melalui sebuah lubang yang ada di atasnya. Seraya dia melakukannya, dia bergumam. “Kalau di pikir lagi, terdapat sesuatu yang besar…”
“Uh-huh?” Gadis sapi berkata dengan anggukan.
“Sebuah akar pohon besar yang menonjol.”
“Sebesar apa besarnya?”
“Hampir setinggi kamu. Sangat sulit memanjatnya.”
“Huh. Benar-benar sesuatu.”
Itu adalah penilaian yang seperti anak kecil dan bisa di bilang khayalan anak kecil. Gadis sapi telah tinggal di dalam kebun hampir seumur hidupnya, tidak pernah pergi lebih jauh dari kota; dia tidak pernah melihat hal semacam itu. Sekarang pria itulah yang mengetahui lebih tentang dunia luar di bandingkan dengannya.
Itu membuatnya sedikit sedih tapi bahagia juga.
“Dan ada goblin,” Dia menambahkan seraya membungkus telur yang sudah di isinynya dengan kertas minyak dan menutupnya. Nadanya terdengar tidak tertarik namun sangat serius. “…Sangat aneh. Mereka tidak biasanya mempunyai perlengkapan bagus.”
Gadis sapi memegang dagunya berpkir sebelum mengatakan, “Hmmm… Apa kamu pikir mereka lari dari sebuah pertarungan?”
“Jika seperti itu mereka paling tidak akan menempatkan seorang penjaga.”
“Hmmm… yah, kalau kamu nggak mengerti, aku yakin aku juga nggak akan memahaminya.”
Gadis sapi mendesh, kemudian melebarkan kedua tangannya dengan “ahhh” dan berguling dengan punggungnya di lantai.
Dekat dengan plafon yang redup, lentera membara dan gemercik.
“Kamu bisa kotor.”
“Aku nggak peduli. Gadis sapi menjawab dengan tawaan.
Kemudian… “Hey,” dia berkata, berguling pada sisi sebelahnya untuk melihat pria itu. “Gimana kalo kamu ambil istirahat besok?”
“Nggak.” Dia menggelengkan kepalanya perlahan seketika dia memasukkan telur itu ke dalam tasnya. “Gadis guild memanggilku.”
“Oh yeah? Saying sekali.”
Dia mengangguk. “Itu mungkin pembasmian goblin.”
*****
“Tidak, ini bukan tentang pembasmian gob—Tunggu, jangan pergi!”
Goblin slayer berputar dengan jengkel, tangannya pada handle pintu ruang meeting.
Terdapat kursi yang mewah, karpet yang kasar. Satu sisi dinding di hiasi dengan kepala bermacam-macam monster dan hewan magical, bersamaan dengan senjata-senjata tua.
Di kelilingi oleh berbagai macam piagam para petualang masa lalu, pria itu membalas:
“Tapi kamu kamu bilang ini bukan tentang goblin.”
“Yah, memang, itu—itu benar, tapi…” Gadis guild melihat salah satu kursi kecil, yang sepertinya akan mulai menangis pada saat ini. Memeluk seberkas kertas, dia mengatakan dengan suara kecil, “Ka…kamu memang harus selalu tentang goblin ya?”
Goblin slayer tidak menjawab. Tidak ada yang bisa menebak ekspresi di balik helmnya itu.
Setelah beberapa saat, dia menghela nafasnya.
Kemudian dia berputar, berjalan dengan cepat menuju kursi, dan duduk dengan kasar yang berlebihan. Dia menatap Gadis guild yang duduk bersebrangan dengannya dan berkata:
“Tolong, singkat saja.”
“Tentunya!”
Wajah Gadis guild berbinar layaknya anak kecil.
Dengan cepat dia meluruskan kertasnya, menyusunnya sekali lagi di atas meja. Kertas kulit domba yang di sebar di atas meja adalah sebuah ringkasan dari beberapa petualang. Nama, ras, jenis kelamin, kemampuan, dan termasuk semua sejarah quest.
“Aku ingin memintamu untuk menjadi seorang pengamat, Pak Goblin slayer.”
“Seorang pengamat.” Dia mengangguk seakan-akan yakin. “Apa ini tes promosi?”
Para petualang di bagi menjadi sepuluh tingkatan, dari porcelain hingga platinum.
Tingkatan di tentukan berdasarkan seberapa banyak hadiah seseorang yang telah di dapatkan, seberapa banyak seseorang telah membantu dunia, dan personalitas seseorang tersebut. Beberapa mengatakan bahwa ini adalah “Experience points,” dan itu tidaklah sepenuhnya salah. Itu adalah, sebenarnya, sebuah penilaian sederhana tentang seberapa banyak hal baik seseorang yang di lakukannya pada orang-orang dan masyarakat.
Namun tentu saja, ada beberapa petualangan yang hanya memiliki keahlian hanya dalam petarungan. Personalitas petualang di nilai sama tingginya dengan keahliannya. Oleh karena itu, petualangan tingkat tinggi akan menjadi saksi sebuah tes—pada dasarnya, sebuah wawancara.
Dengan ini, sebagai contohnya, seorang gelandangan dengan kemampuan yang luar biasa yang entah berasal dari mana bisa mendapatkan tingkatan silver atau emas secara langsung. Atau sebenarnya sistem seperti dongeng itu adalah idealnya. Namun sistem ini tidak bekerja seperti itu.
Seorang petualang laki-laki yang anggota partynya semua perempuan, sebagai contoh, akan sangat sulit untuk naik tingkatan. Tidak peduli apapun keadaannya, sangat sedikit orang-orang yang dapat mempercayai seseorang yang terlihat seperti tukang merayu dengan quest yang penting. Seberapapun kuatnya mereka, orang tolol yang hanya mempunyai kekuatan sebagai asetnya hanya akan menjadi tingkatan porcelain seumur hidupnya. Sementara itu, petualang terbaik mengetahui bahwa mereka sedang di perhatikan dan berusaha bertindak dengan sikap yang mudah di percaya.
….Dengan pengecualian beberapa tingkat platinum yang sangat langka dalam sejarah.
