TENTARA SALIB YANG KEHILANGAN TUHAN
(Part 2)
(Translater : Hikari)

Dia dapat mendengar suara debaran itu. Suara memekakkan telinga dari jatungnya sendiri yang menggelegar memberi tanda bahaya. Dan hanya itulah yang dia bisa dengar.
Medan pertempuran.
Itu benar-benar tempat yang mengerikan. Tempat di mana rekan-rekannya sekarat tanpa arti. Meskipun mereka seharusnya menerima perlindungan ilahi saat mereka datang ke daratan ini sebagai balatentara keadilan.
Mereka memenangkan pertempuran demi pertempuran, lagi dan lagi, dan sekarang adalah puncaknya untuk mengakhiri perang ini, akan tetapi, mengapa harus jadi seperti ini?
Musuh di hadapan mereka sangatlah kuat, dan saat ini, lawanlah yang memiliki keuntungan dari wilayah ini, keberuntungan—secara literal segalanya berada di sisi mereka.
"Oh Tuhanku," bisik Crowley. "Oh Tuhanku, kumohon jangan buang kami."
Meskipun segalanya tidak menguntungkan bagi mereka, para prajurit salib terus bertempur mati-matian. Demi keadilan. Demi alasan itu. Di bawah bendera atas Nama-Nya.
Seorang penganut pagan berkulit gelap meraungkan teriakan pertarungan, "Uwooaaaaaaah!" dan menyerbu ke arahnya.
Pedang Crowley memenggalnya. "Matilah, orang kafir brengsek!"
Kepala tersebut melambung di tengah udara. Menyemburkan darah ke segala arah. Menghujaninya.
Tapi dia tidak peduli lagi. Seluruh tubuhnya, dari kepala hingga ke ujung kaki, telah berwarna merah seluruhnya. Darah rekan-rekannya, darah musuh-musuhnya, daging, isi perut—semua menodai tubuhnya.
Dia bahkan tidak dapat mengetahui berapa banyak musuh yang telah dia bantai. Dia membunuh dan membunuh dan membunuh, dan sudah sejak lama dia berhenti menghitungnya, meskipun jumlah musuh yang dibantai adalah hal yang menentukan nilai dari seorang ksatria.
Dia tidak memiliki kekuatan atau waktu untuk disisihkan. Hanya keputusasaan yang tersisa. Keputusasaan untuk melindungi rekan-rekannya.
Hanya kata-kata dari Komandannya yang diucapkan padanya sebelum mereka sampai di sini, yang terus berulang-ulang di dalam kepalanya dalam simpul tanpa akhir. Tebas sebanyak mungkin musuh. Dan lindungilah rekan-rekanmu.
Dia terus mengikuti perintah itu.
Dia terus membunuh tanpa berpikir, hampir sepenuhnya lupa untuk apakah dia bertempur.
Hanya menebas. Para musuhya. Mereka yang menyerangnya.
Membunuh para penganut pagan yang memilih idelogi yang salah untuk diikuti. Bunuh. Bunuh.
Menusuk dada seorang pria di dekatnya dengan pedangnya, Crowley kemudian menendang orang tersebut di wajah, sambil menarik keluar pedangnya. Menyambar sebatang tombak dari seorang musuh, dia memukul pria itu di wajah dengan gagang pedangnya, menghancurkan tengkoraknya. Dia kemudian melemparkan tombak tersebut untuk tersangkut di leher seorang pria yang sedang menempatkan sebatang anak panah pada busurnya.
Bagaimanapun, bunuh. Bunuh para penganut pagan itu. Bunuh mereka sebelum mereka membunuhmu!
"Huff…huff… sial, masih belumkah? Musuh belum bergerak mundur…"
Jantungnya terasa seperti akan meledak. Dan dia benar-benar kehabisan napas.
Tetapi dia tetap berkata, sambil membunuh musuh di hadapannya, "Aku hidup. Di tempat ini, saat ini, aku masih hidup!"
Dia masih terus membisikkan itu dalam pertempuran, seakan sedang berdoa. Tangan kirinya meraih rosario di lehernya tanpa sadar. Hatinya mencari pertolongan. Memanggil Tuhan.
Tolong selamatkan aku dari tempat yang konyol ini, jerit hatinya, memohon pada Tuhan.
