HADAPILAH KENYATAAN!
(Author : Deddy Z)

Dalam pergaulan zaman sekarang dikatakan, tingkat ketertarikan seorang cewek kepada cowok bergantung pada besarnya motor yang dipunya. Semakin besar motormu, semakin banyak juga cewek yang akan tertarik padamu.
Karena adanya paradigma ini, para remaja yang mudah tertipu dan terbawa arus pergaulan, dengan bodohnya berlomba-lomba membesarkan motornya. Dari memodifikasi motor kecil,sampai membeli motor baru yang lebih besar.
Namun menurutku, itu nggak lebih dari stereotip.
Hanya karena ada satu cowok yang mudah mendapat cewek cantik berkat motor besar, nggak lantas membuat cowok lain turut sukses mengikuti.
Selalu ada faktor X yang membuat seseorang jadi terlihat mengagumkan di mata cewekDan faktor X itu tak semata-mata karena besar motornya saja.
Jika hati perempuan kita ukur dengan satuan nilai kartu remi, bersama motor Harley Davidson sekalipun, nilai yang kamu peroleh paling tinggi dari hatinya hanya sebatas angka 10. Nggak akan memasuki nilai J, Q, K, apalagi AS.
Lalu, bagaimana cara meraih nilai kartu AS?
Aku sendiri juga bertanya-tanya.
Yang kutahu, kalau hati cewek sudah tersentuh sampai nilai kartu AS, ia akan berusaha mati-matian mengejarmu meski sebenarnya dia punya banyak peluang untuk memilih cowok lain.
Seperti yang dilakukan Cynthia sekarang.
Saat ini kami sedang berada di sebuah gedung futsal sewaan. Di atas lapangan sana berlarian delapan orang laki-laki saling berebut bola. Lalu dua lagi berjaga-jaga di depan gawang.
Lapangan bercat hijau itu di kelilingi oleh dinding jaring besi setinggi dua meter yang juga berwarna hijau. Aku menonton mereka dari bangku yang ada di luar lapangan. Sementara Cynthia berdiri tepat di depan jaring.
“Ayo tendang bolanya…!!!”
“Rebut…!!! Rebut…!!!”
“Ya…!!! Sedikit lagi…!!!
“Semangat, Reza…!!! Kamu pasti bisa…!!!
Semua teriakan semangat itu dikeluarkan oleh Cynthia.
Yaampun, bikin malu aja. Ini kan cuma pertandingan biasa. Cuma permainan kecil yang dilakukan oleh teman-teman. Ngapain dia sampai seheboh itu?
Gooooolllllll…!!!”
Cynthia berteriak keras ketika seorang pemain berhasil memasukkan bola ke gawang.
“Kamu hebat, Reza…!!!”
Ternyata yang baru saja mencetak gol adalah mantan pacarnya Cynthia. Cowok yang menurutku memang wajahnya lumayan, bergaya rambut depan dijambul. Dan gayanya sok cool, sok cool gitu.
Dalam permainan, kuakui ia kelihatan lebih mendominasi ketimbang yang lain.
Apa aku harus belajar futsal kayak dia supaya ada seoang cewek cantik dan kaya ngejar-ngejar aku?
Tapi kalo cewek cantiknya kayak Cynthia aku ogah deh. Bisa stress aku kalo pacaran sama dia. Jadi pacar pura-pura aja aku udah mau stress.
Namun kalau mengingat cerita Cynthia tadi, posisi Reza waktu dapetin Cynthia cuma lagi beruntung aja. Itulah yang aku sebut faktor X.
Sialnya, dalam kehidupanku, terutama dalam hal percintaan, nggak pernah ada yang namanya keberuntungan.
Kalau dilihat-lihat, sepertinya Reza mengabaikan Cynthia. Padahal teman-temannya berkali-kali melihat ke arah cewek yang teriak-teriak mulu itu. Cuma satu cowok aja yang sama sekali nggak melirik sedikitpun.
