CINTA SANG IBLIS
(Part 5)
 (Translater : Natsume; Editor :qwerentz)


Bagian 5
Tempat yang Mahiru sebut berjarak sekitar 15 menit dari stasiun Ikejiri-Ohashi, yang berlokasi di jalur kereta Tokyuu Den-en-toshi dan tidak jauh dari stasiun Shibuya.
Mahiru berada di sebuah mansion lima tingkat berwarna putih. Ada lima pintu setiap lantainya. Jika diperkirakan dari besarnya mansion ini, kemungkinan kelima pintu tersebut adalah satu kesatuan Ruangan. Ruangan yang Mahiru sewa berada di lantai paling atas. Nomor kamarnya adalah 501, ruangan yang berada di pojok.
Guren berjalan melewati pintu masuk yang sempit dan menaiki lift yang mungkin hanya berkapasitas 4 orang. Jika dia diserang di sini, dia bahkan tidak akan bisa menarik pedangnya karena sempitnya lift ini. Guren pun melirik pada pedang di dalam tas yang dia bawa di punggungnya.
Guren seharusnya tidak sedang di ikuti. Meskipun iya, dia pasti sudah lolos dari mereka setelah berganti-ganti kereta sepanjang jalan. Terlebih lagi, jalur menuju mansion ini, sangat mudah untuk melihat penguntit karena banyak jalanan terbuka dan kosong. Ini mungkin sebabnya Mahiru memilih tempat ini.
Yah, itu semua andaikan Mahiru benar-benar tinggal di sini.
Pintu lift terbuka. Guren berjalan ke arah kamar nomor 501. Koridornya pun sangat sempit. Ini dibangun sedemikian rupa sehingga meskipun jika ada dua atau lebih musuh menyerang, kemungkinan untuk mereka menyerang secara serentak akan bisa dihindari.
Jam menunjukkan pukul 5:30.
Di luar masih terang.
Udaranya sedikit hangat.
Apakah Mahiru benar-benar tinggal di sini?
Guren berdiri di depan kamar 501.
“....”
Meskipun Guren memeriksa pergerakan di dalam ruangan, dia  tidak tahu apakah Mahiru ada di dalam atau tidak.
Haruskah ia membunyikan bel?
Atau membuka pintunya langsung?
Guren memilih pilihan yang terakhir dan pelan-pelan membuka pintu. Pintunya tidak dikunci. Ia merasakan sedikit angin. Mungkin jendelanya terbuka.
Sepasang sepatu perempuan terletak di dekat pintu depan. Koridornya gelap. Toilet dan kamar mandi terletak dekat koridor. Kamarnya mungkin di sisi lain.
Guren masuk tanpa melepas sepatunya.
Tidak ada hawa keberadaan orang di dalam.
Berjalan melewati koridor, Guren memasuki kamar berukuran sekitar 10-30 meter persegi. Ruangan sederhana dengan kasur dan meja.
Seragam sailor dari SMA 1 Shibuya tergantung di dinding.
Ada juga boneka kelinci dan kura-kura yang terlihat manis.
Kelinci yang berlari kencang dan kura-kura yang lamban dan bodoh—
“.... Ha .... Dia ini sedang membodohiku, ya?"
Guren bergumam sedikit jengkel.
Namun, udara sekitar seperti memberi kesan kalau seseorang tinggal di sini. Wangi Mahiru. Sedikit wangi dari parfum. Guren tidak merasa wangi ini mengganggu.
Akan tetapi, tidak ada siapaun.
Jendelanya terbuka dan tirai tertiup mengikuti arah angin. Cahaya dari luar pun kerlap-kerlip masuk ke dalam kamar.
Jam di meja menunjukkan pukul 5.33 sore.
Waktu yang mereka sepakati adalah 5:30 sore.
Dengan kata lain, Mahiru telat 3 menit.
“....”
Guren berdiri di depan meja tanpa suara.
Sebuah foto dan buku catatan tebal ada di meja.
Dalam foto itu terlihat dua anak yang tertawa gembira.
Gadis berumur lima atau enam tahun dengan gembira menggenggam lengan anak laki-laki yang terlihat seusia dengannya. Anak laki-laki terlihat sedikit malu-malu dan tidak menatap ke arah kamera.
Itu adalah foto masa kecil Mahiru dan Guren. Mahiru bahkan menyimpan sesuatu seperti ini. Pikir Guren.
“....”