“Tapi…” Goblin slayer terdengar tidak yakin. Ini adalah hal yang tidak biasa baginya.
“Kamu yakin aku cocok untuk ini?”
Ya ampun. Gadis guild menjawab seakan-akan dia tidak terganggu sama sekali. “Apa maksudmu? Kamu tingkatan silver juga kan?”
“Asosiasi lah yang menentukan semaunya.” Goblin slayer berkata.
“Itu untuk menunjukkan seberapa banyak rasa terima kasih semua orang padamu.”
Gadis guild terdengar percaya diri, sebangga seperti dia sedang berbicara tentang dirinya sendiri.
Goblin slayer terdiam. Untuk beberapa saat, dia menatap plafon, tapi tidak lama setelah itu dia menggengam kertasnya.
“Siapa yang akan di tes?”
Gadis guild mengangguk senang di saat dia menyadari bahwa goblin slayer menerima tawarannya, kepangnya berayun-ayun.
“Ter-terima kasih banyak! Beberapa member dalam satu party, masing-masing dari steel menuju sapphire, dengan kata lain dari tingkat delapan menuju tingkat tujuh….”
*****
“Kumohon kali ini… Kumohon, kumohon biarkan aku naik tingkatan kali ini….”
Dia sebuah lorong di luar ruang wawancara, sebuah doa terdengar di antara petualang yang sedang menunggu.
Doa itu berasal dari seorang pria paruh baya berpakaian using.
Kemungkinan seorang Monk—yah, tidak sekedar monk biasa.
Tubuhnya telah lusuh oleh umur. Bersamanya adalah sebuah tongkat kayu yang jabuk, kemungkinan sejenis senjata. Kepalanya di cukur, tapi sepertinya dia tidak menggunakan minyak di kepalanya, dan masih terdapat rambut tipis di kepalanya.
“Diam, orang tua! Kamu nggak harus membaca doamu setiap saat hanya karena kamu seorang monk. Kamu membuatku risih!”
Kritik itu berasal dari seorang anak muda dengan mata yang tajam yang terlihat seperti seorang warrior.
Kata-katanya memang kasar, tapi dia sendiri juga gelisah dan tidak bisa tenang. Setiap kali dia bergerak gelisah, armor dan kapak tempurnya saling bergesekan dan menimbulkan suara gesekan sesama metal. Perlengkapan mereka tidak berkarat, tapi mereka pernah dalam kondisi bagus dulunya. Bukanlah perlengkapan dengan kualitas atas.
“Sial. Aku harusnya memoles perlengkapanku sedikit…”
“Sudah terlambat. Pria tua ini adalah satu-satunya yang mempunyai rumahnya sendiri. Membuatmu ingin mempunyai agama.” Seorang wanita berpenampilan wizard berbisik dengan tenang kepada pria dengan kapak. “Dan sedikit polesan nggak akan banyak membuat perbedaan juga.”
Terlihat sedikit telingan lancipnya dari balik tudungnya yang robek—seorang half elf. Buku mantranya, yang dia baca tanpa lelah, terlihat cukup using juga. Sampulnya telah robek dan di sambungkan lagi dengan sebuah lem.
“Ahh, santai saja. Marah nggak akan menghasilkan apa-apa…”
Orang yang mengatakan itu kemudian tertawa terbahak-bahak. Dia adalah seorang pria muda, pendek—benar, hampir separuh ukuran dari orang-orang lain yang ada disini. Dia menggunakan armor kulit yang bersih, sebuah dagger pada pinggulnya, dan sepatu bot bergaris bulu pada kakinya.
Dia adalah seorang rhea pengintai—atau paling tidak, itu yang di kira orang.
“Yeah, aku tau,” kata warrior pengguna kapak. “Tapi terdapat perbedaan besar antara steel dan sappihire—dalam bayaran dan quest.”
“Jika kita naik tingkatan hari ini, kita pada akhirnya bisa berhenti berburu tikus di saluran air,” sang elf menambahkan.
Warrior melanjutkan dengan cepat, secepat dia mengayunkan kapaknya. “Kita akhirnya bisa mendapatkan bayaran yang melebihi hutang kita. Orang tua ini akan bisa membiayai hidupnya sendiri. Ini sangat penting.”
“Aku juga sangat membutuhkan ini, buku mantra sangat mahal. Jika sebuah doa bisa membuat kita naik tingkatan, aku akan berdoa sepanjang hari.” Elf bergumam secara filosofis. Dia menatap tajam pada rhea pengintai di balik tudungnya. “Dan lagi, jangan berprilaku seakan-akan ini tidak ada pengaruhnya padamu.”
“Yeah, ha-ha-ha…” Sang rhea menggaruk kepalanya malu. “Aku, kamu tau, cukup takut dengan bahaya. Dan aku nggak punya hutang, jadi…”
“Dasar kampret.”
“Pengecut.”
Sang warrior dan wizard terdengar jengkel, namun sang pengintai hanya mengangkat bahunya.
“Selanjutnya!”
Suara Gadis guild yang ceria terdengar dari ruang meeting.
“Oh! Itu aku!” Sang rhea melompat dengan lincah.
Monk berkepala botak memeluk armornya, dan bersujud. “Kumohon… Kumohon jangan gugup…”
“Aku tau, aku tau. Menyingkirlah.” Rhea berkata, menepis tangan monk. Dia membuka pintunya…
“….Yikes.”
…dan matanya terbuka lebar.
Tiga orang duduk di dalam ruang meeting. Pertama, terdapat karyawan guild, sang resepsionis yang yang memiliki mata berbinar. (Suatu hari dia akan mengentodnya sampai gadis itu menangis.) yang kedua adalah wanita langsing lainnya yang menggunakan pakaian karyawan guild. Siapa ini? Rhea scout memiringkan kepalanya. Dia tidak dapat mengingat apakah dia pernah melihat wanita ini sebelumnya atau tidak. Dan terdapat seseorang petualang tingkat tinggi—tapi petualang yang aneh.