Sebegitu bencinya kah dia sama Cynthia?
Akan tetapi Cynthia tetap dengan senang hati memberi semangat.
Aku jadi sedikit kasihan juga melihatnya.
Pertandingan berakhir dengan skor 7-4 dimenangkan oleh tim yang ada Reza di dalamnyaPermainan cowok itu memang bagus. 4 angka kemenangan dicetak oleh dirinya.
Waktu sewa mereka akhirnya habis. Lalu setelah mengelap keringat, para pemain itu bergegas pergi meninggalkan gedung.
Aku melihat Cynthia terus memandangi Reza dari kejauhan. Jelas sekali terlukis kebimbangan pada wajah manisnya.
Apakah ia akan berteriak memanggil Rezaaaaaa….!!!’ lalu berlari menghampiri dengan diiringi latar belakang musik romantis dan hujan bunga di sekelilingnya?
Ditambah gerakan slow motion, adegan itu pasti drama banget. Atau kalo di dalam drama india, dalam keadaan begini biasanya dia akan nyanyi selama dua puluh menit sambil joged-joged bersama warga.
Akan tetapi, sampai gerombolan pemain sudah nggak terlihat lagi, Cynthia masih tetap berdiri di tempatnya tanpa bergerak selangkah pun dari sana. Ia hanya mematung. Kini badannya nampak lunglai. Bahasa tubuh yang jelas sekali melukiskan kekecewaan.
“Ayo, kita juga pulang, Cecurut.
Cynthia lalu berjalan menuju pintu keluar yang berlawanan arah dari tempat keluarnya para pemain tadi.
Pulang? Maksud kamu ini sudah selesai? Kita jauh-jauh kesini cuma buat liat mereka main bola? Gitu doang?” Protesku.
“Mau gimana lagi? Aku nggak punya keberanian buat kesana. Aku takut Reza malah makin benci sama aku.”
“Ayolah. Di saat kayak gini harusnya kamu keluarin keegoisan kamu itu!”
“Berisik! Aku udah bilang kan? Aku mau berubah! Terutama di depan Reza.”
“Tapi kita udah sampai disini. Masa kamu malah berhenti di puncak acara?”
“Aku belum siap sekarang.”
“Trus kapan kamu siapnya?”
“Aku juga nggak tau. Mungkin sampai kapan pun aku nggak akan siap.”
Aku menghela napas. Cewek ini gimana sih? Setelah menyeretku sampai kesini, ia mau pergi gitu aja tanpa membawa hasil apa-apa.
Ini sama aja kayak pergi ke Bali naik pesawat, trus begitu sampai bandara Ngurah Rai, langsung pulang.
Nggak ada faedahnya.
“Kamu harus hadapi, Cynthia!” Aku mencoba bersikap tegas.
“Berisik kamu, Cecurut! Jangan sebut-sebut nama aku!”
“Kamu harus hadapi, Mak Lampir!”
“Tega banget ya kamu dalam kondisi begini masih aja ngejek aku. Kamu senang ya liat aku menderita!?”
Ah. Serba salah aku jadinya.
“Kamu nggak boleh lari Cyn--- ah. Pokoknya jangan lari. Kalo nggak kamu hadapi sekarang, kesempatan kedua mungkin nggak akan datang lagi.”
“Berisik! Ini bukan urusan kamu!”
“Tentu ini jadi urusanku juga dong! Aku udah ikut sampe sini.”
“Aku nggak peduli! Kamu pergi aja sana!”
“Dasar cewek egois! Mau sampe kapan kamu cuma mikirin diri sendiri?” Lama-lama aku jadi terbawa emosi.
“Lihat kan? Kamu sendiri juga protes sama sifat aku. Artinya aku emang harus berubah dulu kan!?”
“Aku nggak bilang kamu harus berubah! Aku cuma bilang kamu harus hadapi kenyataan yang ada di depan kamu sekarang!”
