PERCAYALAH PADAKU, INI BUKAN KENCAN
(Author : Deddy Z)

“Jadi, Bu. Kenapa saya dipanggil lagi kesini?”
“Ada dua alasan, Alan. Pertama Ibu ingin meminta maaf sama kamu karena saya lupa kalau pintu ruangan ini saya kunci kemarin. Sebagai gantinya Ibu udah siapin ini. Kamu nggak marah kan?”
Bu Siska menaruh bungkusan hitam berisi nasi goreng di meja.
“Ah. Ya. Nggak apa-apa, Bu. Trus yang kedua?”
Belum sempat Bu Siska menjawab, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.
“Silakan masuk” Kata Bu Siska.
Orang yang datang itu adalah siswi bernama Cynthia. Dilihat berapa kali pun kecantkannya nggak pernah pudar.
“Duduklah, Cynthia.”
Bu Siska mempersilakan Cynthia duduk di kursi yang ada di sebelahku. Namun ia nggak langsung duduk. Ia berdiri diam sebentar, mata berwarna hijau zamrudnya nampak sedang melakukan penilaian terhadapku, lalu ketika aku menatap matanya, ia membuang muka.
Sebelum duduk, terlebih dulu Cynthia menggeser kursi yang berjarak sekitar 30cm dari kursiku ke arah yang lebih jauh. Aku pun ikut menjauhkan kursiku.
“Seperti yang udah Ibu bicarakan kemarin. Kamu mendapat kesempatan untuk menjadi pacar pura-puranya Cynthia, Alan. Ini alasan kedua saya manggil kamu kesini.”
“Begitu? Nggak mau ah, Bu. Saya nggak suka sama cewek ini.”
“Aku juga nggak suka sama kamu…” Cynthia nampak berpikir “…Cecurut!”
“Hah?”
“Aku nggak inget nama kamu siapa. Muka kamu ngingetin aku sama Mickey Mouse.”
“Apa itu berarti muka aku lucu?”
“Nggak. Aku benci tikus. Aku juga benci Mickey Mouse.”
Itu berarti dia benci sama aku gitu?
Bu Siska bukannya membelaku, ia malah sibuk menyembunyikan tawa dengan telapak tangannya.
Cewek ini benar-benar menyebalkan. Aku akui dari penampilan luar, dia memang nggak ada kurangnya. Seolah kecantikan itu adalah kutukan yang nggak bisa dilepas darinya.
Tapi dia nggak ada satu kebaikan pun dari dalam.
Aku nggak terima dong dipanggil Cecurut olehnya. Aku harus membalas.
Berpikir mengenai kutukan, kecantikan, dan kegagalan dalam percintaan, aku jadi teringat sebuah legenda dari gunung Merapi yang cocok untuknya.
“Dasar, Mak Lampir!”
“Hah? Apa maksud kamu manggil aku Mak Lampir!?”
“Kamu sendiri apa maksud kamu manggil aku Cecurut!”
Mataku dan Cynthia saling bertatap tajam. Seperti ada listrik tersengat di antara pandangan kami.
“Sudah, sudah. Kita kembali bahas pokok permasalahan kita ya,” Bu Siska melerai.
“Menurut saya nggak usah dibahas, Bu. Saya menolak buat pura-pura pacaran sama Mak Lampir ini.”
“Menurut saya juga nggak usah dibahas, Bu. Kita cari orang lain aja. Jangan si Cecurut ini.”
“Alan. Kamu ingat soal tugas impian kamu kan?”
Bu Siska memberi tatapan yang mengintimidasi.
“Ah. B-B-Bu Siska! Tolong jangan bahas itu disini!”
“Apa Ibu harus mengulang kata yang sama seperti kemarin?”
Aku teringat dengan ancaman kalau tugas itu akan dipajang di mading.
“Sebentar, Bu. Kemarin kan Bu Siska kan bilang boleh minta apa aja. Aku minta Bu Siska buang kertas tugas punyaku.”
“Saya bilang kan permintaannya cuma satu, Alan. Kamu udah minta nasi goreng ini kan?”