Helm murahan. Armor kulit yang kotor. Perlengkapan yang hampir tidak layak untuk petualang. Dia tidak memiliki pedang atau perisainya, tapi tidak salah lagi itu adalah dia.
“G-Goblin slayer…”
“Ada masalah?” dia bertanya
“Ng-nggak ada sama sekali pak.” Scout menjawab pria kasar itu dengan tawa di buat-buat, menggapai tangannya kebelakang menutup pintu.
Sejujurnya, rhea tidak membenci pria yang menyebut dirinya Goblin slayer, pria yang mencapai tingkat silver hanya dengan mengambil quest goblin yang sederhana. Sang rhea menginginkan uang. Dia menginginkan ketenaran. Dia menginginkan menjadi bahan pembicaraan. Tapi dia membenci rasa takut, dan dia tidak ingin mati. Dia yakin bahwa Goblin slayerpun merasakan hal yang sama. Jika ada satu hal yang dia tidak sukai dari pria itu, itu adalah helm tak berekspresinya…
Golin slayer memperhatikan Sang rhea scout duduk di seberangnya.
Sang scout sedikit bergetar. Dia tidak membenci Goblin slayer, tapi dia juga merasa tidak nyaman berhadapan dengannya juga.
“Jadi, uh, ini dia huh? Tes naik tingkatan.” Sang rhea memberikan tawaan lemah dan menggosok kedua telapak tangannya. “Bagaimana kalau kita melewati Sapphire, langsung lanjut ke Emerald, Ruby… Atau bagaimana kalau langsung loncat ke Copper?”
“Saya tidak yakin kita akan sampai sejauh itu,” Gadis guild menjawab dengan senyuman. Dia membalik beberapa kertas yang ada di tangannya. “Saya menyadari sepertinya anda memiliki sepatu bot dan armor yang baru.”
“Oh, kamu menyadarinya?” Ujung bibir scout tertarik ke atas, dan dia menaikkan kaki kecilnya ke atas meja. Sepatu botnya masih mulus, dan di poles secara keseluruhan, hingga permukaannya menjadi berkilau. “Mereka cukup berkualitas tinggi. Aku memolesnya dan yang lainnya. Mereka sempurna untukku.”
“Yang benar!”
Rhea gagal menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Mengapa hanya anda satu-satunya yang berpenghasilan tinggi ketika kalian semua mengambil satu quest yang sama?” Nada Gadis guild terdengar lugas seperti biasa. “Sepatu itu cukup mewah bahkan dengan kumpulan hadiah yang telah kalian kumpulkan. Saya harap tidak ada salah perhitungan.”
Gadis guild terus melanjutkan, menghiraukan Rhea scout yang menjadi kaku.
“Ada beberapa laporan ambigu yang tidak seperti teman anda, bahwa anda mengambil quest seorang diri.”
“Oh, itu, yah, itu—“
Sang scout dengan cepat menarik kakinya dari atas meja.
Dia melihat ke kiri, kanan. Tidak ada tempat untuk lari. Dia berbicara secepat dia berpikir.
“Ka-kamu tau, baru-baru saja aku menerima paket dari rumah…”
“Bohong.”
Suara yang memotong itu datang dari seorang karyawan yang selama ini tetap diam.
Sebuah senyum membeku pada wajah scout, namun di dalam dia mengutuk dirinya sendiri.
Gadis itu mengenakan kalung pedang dan timbangan pada lehernya, sebuah symbol Supreme God.
“Saya bersumpah atas nama Supreme God. Bahwa apa yang dia katakan adalah bohong.”
Keajaiban Sense Lie (TL Note: deteksi kebohongan) peramal bajingan!
Itulah mengapa rhea tidak mengenali gadis itu. Gadis itu adalah seorang inspector—seorang karyawan Guild, tapi juga seorang Priest dari Supreme God, penguasa hukum dan keadilan.
Apa ini? Apa mereka mencurigainya? Tapi kenapa?
Gadis guild memperlihatkan gerakannya membalikkan kertas-kertas. Kami tahu semuanya. Gerakan itu mengatakan.
Sepertinya anda mendapatkan perlengkapan baru itu setelah penyerangan di dalam reruntuhan itu pada hari kemarin…Oh, saya mengerti.”
Dengan senyuman dan tawaan kecil, dia menepuk tangannya dan mengangguk.
“Anda memberitahukan kepada rekan anda bahwa anda akan maju terlebih dahulu untuk mengintai, menemukan harta karun, dan menyimpan isinya untuk diri anda sendiri, dan menjualnya!”
“Erk…”
Itu adalah tepat apa yang dia lakukannya.
Dalam perjalanan di dalam reruntuhan, monster dan perangkap sangatlah banyak dan berbahaya. Adalah hal yang wajar jika rhea scout mengajukan dirinya untuk melakukan pengintaian dan rekannya setuju. Dia memasuki reruntuhan itu dengan hati-hati, menjelajahi beberapa belokan dan kemudian….
Dia menemukan harta karun.
Itu bukanlah perangkap, dan membuka kuncinya sangat mudah. Di dalamnya terdapat beberapa lusin koin kuno tapi emas. Kotak harta karun yang kosong bukanlah hal yang langka. Dan masih banyak tersedia ruang kosong pada tasnya.
“Be-begini, it-itu Cuma… Aku…”
Dia tertawa canggung, menggaruk kepalanya seperti anak kecil yang sedang di marahi, dan mengangguk. Dia memutuskan, akan sangat menguntungkan baginya jika hanya meminta maaf.
 “Aku…minta maaf.”
“Yah, ini akan membuat hal ini semakin sulit.” Gadis guild tertawa.
Sangatlah jelas bahwa gerakannya mebolak-balik kertas hanyalah sekedar sandiwara saja.
Gadis guild telah mengetahui semua ini. Guild memiliki penginapan dan sebuah bar, dan mereka tidaklah hanya untuk keperluan petualang tingkat rendah. Aliran uang tidak pernah berbohong.