“…Aku nggak mau.”
“Yaudah kalo itu mau kamu, aku nggak bisa bantu.”
“Yaudah! Aku juga nggak butuh kok bantuan kamu. Pergi sana, Cecurut!”
Oke, Mak Lampir. Dengan senang hati aku akan pergi. Tapi ingat ya, jangan libatin aku dalam masalah kamu lagi. Mulai besok, kita nggak lagi saling kenal. Anggap ini semua nggak pernah terjadi. Oke?”
“Huh, emang sebaiknya begitu kan!”
“Oke. Selamat tinggal, Mak Lampir!”
Dengan cepat aku melangkah pergi menuju pintu keluar yang dituju oleh para pemain tadi.
Bodo amat. Aku udah nggak peduli lagi. Toh dia sendiri yang nggak mau dibantu. Kalo keadaannya begini, Bu Siska nggak akan nyalahin aku juga.
Cynthia mau nangis kek, marah kek, apa kek, terserah dia aja. Itu bukan urusanku.
Langkahku terus berlanjut sampai ke luar. Aku berhenti sejenak untuk menghirup udara sore yang segar.
Sebenarnya udaranya biasa aja, malah sedikit berdebu. Jadi terasa segar karena ada aroma kebebasan di dalamnya.
Dengan begini aku nggak perlu terlibat dengan cewek menyebalkan itu lagi. Aku bebas menjalani rutinitasku yang biasa. Sekolah, pulang, lalu bersantai di rumah.
Kakiku pun kembali melangkah. Tapi baru berjalan empat langkah, aku berhenti karena teringat sesuatu yang penting.
Jadi, kemana arah yang harus kutuju?
Ini bukan daerah yang aku kenal. Aku bisa sampai kesini juga karena dibawa mobil mewahnya Cynthia.
Masa aku mau pulang jalan kaki?
Kepalaku celingak-celinguk memperhatikan sekitar. Di depanku ada jalan beraspal, tapi bukan jalan raya. Lalu selain gedung futsal di belakangku, bangunan-bangunan lain adalah rumah-rumah warga. Dari kejauhan terlihat juga satu warung yang menjual aneka jajanan ringan.
Nggak ada satu pun petunjuk jalan.
Sebenarnya aku lagi dimana?
Gawat. Gimana cara aku pulang? Kalau begini ceritanya, bisa-bisa besok wajahku muncul di koran.
Nggak. Itu nggak boleh. Bagaimana nasib Tiara nanti kalau ditinggal oleh kakaknya?
Ah. Lebih baik aku balik lagi aja. Biarin deh aku memohon-mohon agar Cynthia mau mengantar pulang. Persetan dengan harga diri, keselamatan nyawaku lebih penting.
Baru saja aku mau memutar langkah, tiba-tiba ada ada penampakan orang yang nggak asing datang mendekat.
“Eh, elo, kan...”
Dia adalah cowok berjambul depan yang baru selesai main bola tadi, Reza. Mau apa dia balik lagi kesini?
“Lo pacar barunya Cynthia, ya?” Tanya Reza.
Mengingat sudah berakhirnya kontrak perjanjian antara aku dan Cynthia, kurasa sebaiknya aku berkata jujur saja.
Ah, bukan kok. Gua cuma orang nggak penting yang kebetulan lewat.
Masa sih? Kok lo bisa dateng berdua sama Cynthia kesini?”
“Ceritanya panjang.”
“Begitu? Kalau begitu tolong jaga dia ya. Lo harus kuat. Jangan kayak gue.”
Reza menepuk pundakku.
“Dah, ya. Gue mau ambil HP gue yang ketinggalan di dalem.”
Setelah berkata begitu, Reza berlari pergi menuju gedung futsal.
Harus kuat? Apa maksudnya? Dia menganggap aku ini pacarnya Cynthia yang malu-malu mengakui gitu ya? Dia pikir aku tsundere?
