PAHLAWAN DAN KOTA PARA PENYIHIR
(Translater : Hikari)

Saat aku kembali ke Kota Sihir, matahari telah mulai terbenam. Sambil memegang tas yang berisi dengan koin emas dan perak, hadiah yang kudapat dari guild, aku menghela napas.
Aku benar-benar bekerja keras hari ini. Ternyata aku dapat menghasilkan sekeping koin emas dalam satu hari! Hadiah untuk 12 goblin itu benar-benar besar. Aku juga menjual peralatan yang kudapatkan dari mereka, jadi aku bisa mendapatkan 1 koin emas bahkan setelah membagi hadiahnya menjadi dua. Ayo makan malam mewah malam ini, aku tersenyum saat memikirkan itu. Yah, aku telah mendapat bagian yang setimpal dari pengalaman yang mempertaruhkan nyawa ini sebagai hasilnya juga.
Aku sama sekali tidak ingin melewati hal semacam itu lagi. Mendapatkan banyak hasil itu tidak buruk, tapi aku benar-benar ingin menghindari harus mempertaruhkan nyawa setiap saat.
"Apa yang akan kau lakukan sekarang?"
"Aku akan kembali ke hutanku sekarang."
"Aku mengerti. Kalau ada sesuatu yang terjadi, aku akan membutuhkan bantuanmu lagi."
"Tentu."
Hanya dengan itu, kami memutuskan untuk berpisah hari ini.
Kota di senja hari, para keluarga membeli bahan makanan untuk makan malam, orang-orang kembali dari pekerjaan mereka. Membaur dengan keramaian yang sama, si pria Elf tampan itu menghilang dari penglihatanku. Bahkan caranya pergi itu keren. Punggungnya terlihat sangat jantan menurut pendapatku.
Entah kenapa aku merasa sedikit iri karenanya. Sambil merasakan sedikit perasaan cemburu dalam diriku, aku menghela napas lagi.
"Nah sekarang, apa berikutnya."
Kembali ke penginapan untuk makan malam, minum dan tidur tidaklah terdengar buruk sama sekali. Hanya sedikit terlalu awal.
Dunia ini mempunyai terlalu sedikit hiburan. Kawan-kawan lamaku telah mencoba untuk membuat catur dan kartu poker menjadi terkenal tapi itu belum tersebar ke masyarakat luas.
Alasan utamanya adalah karena mereka kekurangan peralatan untuk memproduksi hal-hal semacam itu dalam jumlah besar secara mudah. Bagaimanapun mereka tidak dapat bergantung pada mesin-mesin seperti di Jepang jaman modern dan untuk membuat benda-benda itu dengan tenaga sendiri, mereka memerlukan banyak pekerja senggang.
Bagi sebuah negara yang telah hidup dalam ketakutan akan Dewa Iblis selama 1 tahun terakhir ini, itu bisa dikatakan mustahil. Anak-anak muda didaftarkan dalam pasukan atau bekerja untuk memperbaiki dan memulihkan kota yang hancur oleh iblis-iblis. Para sesepuh dan anak-anak terlibat dalam pekerjaan pertanian atau tugas rumah tangga.
Mereka jarang sekali berpikir untuk menikmati hiburan dan pikiran mereka pada dasarnya, lebih baik bekerja dan mendapatkan uang daripada bersenang-senang. Kurasa ini akan berlanjut untuk beberapa lama. Ancaman dari monster-monster juga belum lenyap sepenuhnya, jadi sudah jelas.
Karena itulah kenapa saat malam hari, minum-minum, bertukar info dengan orang-orang asing dan petualang, bertengkar satu sama lain, itu pada dasarnya adalah apa yang sebagian besar orang lakukan.
[Bukannya sekarang waktunya Akademi Sihir untuk hari ini juga?]
"Hm?"
Aku mengalihkan tatapanku pada matahari yang terbenam. Yah, kurasa sekarang waktunya untuk sekolah berakhir kurasa. Aku sekali lagi memikirkan apa yang harus kulakukan.
[Oh, ayolah. Tidak bisakah kau bergerak maju sampai seseorang mendorong punggungmu?]
"Tapi…"
Nah sekarang bagaimana aku sebaiknya menjawab pertanyaan Ermenhilde yang terdengar di dalam kepalaku?
Aku ingin bertemu mereka, kurasa. Tidak ada alasan bagiku untuk tidak melakukannya. Aku sudah tidak bertemu mreka selama setahun penuh. Perasaan untuk melihat anak-anak itu tumbuh besar sekarang terasa kuat. Di saat yang sama, apa yang harus kubicarakan saat aku akhirnya bertemu mereka? Aku berakhir dengan pikiran seperti itu.
Kecemasan. Kalau aku menempatkannya dalam kata-kata, hanya kata itu. Aku ingin bertemu mereka tapi aku tidak tahu apa yang harus kukatakan pada mereka.
Mempertimbangkan bahwa aku seharusnya adalah yang tertua di sini, ini bukanlah hal yang bisa ditertawakan. 'Lama tidak bertemu!'. Meskipun aku tahu yang kuperlukan hanyalah mengatakan sejauh itu.
"Haah."
[Bukannya kau ingin bertemu mereka?]
Mendengar itu, aku menaikkan kepalaku.
"Ya."
