PROLOGUE
(Author : Deddy Z)

CINTA, adalah sebuah virus yang merusak OTAK manusia.
Virus yang dapat membuat seseorang membuang akal sehat dan menjadi GILA karenanya.
Orang yang terjangkit akan diperdaya oleh ilusi kesenangan, kebahagiaan, dan warna-warna baru dalam kehidupan. Sepintar apapun dia, akan jadi bodoh jika sedang dimabuk cinta.
Satu hal yang tak akan pernah disadari, ilusi menyenangkan itu tidak berlangsung selamanya.
Penyebaran virus ini amatlah cepat. Ia dapat menjalar melalui pandangan, sentuhan, dan ucapan. Sekali serangan saja, otakmu dapat langsung terperdaya. Salah satu gejala utamanya adalah kamu jadi rela memberikan bantuan, dari jasa, materi, sampai kehormatan demi memuaskan hasrat cinta yang kamu miliki.
Kamu bilang itu demi ‘Dia?’
KAMU SUDAH TERTIPU.
Yang sebenarnya terjadi adalah kamu sedang dibodohi oleh skenario yang disutradarai oleh cinta. Seringkali harga yang kamu bayarkan terlalu mahal untuk kesenangan yang hanya berlangsung sesaat.
Sebut saja memberi hadiah kepada pasangan.
Aku ingatkan, jangan pernah memberi hadiah yang mahal kepada pasangan. Karena semakin mahal harganya, semakin besar penyesalan yang akan kamu dapat ketika hubungan kalian berakhir. 
Yap. Satu hubungan suatu saat pasti akan berakhir.
Sudah hukum alamnya, dimana terjadi pertemuan maka tercipta juga perpisahan. Namun, orang-orang yang sudah terpedaya oleh cinta, matanya selalu tertutup akan hal itu.
Virus ini punya kemampuan untuk memanipulasi panca indra. Ketika jatuh cinta, kamu akan beranggapan segala sesuatu itu positif, meski sebenarnya negatif. Lalu ketika putus cinta, kamu akan beranggapan segala sesuatu itu negatif, meski sebenarnya positif.
Betapa mengerikannya kemampuan dari virus ini.
Hingga sekarang, banyak sekali korban berjatuhan akibat cinta. Virus ini dapat merusak pertemanan, persahabatan, sampai persatuan keluarga.
Tidak cukup sampai disitu, virus ini juga dapat menghipnotis orang untuk menyakiti, bahkan membunuh, baik dirinya sendiri maupun orang lain.
Bukankah itu GILA?
Meski seberbahaya itu, tidak ada satu ilmuwan pun yang melakukan penelitian demi mencari vaksin untuk cinta. Aku khawatir cinta sudah berjangkit sampai ke para ilmuwan.
Namaku Alan Naufal. Selama ini aku telah banyak mengalami rasa sakit akibat virus ini.
Namun selain korban, aku juga peneliti.
Setelah menyusuri perjalanan panjang nan menyakitkan, akhirnya aku menemukannya, sebuah obat pemberi harapan. Vaksin yang akan melindungi generasi penerus bangsa dari ancaman virus berbahaya. Vaksin itu adal---

“Tulisan apa itu, Alan? Konspirasi orang yang putus asa dengan  kehidupan cintanya?”
Seketika tanganku terhenti karena mendengar suara cewek yang tiba-tiba mengomentari karya tulis rahasiaku.
“F-F-Fe-Fenny?! Seenaknya aja kamu baca-baca tulisan orang. Ini privasi tau!”
Panik. Segera aku menutupi buku di meja dengan kedua lengan tangan.
Orang yang berkomentar itu adalah teman sekelasku, Fenny. Nama lengkapnya Fenny Anggraeni.
Siswi ini memiliki rambut hitam lurus sepanjang leher. Karena ia selalu duduk di depan mejaku, aku jadi nggak memikirkan keberadaan dia ketika menulis data rahasia ini.
Mata berwarna cokelat karamel milik Fenny menatapku dengan pandangan meremehkan seolah berkata ‘Kasian sekali ya, kamu.’
Aku akui wajahnya memang cantik. Tapi dari dulu, sejak di bangku SMP aku mengenalnya, aku nggak pernah sedikitpun menyukainya.
Itu karena sifatnya.
Kamu akan tahu nanti seperti apa sifat buruk cewek ini.