Guren membuka buku tebal di sebelahnya.
Tulisan tangan menghiasi halamannya. Apa ini di tulis oleh Mahiru atau bukan? Guren tidak tahu.
Tapi apa yang tertulis ada kaitannya dengan eksperimen “Kiju
Lalu sebagian besar adalah data eksperimen manusia.
Dan subjek eksperimen mati. Lalu data tentang kematian itu.
Kemudian subjek eksperimen mati lagi, lalu data tentang kematian itu.
Pemilik jurnal ini selalu menulis paragraf pendek sesuai pendapatnya. Mengapa eksperimen gagal? Seberapa baik subjek eksperimen bisa tahan terhadap “Iblis” dibanding yang sebelumnya? Apakah eksperimen ini bisa sukses? Bagaimana cara untuk meningkatkan level agar membuat eksperimen ini semakin mungkin.
“....”
Lalu, di antara komentar itu tertulis kalimat seperti ini.
—Aah .... Kalau tubuhku sudah jadi begini, mungkin aku tidak akan bisa bertemu Guren lagi ....
Salah satu subjek dari eksperimen itu adalah .... Mahiru sendiri.
Tidak, Mahiru dan Shinoa juga subjeknya.
Mahiru dan Shinoa adalah anak-anak yang dibuat terlahir demi eksperimen ini. Pembuahan buatan oleh sel sperma kepala keluarga Hiiragi saat ini, yang dicampur dengan unsur “Iblis” dan dibuahi ke dalam tubuh wanita yang menjadi subjek percobaan.
Dengan kata lain, tepat saat Mahiru dan Shinoa lahir di dunia ini, mereka sudah menjadi subjek percobaan.
Eksperimen ini memakan waktu panjang dan membutuhkan biaya yang besar. Satu-satunya hasil adalah, bayi manusia yang lahir yaitu Mahiru dan Shinoa.
Namun, kali ini keduanya terlahir masih normal sebagai manusia.
Meskipun mereka di atas rata-rata, mereka masihlah manusia biasa.
Karenanya, pada saat itu eksperimen dihentikan sementara. Membuat senjata “Kiju” dengan teknik saat ini tidak mungkin dilakukan. Menggunakan biaya lebih untuk melanjutkan eksperimen tidak ada artinya. Begitulah analisis yang tertulis.
Namun bukan berarti eksperimen berakhir di situ.
Para peneliti menyerah, tetapi eksperimen tidak berakhir.
Suatu hari, Mahiru mulai bermimpi. Mimpi yang sangat gelap. Benar-benar sangat gelap. Mimpi di mana di dalam kegelapan itu, dia terus menerus diinterogasi oleh sang “Iblis”.
Sepertinya, Shinoa yang masih kecil pun juga melihat mimpi yang sama. Mahiru memperingatkan adiknya untuk tidak memberitahu siapa pun tentang mimpi itu. Shinoa kecil bahkan menjalani latihan keras agar saat interogasi dia tidak pernah mengungkapkan hal itu.
Jika Ayah mengetahui bahwa “Iblis” bisa mengajak kita bicara— atau diketahui oleh keluarga Hiiragi lainnya, eksperimen akan dimulai lagi.
Jika begitu, kita tidak akan lagi bisa hidup sebagai manusia normal.
“....”
Meskipun begitu, bagaimanapun aku menyembunyikannya, suara dari “Iblis” semakin hari semakin keras.
Suara itu mengulang-ulang hal yang sama.
Bunuh.
Biarkan hasratmu mengamuk.
Hancurkan segalanya.
Seolah-olah seiring tahun berganti, seiring tubuhku berkembang, seiring hatiku, perasaanku, penampilanku, hasrat seksualku, juga keinginanku untuk diakui bertambah, rasanya suara dari “Iblis” itu semakin menguat.
Alasan mengapa kami terlihat seperti manusia normal adalah karena hasrat di dalam diri kami masih kecil.
Namun kini berbeda.
Hal itu sudah berbeda.
Hasrat bermunculan di dalam hatiku.
Aku ingin bersama dengan Guren.
Aku ingin bersama dengan orang yang aku cintai.
Aku ingin dipeluk oleh orang yang aku cintai.
Jika seperti itu, hancurkan segalanya.
Hancurkan semuanya.
Ujar “Iblis”.
Perintah “Iblis”.
Jika ini berlanjut, aku akan menjadi tidak normal suatu hari nanti. Aku mungkin kehilangan kemanusiaanku.