[Kalau begitu, lakukanlah. Kau tidak punya alasan apapun untuk tidak melakukannya, jadi bukannya itu mudah?]
"Aku mengerti."
Seperti biasa, Ermenhilde tidak berbasa-basi, atau seharusnya kubilang sederhana.
Aku berakhir dengan merasa iri pada partnerku. Meskipun aku tahu bahwa aku hanya bersikap ragu-ragu dan terlalu banyak berpikir. Ini bahkan tidak bisa dikatakan sebagai masalah yang sebenarnya.
Didorong oleh perkataan Ermenhilde, aku mulai berjalan saat membaur dengan keramaian.
Akademi Sihir Albana. Ini adalah akademi tertua di Kota Sihir Ofan. Hanya para bangsawan dan mereka yang memiliki bakat hebat yang dapat memasuki tempat ini, meskipun akhir-akhir ini hanya para bangsawan dan anak-anak yang mendapat dukungan serupa yang mendatangi tempat ini.
Pada dasarnya, daripada sebuah tempat untuk mempelajari dan mendapatkan ilmu pengetahuan, ini hanya menjadi sebuah tempat untuk mendapatkan gelar dari sebuah sekolah kenamaan.
Tidak semuanya seperti itu, tapi menurut penduduk kota ini, mayoritas dari para murid berada dalam kategori tersebut. Meskipun itu adalah info yang kudapatkan sambil minum saja, tapi tetap saja, perasaan sesungguhnya seorang pria muncul saat dia sedang minum.
[Berdasarkan rumor, tempat Souichi dan yang lainnya berada bukanlah tempat yang benar-benar hebat, eh.]
"Termasuk dalam garis keturunan atau silsilah bangsawan berarti lebih banyak kewajiban yang harus kau lakukan bagaimanapun juga."
Yah, aku bukannya punya pengalaman semacam itu. Berpikir sampai sejauh itu, aku merasakan sebuah tatapan dan aku berbalik.
Meskipun aku berada di tengah keramaian, tapi mata kami jelas-jelas bertemu. Seorang pria dengan jubah using. Apa alasannya? Diincar oleh seorang pria misterius? …Ada terlalu banyak alasan yang bisa kupikirkan.
Sebagai contoh, sesuatu yang berkaitan dengan agama. Meskipun dia adalah seorang Dewa Iblis, ada orang-orang yang masih memanggil 'Membantai Dewa' sebagai sebuah dosa besar. Yah, aku bukannya tidak bisa mengerti mereka.
Kekuatan kami terlalu besar. Ada orang-orang yang masih takut bahwa kami pun dapat membunuh Sang Dewi manusia atau Roh dari para Demihuman juga. Sebenarnya, itu tidak terlalu sulit untuk dipahami.
Sebuah kekuatan yang terlalu besar akan selalu dibenci. Hal-hal semacam ini yang muncul di manga dan film, sebenarnya sangat benar di dunia lain yang nyata ini.
Bagaimanapun, aku tidak ingin menciptakan lebih banyak musuh ataupun terlibat dalam lebih banyak pertumpahan darah. Apa yang akan kudapatkan dari itu semua? Daripada membenci kami, lebih baik menghabiskan energi dalam pemulihan dari efek yang ditingglkan Dewa Iblis.
Ada orang-orang lain yang sekedar membenci kami, para pahlawan dari dunia lain. Sekarang Dewa Iblis sudah tidak ada, kami tidak lagi dibutuhkan di sini, atau sesuatu semacam itu. Meskipun mereka benar-benar hanya minoritas secara ekstrim, mereka memang ada. Aku penasaran jangan-jangan Utano-san dan Kuuki yang sebenarnya berada di pusat Kerajaan, mengumpulkan terlalu banyak perhatian pada dìri mereka.
[Apa yang terjadi?]
"Tidak, bukan apa-apa."
Sementara aku berpikir demikian, pemilik tatapan itu menghilang di keramaian. Aku penasaran apa maksudnya semua itu? Yah, mempertimbangkan dia tidak datang untuk bicara, aku ragu dia punya niat baik padaku.
"Seseorang menatapku barusan."
[Apakah dia menyadari bahwa ini adalah Renji dan aku?]
Aku benar-benar merasa sudah cukup dengan ini. Aku hanya ingin hidup santai sebagai seorang petualang. Juga, aku ragu bahwa pria berjubah itu hanya orang biasa. Ini hanya intuisi liarku walau begitu.
"…Aku sama sekali tidak cocok dengan tempat yang terlalu banyak orangnya."
[Ini adalah yang pertama kalinya aku mendengar sesuatu seperti itu.]
Itu karena ini adalah pertama kalinya aku mengatakan hal tersebut. Kenyataannya, tempat-tempat dengan lebih banyak orang itu lebih baik daripada hanya sedikit. Pria yang dikenal sebagai Yamada Renji dapat dengan mudah berbaur dan bersembunyi di dalam keramaian bagaimanapun juga. Berpikir seperti itu, daripada menyembunyikan statusku, ini terasa seperti seorang pria dengan chuunibyou atau seorang hikkikomori akan pikirkan.

Di hadapanku terdapat sebuah gerbang raksasa… Ini benar-benar besar.