“Orang-orang seperti andalah yang memberikan para rhea dan scout nama jelek.” Gadis guild menggelengkan kepalanya dengan jijik. “Yah, ini adalah pelanggaran pertama anda… Saya rasa penurunan tingkat ke porcelain dan larangan melakukan petualangan dari kota ini sangat pantas.”
“Tu-tunggu dulu! Apa itu adil?!” Tanpa di maksudnya, rhea mencondongkan dirinya di atas meja dan berteriak. “Aku menyembunyikan satu harta karun kecil, dan kamu mengusirku keluar?”
“Maaf?” Nada Gadis guild sangat dingin, dan ekspresi jengkel terlihat di wajahnya—benar, dia sudah cukup lelah berhadapan dengannya. “Hanya satu harta karun? Jangan bodoh. Anda tidak bisa memperbaiki kepercayaan yang telah rusak dengan uang.”
Dan siapa yang mengkhianati kepercayaan orang lain tidak pantas menjadi petualang.
Tentu saja, menjadi petualang artinya untuk bertarung. Tidak ada yang akan menanyakan tentang sejarahmu. Ada beberapa orang kasar dalam para petualang. Perdebatan yang tidak ada habisnya—karena itu sangat penting, untuk menjadi jujur sebisa mungkin. Seorang petualang yang tidak dapat di percaya hanyalah seorang berandal.
Dan guild hanya menangani dalam percaya dan kepercayaan.
Sang rhea cukup mampu untuk di promosikan dan dia baru saja mendapatkan grasi karena ini adalah pelanggaran pertamanya. Apa dia tidak paham akan hal ini?
“Dengan ini anda di nyatakan penurunan tingkat karena telah memalsukan laporan penerimaan hadiah. Jika anda tetap ingin tinggal disini, anda di perbolehkan.”
“Erk…”
Sang rhea kehabisan kata-kata. Di berusaha mencari sebuah cara untuk memutar keadaan untuk keuntungannya.
Semua orang melakukannya. Tidak. Itu tidak akan mengeluarkannya dari hukumannya. Mungkin jika dia berkata jika seseorang telah mengancamnya, memaksanya untuk melakukannya…
“Nggak akan ada gunanya mencoba sesuatu yang aneh.”
Dia benar. Menteri dari penguasa keadilan sedang mengawasinya, mata bersinar.
Harapan satu-satunya… Dia berputar pada satu-satunya jalan keluarnya, orang yang ada dalam ruangan ini yang seperti dirinya.
“A-ayolah, Goblin slayer… Aku mohon bantuanmu, sebagai sesama rekan petualang…”
Mata yang memohon. Senyum yang manis. Menggosokkan kedua telapak tangannya bersama memohon dengan sangat.
Sang petualang, yang duduk dengan tangan dilipat tanpa mengatakan apapun selama ini, membalas dengan sedikit jengkel, “Rekan?” Jawabannya terang-terangan, “Aku hanya seorang pengamat. Tidak lebih, tidak kurang.”
“Tapi kamu… kamu juga seorang petualang…”
“Ya benar.” Goblin slayer menatap rendah rhea yang memohon. “Seperti petualang yang kamu tipu.”
“…!”
Sang rhea scout berubah merah dan melotot pada mereka berdua. Pada saat yang singkat, dia membayangkan dirinya sendiri menarik daggernya dan menerjang mengarah Gadis guild.
Sangat mungkin.
“……”
Namun dia harus melewati Goblin slayer terlebih dahulu, seorang warrior yang cukup kuat untuk melakukan quest goblin seorang dirinya yang biasanya membutuhkan satu party. Seberapa besar kesempatan rhea dalam pertarungan secara langsung dengannya?
“…….”
Merasakan tatapan Goblin slayer padanya dari balik helm itu, dia menelan liurnya dengan berat. Dia secerdas layaknya scout yang lainnya dan tentunya tidak bodoh.
“….Kalian akan menyesali ini.”
Perasaannya mengalir keluar dengan sebuah kata perpisahannya seraya dia menendang sebuah kursi dan meninggalkan ruangan.
Gadis guild menghembuskan nafasnya seketika pintu itu di banting tertutup. “Promosi di tolak. Phew…. Itu tadi menakutkan…”
Senyum yang biasanya selalu tertempel pada wajah Gadis guild telah luntur, dan dia berbaring lemas di kursinya. Pada saat akhir tadi, di bawah lototan scout, Gadis guild tanpa di sadarinya mulai bergetar. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi jika Goblin slayer tidak ada disini.
“Terima kasih banyak, Pak Goblin slayer.”
Dia melihat ke atas pada helm baja di sampingnya, kepangnya menggantung lemas.
“Nggak.” Goblin slayer menggelengkan kepalanya dengan perlahan. “Aku nggak melakukan apapun.”
“Nggak kok! Aku masih ingat bagaimana jeleknya ketika aku masih dalam masa latihan di dalam ibu kota.”
Masih lemas, Gadis guild memberikan senyuman samar.
“Semua orang-orang rendahan itu yang tidak bisa membuka mulutnya tanpa berkata-kata ngeres. Mereka pikir mereka bisa menggodaku hanya karena aku cantik dan muda.”
“Ada banyak sekali yang seperti itu kan? Terutama di dalam ibukota.” Sang inspector menghela nafas sedikit jengkel dan dengan lembut membelai kalung pedang dan timbangan.
“Kami harus berhadapan dengan orang seperti itu seorang diri, jadi…kamu paham kan?” Dengan anggukan kecil, Gadis guild menggunakan satu tangannya untuk mendorong dirinya duduk dengan tegak. Kepangnya berayun “Benar-benar terasa lebih baik mempunyai seseorang yang bisa kamu percaya sebagai seorang pengawas!”
“Benarkah?”
“Ya benar.”
Gadis Guild selalu menunjukkan kepercayaan diri ketika berbicara dengan Goblin slayer. Goblin slayer pastinya memahaminya, karena dia terdiam sebentar, dan kemudian berdiri dari kursinya.
“….Jika kita sudah selesai disini, aku akan kembali.”
“Oh, baik. Jika kamu mampir di meja resepsionis. Aku yakin mereka akan memberimu honorarium….”