Untuk bertahan hidup, aku harus mengendalikan kekuatan ini.
Peningkatan hasrat ini sepertinya berhubungan dengan pertumbuhan masa puber. Saat menstruasi pertama, kontak dengan “Iblis” meningkat tajam. Ada saat di mana aku kehilangan kesadaran. Ada saat di mana aku kehilangan kesadaran. Ada saat di mana aku termakan oleh hasrat. Saat-saat seperti itu mulai meningkat sedikit demi sedikit.
Ada kebutuhan yang mendesak untuk menekan kekuatan ini.
Sebelum adikku Shinoa mengalami menstruasi pertamanya, eksperimen ini harus selesai.
“....”
Itulah mengapa Mahiru memulai kembali eksperimen manusia.
Untuk menyelesaikan eksperimen “Kiju”
Dan sekutunya adalah Gereja Hyakuya.
Menjual informasi dari keluarga Hiiragi pada gereja Hyakuya untuk menukarnya dengan pengetahuan dan dana untuk eksperimen.
Aku tidak bisa bersekutu dengan keluarga Hiiragi. Karena sekali saja aku begitu, mereka akan tahu tentang “Iblis” yang ada dalam tubuh adikku. Begitu ketahuan, mereka akan mengadakan eksperimen manusia pada Shinoa.
Oleh karena itu, Mahiru menjadikan dirinya sebagai subjek eksperimen dan memulai peperangan seorang diri.



“....”
Itu adalah bagian pertama dari jurnal tebalnya. Beberapa kata-katanya terdengar sedikit kekanakan. Guren menengadah.
Jam di dinding menunjukkan lebih dari jam 7 malam
Kamar sudah menjadi gelap. Matahari sudah tenggelam dan dia tidak bisa lagi melihat kata-kata sejelas sebelumnya.
“.... Ya, ampun. Seberapa terlambatkah dia?”
Guren mendesah.
Di dalam kegelapan.
Tanpa bergerak sedikit pun.
Mahiru melakukan eksperimen “Kiju” bukan untuk ... dirinya sendiri. Dia tidak pernah berharap eksperimen ini berlanjut. Tetapi dia tidak punya pilihan selain melakukannya. Semua itu tertulis di jurnalnya.
“....”
Di balik punggungnya, Guren merasakan kehadiran seseorang. Seseorang yang berada di balik tirai yang tertiup angin di jendela yang terbuka.
Siluet dari seorang wanita.

“…. Mahiru?”
Guren bertanya.
“…. Ya.”
Dan terdengar jawaban seorang perempuan.
“Apa kau berdiri di sana sejak tadi?”
“Tidak. Aku baru saja sampai.“
“.... Kalau begitu, kau benar-benar terlambat.”
“....”
Mahiru tidak menjawab.
Guren mengamati Mahiru dengan hati-hati sebelum membuka ritsleting yang berisi pedang. Tidak perlu dikata, Mahiru menyadarinya.
Guren bertanya.
“.... Atau mungkin, kau tidak tahu hari ini kau berjanji bertemu denganku di sini?”
Jika benar begitu, maka orang yang berdiri dibalik tirai bukanlah Mahiru.
Itu “Iblis”.
“Iblis” yang mengambil alih tubuh Mahiru.
Guren memegang pangkal pedangnya.
Dia bersiap untuk menyerang kapan saja.
Mahiru tertawa.
“Ahaha .... kalau iya, kenapa?”
“....”
“Membunuhku?”

Guren kemudian menjawab
“.... Kau bilang padaku untuk membunuhmu”
“Jadi kamu akan membunuhku? Apa kamu bisa melakukannya?”

Itu adalah si “Iblis”
Si “Iblis” berdiri di sana.
“Mahiru sudah menghilang?”
Guren bertanya. Dia tertawa lagi.
“Belum. Aku Mahiru.”
“Kau bukan Mahiru.”
“Mahiru, dong. Lihat, rambut, dada, tubuhku, dan semuanya ...."
“Kau bukan Mahiru.”
Namun dia tertawa.
Tertawa bahagia.
“Ahaha, hahaha, hahahahahaha. Jahat sekali. Jika bukan, maka aku ini apa? Aku ini sebenarnya apa?”
“....”
“Aku sudah menunggumu. Aku sudah menunggumu untuk menyelamatkanku. Aku ingin kamu memelukku. Aku ingin kamu memelukku erat.”