Gerbang batu tersebut memancarkan rasa tertekan dan memberikan sebuah kesan yang memblokir apapun datang ke arahnya. Itu adalah sebuah gerbang yang cukup besar untuk dilewati 3 kereta kuda secara bersisian, dan begitu tinggi sampai aku harus mendongakkan kepalaku untuk melihat puncaknya.
Di kedua sisi gerbang ini terdapat penjaga-penjaga berbaju tempur dengan tombak-tombak, 2 di kedua sisi, jadi total ada 4 orang. Di belakang mereka ada sebuah pintu besi kecil yang mungkin untuk para penjaga dan murid lewati. Pasti sangat merepotkan setiap kali membuka gerbang raksasa itu.
Apakah pria-pria ini mendapatkan gaji hanya dengan berdiri di sana sepanjang hari? …Aku jadi berpikir seperti itu.
"Bahkan bagaimana mereka membangun benda ini?"
[Yah, bukannya ini dibuat oleh manusia yang membawa bebatuan, membentuknya dan kemudian menggabungkannya bersama-sama secara normal?]
Yah, itu mungkin saja tapi ini terlihat sangat luar biasa. Kastil kerajaan Imnesia juga luar biasa tapi gerbang Akademi Sihir ini juga mengagumkan. Kau bisa menyebutnya sebagai 'potensi manusia', tapi ini benar-benar luar biasa bagaimana manusia ternyata membawa begitu banyak batu ke sini. Meskipun memang bukan hanya satu orang yang melakukannya, tapi tetap saja.
Bebatuan itu telah dibentuk dengan seragam dalam bentuk batangan dan ratusan serta ribuan batangan tersebut telah disatukan untuk membuat gerbang ini.
Gerbang raksasa ini terbuat dari perak. Ini berguna untuk menghalau iblis dan sering digunakan di istana kerajaan dan bangunan-bangunan tua lainnya. Malahan, Hantu dan mayat hidup bahkan tidak bisa menyentuh pintu itu sama sekali. Di depan gerbang sebesar ini, kurasa hantu tingkat rendah pun bahkan tidak dapat mendekatinya. Meskipun tetap saja mungkin untuk menghancurkan dan memasuki bagian batunya.
"Apa ada masalah?"
"Ah, tidak. Aku hanya memikirkan betapa hebatnya gerbang ini."
"Apa? Apakah ini pertama kalinya kau berada di Ofan? Gerbang depan Akademi Sihir Albana benar-benar terkenal tapi ini bahkan pertama kalinya kau melihatnya?"
[Oi, sekarang kita diperlakukan seakan-akan kita ini adalah orang kampung.]
Karena aku melihat gerbang raksasa itu dengan penasaran, aku disalahpahami seperti itu. Menjawab penjaga tersebut, aku setuju dengan perkataan Ermenhilde di dalam kepalaku. Yah, tidak salah sepenuhnya untuk mengatakan bahwa aku berasal dari suatu tempat yang terpencil. Aku memang menghabiskan satu tahun terakhirku ini tepat di desa-desa yang terpencil.
Juga, akan sangat membantuku juga kalau aku disalahpahami seperti ini. Akan sangat merepotkan kalau mereka mencurigaiku begitu saja.
"Aku telah menjalani hidup yang tidak berkaitan dengan tempat seperti sekolah, kau tahu."
"Aku mengerti. Yah, hanya orang-orang kaya yang mampu untuk pergi ke tempat semacam itu bagaimanapun juga."
"Ya. Sayangnya, aku telah menjalani kehidupanku sebagai seorang petualang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hariku."
"Ah, kurasa itu masuk akal."
Dari pakaianku, dia sepertinya menilaiku sebagai seorang petualang—yang lemah.
Aku tidak tahu apakah aku harus merasa senang atau sedih soal itu. Untuk sementara ini, partnerku menghela napas dalam-dalam di sakuku.
[…Benar-benar menyedihkan.]
"Kalau kau sedang mencari pekerjaan, maka kau seharusnya pergi ke guild."
"Ya, tapi, aku ada sesuatu yang harus kulakukan di akademi."
"—fuun."
Tatapannya terarah kepadaku seakan melihat seseorang yang mencurigakan.
Yah, aku memang terlihat seperti itu. Perlengkapanku hanya sehelai tunik dan celana panjang. Dan sehelai mantel di atasnya. Aku sama sekali tidak terlihat seperti seseorang yang harus melakukan sesuatu di tempat di mana para bangsawan berada.
Daripada perlengkapan, apa yang kukenakan saat ini lebih mirip dengan pakaian kasual. Daripada seorang petualang, lebih mudah untuk percaya bahwa aku adalah seorang rakyat biasa.
Satu-satunya benda yang terlihat sebagai sebuah bukti aku adalah seorang petualang adalah sebilah pisau besi yang bergantung di pinggangku. Jika seandainya itu adalah sebilah pedang panjang, kesannya akan lebih jauh lebih baik.
Mantelku ternoda dengan darah goblin jadi aku mungkin sedikit terlihat lebih mirip petualang daripada yang kuharapkan.
"Apakah ini sebuah permintaan?"
"Bukan. Seorang kenalanku masuk sekolah ini jadi kupikir aku sebaiknya menunjukkan wajahku karena aku datang ke Ofan dalam perjalananku ini."
"Seorang kenalan?"