Oh ya. Aku jadi terpikir sesuatu.
Oyy, Reza…! Aku memanggil.
“Kenapa?” Reza berhenti lalu berbalik badan.
“Jalan ke Cibinong lewat mana, ya?”
“Dari jalan ini ke kanan terus aja. Nanti ketemu jalan raya. Trus naiangkot 08.
“Oh begitu. Makasih ya!
“Oke.”
Reza lalu melanjutkan langkahnya lagi.
Ah. Senangnya aku. Harga diriku bisa diselamatkan.
Sebentar, kalo naik angkot 08, untuk sampai ke rumah berarti aku turun di lampu merah pemda. Habis itu aku sambung satu angkot lagi karena rumahku masih jauh dari situAku butuh seenggaknya Rp7,000 buat dua kali naik angkot.
Segera aku memeriksa dompet yang ada di saku belakang celana jeans-ku. Di dalamnya ada selembar uang Rp2,000, satu lembar uang Rp1,000 dan satu koin Rp500.
Total ada Rp3,500.
Lalu aku merogoh-rogoh saku celana, berharap ada uang tersangkut. Tapi aku cuma mendapat satu sachet saos.
Haaahhhh.
Tubuhku melemas lagiAku nggak ada uang. Sepertinya nggak ada pilihan selain minta nebeng ke mobil Cynthia.
Oh, dewi kesialan, kenapa kau begitu mencintaiku.
Penuh rasa terpaksa, aku pun bergegas kembali masuk ke dalam gedung futsal.
Dalam hati aku berdoa semoga saja Cynthia masih ada di dalam. Kalau sudah pulang, sama juga bodong aku balik lagi.
Tiba di dalam gedung, dari kejauhan, menyeberang lapangan, melewati dinding jaring berwarna hijau, aku melihat seorang anak perempuan terduduk pasrah di lantai sendirian. Kedua tangannya hinggap menutupi wajah. Nampak seperti sedang menangis tersendu-sendu.
Melihat itu membuat langkahku lama-kelamaan mulai ragu.
Apa baik-baik aja kalo aku menghampiri Cynthia sekarang? Setelah apa yang aku terjadi tadi, suasana sekarang kelihatannya nggak bagus.
“Woy…!!!”
Ketika sedang resah mempertimbangkan apa yang sebaiknya kulakukan, aku mendengar teriakan seorang cowok.
“Cynthia lo apain!? Lo bikin dia nangis trus ninggalin dia gitu aja!? Hah!?”
Dengan wajah geram, Reza berkata nggak ramah sambil mendekat, lalu ia mengangkat kerah bajuku.
Ah… itu… gua nggak ngelakuin apa-apa. Tiba-tiba dia nangis sendiri.
“Jawab yang bener! Mana mungkin dia nangis tanpa alasan!”
Kenapa cowok ini? Kok dia sampai semarah itu sama aku?
Aku bisa ngerti soal kesalahpahamannya mengenai aku yang bikin Cynthia nangis. Tapi aku nggak ngerti alasan kepeduliannya. Padahal sepanjang pertandingan tadi, dia sepenuhnya mengabaikan kehadiran Cynthia meski cewek itu berteriak untuknya terus-menerus.
“Kenapa tiba-tiba lu jadi peduli sama Cynthia?” Tanyaku.
“Emangnya salah kalo gue peduli?”
“Lu kan yang udah mutusin dia. Lu sendiri yang ngebuang dia.”
“Gue punya alasan tau! Gue nggak bisa bilang itu ke dia!”
Ah, banyak alesan lu! Yang bikin dia nangis itu elu sendiri tau! Kataku.
“Hah? Kenapa lo jadi nyalahin gue?”
Kesal. Aku menyingkirkan tangan Reza dari kerah bajuku, lalu sambil memberi telunjuk aku berkata.