Tapi pertolongan itu tidak datang. Dia tidak merasakan tuntunan ilahi apapun.
Musuh yang lain menerjangnya.
Crowley membenturkan pedangnya ke samping. Saat mengayunkan ke belakang, pedangnya memarang musuh dari bahu ke dada, mengeluarkan paksa jantung pria tersebut, dan dengan begini, tidak ada lagi musuh di hadapannya.
Beberapa dari mereka menatapi Crowley, yang sekarang sama sekali bermandikan darah, dari jarak aman dengan wajah ketakutan.
Crowley memelototi kumpulan orang tersebut. "Apa? Kenapa kalian tidak menyerangku?"
"…"
Mereka menudingkan jari padanya, mengatakan sesuatu secara bersamaan.
"Apa? Apa yang kalian katakan?"
Salah satu dari mereka berteriak ke arah Crowley, "Shaitan!"
Crowley mengetahui arti kata itu. Dalam bahasa penganut pagan tersebut, itu berarti "Iblis".
Dia telah datang sejauh ini atas kehendak Tuhan, hanya untuk dipanggil iblis.
Tapi dia tidak terlalu memikirkannya. Kalau itu yang diperlukan untuk mengakhiri pertempuran ini, dia tidak keberatan.
Crowley balas berteriak marah pada para penganut pagan itu, "Itu benar! Akulah iblis! Monster yang Tuhan kirimkan untuk menebas kalian para kafir! Jika kalian tidak ingin mati, cepat enyah dari sini sekarang juga! Kalian yang ingin dipanggang api neraka, datang ke hadapanku!"
Akan jadi hal yang bagus jika raungan kemarahannya itu menurunkan sedikit semangat tempur musuh, pikirnya. Bahkan mungkin mereka akan cukup ketakutan untuk mundur.
"…"
Tapi semuanya tidak berjalan semulus itu, sepertinya. Tentu saja, mereka tidak akan mundur. Pada saat itu, musuh memiliki jumlah yang luar biasa menguntungkan.
Setelah melakukan diskusi singkat, beberapa penganut pagan berkumpul dalam satu grup dan sekarang mencoba untuk melakukan sebuah serangan pada Crowley.
"Sial," rutuknya hampir meluncur dari mulutnya ketika inderanya menangkap suara desingan yang membelah udara. Suara sebatang anak panah yang telah ditembakkan.
"Cih!" Dia memutar ke arah suara tersebut berasal, tapi sudah terlambat. Dia tidak akan bisa menghindarinya sekarang. mengangkat lengan kanannya, dia paling tidak melindungi kepala dan jantungnya.
Tapi tepat ketika anak panah itu akan mengenai lengannya, Victor memukulnya dengan pedangnya dari belakang Crowley. "Jangan melamun, Crowley!"
Gustavo dan beberapa pengawalnya menyerang prajurit musuh yang telah menembakkan panah dan membunuhnya.
Crowley menatapi Victor yang baru saja menyelamatkannya. Victor juga, berlumuran  darah dan terlihat sangat mengerikan. "Bodoh. Siapa yang akan melindungiku kalau kau mati duluan?" katanya, dan Crowley mengangguk.
"Yeah, maaf. Aku senang kau masih hidup."
"Tidak untuk waktu yang lama, mengingat bagaimana kondisi saat ini. Ksatria Salib tidak boleh mundur. Entah kita pulang dengan kemenangan atau kembali dalam keadaan tewas… Agh, sial, aku seharusnya meniduri satu atau dua gadis sebelum datang kemari!"
Bahkan dalam situasi mereka yang seperti ini, Victor masih juga berusaha bercanda.
Crowley mencoba untuk tertawa, tapi otot-otot di rahangnya terkunci dan menolak untuk bergerak.
Di hadapan mereka, pasukan musuh jauh melampaui mereka. Kecuali ada keajaiban yang muncul, di sinilah mereka semua akan mati, kemungkinan besar begitu.
Tapi dia tidak mengerti apa arti dari kematian mereka. Tidak terlihat lagi bahwa mereka mempunyai kesempatan apapun untuk memenangkan perang ini. Mustahil untuk mengambil kembali Tanah Suci saat ini. Ini adalah sebuah perang yang seharusnya tidak perlu diperjuangkan sejak awal, di mana rekan-rekan mereka gugur secara sia-sia.