“Hah? Itu terhitung permintaan?!”
“Kan kamu sendiri yang bilang minta ini.”
Sejenak aku mengingat-ingat bagaimana proses aku meminta nasi goreng kemarin.
[flashback]
“Kita sudah sepakat ya. Kalau begitu apa permintaanmu?”
“Sebentar, Bu. Sebelum itu boleh saya minta makanan. Perut saya mulai lapar.”
“Boleh. Kamu mau apa?”
“Hmm.... nasi goreng.”
[flashback selesai]
Kalau dipkir-pikir benar juga. Disitu seperti aku sedag mengatakan permintaan.
Waduh. Gimana ini. Tanpa kusadari kartu AS-ku sudah dikeluarkan begitu saja. Aku jadi nggak bisa mengelak sekarang.
“Kenapa sih kok Bu Siska maksa banget. Kenapa harus saya, Bu?”
“Karena kamu menarik.” Bu Siska tersenyum manis.
Meski puas melihat senyumnya, akan tetapi jawaban darinya nggak memuaskan keingintahuanku.
“Cecurut ini apa menariknya, Bu?”
“Mau tau aja kamu, Mak Lampir!”
“Heh, Cecurut! aku nggak nanya kamu ya! Yang aku tanya itu Bu Siska!”
“Kamu akan tau nanti, Cynthia.”
“Jawaban itu nggak memuaskan keingintahuanku, Bu.”
Nampaknya Cynthia bernasib sama denganku.
“Oke deh, Bu. Saya mau. Tapi syaratnya Bu Siska jangan pernah bahas soal impian itu lagi ya!”
“Oke. Cynthia, kamu nggak masalah kan sama Alan?”
“Huh. Yasudah kalo Bu Siska maksa, mau gimana lagi.”
“Baik. Kalau begitu sekarang kita bahas rencananya.”

***
Wanita adalah makhluk yang misterius. Nggak ada teori yang dapat menjelaskan pemikiran mereka. Dan juga nggak ada satupun ahli matematika yang dapat memberi rumus yang bisa menerjemahkan keinginan mereka.
Sering kali wanita berkata A, tapi sebenarnya ingin B. Lalu ketika diberi A, dia marah, dan ketika diganti dengan B, dia juga marah. Tak terhitung banyaknya pria yang dibikin pusing oleh wanita.
Namun menurutku sebenarnya mereka nggak serumit itu. Jawabannya justru sederhana.
Nggak usah pedulikan apa yang mereka mau. Kamu hanya perlu menjadi diri sendiri.
Daripada bertanya-tanya minuman warna apa, rasa apa, merek apa, dan cara menuang seperti apa yang diinginkan wanita. Lebih baik siram saja apapun minuman yang ada tepat ke mukanya.
“Alan, kesini dong! Cepetan…! Ada diskon gede disitu...!”
Di dalam sebuah mall. Di tengah keramaian hiruk pikuk orang berbelanja. Seorang remaja perempuan terlihat riang berlarian. Tingkahnya mirip anak kecil yang baru pertama kali pergi ke taman hiburan.
Perempuan itu memakai kaos putih yang ditutupi gaun one piece berwarna biru muda. Rambut cokelat panjangnya yang rapi berayun lembut tiap kali badannya bergerak.
Dari jarak lima meter di depanku, muka bahagianya nampak jelas terlihat. Tapi entah kenapa sesekali mukanya tiba-tiba berubah jadi sedih. Meski cuma sedetik, perubahan ekspresinya sempat beberapa kali tertangkap oleh mataku.
“Pelan-pelan dong, Cynthia! Ini kamu belanja banyak amat sih!? Mau buat apa semua baju-baju ini?”
Karena kesulitan bawain barang-barang belanjaan Cynthia, aku nggak bisa ngikutin langkahnya yang buru-buru.
“Huh, kamu ini ngeluh mulu ya! Niat nggak sih kamu bantuin aku!?”
Cynthia berbalik badan sambil menaruh kedua tangan dipinggang. Wajah marahnya nampak dibuat-buat, suaranya juga kayak diimut-imutin begitu. Lalu aku melihat lagi muka sedih yang tampak sekilas.