"Ya."
[Bukannya akan lebih baik kalau kau gunakan saja nama 'Renji'?]
Kalau seperti itu, aku pasti akan diperlakukan sebagai seorang penipu atau gadungan. Itu sudah jelas akan membuat mereka menjadi lebih curiga dan membuatku diinterogasi. Hasilnya mungkin akan sama kalau aku menggunakan nama Souichi atau yang lainnya. Aku benar-benar bisa membayangkannya.
Seorang petualang tanpa nama mencoba untuk mendekati para pahlawan. Mungkin malah hanya seorang rakyat biasa. Penjaga yang taat ini mungkin akan melihatnya seperti itu.
"Jadi, apa tidak masalah kalau aku menunggu di depan gerbang untuk sementara waktu?"
"…Apa? Jadi kau tidak ingin pergi ke dalam?"
"Ini adalah sekolah untuk para bangsawan, bukan? Nantinya hanya akan jadi masalah untukku."
Saat aku mengangkat bahu, aku merasa para penjaga itu sedikit santai.
"Jadi kau mengerti sejauh itu, ya."
"Aku memiliki pengalaman bertahun-tahun dengan umurku ini bagaimanapun juga."
"Kalau begitu, aku tidak memiliki hal khusus apapun untuk dikatakan padamu. Hanya jangan membuat kekacauan saja."
Berkata demikian, penjaga tersebut kembali ke posisinya. 'Maaf sudah merepotkan'. Aku mengantarnya pergi dengan seulas senyuman.
Kelihatannya orang yang sangat berterus terang bagiku.
[…Aku tidak bisa mengerti.]
"Terbiasalah dengan hal itu. Sayangnya, aku tidak memiliki gelar khusus seperti seorang Pahlawan."
Ada sangat sedikit orang di sekitar akademi.
Ada beberapa yang melihat ke gerbang sepertiku, dan hanya itu saja. Yang tersisa adalah para penjaga yang sedang bertugas. Gerbang batu itu diwarnai cahaya matahari terbenam yang mengesankan perasaan kesepian.
Melihat dari dekat, tidak ada rumput liar yang tumbuh di dinding. Kurasa ini dipelihara dengan baik,
[Tidak peduli berapa kali aku mendengarnya, aku tidak bisa terbiasa dengan cara bicara formal Renji.]
"Kau tidak sopan seperti biasanya."
Bahkan di saat seperti ini, aku memang berniat untuk mempertahankan sejumlah kecil fomalitas yang dibutuhkan.
Malahan, di antara yang berpetualang denganku, bukankah aku yang paling waspada dengan hal seperti itu?
Bahkan para orang muda, meskipun mereka waspada pada awalnya, tapi setelah terbiasa dengan kami, kehilangan semua jenis formalitas dalam cara bicara mereka. Hanya orang-orang yang sekelompok usia denganku dan Utano-san yang tetap mempertahankan kesopanan ini dengan cara bicara kami.
Yang sama sekali tidak mempedulikan ini adalah grup para anak-anak sekolahan. Merasa senang dan bersemangat karena melalui sesuatu seperti dipanggil ke dunia lain, mereka amat sangat senang.
Awalnya, mereka bahkan berpikir kalau mereka adalah manusia spesial atau semacamnya. Meskipun itu semua menghilang setelah perjalanan yang sebenarnya dimulai.
Perjalanannya terasa melelahkan. Berjalan, menaiki kuda, berayun-ayun di dalam kereta, dll. Tidak ada hal yang sehebat mobil di sini. Kaki terasa sakit setelah berjalan, kuda yang berguncang-guncang, dan kereta yang keras untuk diduduki.
Mereka dengan segera mengeluh. Dan saat mereka akhirnya mulai terbiasa dengan hal itu, kami harus mendaki gunung, memasuki hutan. Kenikmatan dipanggil ke dunia lain menghilang dengan sangat cepat, dan hidup terasa menjadi sebuah keputusasaan, bertengkar setelah merasa frustrasi, dan kemudian tertawa setelah berbaikan.
[Aku penasaran apakah Souichi dan yang lainnya sehat.]
"Mungkin saja. Meskipun Souichi dan Aya mungkin masih sering bertengkar."
[Itu benar.]
Aku jadi tertawa membayangkan pemandangan dari setahun yang lalu.
Teman masa kecil yang akrab…malahan bisa dibilang mereka sedikit terlalu akrab. Selalu bertengkar dan kemudian dengan cepat berbaikan lagi. Gegabah saat bertarung melawan monster, kebiasaan makan mereka, setiap topik kecil dan penting, mereka berdebat satu sama lain.
Tapi, kurasa mereka masih seperti itu. Aku bisa dengan mudah membayangkan mereka seperti itu.
"Hm?"
Saat aku mengenang masa lalu, sebuah suara berat bel terdengar di dunia senja ini. Kesadaranku kembali ke realita.
Itu terdengar seperti suara bel tanda berakhirnya kelas, tapi apa itu sebenarnya?
Untuk beberapa saat, aku fokus ke arah akademi.
Pada saat itu, si penjaga yang tadi berbicara denganku, datang ke arahku lagi.
"Kelas baru saja selesai. Asrama ke arah situ, tapi apakah kau akan menunggu di dekat gerbang ini?"