Keuskupan sedang memimpin usaha bunuh diri saat ini di suatu tempat, tapi kemungkinan besar tidak berhasil. Menurut rumor yang beredar, itu seakan keuskupan sama sekali tidak mengerti dan bahkan menolak untuk melihat seperti apa perang itu.
Yang berarti, mereka akan mati di sini secara sia-sia.
"…Kita sudah mati. Kita akan tewas di sini, ya 'kan," gumam Crowley, dan Victor pun tertawa.
"Jangan berkata begitu."
"Meski begitu, aku berharap kematian kita akan sedikit lebih terhormat."
"Kau selalu bisa menemui ajalmu dengan melindungiku."
Mendengar itu, Crowley menatapi Victor. "Itu akan cukup terhormat."
"Benar, 'kan? Tapi aku akan keluar dari sini."
"Kau akan dihukum jika kau melarikan diri dari medan pertempuran."
"Huh? Bukankah ada aturan yang mengatakan bahwa kalau kau kalah jumlah dengan 3 banding 1, tidak masalah kalau kau melarikan diri?"
Sekarang saat Victor mengatakannya, Crowley merasa bahwa memang benar ada sebuah aturan semacam itu. Tapi…
"Apakah musuh akan cukup bermurah hati membiarkan kita melarikan diri?"
"Ah, tidak mungkin. Kita sudah banyak membunuh mereka."
Mendengarnya, Crowley akhirnya bisa tersenyum. "Mereka memanggilku Iblis barusan."
"Haha, itu karena kau sudah membunuh lebih banyak daripada yang lainnya."
Tepat saat itu, teriakan Gustavo terdengar dari belakang mereka. "Mundur dan berbaris menjadi satu grup!"
Menoleh padanya, Crowley mengangguk. Mereka mundur sedikit, menebas beberapa musuh yang mendatangi mereka saat melakukannya.
Kemudian teriakan rekan mereka yang lain terdengar. "S-semuanya, Komandan terluka!"
"Apa?!"
Crowley melihat ke arah suara itu. Dada Komandan Alfred dihiasi dengan torehan luka yang dalam. Beberapa ksatria tingkat tinggi sedang mundur dengan panik sambil menopangnya.
Gustavo mengusulkan, "Hei, ayo lindungi Komandan!"
Tapi Crowley, setelah melemparkan tatapan lain pada sang Komandan, menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku tidak ikut."
"Kenapa?!"
"Komandan berkata padaku untuk membantai musuh sebanyak mungkin dan melindungi rekan-rekanku. Kalau aku pergi ke sisinya sekarang, dia akan memarahiku. Itu bukanlah kematian yang terhormat."
"Bodoh! Siapa yang peduli tentang kehormatan pada saat ini! Apakah masih ada kehormatan dalam hal ini?!"
"Yah, bagaimapun kita akan mati di sini."
"…Ugh."
"Sekalipun tidak ada lagi kehormatan dalam pertempuran ini, aku  ingin Komandan memujiku saat aku di surga."
Wajah Victor mengerut seakan ingin menangis. "Sial! Kalau begitu, aku akan tetap bersamamu."
"Kau sebaiknya pergi."
"Memangnya aku bisa meninggalkanmu begitu saja! Kalau kita akan mati di sini, ayo mati bersama-sama!" Victor membentak dan mengambil kuda-kuda dengan pedang yang siaga.
Menatap wajah teman dekatnya ini, Crowley semakin erat menggenggam gagang pedangnya. Di belakang mereka, beberapa pengawal dan prajurit dari kalangan rakyat jelata yang ikut serta dalam Perang Salib ini, membentuk sebuah barisan.
Victor berkata, "Crowley, beri perintah."
Tapi sudah tidak ada rencana lagi yang memerlukan komando dan perintah. Mereka telah dikalahkan sepenuhnya. Satu-satunya yang masih bisa mereka lakukan adalah melakukan serangan secara langsung dan membunuh sebanyak mungkin musuh sebelum menghembuskan napas yang terakhir. Tidak ada lagi yang tersisa untuk mereka.
Karena itulah, mengangkat pedangnya, Crowley berkata, "Percayakan nyawa kalian padaku! Kita akan menyerang! Pasukan——"
Tepat saat dia akan berseru "Serang!", dia mendengar suara derap kuda di belakangnya.