“Karena ini semua emang salah lu, bego!”
“Sialan, lo…!!!”
Reza melempar tinju tepat di pipi kiriku.
Sakit. Sakit banget, sial. Kok mukulnya beneran sih?
Karena nggak terima, aku pun membalas dengan pukulan sekuat tenagaku ke mukanya. Tapi nggak butuh berapa lama buat Reza membalas lagi dengan pukulan yang lebih keras.
Kini kami berdua saling beradu pukul.
“Gue ngelakuin ini juga demi dia tau!” Kesal Reza sambil melempar pukulan.
“Demi dia!? Lu cuma nyakitin dia, apanya yang demi dia!?
“Lo nggak tau apa-apa! Jangan berlagak lo tau segalanya!
“Ugghhh…” aku menerima pukulan keras, “Yang jelas lu udah nyakitin Cynthia! Fakta itu nggak berubah!”
Pukulan selanjutnya dari Reza membuat badanku terjatuh. Kemudian Reza menindih lalu menarik kerah bajuku lagi.
“Apa lo tau, alasan kenapa gue mutusin Cynthia!?”
“Hah? Mana gua tau! Itu bukan urusan gua!”
Reza memukul aku lagi.
“Dengerin gue! Semua itu karena bokapya! Gue juga sebenernya masih sayang sama dia, tapi gue diancem sama bokapnya, gue nggak boleh deket-deket dia lagiApa lo tau ancaman apa yang dikasih bokapnya ke gue!? Lo pasti nggak akan percaya!
Begitu. Jadi itu alasan kenapa Reza mutusin hubungan dengan Cynthia. Aku nggak tau ayahnya Cynthia itu kayak apa, tapi pasti dia orang yang menyeramkan.
Tapi aku adalah orang yang benci kekalahan. Aku udah kalah di pertarungan fisik, seenggaknya aku masih mau bertarung di pertarungan lidah.
“Heh, cuma begitu lu udah nyerah? Segitu doang rasa cinta lu sama Cynthia?” Aku mencoba memprovokasi.
“Apa lo bilang!?”
“Kalo itu gua, meskipun harus berakhir kayak tragedi Romeo & Juliet, menurut gua itu lebih baik daripada harus putus. Mending mana, hidup tanpa cinta atau mati bersama cinta?”
Aku merasa ucapanku ini terlalu sok. Padahal kalau membayangkan ayahnya Cynthia, aku sendiri juga pasti akan takut kalau diberi ancaman olehnya.
Tapi sepertinya kata-kataku barusan memberikan damage cukup besar pada Reza. Ia menggeram sambil menggigit bibirnya, kemudian tangan kanannya bersiap untuk memukulku lagi.
Stoooooopppp….!!!” Suara teriakan cewek menghentikan laju tangan Reza.
“Cy-Cynthia!?”
Reza kaget bukan kepalang. Cynthia berdiri tegap di dekat kami dengan wajah nampak sedang menahan air mata dan amarah.
Sejak kapan dia disitu? Apa perdebatanku dengan Reza terdengar olehnya?
Kalau diingat-ingat dari tadi kami berdua itu saling teriak-teriak. Meskipun Cynthia tetap diam di tempatnya, sepertinya kata-kata kami tetap dapat didengar.
“Jadi... itu alasan kamu mutusin aku, Reza?”
“Sa-sayang, aku bisa jela---.“
“Jangan panggil aku sayang…!!!” Cynthia membentak.
“Dasar pengecut! Pembohong! Kenapa kamu nggak bilang dari awal kalo semua itu karena Papa!? Bukannya kamu udah janji buat menyelesaikan masalah apapun bersama-sama!? Kenapa kamu cuma nyimpen itu semua sendiri aja!?”
“It-itu… soalnya… ak-aku…” Reza nampak kebingunan mencari kata.