“Ya... kalo ditanya niat atau nggak, aku bantuin kamu juga karena paksaan dari Bu Siska. Lagian bukan bantuan kayak gini yang kemarin kita omongin kan!?”
“Huh, kamu tau, Alan? Cewek itu paling nggak suka sama cowok yang banyak ngeluh. Kalo kepribadian kamu kayak gitu pantes aja kamu susah buat dapet pacar!”
“Berisik! Aku nggak punya pacar itu karena pilihan tau!” Meski sebenarnya karena kesialan, “Nggak ada hubungannya sama kepribadian aku!”
Cynthia lalu tersenyum manis. Senyum manis yang keliatan agak dipaksa. Lalu ia kembali mengajak aku berjalan.
“Udahlah, ayo cepet! Diskon-diskon disana udah nungguin kita!”
Dengan suasana hati nampak riang Cynthia berjalan sambil bersenandung menuju penjual baju yang memasang papan-papan dan stiker bertuliskan 50% sampai 75%.
Aneh. Itulah kata yang kudapat dari sikap Cynthia hari ini. Sikapnya 180 derajat berbalik dari sikapnya saat pertama aku bertemu dengannya.
Apa karena hari ini aku berperan sebagai pacar pura-puranya jadi dia sengaja berakting sok manis begitu?
“Alan. Baju ini bagus nggak?”
Cynthia bertanya sambil menyingkap kaos berwarna hijau lumut. Di tengah kaos itu ada corak aneh berwarna kuning.
“Hah? Kamu mau pake itu? Itu kan kaos cowok,” heranku bertanya.
“Ya nggak lah! Ini buat kamu.”
“B-buat aku??”
“Iya. Anggap aja ini sebagai rasa terimakasih aku karena kamu udah bersedia bantuin aku.”
Cynthia memberi senyum manis. Seperti bertabur gula satu kilo. Tapi senyum yang keliatan dipaksa begitu mana mungkin bisa menggoda keteguhan hatiku.
“Nggak usah repot-repot. Aku bantu kamu juga karena terpaksa kok. Nggak pantes aku nerima itu.”
“Nggak apa-apa kok. Lagian kaos ini lagi diskon gede.”
“Aku bilang nggak usah. Mending kamu kasih aja ke orang lain yang lebih membutuhkan.”
“Tinggal terima aja susah amat sih!”
Kesal. Cynthia lalu melemparnya sampai kaos itu nyangkut di mukaku. Dengan kondisi tangan penuh bawaan ini aku cuma bisa berdiri pasrah.
“Ups... m-maaf, Alan... aku kelepasan. Kamu nggak apa-apa? Nggak ada yang sakit kan?”
Seolah sangat khawatir, Cynthia lalu dengan lembut mengambil kaos yang nempel di mukaku.
Kini aku bisa ngeliat muka cemas-cemas cantik Cynthia. Tapi cemasnya nggak keliatan tulus.
“Itu cuma baju. Nggak usah berlebihan gitu ah. Omong-ngomong kamu nggak usah akting sok manis gitu ah. Biasa aja kali. Toh kita belum lagi ketemu sama mantan kamu itu.”
“Aku bersikap biasa kok. Apa ada yang aneh?”
“Aneh banget. Biasanya kan kamu egois, cuma mikirin diri sendiri. Masa iya kamu tiba-tiba jadi perhatian. Apalagi sama aku.”
Cynthia nampak menahan amarah. Bibirnya digigit sendiri. Kedua tangannya terkepal.
“Aku lagi mencoba berubah tau! Memangnya berubah itu salah!?” Nada bicara Cynthia jadi meninggi.
“Kenapa harus berubah? Emangnya aku pernah protes sama sikap kamu?”
“Ih pede banget. Bukan soal kamu, tapi Reza!”
“Ah. Begitu?”
“Kamu yang belum kenal lama sama aku aja bisa nilai aku sebagai orang yang egois. Gimana Reza yang sering jalan bareng aku. Mungkin sifatku ini yang bikin Reza pergi dariku.”