"Crowley-sama! Victor-sama!" Itu adalah suara Gilbert. Dia menghentikan kudanya di depan mereka, menghalangi jalan. "Saya membawakan bala bantuan!"
Crowley mendongak melihatnya, kemudian melihat ke belakang Gilbert. Dia dapat melihat sekitar sepuluh ksatria berkuda yang mendekat. Meski begitu, bukan berarti sejumlah kecil pasukan berkuda seperti itu dapat mengubah situasi mereka.
Gilbert sementara itu meneriakkan sesuatu dalam bahasa penganut pagan. Crowley tidak tahu apa yang dia katakan, tapi saat Gilbert melakukannya, musuh langsung berhenti saat itu juga. Kelihatan panik, mereka mulai mendiskusikan sesuatu.
Victor bertanya, "Hei Gilbert. Apa yang kau katakan pada mereka?"
"Saya mengatakan bahwa bala bantuan yang terdiri dari beberapa ribu orang banyaknya sedang datang kemari selagi kita bicara."
"Dan apakah mereka datang?"
"Tidak, mereka tidak datang!"
"Huuh?!"
"Jadi ayo kita mundur selagi tipuan saya masih berefek pada mereka. Musuh melebihi jumlah kita dengan perbandingan 3  banding 1, jadi kita tidak akan dipersalahkan kalau kita mundur sekarang."
Crowley menyahut, "Begitu mereka mengetahuinya, mereka akan mengejar."
"Ya, tapi saat ini…"
"Kalau nantinya aku akan mati juga, aku tidak ingin menunjukkan punggungku pada musuh."
Tapi Gilbert, dengan wajah muram, menginformasikan, "…Situasinya telah berubah, Pak. Meskipun ini hanyalah rumor yang belum bisa saya pastikan, tapi…"
"Tapi apa?" desak Victor.
"Kemungkinan perang ini akan segera berakhir," sahut Gilbert.
"Hah? Apa maksudmu?"
"Wakil Keuskupan…sepertinya telah ditangkap."
"Apa?! Kau bercanda!" Victor berseru syok.
Tapi kemungkinan hal itu bukannya tidak bisa diduga. Situasi perang ini menyudutkan sang wakil keuskupan, dan dia terpaksa mengambil strategi luar biasa gegabah. Hanya masalah waktu saja sampai musuh mengambil keuntungan dari kelemahan yang mencolok dari rencananya ini.
Tetap saka, yang menjadi ujung tombak dari operasi militer ini adalah sang wakil keuskupan, Pelagius. Para penguasa dari banyak negara telah kehilangan minatnya terhadap perang ini. Jadi, jika sang wakil telah tertangkap, akan jadi apa Perang Salib ini?
Kekalahan telak semakin nyata terlihat setiap menitnya. Mengetahui informasi baru ini, mereka benar-benar harus mundur dan menyusun barisan kembali.
Gilber bertanya, "Di mana Komandan?"
Dengan wajah berkerut, Crowley membalas, "Dia terluka."
"Oh, tidak."
"Grupnya telah mundur ke garis belakang."
"Saya akan memeriksa keadaannya!"
Gilbert hampir saja memutar balik kudanya, tapi Crowley menghentikan dia. "Tunggu, Gilbert. Selesaikan acting tipuanmu terlebih dulu, baru kemudian pergi."
"Ah…"
Kalau dia mundur dengan panik saat ini, musuh akan menyadari bahwa berita mengenai kedatangan pasukan bantuan adalah sebuah kebohongan. Mereka harus mundur perlahan-lahan.
Gilbert menarik tali kekangnya. Terlibat dalam adu pandang dengan musuh, dia mundur perlahan.
Berapa lama waktu yang bisa diulur? Beberapa jam? Satu malam?
Bagaimanapun, saat ini mereka harus mundur—untuk mencari tahu apakah yang perlukan dalam situasi ini.
Musuh berbalik dan mulai mundur secara serentak.
Setelah memastikan kepergian mereka, Crowley juga mundur. Saat dia melakukannya, dia mendapat kesempatan untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri seberapa besar kehilangan yang diderita pihaknya.