“Aku benci kamu, RezaAku mau kamu pergi! Menghilang aja dari hidup aku!” Cynthia berteriak keras sampai terpejam lalu berlari pergi dengan tetesan air yang terbang dari matanya.
Sementara itu Reza tak bisa berkata apa-apa. Ia hanya terpaku melihat sosok Cynthia yang makin menjauh. Tangannya berusaha ingin meraih, tapi tubuhnya terdiam bagai patung.
Pelajaran yang kudapat disini adalah, meskipun kamu sudah mendapat kartu AS dari hati wanita, sebaiknya kamu jangan coba-coba membohonginya.
“Siaaaaaalllll…!!” Reza memukuli tanah. Dipenuhi amarah dan kekesalan lalu ia melangkah pergi tanpa menghiraukan diriku.
Sekarang hanya tinggal aku sendiri disini. Terbaring di lantai tanpa daya apa-apa. Sekujur tubuhku dikerubungi rasa sakit. Untuk bangun saja rasanya berat.
Ah. Kenapa jadi berakhir begini? Ujung-ujungnya aku nggak tau gimana cara aku pulang juga.
Pasrah. Aku hanya bisa memejamkan mata. Mungkin aku harus ikhlas namaku muncul di koran.
Jadi teringat, Fenny pernah bilang kalau kisah hidupku ini menarik untuk ditulis jadi buku.
Dia memang suka mengejek. Kisah hidup seperti ini apanya yang menarik?
Karakterku gagal memenuhi kriteria untuk jadi tokoh utama. Tokoh utama itu kan harusnya kuat, baik, dan hebat. Selalu bisa menghibur tokoh wanita yang bersedih, dan juga selalu menang dalam pertarungan apa saja.
Tapi aku malah sebaliknya. Cynthia menangis, aku malah meninggalkannya. Lalu aku kalah dalam pertarungan melawan Reza.
Jika aku jadi tokoh utama dalam cerita fiksi, pembacanya pasti muntah-muntah membaca bukunya.
“Oi, Cecurut.
Samar-samar terdengar suara Cynthia memanggil. Karena frustrasi, sepertinya aku mulai berhalusinasi.
“Oii! Apa kamu masih hidup?”
Kedengarannya itu terlalu jelas untuk sebuah ilusi. Aku pun membuka mata lalu menangkap pemandangan seorang cewek yang sedang berdiri di dekatku.
Dari bawah sini, dengan sendirinya mataku bergerak fokus ke satu tempat.
“Putih,“ secara nggak sadar aku menyebut warna dari benda yang kulihat.
Tiba-tiba sebuah sepatu dengan keras menghantam perutku.
“K-k-k-kamu ini, ya! Di saat kayak gini masih aja cari kesempatan liat-liat yang aneh, dasar cecurut cabul!”
Cynthia menutupi bagian tengah gaunnya dengan kedua tangan sambil memasang muka memerah.
“Ohok… ohok…. sakit tau! Aku nggak sengaja liat. Salah sendiri kamu berdiri disitu! Dasar Mak Lampir nggak sadar diri!”
Setelah semua yang kulakukan, membuang tenaga banyak, membuang waktu banyak, lalu dipukuli sampai terbaring nggak berdaya begini. Inikah hadiah yang aku dapat?
Sebuah injakan?
Meski sebenarnya ada kenikmatan tersendiri kalau diinjak oleh cewek cantik kayak dia. Tapi tetap saja ini bukan hadiah yang sepadan.
Seharusnya kan dibertanya ‘Kamu nggak apa-apa?’ lalu setelah itu membopong aku ke rumah sakit.
Dalam cerita fiksi, biasanya tokoh wanita selalu melakukan itu kan?
Ah. Sudahlah, apa yang kuharapkan? Kenyataan memang nggak pernah berjalan seindah cerita fiksi.
“Kamu mau sampe kapan tiduran disitu? Buruan bangun!