“....”
“Itulah mengapa aku menjaga keperawananku. Aku ingin menyerahkan saat pertamaku padamu. Ayo, Guren."
“Diam”
“Guren, dekaplah aku ....”
“Diam !”
Guren berteriak dan menyingkap tirai.
Mahiru, mengenakan seragam sailor, sedang berdiri di beranda.
Dia tidak tersenyum.
Benar-benar tidak tersenyum.
Air mata menggenang di matanya.
Saat ia melihat Guren, wajah Mahiru terlihat kacau memaksakan tertawa seraya menangis tidak tertahankan. Air mata mulai membanjiri wajahnya. Da mundur selangka seolah ketakutan.
Lalu berusaha untuk kabur.
Guren menangkap pergelangan tangannya. Jika Guren berniat membunuhnya di sini, mau dia itu musuhnya, ataupun “Iblis”, maka semuanya akan berakhir di sini. Tetapi, apa Guren bisa membunuhnya?
Namun tanpa peduli hal itu, Guren memegang pergelangan tangan Mahiru dengan erat, menariknya, dan memeluknya ke dalam dadanya.
Mahiru gemetaran.
“.... Kamu datang terlambat, Guren. Kamu telat. Yang terlambat itu ... bukan aku tapi Guren."
Ujar Mahir demikian.
Guren menjawab.
“…. Ya, benar. Maaf.”
Hanya itu yang bisa diucapkannya.
Seraya gemetaran, Mahiru memberontak. Berusaha lepas dari pelukan Guren.
“.... Lepaskan.”
“Mahiru, tenanglah.”
“.... Semuanya sudah terlambat.”
“Mahiru.”

“…. Aku bukan lagi manusia, Guren. Aku tidak pantas untuk kamu peluk. Aku tidak punya hak itu lagi. Aku tidak bisa bersamamu la--”
Guren memotong.
“Aku bersamamu sekarang! Sekarang, kita bersama!"

Guren menahannya dalam pelukan erat, mencoba menenangkannya.
Tubuh Mahiru tidak berhenti gemetaran.
Guren tidak mampu mengubur kegelapan mengerikan yang berada dalam diri Mahiru.
Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan sekarang adalah memeluknya dengan erat, seperti sekarang.
“....”
Tubuh Mahiru mulai kehilangan kekuatan. Dia berpegang pada Guren seolah ia sedang meminta pertolongan. Mahiru menenggelamkan wajahnya pada dada Guren. Suara isak tangis saat ia mencoba  menahan air matanya dapat terdengar.
Guren tidak bisa berbuat apa pun. Saat ini, dia tidak punya kekuatan untuk bisa segera menolongnya. Jadi dia hanya bisa memeluknya dalam diam. Tubuh Mahiru lembut, seperti wanita dewasa.
Cahaya bulan mengalir dari celah-celah tirai menerangi foto di atas meja.
Foto itu menunjukkan keduanya saat masih kecil. Mahiru di foto itu terlihat tersenyum bahagia dengan polosnya. Guren tidak bisa menatapnya karena merasa malu.
Namun apakah sudah sejak saat itu, Mahiru menanggung beban dari kegelapan yang luar biasa ini? Terus menerus lari dari suara “Iblis”?
Guren tiba-tiba ingat kata-katanya.
Mahiru pernah berkata.
“Aku…, tidak mau berpisah dengan Guren."
Meskipun begitu, mereka berdua dipisahkan.
Dan sepuluh tahun telah berlalu sejak itu.
Sekarang, Mahiru tidak bisa lagi tersenyum dengan polos. Dia hanya bisa menangis, atau tersenyum seakan telah menyerah atas segalanya.
Apa yang harus kulakukan? Guren termenung.
Guren dengan lembut mengelus kepala Mahiru dan berkata.
“.... Untuk sekarang, jangan meninggalkanku lagi. Aku tidak terlambat. Akan kulakukan. Aku akan menyelamatkanmu. Karenanya ....”
"Mustahil.”
Mahiru menjawab dengan keras kepala.
Guren menggeleng.
“Itu tidak mustahil.”
"Mustahil.”
“Itu tidak mustahil.”
"Kubilang mustahil.”
Mahiru berteriak dengan suara manis bercampur nada gemetar karena menahan air mata.
Namun, Guren sekali  lagi tetap berkata,
“Itu tidak mustahil.”