Dengan jarinya, dia menunjuk ke arah asrama. Atau malahan, di sanalah seharusnya asrama berada. Itu diperuntukkan bagi para bangsawan, jadi bangunan tersebut sangat berbeda dengan di mana orang biasa tinggal. Mereka benar-benar tinggal di tempat yang luar biasa. Saat aku berkata begitu, si penjaga tersebut tertawa.
"Aku akan menunggu di sini. Kelihatannya bahkan asrama pun akan terasa tidak nyaman untukku."
"Pilihan bijak."
[Aku bosan.]
Untuk sebuah medali, kau benar-benar tidak sabaran.
Saat aku tersenyum simpul pada perkataan tak terduga itu, si penjaga tertawa lagi.
"Jika para bangsawan hidup lebih sederhana sedikit, kehidupan rakyat biasa juga akan lebih baik."
Sepertinya dia salah paham mengenai balasan jawabanku pada Ermenhilde dan melanjutkan percakapan ini.
Yah, memang bosan menunggu seperti ini. Dan aku harus hati-hati dengan sekelilingku saat berbicara dengan Ermenhilde. Itu melelahkan di satu sisi.
"Itu benar. Uang berkumpul dengan mereka yang sudah memilikinya dan menjauh dari mereka yang tidak memilikinya bagaimanapun juga."
"Ini dunia yang keras. Bahkan aku juga kadang ingin makan makanan mewah."
Mengangkat bahuku, aku setuju dengannya.
Yah, ini tidak benar-benar diperlukan. Hidup sederhana adalah hal yang bagus dalam artian tersendiri. Bahkan tanpa kemewahan, manusia tetap hidup. Malahan jikaterlalu terbiasa dengan kemewahan, dan menjadi tidak dapat hidup dengan sederhana adalah hal yang menyedihkan menurut pendapatku.
Meskipun ada banyak orang di sini, bagaimana dengan bersosialisasi yang sebenarnya?
Bagiku, aku lebih suka suasana santai dan hangat dari pedesaan. Tapi kurasa orang-orang akan lebih suka kemewahan daripada itu.
Sementara aku mengobrol dengan penjaga itu untuk bebeapa lama, gerbang perak itu terbuka, dan para murid mulai pergi. Sepertinya ada orang-orang di sisi lain pintu dan juga yang membukakannya.
Ada beberapa pria yang otot-ototnya dapat terlihat dari luar pakaian mereka—Jadi itu ditenagai manusia, ya? Ada 6 orang semuanya dan mereka semua gundul. Aku penasaran apakan arti di balik hal tersebut. Aku meragukannya walau begitu.
"Kalau begitu, semoga berhasil dengan pekerjaanmu."
"Ou. Akan jadi hal yang bagus kalau kau juga dapat bertemu dengan orang yang ingin kau temui."
"Terima kasih banyak."
Sekali lagi melihat kepergian si penjaga itu, aku mengeluarkan Ermenhilde dari sakuku.
"Baiklah kalau begitu, apakah aku benar-benar akan bertemu mereka?"
[Sudah setahun bagaimanapun juga. Aku merasa sangat bersemangat ingin melhat seberapa banyak pertumbuhan mereka.]
"Itu benar."
Aku menjentikkan medali tersebut dengan suara *ping*. Kepala.
Fuu~, menghela napas, aku mengembalikan Ermenhilde ke dalam sakuku.
"Aku merasa cemas."
[Manisnya.]
Hentikan itu. Aku tidak berada di usia di mana aku akan merasa senang kalau kau mengatakan itu. Sejak awal, kata 'manis' bukanlah kata pujian untuk laki-laki.
Para murid juga menyadari keberadaanku dan melirikku. Yah, aku memang menyadari bahwa pakaianku sama sekali tidak cocok untuk tempat ini.
Mungkin aku seharusnya sedikit lebih memperhatikan penampilanku? Yah, mungkin itu tidak akan berubah banyak. Selera berpakaianku termasuk rata-rata. Setidaknya, aku bisa berbicara dengan baik dengan Souichi dan yang lainnya dengan pakaian ini.
"Hah?"
Saat aku sedang menilai pakaianku, aku mendengar suara yang cukup kukenal. Saat berbalik menghadapnya, ada seorang gadis berdiri di sana.
Jubah kelas tinggi warna biru dengan sulaman emas. Pita merah dan blus putih. Rok biru yang mencapai paha. Topi beret di kepala. Itu adalah seragam akademi ini.
Dan di atas semuanya itu, rambut dan mata yang hitam. Rambut yang panjangnya mencapai pinggang. Rambut lurus berkilauan yang dipelihara dengan baik. Mata besar yang sedikit sayu.
Aku berakhir dengan menatapi wajah yang kukenal itu untuk beberapa saat.
"Yayoi-chan?"
"Renji-oniisan?"
Kami berdua memanggil nama satu sama lain. Untuk sesaat, kupikir dia adalah Aya, tapi aku salah. Hanya dalam setahun, Aya tidak akan dapat memberikan kesan keberadaan yang tenang dan lembut, aku pasti tidak akan dapat mengenalinya kalau itu benar-benar sampai terjadi.
"Kau sudah besr."
"Renji-oniisan…menumbuhkan janggut."
Dengan perkataan itu, dia mulai terkekeh padaku.