 “Ahahaha. Habisnya mukamu keliatan serius banget. Kirain teh kamu lagi nulis surat cinta. Eh, ternyata cuma---”
“Berisik! Aku nggak minta pendapat kamu!” Segera aku memotong ucapan Fenny. Aku tahu kata selanjutnya pasti nggak enak didengar.
“—surat berisi mantra kutukan.”
“Hei! Aku bilang, aku nggak minta pendapat kamu, Fenny! Denger nggak sih!” kesalku.
“Pendapatku gratis, kok. Nggak usah sungkan, Alan.”
“Bukan itu masalahnya! Huh, kamu ini ya… --ah sudahlah. Aku nggak mau bahas. Paling ujung-ujungnya kamu cuma mau ngetawain pemikiran aku, 'kan?”
“Jadi kamu udah sadar kalo pemikiran kamu emang bagus buat jadi bahan tertawaan ya?
“Sialan kamu. Emangnya kamu udah baca sampe mana?”
 Pertanyaanku nggak dijawab secara langsung. Fenny malah mengangkat satu telunjuk lalu digoyang-goyang.
“Satu baris?” tanyaku.
“Satu halaman udah aku baca semua.”
“HAH?!” Seperti tersambar petir saat aku mendengar jawaban itu.
“Yap. Kamu heran ya, kok aku masih hidup setelah baca tulisan terkutuk itu?”
Sebenarnya aku lebih heran kenapa Fenny bisa membaca tulisanku dari arah terbalik. Padahal dari arah normal saja aku sendiri kesulitan.
Sampai sini kurasa kamu telah mengerti kenapa aku nggak pernah menyukai Fenny. Yap. Sifatnya sangat menyebalkan. Nggak pernah ada kata manis yang diucapkan oleh lidahnya. Selalu kalo bukan ejekan, ya hinaan.
Wajah secantik itu menurutku nggak pantas buat orang seperti Fenny. Waktu pembagian kadar kecantikan, ia pasti mencurinya dari 10 orang cewek baik.
Sialnya, orang yang paling nggak ingin kutemui di sekolah malah justru duduk di posisi paling dekat denganku. Kurasa takdir menaruh dendam. Padahal aku nggak merasa pernah melakukan kejahatan padanya.
Fenny memiliki satu ciri khas dalam hal berpenampilan. Yaitu ia selalu memakai syal berwarna hitam. Nggak cuma di luar, di kelas juga ia masih memakainya.
Seingatku dulu di SMP Fenny bilang ia memakai syal itu untuk menutupi luka memalukan di lehernya. Tapi kemarin waktu ditanya wali kelas, Fenny bilang syal itu dipakai karena lehernya sensitif terhadap debu di udara, semacam alergi.
Jangan tanya aku karena aku nggak tahu mana yang benar.
“Mukamu keliatan nggak terima. Kamu nggak senang liat aku masih hidup?” tanya Fenny.
Aku memang nggak pernah senang liat kamu hidup, Fenny.’
Ingin sekali aku mengatakan itu. Tapi demi tetap berlangsungnya kedamaian dalam hari-hariku di sekolah, aku memilih kata lain.
“J-justru aku senang karena tulisanku nggak membunuh orang.”
“Begitu? Oh ya. Aku merasa kisah hidup kamu cocok deh, buat ditulis jadi buku.”
“Buku? Semacam biografi 'kah? Memangnya apa yang menarik dari kisah hidupku?”
“Kamu nggak sadar? Penderitaan adalah hal paling menarik buat dilihat oleh orang-orang, Alan.”
“Jangan menyamaratakan pendapat publik berdasarkan selera pribadi kamu , Fenny.”
“Menurut kamu judul apa yang cocok buat bukumu? Gimana kalo ‘Kisah Cinta Penuh Siksa Seorang Siswa SMK'?’”
“Hei, siapa yang bilang mau nulis buku!? Lagian kisah cintaku nggak nyiksa-nyiksa banget kok. Banyak bagian menyenangkannya juga.”
 “Jadi kamu masokis?” Fenny memberi pandangan jijik.
“Siapa yang masokis!? Kamu harus tau, Fenny. KISAH CINTAKU BUKAN ROMANTISME YANG TRAGIS!”
Terbawa kesal, aku sampai berteriak.
 “Ah. Itu judul yang bagus!”
“…?”
***