“Baiklah.”
Goblin slayer berjalan menuju pintu dengan langkah sigap biasanya.
Melihatnya di sana, Gadis guild mengucapkan kata tanpa di sadarinya.
“U-um!”
Sekarang dia telah mengucapkannya. Gadis guild sedikit merasa menyesal.
Goblin slayer, tangannya pada gagang pintu, berputar perlahan. “Ada apa?”
Gadis guild ragu-ragu.
Keberaniannya yang memaksanya memanggil dia telah hilang secepat dengan kedatangannya. Dia membuka mulunya, jeda, kemudian memutuskan berkata apa yang di anggapnya pantas.
“….Kerja bagus hari ini.”
“Ya,” dia berkata seraya memutar gagang pintunya. “Kamu juga.”
Pintu itu tertutup dengan bunyi klak pelan.
Gadis guild, di tinggal pergi, melemaskan tubuhnya lagi di atas meja.
“Phewww…”
Permukaan meja itu terasa sangat enak di pipinya.
“Kerja bagus.” Rekannya, sang inspector, menepuk punggung Gadis guild dengan melembutkan ekspresinya, dia takut.
“Aku takut orang itu akan melakukan hal yang aneh.”
“Yah, petualang yang masih hidup adalah sumber tenaga yang berharga. Dan dia tidak melakukan hal yang terlalu illegal…” Akan lebih buruk jika dia mengabaikan petualangannya di tengah jalan dan menjadi pembuat masalah yang serius. “Tentu saja ada beberapa macam petualangan, dari yang baik hingga yang buruk.”
“Selama mereka seorang petualang, mereka berhak memutuskan pilihan itu… Ngomong-ngomong, kerja bagus.”
“Nggak sama sekali. Ini hanyalah kewajibanku sebagai seorang priest Supreme God.” Sang inspector tersenyum dan menepis rasa terima kasih Gadis guild, namun Gadis guild hanya bisa menghela nafasnya lagi.
“Dan dari sudut pandang Dewa hukum, apa yang aku lakukan barusan…benar?”
“Banyak yang salah mengerti Dewa Keadilan, bahkan penulis takdir kita.” Sang inspector membersihkan tenggorokannya dengan “ahem,” yang terlihat seperti sebuah gerakan sandiwara. “Keadilan tidak menghukum kejahatan, namun membuat orang menyadari akan itu.”
Hukum adalah sebuah alat dan ketertiban adalah langkah untuk hidup tentram, tidak lebih dan tidak kurang. Oleh karena itu alasan mengapa Supreme God tidak menurunkan wahyunya. Maksud dari ini adalah bahwa mereka tidak harus mengikuti kalimat suci dari Dewa, namun mereka harus berpikir sendiri dan memutuskan dengan keputusannya sendiri.
Gadis guild masih merebahkan tubuhnya dengan tidak anggun di atas meja, wajahnya mengarah lesu kepada temannya.
“Pola pikir yang bagus sekali.”
“Jika kamu bisa mempraktekkannya. Aku masih jauh dari Sword maiden.” (TL Note: Pedang perawan)
“Itu bukan perbandingan yang setimpal.”
Sword Maiden.
Sepuluh tahun telah berlalu semenjak dia mengemban nama itu.
Gadis guild masih berumur dua belas atau tiga belas pada tahun itu, ketika salah satu Demon lord bangkit hidup kembali.
Sword maiden adalah seorang legenda dari masa ketika kemanusiaan bertarung untuk kelangsungan hidupnya, menunggu kehadiran seorang pahlawan, seorang petualang tingkat Platinum.
Sebuah party beramggotakan tingkat Gold dengan berani menantang sang Demon lord…
“Dan mereka berhasil. Salah satu dari mereka adalah pelayan rendah hati Supreme God, Sword maiden.”
Sang inspector sedikit tersipu dan menghela layaknya anak gadis yang sedang bermimpi. “Aku mencintainya,” (TL Note: kata yang di pakai Inspektor disini adalah “I love her” ini bisa juga di artikan sebagai “aku mengaguminya”) dia bergumam. “Lagipula, yang aku lakukan hanya menggunakan Sense lie. Nggak sulit. Ada pekerjaan lain yang harus di lakukan kan?”
“Banyak wawancara promosi yang masih tertahan. Dan aku harus mengisi berkas untuk menurunkan tingkat orang itu…”
“Kamu bisa melakukannya, berjuanglah!” Teman Gadis guild menepuk punggungnya lagi, tapi itu tidak menenangkannya.
Walaupun begitu, itu memberikannya sedikit keberanian. “Baiklah.” Dia mengangguk dan melihat ke atas.
“Jadi.” Sebuah senyum menggoda terpajang pada wajah sang Inspektor. “Apa pria itu yang kamu suka?”
“Oh, um…”
Apa Sense lie masih di aktifkan? Gadis guild melihat plafon, namun Supreme God tidak menjawab, dia tidak bisa secara pasti menatap tatapan temannya, namun dia mengangguk jujur.
“Y-ya, memang dia…Jadi?”
“Hmmm. Yah, aku nggak bisa menyalahkanmu juga. Kamu selalu menyukai orang yang suka menolong, sejak dari ibu kota.”

“Aku selalu mencari yang seperti, kamu tau, tipe petualang yang penyabar.”
Dia belum menemukannya. Pada waktu itu dia merasa kecewa, tapi sekarang seperti sebuah berkah. Mereka telah bertemu setelah Gadis guild telah menyelesaikan latihannya dan di tempatkan di kota ini pada perbatasan. Seorang petualang yang baru mendaftar bertemu dengan resepsionis yang lulus, dan mereka telah saling mengenal sejak saat itu.
Dia selalu fokus akan memburu goblin, menghiraukan yang lainnya. Bagi dirinya, yang lelah menghadapi godaan jagoan-jagoan mesum di ibukota, pria itu adalah udara segar baru bagi Gadis guild.
“Aku akui, mungkin yang satu ini terlalu penyabar…”
Sangat menyenangkan bisa berbicara dengannya, tapi mungkin dia bisa mengajakku untuk makan atau sesuatu… Nah.