[Karena itu sudah kubilang, Bercukur! Itu tidak cocok buatmu, janggutmu itu. Kelihatan tidak bersih…]
Pernyataan yang sangat keras. Dia sepertinya semakin tidak pemaaf karena menemukan seseorang yang memiliki pendapat yang sama, kurasa. Tidak ada hal semacam itu, aku mengelus daguku. Aku tidak merasa sensasi sedikit berduri ini adalah hal yang buruk
"Eru-san juga, lama tidak bertemu."
[Ah, lama tidak bertemu, Yayoi. Kau jadi semakin cantik.]
"Terima kasih banyak."
Aku mengerti, jadi itu yang seharusnya kukatakan. —tidak, aku tidak akan mengatakan itu sebenarnya. Tidak mungkin aku bisa mengatakan itu pada seseorang yang kuanggap seperti anak perempuanku.
"Juga, aku sependapat dengan Eru-san."
"Hm?"
"Janggut itu, tidak cocok untukmu."
Aku berakhir dengan mengalihkan mataku karena itu. Aku mengerti, jadi ini tidak cocok untukku. Dikatakan seperti itu oleh seorang gadis dengan seulas senyuman ternyata memang memiliki efek. Itu terasa seperti sebilah pisau baru saja menembus dadaku.
[Katakan lagi. Renji sama sekali tidak mendengarkan apa yang kukatakan.]
"Benarkah? Kurasa tidak begitu."
"Itu karena Ermenhilde mulai terlalu banyak mengomel selama setahun ini."
[Aku harus mengatakan sesuatu kalau Renji mulai malas.]
Saat kami melanjutkan candaan kami, Yayoi terkekeh kembali. Saat dia tertawa sambil menyembunyikan mulut dengan tangannya, dia terlihat semakin cantik daripada usianya.
"Renji-oniisan dan Eru-san tidak banyak berubah."
[Begitukah? Gaya hidup Renji jadi sangat membosankan dan malas menurut pendapatku.]
"Oi, hentikan. Tidak sampai separah itu."
"Fufu."
Saat aku bertengkar dengan Ermenhilde, Yayoi menertawakan kami.
Hmm.
"Benar, kalia berdua tidak berubah."
"Yayoi-chan semakin besar padahal."
"…Mengatakan kepada seorang gadis bahwa dia semakin besar mungkin bukan benar-benar sebuah pujian."
Benarkah?
Tingginya bertambah dan atmosfirnya menjadi lebih tenang. Itu terasa seperti setahun yang lalu tapi sekarang menjadi terasa lebih dewasa. Kurasa memang benar apa yang orang katakan bahwa anak-anak tumbuh dengan cepat. Sekalipun tingginya nyaris mencapai dadaku saat itu, sekarang dia setinggi bahuku.
Tubuhnya yang lebih tinggi daripada gadis seumurannya, membuatnya terasa semakin dewasa.
Rambut panjang dan jubahnya berayun lembut bersama angin. Yayoi-chan yang sedang berdiri di bawah matahari terbenam terlihat sangat berharga dan dadaku terasa hangat di dalamnya.
Kekhawatiranku mengenai apa yang harus kukatakan pada mereka, telah menghilang sepenuhnya. Dari dalam hatiku, aku merasa senang bahwa aku telah memutuskan untuk bertemu dengan mereka lagi.
[Kita sepertinya menarik perhatian. Bagaimana kalau pindah ke tempat di mana kita bisa bicara dengan nyaman?]
Menuruti perkataan Ermenhilde, Yayoi-chan menoleh ke sekeliling. Aku juga, karena itu, akhirnya merasa perlu untuk memperhatikan sekelilingku. Dia pasti terkenal di akademi. Sekarang setelah kelas selesai, begitu banyak murid berkumpul di tempat ini.
"Ini menyusahkan…"
"Itu benar."
"Ada sebuah taman dengan sedkit berjalan ke sana. Bagaimana kalau kita ke situ?"
Berkata demikian, dia menyambar tanganku. Aku berjengit sedikit karena sensasi dari tangan kecil dan lembut itu.
"Yayoi-chan?"
Bukannya ini akan membuat kita lebih mencolok? Itulah yang ingin kukatakan tapi orangnya sendiri terus tersenyum lebar dan menuntunku
"Bukankah ini lebih baik? Sudah setahun, biarkah aku memanjakan diriku sendiri setidaknya untuk saat ini."
"Hal semacam itu, tolong lakukanlah dengan pacarmu."
"Fufu."
Jawaban atas perkataanku adalah sebuah suara senang dan senyuman lebar.
…Sekarang aku merasa seperti seseorang yang bodoh karena mencemaskan apa yang harus kulakukan. Tidak, aku mungkin memang orang yang bodoh.
[Karena itulah kubilang, pergi dan temui saja mereka.]
"Ini seperti yang kau katakan."
Hanya karena perasaan inferior kompleksku yang tidak berguna, aku menyembunyikan diri selama setahun penuh. Kupikir itu adalah yang terbaik, aku masih berpikir begitu. Sebuah keberadaan seperti diriku ini hanya akan menjadi beban bagi para Pembantai Dewa lainnya.