Di tanah, lengan-lengan yang terputus, kepala dan tubuh-tubuh bagian atas dari para pengawal yang masih sangat muda bertebaran. Crowley sendiri memiliki sepuluh pengawal yang melayaninya, tapi saat ini, dari antara mereka semua, jumlah yang selamat adalah…
"Crowley-sama."
Salah satu dari mereka, Rosso, mendekati Crowley sambil menangis. Dia adalah seorang laki-laki berambut coklat kekuningan dengan wajah cukup tampan berbintik-bintik.
Crowley bertanya padanya, "Apa hanya kau yang selamat?"
"…Ya, Pak."
"Usaha yang bagus untuk tetap hidup."
"…Terima kasih, Pak."
Crowley mengelus bocah itu, yang tidak bisa berhenti menangis, di bahunya.
"Uuh, seandainya saya lebih kuat…"
"Itu bukan salahmu."
"Tapi…"
"Itu bukan salahmu! Kalau rasanya sakit, maka semakin kuatlah."
"Ya, Pak!"
"Bagus," Crowley mengangguk menyetujui, meskipun dia sendiri tidak berpikir bahwa satu pun dari mereka bisa selamat.
Saat mereka bergerak semakin mundur, Komandan Alfred, yang terbaring di tanah dikelilingi para ksatria tingkat tinggi, muncul di penglihatan mereka. Beberapa ksatria sedang menangis.
Ketika kumpulan orang itu menyadari Crowley dan Victor kembali, Gustavo, yang berada di sisi Komandan, berjalan mendekati mereka.
Saat dia mendekat, Crowley menanyainya, "Bagaimana keadaan Komandan?"
Gustavo menggelengkan kepalanya dengan wajah yang teramat letih. "Lukanya parah, jadi mungkin akan…" Dia tidak menyelesaikan kalimatnya.
Mati, itulah akhirnya. Komandan mereka, begitu kuat dan bijak, akan mati dalam perang menyedihkan ini. Dalam perang tanpa arti yang tidak berguna sejak awal.
"Sial…" Crowley mengerang, dan tangannya meraih rosario di lehernya. Tidak peduli berapa banyak dia berdoa pada Tuhan, Dia sepertinya tidak menolong sama sekali. Meski begitu, sebagian dari dirinya masih mati-matian bergantung pada-Nya.
Gustavo melanjutkan, "Crowley."
"Ya?"
"Komandan memanggilmu."
"Aku? Kenapa?"
Tapi saat itu, Victor mendorong punggung Crowley. "Kau adalah orang yang paling disukai Komandan. Jadi dia pasti punya sesuatu yang ingin dia katakan padamu."
Crowley memandang Vitor dan mengangguk, kemudian pergi ke tempat Komandan berada.
Melihatnya, para ksatria yang berada di sisi Komandan menyingkir menjauh. saat mereka melakukannya, dia melihat sang Komandan yang terbaring di tanah. Lukanya sangat parah. Dada Komandan Alfred tertebas terbuka secara diagonal, dan dia sudah tidak bisa ditolong lagi.
Meski demikian, saat dia melihat Crowley, dia berusaha untuk tersenyum. "Kau di sini, Crowley."
"Ya, Pak."
"Berbicara keras membuatku lelah, jadi mendekatlah."
"Tentu, Pak."
Crowley mendekati sisi sang Komandan seperti yang diperintahkan. Saat dia melakukannya, Komandan menggenggam tangan Crowley dengan tangannya dan menariknya mendekat. Genggamannya masih kuat, dan Crowley sedikit merasa lega.
Sang Komandan kemudian berbicara, "Maaf kau harus melihatku seperti ini."
"Jangan berpikiran seperti itu, Pak."
"Jangan berwajah seperti itu. Kau melakukannya dengan baik."
"…Tidak, saya sama sekali tidak seperti itu, Pak. Saya tidak bisa menjalankan perintah yang Anda berikan, Komandan."
"Perintah? Apa yang kuperintahkan padamu?"
"…Untuk membantai musuh sebanyak mungkin dan melindungi rekan-rekan kita. Tapi saya telah gagal dan membiarkan banyak rekan tewas."
"Bodoh. Itu adalah tanggung jawabku, bukan kau. Akulah Komandan dari pasukan ini."