Wajah Cynthia jadi berubah sedih.
“Menurutku jadi egois itu nggak salah,” kataku mencoba menghibur.
“Maksud kamu?”
“Kamu egois karena mentingin diri sendiri aja kan? Sebagai manusia itu normal. Egois yang nggak baik itu kalo kamu maksa orang lain buat ngikutin kemauan kamu.”
“Tapi aku sering maksa orang lain juga.”
Kalau dipikir-pikir benar juga ya. Ini juga aku sedang dipaksa bawain barang belanjaan miliknya. Ternyata mencoba menghibur dia adalah sebuah kesalahan.
“Yah. Terserah kamu aja. Yang jelas kalo sama aku nggak usah akting sok manis. Aku lebih suka orang yang jadi diri sendiri apa adanya aja. Mau seburuk apapun sifatnya, aku lebih nyaman begitu daripada akting sok baik tapi di belakang brengsek.”
Seperti misalnya cewek yang minta putus dengan alasan ‘Aku mau fokus sekolah’ tapi sebenarnya dia sudah punya cowok lain. Itu namanya cewek bajingan.
“Beneran? Kamu jangan nyesel ya pernah kenal sama aku kalo sifatnya terus begini.”
“Apa sih? Udah buruan kita selesaiin belanjanya trus jalan ke tempat si Reza itu.”
“Jawab dulu pertanyaan aku!”
Ah ya. Dia ini memang tipe egois yang suka memaksa.
“Dari kemarin aku udah nyesel. Gara-gara kamu aku jadi terlibat banyak masalah tau.”
Cynthia tampak makin sedih.
“Tapi yang aku sesali itu situasi nggak menguntungkan yang ngikutin kamu, karena aku jadi ikut kesiram sialnya juga. Soal sifat kamu, aku emang nggak suka, tapi aku juga nggak benci. Jadi ya… biasa aja.”
Cynthia nampak seperti sedang melakukan penilaian terhadap jawabanku. Jadi nilai berapa yang akan kudapat?
“Huh, dasar Cecurut. Kamu malah bikin aku tambah bingung.”
“Bodo. Kamu kira aku Mbah Gugel yang bisa jawab pertanyaan apapun, Mak Lampir?”
“Tapi aku nggak benci jawaban jujur. Aku tetap ingin mengubah sikap jadi lebih baik. Tapi di depan kamu aku merasa nggak perlu ngelakuin apa-apa.”
“Oh begitu.”
Aku nggak tau nilai yang kudapat itu bagus atau enggak. Kayaknya sih enggak, tapi aku nggak terlalu mikirin. Satu-satunya yang kuinginkan sekarang adalah menyelesaikan semua urusanku dengannya.
Ini hari minggu. Hari libur begini biasanya aku tidur-tiduran aja di rumah, bermain game, atau membaca cerita fiksi. Tapi sekarang aku malah jalan-jalan bersama cewek yang nggak kusuka ke Cibinong City Mall.
Merepotkan saja.
“...Jadi, apa baju itu mau dibeli, Kak?”
Seorang SPG menegur Cynthia. Mungkin karena dari tadi dia memegang erat kaos itu, dia jadi khawatir barang dagangannya dirusak.
Cynthia kaget lalu jadi bersikap salah tingkah.
“Eh? Ah, i-iya Mbak. Ak-aku beli ini ya.”
“Terimakasih. Kalau begitu saya bungkus ya, Kak. Nanti bayarnya di kasir.”
SPG itu menerima kaos dari tangan Cynthia. Nggak ada yang aneh dengan caranya melayani. Penampilannya juga normal saja seperi SPG mall pada umumnya. Namun aku merasa ada yang janggal.
Mukanya. Ya. Mukanya nggak asing. Suaranya juga. Rambut hitam sepanjang leher, mata berwarna cokelat karamel, dan menggunakan syal hitam.
“F-Fenny...?!”
“Ya? Ada yang bisa dibantu?”
“K-kamu lagi kerja!?”