Sebuah keberadaan yang hanya dapat membunuh para dewa. Sebuah keberadaan yang tidak dapat bertarung tanpa merepotkan orang lain terlebih dulu. Yang terlemah di antara kami semua.
Meski demikian, jika sebuah reuni adalah hal yang menyenangkan, adalah hal yang bagus aku bertemu dengan mereka. Aku berpikir begitu sambil melihat Yayoi-chan yang dengan perasaan senang menuntunku.
.
.
.
"Umm jadi, lama tidak bertemu. Apa kalian baik-baik saja?"
"Ya. Aku, nii-chan, dan Aya-chan, kami semua baik-baik saja."
"Aku mengerti. Itu bagus."
Karena aku tidak tahu harus membicarakan apa, hanya hal-hal aneh yang muncul dari mulutku saat aku akhirnya berbicara. Duduk di bangku taman, kami membicarakan banyak hal.
Tentang sekolah, teman-teman, Souichi, Aya, Yayoi, dan sedikit tentang diriku sendiri. Ternyata memang memalukan. Mengatakan bahwa aku bermalas-malasan di sekita desa-desa terpencil. Itu bukanlah sesuatu yang pantas untuk diobrolkan.
Anak-anak berkeliaran di sekitar taman dan setelah beberapa lama, orang tua mereka datang untuk menjemput. Di dunia ini, Yayoi-chan dan yang lainnya tidak memiliki orang tua. Utano-san atau Kuuki-san telah bertindak sebagai penjaga mereka. Dan, aku juga bertindak sebagai seorang konselor atau semacam itu.
Mengingat hal tersebut, aku mulai merasakan perasaan nostalgis lagi. Meskipun ada semacam rasa kesepian memikirkan bahwa sekarang kami tidak perlu lagi bertindak sebagai penjaga mereka.
Saat aku menoleh ke Yayoi-chan, wajahnya tidak memperlihatkan kesepian masa lalu itu dan tertawa dengan senangnya. Wajahnya benar-benar cantik. Itu memperlihatkan bahwa selama setahun ini, kehidupan sekolahnya benar-benar menyenangkan untuknya.
"Setelah dipanggil ke dunia ini…"
"Un."
"Aku merasa takut, kesepian, dan sedih…Aku hanya punya onii-chan dan Aya-chan."
Perlahan, dia mulai berbicara. Tapi suaranya terdengar cerah dan wajahnya nampak senang. Karena itulah, aku juga mengeluarkan Ermenhilde dan mengelus lembut pinggiran medali itu.
"Tapi sekarang, Yuuko-san dan yang lain membiarkan kami pergi sekolah. Aku mendapat banyak teman, dan rekan-rekan kita yang lain mengirimkan surat pada kami secara berkala."
"Aku mengerti. Kalau begitu—"
"Dan hari ini, aku dapat bertemu dengan Renji-oniisan juga."
'Kau tidak sendirian lagi'. Kata-kataku bertepatan dengan perkataan Yayoi.
Tatapan kami bertemu.
"Aku benar-benar berpikir kalau kita bertiga-belas akan selalu bersama."
"Aku mengerti."
"Mulai sekarang, akan ada banyak waktu di mana kita bertiga-belas akan bertemu atau begitulah yang Yuuko-san katakan, tapi aku ingin bertemu dengan semuanya lagi."
Aku membuat dia merasa kesepian, aku telah melakukan sesuatu yang buruk, aku membuat dia merasa cemas. Dadaku menjadi sedikit sesak melihat emosi di matanya. Tapi aku tidak dapat mengalihkan tatapanku dari ekspresi seriusnya.
"Tolong jangan menghilang seenaknya lagi."
"…Baiklah."
Saat aku mengangguk, ekspresi seriusnya melembut.
"Kau berjanji?"
"N, aku mengerti. Aku janji…aku tidak akan menghilang seperti itu. Aku pertama-tama akan memberitahukannya padamu sebelum melakukannya."
"Tidak, benar-benar jangan menghilang…."
Dia menghela napas sambil berkata begitu.
Tapi dengan sebuah senyuman…aku menggaruk pipiku, berpikir bahwa aku akhirnya menjanjikan sesuatu padanya. Janji adalah hal yang berat. Bahkan hal yang termudah sekalipun…aku ingin memastikan bahwa aku melindungi janji itu. Kurasa aku harus melindungi janjiku tidak peduli keadaannya.
[Sulit menjadi orang dewasa, ya.]
"Mau bagaimana lagi. Renji-oniisan adalah ayah untuk semuanya."
"Aku belum setua itu. Utano-san mungkin terlihat seperti seorang ibu, tapi aku lebih mirip sebagai kakak laki-laki."
"Mouu…Renji-oniisan sama seperti biasanya kurasa."
[Ya ampun. Benar-benar menyedihkan.]
Untuk beberapa alasan, kedua orang ini terlihat keheranan denganku.
Seorang ayah…Itu bukanlah karakterku. Kalau Utano-san mendengarnya, aku bisa membayangkan dia tertawa terbahak-bahak.
"Juga, Renji-oniisan, Aya-chan benar-benar ingin bertemu denganmu, kau tahu?"
[Ya. Sampai membuat permintaan di guild untuknya.]
"Aya itu. Atau malahan, 55 tembaga untuk mengumpulkan tanaman obat… Akan mencurigakan jadi aku tidak mengambil permintaan itu, biasanya."