"…"
"Kau benar-benar melakukannya dengan sangat baik, percayalah padaku. Kalau bukan karena kau, kita sudah disapu habis berkali-kali. Apa kau tahu bagaimana para ksatria dan prajurit lainnya memanggilmu?"
Crowley menggelengkan kepalanya. Dia hanya tahu bahwa musuh memanggilnya Iblis.
Komandan melanjutkan, "Pahlawan. Mereka memanggilmu seorang pahlawan. Karena kau selalu menjadi yang pertama di garis depan, membantai lebih banyak musuh dan melindungi lebih banyak kawan daripada siapapun. Semua ksatria di sini telah diselamatkan nyawanya olehmu."
"Tapi…"
"Diamlah. Aku tidak meminta pendapatmu."
"…"
"Aku bangga padamu. Dari antara semua ksatria yang kuasuh, kaulah yang terbaik sejauh ini. Aku sangat senang bahwa kau masih akan ada bahkan saat aku tiada," sang Komandan berkata.
Jadi apa yang Gustavo katakan bahwa Komandan memujinya itu ternyata benar.
Crowley mencengkeram tangan Komandan lebih erat. "…Tidak, tolong jangan memuji saya terlalu banyak, Pak. Saya masih ingin Anda melatih dan membimbing saya saat kita kembali."
Tapi sang Komandan hanya menatapnya dengan raut wajah prihatin.
"Saya masih belum mampu tanpamu, Komandan."
Komandan mengulurkan tangan dan mengelus kepalanya dengan lembut
"Bodoh. Kau sudah begitu hebat sampai disebut sebagai seorang pahlawan. Pria seperti itu seharusnya tidak menangis."
"…Tapi…"
Dia tidak menyelesaikanya perkataannya karena Komandan terbatuk mengeluarkan darah saat itu juga. Warnanya hitam mengerikan dan ada banyak. Crowley merasakan tubuh Komandan semakin melemah.
Dia akan mati. Komandannya akan mati.
Sang Komandan masih melanjutkan, "Crowley, aku memiliki perintah terakhir untukmu."
Dia seharusnya mengatakan sesuatu, menjawab perkataan Komandannya. Akan tetapi suaranya mengabaikannya. Dia tidak bisa memaksa keluar jawaban apapun. Air mata mulai berjatuhan, dan kalau dia mencoba untuk bicara, suaranya akan terdengar lemah dan bergetar, dia tahu itu.
Komandan pun berkata, "Aku memerintahkanmu : jangan mati di sini, bagaimanapun caranya."
"…"
"Kau punya masa depan. Kau selalu tenang dan berkepala dingin, berbakat dalam pertarungan pedang dan juga populer. Kau adalah seseorang yang berdiri di puncak Orde ini suatu hari nanti. Karena itulah kau tidak boleh mati di tempat seperti ini," sang Komandan menegaskan.
"…Tapi saya diajari bahwa gugur dalam perang adalah kehormatan sejati seorang ksatria," ujar Crowley.
"Melindungi rekan-rekannya adalah kehormatan seorang ksatria."
"…"
"Lagipula, ini bukan lagi perang. Ini bunuh diri. Aku tidak bisa membiarkan pasukanku terus terbunuh dalam pertempuran konyol ini lebih jauh," kata sang Komandan dan mencengkeram bahu Crowley. "Karena itu, Crowley…kupercayakan padamu…para rekan-rekan kita…jaga mereka tetap hidup dan…pulanglah…"
Sebelum Komandan Alfred bisa menyelesaikan permintaannya, lengannya kehilangan tenaga. Terkulai, lengan tersebut jatuh ke tanah.
Komandan mereka tidak dapat kembali ke rumah pada akhirnya.
Memeluk tubuh tak bernyawa Komandan di lengannya, Crowley menatap ke bawah.
"…"
Bahkan menggertakkan giginya mati-matian pun tidak dapat menghentikan air mata yang terus bergulir menuruni pipinya. Dia sudah melakukan segala yang dapat dia lakukan untuk menghentikan dirinya terisak dan tersedu-sedu.
Dia telah mempelajari ilmu pedang dari Komandan sejak dia berusia 17 tahun. Orang ini mengajarinya segala hal yang seorang ksatria perlu tahu.
Dan sekarang dia mati. Gurunya telah gugur.
Dan, yang membuatnya semakin buruk, di dalam perang yang sama sekali tak berarti ini.