Gadis guild menggelengkan kepalanya.
Dia mengajak Gadis guild untuk makan sesuatu setelah berpetualang?
Gadis guild tidak bisa membayangkannya. Dia dia tidak memiliki keberanian untuk mengajaknya sendiri untuk saat ini. Jika saja dia mendapat sedikit…dorongan.
“Yah, selama kamu senang, itu yang paling penting… Jadi, berapa lama kamu bisa mengabaikan pekerjaanmu?”
“Pertanyaan bagus. Saatnya untuk berhenti mengkhayal dan kembali bekerja.”
Secara perlahan dia berdiri, membenarkan dirinya. Dia meluruskan kertas yang ada di atas mejanya. Banyak hal yang harus di lakukan: laporan untuk pelanggaran rhea scout dan promosi kenaikan untuk warrior pemegang kapak, elf wizard, dan monk botak.
Dia telah melakukan pekerjaan seperti ini hampir setiap hari. Yah, dia akan memulai dengan apa yang ada di hadapannya terlebih dahulu. Dia mengambil sebuah pena dengan tegas di tangannya. Membuka tutup tinta celupnya, dan mulai menulis di atas kertas berkulit domba…
“Hey.”
“Siiapa?!”
Gadis guild benar-benar terkejut dengan suara yang begitu dekat, dan penanya mencoret halaman kertas itu.
Di saat dia mencoba untuk menenangkan hatinya yang berdegup, dia melihat helm tidak berekspresi itu. Dengan buru-buru dia meluruskan rambutnya dan mengatur nafasnya dan tidak menumpahkan tintanya di tengah-tengah gerakannya. Dia juga bersumpah akan sedikit membalas dendam nantinya kepada inspector yang tersenyum mengejek.
“Ad-ada apa, Pak Goblin slayer?”
“Aku rasa kamu tau.” Nadanya mekanikal seperti biasanya, namun entah mengapa terdengar ceria. Dia menggenggam sebuah kertas quest di tangannya.
Apa dia mengambilnya dari papan bulletin setelah dia meninggalkan ruangan? Tidak, Gadis guild tidak mengingat ada quest goblin yang tersedia.
Dan kertas itu… Apa itu permohon atas namanya?
Dari siapa asalnya? Dari mana asalnya? Dia tidak mengetahuinya, namun itu adalah formulir khusus yang di kirimkan dari pos kuda dari tempat yang jauh.
Sepertinya menghiraukan Tatapan penuh Tanya Gadis guild pada kertas itu, Dia berkata pendek:
“Pembasmian Goblin.”
Gadis guild memberikan senyum samar.
*****
“Hadiahnya adalah satu kantung emas per orang. Ikut atau tidak, itu pilihan kalian.”
Di suatu tempat di dalam warung guild, Goblin slayer menjelaskan.
Adalah baru saja tengah hari, namun beberapa orang yang tidak sabaran pergi keluar untuk minum, dan tempat ini menjadi berisik.
Terkecuali ketika mereka sedang bertarung, petualang biasanya memperhatikan dengan seksama jalannya waktu pada hari itu. Setelah berkelana panjang di dalam sebuah reruntuhan ataupun labirin, di saat mereka kembali bisa saja malam, bisa saja subuh; tidaklah ada artinya. Terkadang mereka pergi menjelajah sebuah dungeon pada pagi hari dan berniat kembali pada malam hari, namun ternyata menjadi malam keesokkan harinya. Gerobak pengantar biasanya akan pergi pada tengah hari. Untuk berbagai macam alasan, cahaya pada ruang minum ini tidak pernah terhenti terbakar.
Hari ini, seperti biasanya, warung ramai akan petualang yang sedang makan siang dan meminum anggur.
Sebaliknya, Priestess sedang menulis pesan untuk kuilnya dalam waktu yang cukup lama seraya dia mendengarkan.
“Oke, aku rasa aku mengerti…mungkin.”
“Benarkah?”
“Ya, kurang lebih. Aku mengerti kalau aku bertindak terkejut setiap kali kamu melakukan sesuatu yang nggak aku duga, aku nggak akan bertahan.”
Terdapat tiga rekannya yang juga duduk pada meja bundar itu, party Goblin slayer. Teman Priestess.
High elf archer mengangguk bersama Priestess sekalipun terlihat kesal.
Lizard priest mengunyah riang pada sebuah keju, ekornya berayun sedikit.
Dward shaman menyeringai, sibuk menjahit batu permata pada punggung jubahnya.
“Dengar,” Priestess berkata seakan-akan sedang mengajari seorang anak kecil pada sebuah kuil, menunjukkan jari telunjuknya pada dia. “Aku sudah bilang sebelumnya. Jika kami nggak mempunyai sebuah pilihan dalam sebuah pembicaraan, itu tidak bisa di anggap sebagai konsultasi pada kami.”
“Tapi kalian mempunyai pilihan.”
“Untuk ikut dan tidak ikut. Pilihannya terlalu sempit.”
“Benarkah?”
“Ya, benar.”
“Hmmm.”
Goblin slayer memiringkan kepalanya penuh tanda Tanya. Mungkin dia mengerti, mungkin juga dia tidak mengerti.
Di balik pikirannya, Priestess menganggap sebuah kemungkinan bahwa pria itu tidak memikirkan apapun dalam kepalanya.
“Jika kamu bilang kami nggak akan ikut denganmu, kamu akan tetap pergi sendiri kan?” High elf archer berkata.
“Tentu saja.”
“Kalau begitu ini bukanlah sebuah diskusi.” Dia berkata dengan tertawa.
“Paling tidak Beard cutter sudah berusaha untuk berbicara dengan kita.” Dwarf shaman telah selesai menjahit batu pertama dan melihat mereka dengan seksama seketika mereka memantulkan cahaya.
“Benar-benar luar biasa! Semanis madu! …Erm. Ya, sebuah kemajuan yang menjanjikan.” Lizard priest mendecakkan lidahnya seraya dia berbicara. Sebagian besar dari kejunya telah habis.