Berkata demikian, aku mengeluarkan catatan tersebut dari sakuku.
Klien : Fuyou Aya. Hadiah : 55 tembaga. 10 kali lipat daripada hadiah normal untuk permintaan semacam itu. Permintaan seperti itu, semua orang akan bertanya-tanya tentang monster apakah yang harus kau hadapi untuk permintaan ini.
"Juga, sihir telah dipasang pada permintaan itu."
"Sihir?"
"Ya."
[…Aku tidak merasakan energi sihir apapun.]
Atau malahan, apa maksudnya dengan 'sihir' pada catatan itu? Kalau itu Aya, bukankah harusnya 'guna-guna'? <TL Note : Agak sulit untuk dijelaskan. Sepertinya ada perbedaan antara kata 'Mahou' dan 'Majutsu' di sini seperti yang ada di Type-moon/Nasuverse bagi yang tahu soal itu. Ini tidak begitu dijelaskan sejak awal, tapi nantinya akan digunakan 'guna-guna' tergantung dari konteksnya.>
Keraguan ini pasti muncul di wajahku karena Yayoi mulai terkekeh sambil menyembunyikan mulutnya.
"Aya-chan berharap catatan itu akan hanya disadari oleh Renji-oniisan. Dia memasang permintaan itu sambil berharap dengan sungguh-sungguh."
Aku memiringkan kepala mendengar perkataan Yayoi. Sihir jenis apa itu?
"Harapan juga adalah sebuah jenis imajinasi. Sebuah harapan yang kuat dapat bermanifestasi menjadi kejaiban yang sesungguhnya."
"Dan harapannya bermanifestasi sebagai sebuah keajaiban? Apakah itu maksudmu?"
Bukannya keajaiban seharusnya adalah karya para Dewa? Tapi kurasa tidak mustahil bagi harapan manusia untuk mewujud sebagai sebuah keajaiban. Aku sering melihat keajaiban-keajaiban semacam itu selama perjalanan kami untuk menaklukkan Dewa Iblis, jadi aku tidak bisa menyangkalnya. Tapi bukankah keajaiban ini sedikit terlalu spesifik?
[Fumu, sepertinya ini jenis guna-guna yang cukup romantis.]
"…untukmu yang mengucapkan kata-kata seperti 'romantis', Ermenhilde, kau juga tumbuh dewasa."
[Cih.]
Yayoi-chan terkekeh saat Ermenhilde mendecakkan lidah.
"Pastikan untuk bertemu dengan Aya-chan juga, ya?"
"Ya. Juga Souichi."
"Ya."
Berkata demikian, aku berdiri dari bangku. Kami telah mengobrol cukup lama. Juga, sekarang sudah mulai gelap. Lampu-lampu jalan bertenaga energi sihir berpendar samar.
"Aku akan mengantarmu sampai ke asrama."
"Terima kasih banyak."
Angin dingin membuat mantelku melambai. Melihat langit, bintang-bintang berkerlap-kerlip dan bulan berwarna merah samar berada di udara.
"Renji-oniisan."
"Hm?"
"Syukurlah kau tidak berubah.'
Tidak mengerti apa yang Yayoi-chan maksudkan, aku memiringkan kepala dengan bingung. Melihatku seperti itu, dia mulai terkekeh lagi.
"Lusa nanti, kami mendapat liburan. Bagaimana kalau kita berempat bertemu di hari itu?"
[Kedengarannya bagus.]
"Ya."
Setelah itu, aku akan menuju ke ibu kota. Aku memikirkan itu dalam hati. Kalau aku tinggal terlalu lama, aku akan mulai terlalu terikat. Aku akan mulai berpikir untuk tinggal 'lebih lama lagi, lebih lama lagi'. Karena itulah, aku akan meninggalkan kota ini juga. Aku tidak akan mengatakannya keras-keras.
"Janji, ya."
"Sayang sekali. Janjiku hanya satu untuk per orang."
[….Dasar kau ini…]
Aku mendapat helaan nafas dari partnerku, tapi kali ini aku tidak akan berubah.
"Sulit untuk menepati janji bagaimanapun juga.'
"Ya."
Tapi orangnya sendiri terlihat mengangguk dengan senangnya.
"Renji-oniisan adalah orang yang selalu menepati janjinya."
"……"
Tingkat kepercayaan itu membuatku merasa gatal. Itu sama sekali bukan hal yang hebat. Itu sudah jelas. Sangat normal. Karena itulah, hal tersebut bukan sesuatu yang bisa menjadi dasar untuk kau mempercayai orang lain.
Janjiku dengan Aya. Bahwa aku akan melindungi dia. Bahwa aku akan melindungi rekanku yang bahkan lebih kuat dariku.
Aku juga sudah membuat janji dengan Utano-san. Dan dengan rekan-rekanku yang lain.
Dan sekarang, janjiku dengan Yayoi-san juga meningkat.
—Ahh.
[Susah menjadi seorang Onii-chan, ya?]
"Yah, apa yang bisa kukatakan, dipanggil seperti itu olehmu, bagaimana aku mengatakannya, ya. Itu tidak cocok, tidak, menarik atau lucu…"
[…Cih.]
Ini benar-benar menyenangkan. Bersama dengan 'rekan-rekan'mu.