“Nggak mungkin aku sekolah disini kan? Coba sesekali otak kamu itu dibawa, Alan. Jangan ditinggal terus.”
Kenapa Fenny bisa ada disini? Dia ini masih kelas 1 SMK kan? Kenapa dia bisa kerja?
Tapi daripada itu, situasi ini bisa bikin Fenny salah paham.
“Dia teman kamu, Cecurut?” Cynthia bertanya padaku.
“Ah, iya. Dia teman sekelas aku.”
“S-sekelas!?”
Seketika Cynthia nampak terkejut. Bahkan lebih terkejut daripada aku. Kenapa malah dia yang terkejut?
Lalu penuh khawatir Cynthia menjelaskan pada Fenny.
“Kamu... in-ini nggak seperti keliatannya ya! Aku sama cowok ini sama sekali nggak ad---”
“Ya. Saya ngerti kok, Kak.”
Sambil memberi senyum Fenny memotong penjelasan Cynthia.
“Eh? Ba-bagus deh kalo gitu. Tapi kamu bener-bener ngerti kan?” Cynthia bertanya ragu.
“Ya. Tentu! Soalnya Kakak ini kelihatannya masih waras.”
“Hei, apa maksud kamu bilang begitu, Fenny!? Kamu pikir cuma cewek nggak waras aja yang mau jalan sama aku!?”
“Yaampun, Alan. Selama ini kamu nggak sadar?”
“Sialan.”
“Aku minta kamu jangan bilang siapa-siapa soal pertemuan kita disini ya. Aku nggak ingin ada gosip aneh yang beredar di sekolah,” Cynthia memohon.
“Tenang aja, Kak. Gosip tentang siswa aneh yang punya mimpi ingin jadi kucing nggak akan semudah itu hilang kok. Kakak nggak usah khawatir.”
Seketika aku jadi was-was mendendar Fenny membahas itu.
“Oh iya. Ada gosip begitu ya? Siapa sih siswa itu? Aku nggak nyangka ada orang seidiot itu di sekolah. Perasaan sekolah kita itu sekolah buat orang normal deh,” Cynthia bergumam penasaran.
“Hei! Siapa yang kamu sebut idiot!?”
Mendengar pembelaan yang aku ucapkan secara refleks, Cynthia tiba-tiba menatapku dengan tatapan terheran.
“J-jadi itu kamu, Cecurut?”
Sial. Seharusnya aku diem aja tadi.
“Berisik! Emang apa salahnya pengen jadi kucing? Kucing itu keren dan lucu tau!”
Seolah nggak percaya, Cynthia terbelalak beberapa saat. Kemudian tanpa sedikit pun menahan, ia tertawa lepas.
“Bhahahahahahaha.... hahahahhaa.... Kamu pasti sering dimangsa kucing ya sampe punya impian begitu ya? Hahahahahaa.... ternyata kamu ini benar-benar seekor cecurut! Hahahaha...”
Riang sekali Cynthia ngetawain aku. Disuruh berhenti pun percuma. Dia terus saja tertawa terbahak-bahak.
Ah. Sial. Kenapa Fenny harus membahas impian itu disini sih?
Sekitar tiga jam aku menemani Cynthia berkeliling mall. Cewek itu terlalu banyak berkeliling dan memilih-milih barang. Beberapa kali ia berputar-putar kesana-kemari, tapi pada akhirnya yang dibeli adalah barang yang pertama dilihat.
Ya ampun. Apa semua cewek selalu begitu ya?
Di halaman parkir, sebuah mobil pribadi berwarna hitam sudah menunggu kami. Nggak sulit mencarinya, selain karena tempat menaruhnya dekat dengan pintu keluar, mobil itu juga terlihat lebih mencolok ketimbang mobil lain. Tepatnya lebih mewah.
Karena merek mobilnya yang nggak biasa digunakan oleh orang Indonesia, aku tadi sempat bertanya kepada supirnya, Roni. Pria cepak berkemeja hitam, mobil merek apa ini.
Ia bilang ini mobil Audi A5 Sportback. Aku nggak terlalu ngerti mobil, tapi kedengarannya ini bukan mobil murah.