“Yah, kalau begitu kami mengambil keputusan kami.” Priestess mengambil tongkatnya dengan kedua tangannya dari tempat tongkat itu bersanda pada sebuah dinding.
“Baiklah.” Goblin slayer berkata pendek.
Priestess menghela nafasnya untuk kesekian kalinya, menutup matanya, dan berkata:
“Aku ikut denganmu.”
“………”
Dia terdiam pada senyum priestess yang manis, dan kemudain bergumam. “Aku mengerti.”
“Yah, kamu memang sudah ikut dengan petualanganku hari itu. Walaupun itu berakhir dengan pembasmian goblin.”
High elf archer menggerakkan telingannya ke atas dan ke bawah bersemangat. Dengan tidak sabar, dia sudah memeriksa panahnya, memastikan bahwa dia memiliki anak panah, memuat tas pada pundaknya, dan berdiri. “Heh-heh,” dia tertawa kecil, membusungkan dadanya yang kecil dengan bangga, dan berkedip. “Aku akan menolongmu lagi—sebagai gantinya kamu harus ikut petualanganku yang berikutnya. Nggak apa-apa kan, Orcbolg?”
“Ya.” Goblin slayer mengangguk. “Nggak apa-apa.”
“Dan nggak pakai bom beracun kali ini!”
“Hrm…”
“Itu sudah seharusnya.” Dia berkata, jarinya menempel pada dada Goblin slayer.”
Setelah beberapa saat Goblin slayer bergumam:
“Tapi itu sangat efektif.”
“Nggak peduli. Dan juga, nggak pakai api dan nggak pakai banjir. Pikirkan cara lain!”
“Tapi…”
High elf archer sudah tidak mendengarkan.
“Biarkan saja. Kalau telinga besarnya itu sudah mulai mengepak seperti itu, apapun yang akan kamu katakan hanya akan masuk dari telinga satu dan keluar di telinga sebelahnya.” Dwarf shaman bergumam, jengkel.
Lizard Priest mengecilkan matanya dengan gembira dan menyentuh hidungnya dengan lidahnya.
“Bahkan dengan kecerdaskan Tuanku Goblin slayer yang seperti ularpun menjadi sebuah pertanyaan di hadapan tingkah laku barbarian seperti itu.”
“…..Apa boleh buat kalau begitu.” Dengan tidak ada niatan membalas, Goblin slayer terdiam.
Jika itu adalah yang di inginkan High elf archer untuk bergabung dengannya, maka tidak perlu di pertanyakan lagi.
Dia benar-benar orang yang terang-terangkan kan? Pikir Priestess ketika dia bertemu dengan mata High elf archer dengan senyuman lembut. Mereka saling mengangguk.
“Baiklah, Jika begitu….” Lizard priest membuka rahangnya kemudian.dia mempertimbangkan kalimatnya dengan hati-hati, seakan-akan menunjukkan betapa dia memikirkan sepenuhnya  akan ajakannya. “Jika begitu, sepertinya anda akan membutuhkan setiap pembaca mantra yang bisa anda dapatkan.”
“Tunggu dulu scaly,” Dwarf shaman menegur, membelai jenggotnya. “Dengan logika seperti itu, berarti aku harus ikut juga?”
“Oh-ho sungguh tidak sopannya saya.” Lizard priest memutar matanya di kepalanya.
Dwarf shaman memberikannya sebuah sikut bersahabat. “Tuhan, kalian sudah benar-benar memojokkan aku, sekarang aku sudah nggak bisa menolak kan?” berulang-ulang berkata “Tuhan,” Dwarf shaman mengesampingkan jarumnya dan mulai membersihkan peralatannya.
Bukanlah hal yang aneh untuk menukarkan sekantung emas untuk batu permata, kemudian menjahitkannya pada sebuah baju supaya mereka tidak dapat di curi. Dan dengan kelincahan jari Dwarf, kalian tidak akan tahu di mana permata itu di sembunyikan di balik bajunya.
Memasukkan jarinya pada ke dalam sebuah lubah pada jubahnya dan menyisir jenggot putihnya yang tebal dengan tangannya, dan dia tersenyum menyeringai pada mereka semua. “Dan aku baru saja selesai mengurus biaya perjalananku. Aku rasa aku akan bergabung dengan kalian.”
“Oh?” High elf archer berkata, menyipitkan matanya layaknya seekor kucing. “Kalau kamu hanya merasa, kamu nggak perlu ikut.”
“Kamu sendiri juga bilang saja. Nggak perlu ikut kalau kamu benar-benar ingin menjauh dariku.”
“Hrk….!”
Telinga High elf archer berdiri tegak kebelakang; kedua tangannya pada meja dan mencondongkan dirinya pada Dwarf shaman.
“Oh, sekarang aku benar-benar marah. Oke, Dwarf, kamu dan aku!”
“Ho-ho, mulai berani sekarang ya? Jangan harap aku akan memberimu kemudahan.”Senyumnya terlihat tidak biasa ketika dia mengeluarkan dua set botol anggur dan dua cangkir pada meja. “Fire wine untukku. Dan anggur biasa untukmu. Adil?”
“Sempurna!”
Suasana menjadi gaduh. Para konstentan menuangkan minuman mereka dan meneguknya.
“Oh, hey, lihat. Ada sesuatu yang terjadi!”
“Heh-heh… Mau taruhan?”
Tentu saja, tidak ada petualang yang bisa menolak taruhan persahabatan.
Spearman Tersenyum riang; Witch melepaskan topinya dan dengan segera mendeklarasikan dirinya sebagai juru taruh. Sebuah teriakan keriangan terdengar, dan satu persatu petualang, terdorong oleh rasa mabuk, membuka dompet mereka.
Koin emas pertama yang masuk ke dalam topi witch datang dari tangan seorang Knight wanita. Di samping Knight, Heavy warrior berdiri, terlihat gelisah.” Uangku untuk gadis itu. Tiga koin emas!”
“Hey, itu berani sekali. Kamu yakin akan itu?”