Sambil membungkukan badan, Cynthia menjulurkan tangan. Ingin kuraih tangan itu tapi tubuhku masih sulit untuk digerakkan.
“Ntar aja, ah. Aku masih mau nikmatin tiduran disini.”
“Kamu mau cari-cari kesempatan buat ngintip lagi, ya!?” Cynthia mencurigaiku.
“Yaudah, aku merem nih! Kamu mau telanjang disitu juga aku nggak akan liat!”
“Ahahaha... hahaha.
Dalam gelap aku mendengar suara tawa manis seorang gadis.
“Ngapain kamu ketawa, Mak Lampir? Apa ada yang lucu?”
Masih dalam kondisi terpejam aku bertanya pada CynthiaTapi cewek itu nggak menjawab.
Untuk beberapa lama nggak ada suara dari dia. Aku jadi khawatir apakah Cynthia masih berada disitu?
Mendadak sesuatu yang hangat menyentuh kepalaku. Terasa kepalaku ini diangkat sebentar lalu ditaruh kembali di tempat yang berbeda. Alas tidur yang tadinya datar dan keras kini berubah jadi empuk.
Apa ini? Apa diam-diam Cynthia membawa bantal?
Perlahan aku membuka mata. Kudapati wajah Cynthia yang menatap ramah.
Sambil mengelus dahiku, cewek itu mengucap sebuah kata yang kupikir mustahil untuk keluar dari mulutnya.
“Makasih, ya.”
Sontak reflek superku bangkit mengalahkan semua rasa sakit di tubuh. Reflek itu memaksa diriku untuk segera bangun sampai jidatku terbentur dagu Cynthia.
Karena benturan keras itu, aku nggak jadi bangun lalu beralih berguling sambil meringis memegangi dahi.
“Iikh! Sakit tau! Kamu ini kesurupan apa sih, Cecurut!?” Cynthia memarahiku sambil memegangi dagunya.
“Ju-justru kamu itu yang kesurupan apa, Mak Lampir!? Mau akting sok manis lagi, ya!?”
“Hah!? Yang tadi itu tulus tau! Emangnya nggak boleh apa aku bersikap manis!?” Protes Cynthia dengan wajah yang memerah.
Mak Lampir kayak kamu itu nggak cocok jadi manis tau!? Kamu ini kan cewek setan, sudah seharusnya kelakuannya juga mirip setan!
Siapa yang cewek setan!!!???” Cynthia memukul keras. Pukulannya bahkan lebih kuat dari pukulan dari Reza. Kekuatan macam apa ini?
“Udahlah, ayo pulang! Aku tunggu kamu di mobil!”
Setelah berkata begitu, Cynthia melangkah pergi.
Apa-apaan tadi itu? Apa maksud dia bilang makasih? Emangnya aku melakukan hal baik apa ke dia?
Ah. Wanita memang sulit dimengerti.
Aku mencoba bangun lalu berdiri dengan kedua kaki. Kali ini kuharap semuanya sudah benar-benar berakhir. Walaupun nggak sesuai rencana awal. Semoga aja Bu Siska mau nerima ending yang seperti ini.
Tiba-tiba aku teringat momen ketika aku dan Cynthia saling marahan tadi.
[flashback]
“Yaudah kalo itu mau kamu, aku nggak bisa bantu.”
“Yaudah! Aku juga nggak butuh kok bantuan kamu. Pergi sana, Cecurut!”
Oke, Mak Lampir. Dengan senang hati aku akan pergi. Tapi ingat ya, jangan libatin aku dalam masalah kamu lagi. Mulai besok, kita nggak lagi saling kenal. Anggap ini semua nggak pernah terjadi. Oke?”
“Huh, emang sebaiknya begitu kan!”
[flashback selesai]
Aku jadi bertanya-tanya apakah ucapan itu akan benar-benar terpenuhi besok?
Semoga saja seperti itu. Aku nggak ingin terlibat lebih jauh lagi denganya.
***