Ya. Nggak perlu ditanya lagi, Cynthia anak keluarga konglomerat.
Melihat kami berdua berjalan mendekati mobil, sopir sekaligus penjaga Cynthia datang menghampiri.
“Roni, barang belanjaanku tolong taruh di bagasi ya.”
“Baik, Non Cynthia.”
Roni pun membantu membukakan pintu bagasi mobil sedan yang tempatnya ada di belakang. Lalu kutaruh kantong belanja, plastik, dan semua yang membebani tanganku.
Setelah itu aku menyusul Cynthia yang sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil, diikuti dengan Roni yang duduk di bangku depan.
Dalam mimpi pun aku nggak pernah menyangka bisa naik kendaraan mewah begini.
Gimana ceritanya ya? Kok cewek secantik dan sekaya begini mau-maunya ngejar seorang cowok yang kudengar dari keluarga biasa. Kukira hal semacam itu cuma terjadi di dalam cerita fiksi aja.
Padahal, kalau Cynthia mau pasti banyak cowok mapan di luar sana yang berebut jadi kekasihnya.
Aku jadi penasaran sebenarnya apa kehebatan cowok yang namanya Reza itu.
“Hei, Mak la—Cynthia. Reza itu orangnya kayak gimana?”
Di depan penjaganya, aku nggak berani ngejek dia. Takut nanti aku diseret ke rumahnya trus dibawa ke ruang eksekusi.
“Yang jelas beda banget sama cowok cabul macam kamu, Cecurut.”
“Oh gitu ya? Nyesel aku nanya.”
Sambil menggerutu aku mengalihkan pandangan keluar jendela. Melihat palang pintu parkir yang terbuka dan tertutup secara otomatis tanpa ada yang memegangi.
“Tapi kalo kamu maksa, mungkin aku akan bersedia cerita ke kamu dari awal.”
“Ah, nggak usah. Aku udah nggak tertarik buat denger.”
“K-kamu ini ya! Ini cerita yang menarik tau!”
Kesal. Cynthia marah dengan suara bernada manja.
“Yah, kalo kamu maksa, mungkin aku akan bersedia buat dengerin cerita kamu dari awal.”
“Ah, nggak usah! Aku udah nggak tertarik buat cerita.”
Cynthia membalas perkataanku. Cewek ini emang nyebelin.
“Hahahaha... kalian berdua akrab banget ya. Jarang-jarang loh saya ngeliat Non Cynthia akrab sama temennya.”
Di bangku bagian depan, terdengar suara tawa gembira dari sopir pribadi Cynthia.
“Ih apaan sih, Roni! Jangan ngomong sesuatu yang nggak perlu ya! Nanti kelakuan buruk kamu aku laporin ke Papa nih!”
“Ahahaha... maaf, Non. Maaf.”
“Huh!”
Memasang muka cemberut, Cynthia menyilangkan tangan di bawah dada.
Sedikit terlintas di pikiranku, apa cewek ini nggak punya teman?
Kalau diliat dari sifat dan status keluarganya, kayaknya wajar sih kalo cewek ini susah buat akrab sama orang. Rasa penasaranku mendadak muncul lagi.
“Kamu nggak jadi mau cerita?”
“Heehee? Kamu segitu pengennya denger cerita aku ya?” Cynthia tersenyum sambil membuat pandangan picik.
“Yah, begitulah.”
Terpaksa aku mengiyakan.
“Okelah kalo begitu. Kalo kamu emang maksa ya mau gimana lagi ya. Aku akan ceritain pertemuan aku sama Reza. Kisah asmara yang indah nan romant—“
“Tinggal cerita aja ribet amat sih!?” Aku memotong pembukaan Cynthia yang bertele-tele.
Ekspresi wajah Cynthia jadi berubah kesal. Pipi yang digembungkan itu bikin mukanya jadi keliatan lucu.
Kemudian Cynthia menarik napas panjang. Sekarang ia bicara dengan nada lebih tenang
“Ini akan jadi cerita yang panjang.”
***