“Heh-heh-heh. Sebut saja taruhan kuda hitam. Karena aku selalu mengikuti hokum, dan aku memiliki berkah dewa….”
“Yeah, menang atau kalah, Supreme God bukanlah tipe yang akan menghukum perjudian huh?”
“Aku bertaruh pada Dwarf kalau begitu,” “Nggak, untuk gadis itu!” “Minum! Minum! Minum!”
Melihat kontes yang mulai bergejolak di keriuhan ini, Priestess terlihat ragu-ragu dan takut.
“Apa kita nggak menghentikan mereka….?”
“Aku ragu ini akan berlangsung lama.” Goblin slayer menjawab.
Itu karena, Dwarf shaman adalah peminum yang berpengalaman, dan High elf archer hampir nggak sanggup menahan minumannya. Pemenangnya terlihat dengan jelas.
“Tidak, tidak, barbarian kita sangat keras kepala. Konklusi ini belum dapat di tentukan.”
Lizard priest dengan senang hati memperhatikan sang archer, wajah sang archer memerah, meneguk segelas anggur lagi.
“Lagi! Aku masih sanggup minum….!”
“Segera datang!”
Sang archer masih belum meracau kata-katanya; matanya masih belum mengigau.
Gelas di hantamkan di atas meja. Glug, glug, glug, masuknya anggur.
Sebuah teriakan mengapresiasi menggelegar dari penonton seketika sang archer menggambil segelas anggur dan meminumnya sekali teguk.
Dalam berjalannya waktu, ini bukanlah hal apa-apa; tidak ada yang akan mengingatnya. Walaupun begitu, mereka tetap merayakannya dengan riang gembira.
Berdiri di samping High elf archer, yang terbaring mabuk di atas meja, Dwarf shaman mengangkat kepal tangannya dan menteriakkan kemenangan.  Sepertinya dia tidak mempermasalahkan rasa gengsi tentang mengalahkan elf dalam kontes minum.
“Baiklah, kalau begitu, aku selanjutnya.” Kata Knight wanita, namun Heavy warrior menghentikannya dengan panik. (“Kamu galak kalau mabuk”) Sang gadis dan laki-laki Half elf dalam partynya tertawa dan mengejek.
Melihat di dekatnya, Spearman menggulung lengan bajunya, terbujuk oleh Witch. Agar tidak mau kalah, Knight wanita mendorong Heavy warrior.
Yang berikutnya mulai adalah sebuah kontes adu panco. Para pesertanya mungkin tidak ingin melakukannya, tapi ketika kontes mulai berjalan, tidak ada satupun dari mereka yang mau kalah.
Sebuah nyanyian terdengar. Dwarf shaman maju ke depan sebagai sebuah wasit, dan Witch memegang topi lancipnya lagi. Sepertinya ini tidak akan pernah berakhir. Siapa yang akan menang, siapa yang akan kalah? Dan tidak lupa hujan koin yang mengalir.
Spearman menang. Kemudian, Heavy warrior menang.
“Oke! Aku selanjutnya!” teriak Novice warrior, namun dia bertemu dengan “Oh, hentikan” dari Apprentice Priestess.
Heavy mengangguk mengakui keberanian Novice warrior, kemudian memegangnya dan mengacak rambut Novice warrior.
Dua pria muda yang tidak berpengalaman adalah yang selanjutnya berpanco.
Dengan para petualang yang menyaksikan dan menyemangati peserta favorit mereka, Dwarf shaman memberikan sinyal untuk memulai.
“Pak Goblin slayer…”
Ini sepertinya adalah waktu yang tepat. Ketika Priestess melihat padanya, sebuah kata “Baik” terselip dari balik helnya, dan dia mengangguk.
“Dua! Tiga!”
“Hrm.”
Dia mengangkat sosok yang lemas itu, yang entah mengapa secantik sebuah pohon, Goblin slayer mendengus pada beratnya, walaupun tubuh itu sangat langsing hingga terlihat seperti akan patah menjadi dua.
Dia melihat kepada Priestess, Priestess tersenyum. Mau bagaimana lagi?
“Jangan marah nanti,” dia bergumam sangat pelan sehingga tidak ada yang mendengarnya, kemudian membengkokkan tubuhnya sedikit dan memposisikan dirinya sendiri di bawah High elf archer.
Kemudian dia berdiri, satu tanganya pada punggung sang archer, dan mengangkat tubuh sang archer pada punggungnya dengan sebuah gerakan yang menggambarkan lemparan yang kasar.
“Vwoo, wah….”
“Aku nggak tau sama sekali apa yang kamu mau bilang.”
“Hmmm? Fooo….”
Apa itu bahasa orang awam yang dia gagal ucapkan? Atau bahasa para elf? Atau hanyalah bahasa sebuah mimpi?
Pada kalimat Goblin slayer yang singkat, sebuah senyum menghias wajah High elf archer.
“Aku akan membawanya ke ruangannya,” Goblin slayer menjelaskan singkat menggoyang sang elf dengan pelan seakan-akan dia anak kecil. “Tapi kamu bantu dia mengganti bajunya.”
“Ya pak, serahkan padaku.”
Priestess mengepalkan tangannya. Orang yang paling wajar untuk membantu.
“Hmm! Sekarang waktunya istirahat, besok akan berjalan, dan kemudian bekerja…” Lizard Priest Berkata dengan riang gembira, mejulurkan lehernya seakan-akan dia sudah mengetahuinya. “Sungguh menyenangkan untuk menyeret teman kita yang masih mabuk nanti.”
“Kalau dia masih mabuk besok pagi, aku akan berikan antiracun.”
“Pak Goblin slayer, itu terlalu….”
Priestess sepertinya sedikit terkejut, namun Goblin slayer berkata datar:
“Cuma bercanda.”
Priestess dan Lizard priest bertukar pandang, kemudian tertawa terbahak-bahak.
Bukanlah candaannya yang membuat mereka tertawa, tapi kenyataan bahwa dia membuat candaan itu.
Sangatlah langka baginya untuk dalam semangat yang tinggi.