Ini…dia tidak dapat memaafkan ini, tidak akan pernah bisa memaafkan ini.
Jika Tuhan benar-benar menyaksikan ini, jika Dia benar-benar mengawasi tindakan setiap orang dalam kehidupan sehari-harinya, maka Dia seharusnya tahu bahwa Komandan bukanlah seseorang yang harus mati di sini. Jika demikian, untuk apa dia, untuk mereka semua berjuang di sini? Untuk apa, bahkan saat Tuhan tidak mengawasi…?
Seseorang menyentuh bahu Crowley dengan lembut. Itu adalah Victor. Dia juga terlihat sedih dan mencoba untuk menahan air matanya.
Crowley memaksa bicara, "…Komandan…"
"Ya."
"Komandan tewas."
"Ya, aku tahu."
"Apa yang harus kulakukan sekarang…?"
Menanggapinya, Victor membalas, "Jadilah seperti dirimu yang biasanya. Dirimu yang seperti itulah yang Komandan yakini dan percayai."
Dirinya yang biasanya. Crowled menyentuh rosario di lehernya. Seakan memohon pertolongan Tuhan. Seakan berdoa pada Tuhan yang tidak akan menyendengkan telinganya.
Untuk sesaat, Crowley tidak bergerak. Tapi dia tahu bahwa dia tidak bisa terus di sini selamanya. Tapi sebentar saja. Hanya untuk sebentar saja. Untuk memberinya sedikit waktu, begitu singkat sehingga Komandannya yang tewas yang ada di dekapannya tidak akan marah. Untuk berduka dan menerima rasa kehilangannya.
1 detik. 2 detik. 3 detik.
Detik berikutnya, Crowley mengangkat kepalanya lagi. Dia menyeka matanya yang basah dengan air mata. Memutuskan rosario dari leher komandannya, dia menaruhnya di dalam kantungnya. Kemudian dia membaringkan tubuh Komandan di tanah dan berdiri.
Saat dia melakukannya, Gilbert yang berbicara lebih dulu dari belakangnya. "Crowley-sama. Apa yang kita lakukan sekarang, Pak?"
Crowley berbalik. Matanya mendarat pada sekumpulan ksatria, rekan-rekannya, yang berkumpul di situ. Dan di belakang mereka, ada prajurit biasa yang juga sedang menunggu.
Tapi jumlahnya telah menyusut. Dalam pertempuran kacau dan tak teratur sebelumnya, mereka terpisah, dengan pasukan mereka yang terpencar di seluruh medan pertempuran, jadi dia tidak tahu berapa banyak rekan mereka yang gugur saat ini.
Tapi tetap saja, sekitar 70 orang selamat. Di antara mereka, ada Gilbert. Dan Victor. Dan Gustavo. Dan Rosso si pengawal. Ksatria yang lain, juga para prajurit yang mengikuti mereka, semuanya menatap Crowley penuh harap.
Mengamati mereka, dia mencoba berbisik hampir tidak dapat didengar, "…Jaga mereka tetap hidup dan pulanglah…"
Dan kata-kata ini membuatnya merasakan gelombang kengerian.
Mereka berada di tengah-tengah posisi musuh. Tanpa bala bantuan yang datang. Sejujurnya, perintah tersebut terlihat mustahil untuk dilakukan. Tapi tetap saja, mereka harus bergegas.
"…"
Saat itulah, Victor berbicara.
"Tidak apa-apa. Aku akan membantumu."
Gustavo juga berbicara, "Aku juga akan membantu. Rasanya menjengkelkan diperintah-perintah oleh juniorku, tapi itulah perintah Komandan."
Ksatria tingkat tinggi lainnya juga terlihat tidak keberatan.
Gilbert berkata, "Crowley-sama. Perintah Anda, Pak."
Crowley mengangguk dan menyatakan, "Pasukan, mundur! Kita akan mundur sekarang, untuk kembali ke tanah ini lagi nantinya! Dengar! Mulai sekarang, aku tidak akan membiarkan siapapun tewas! Kita akan saling melindungi satu sama lain dan pasti kembali ke rumah! Dan kemudian, kita akan membangun kembali kekuatan kita dan mengambil kembali Tanah Suci!"
Menanggapi teriakannya, para ksatria menyorakkan seruan perang.