Di saat yang sama, dia membenci dirinya yang lemah. Mengapa dia hanya bisa mengatakan hal-hal yang tidak bertanggung jawab seperti itu di saat seperti ini?"
Kata-kata tanpa bukti dan rasa percaya diri.
Akan tetapi, paling tidak.
“Kamu tidak lagi seorang diri ....”
Ujar Guren.
Mahiru memeluk Guren lebih erat lagi. Tubuh gemetarannya mulai sedikit tenang.
Mahiru mendongak, air mata terus mengalir dari matanya. Meskipun begitu, ia sangat cantik.
“.... Guren.”
Ia berkata dengan lembut.
“Kamu masih mencintaiku?”
Guren tidak tahu jawabannya. Karena mereka selalu terpisah.
Ketika Guren berumur enam tahun, tidak diragukan lagi dia menyukai Mahiru. Bisa dikatakan bahwa Mahiru adalah segalanya. Untuk mendapatkannya kembali, Guren mencari kekuatan—itulah pikirnya.
Namun, waktu telah lama berlalu.
Sepuluh tahun.
Selama sepuluh tahun mereka tidak pernah sekalipun bertemu.
Sekarang ada para pelayan yang melayaninya. Sekarang dia bertanggung jawab atas hidup rekan-rekannya yang dipimpinnya di bawah Keluarga Ichinose. Satu saja keputusan yang salah dan hidup rekan-rekannya akan jadi bayaran.
Ia tidak bisa membiarkan dirinya bertindak tergesa dan tidak bertanggung jawab.
Namun, saat ini semua tugas dan tanggung jawabnya itu sudah dia kesampingkan.
Guren memeluk seseorang yang tidak seharusnya dipeluknya, di tempat yang tidak seharusnya dia kunjungi.
Oleh karena itu, ada kemungkinan dia dibunuh disini.
Saat dia mati, semuanya akan berakhir.
Dia tidak mampu melindungi siapa pun.
Dia tidak mampu menyelamatkan siapa pun.
Ambisi kekanak-kanakannya, juga ambisi yang tertumpuk hingga saat ini akan sia-sia.
Mahiru terlihat sedikit takut saat tersenyum.
“....Guren tidak mencintai ..., ku lagi? Yah, memang sudah sepuluh tahun berlalu.”
“....”
"Terlebih lagi ..., mencintai ..., cinta ..., monster kejam yang telah—bukan lagi—manusi—”
Guren memotong perkataannya dan buru-buru bicara.
“Ah, menjengkelkan, berisik sekali kau ini. Kau seharusnya sudah tahu perasaanku dari situasi sekarang. Aku tidak seharusnya tidak datang di sini. Tidak seharusnya memelukmu. Tetapi kau bisa lihat, kan, apa yang kulakukan sekarang?"

Rasanya benar-benar menyebalkan.
Baik kelemahannya, ataupun dirinya yang kini mengkhianati rekan-rekannya yang percaya dan mengikutinya.
Namun apakah dia benar-benar tidak punya rencana sekarang? Apakah ia tidak punya rencana sama sekali? Jika Guren memasukkan Mahiru sebagai rekannya, itu akan jadi keuntungan baginya. Jika ia punya pemikiran seperti itu, maka dia akan akan bisa memaafkan dirinya, tetapi ....
“….. Menyebalkan sekali. Aku ini benar-benar bodoh.”
Guren menggerutu seakan keputusasaan.
Ekspresi Mahiru kembali berubah. Itu karena dia bahagia. Air mata mulai mengalir dari matanya lagi.
“Aku sangat mencintaimu, Guren.”
Mahiru menenggelamkan wajahnya pada dada Guren.
Dia tidak lagi gemetar.
Jika aku memeluk Mahiru seperti saat ini, apakah aku bisa mengubur kegelapan yang membebaninya meskipun hanya sedikit?
Dalam kegelapan. Cahaya bulan yang berkilauan. Tirai yang tertiup angin.
Apa yang harus kulakukan untuk menariknya semakin jauh dari kegelapan?
Mahiru mempertahankan posisinya dan berkata.
“…. La …. Lalu bisakah kamu memelukku?”
“....”
"Bisakah kamu tetap memelukku meskipun aku adalah monster yang mengerikan?”
“....”
Dia memanggil dirinya monster.
Monster yang mengerikan.
Guren tahu kalau Mahiru pasti sangat terluka. Wajar saja. Karena Mahiru seumuran dengannya. Mahiru hanyalah seorang  gadis enam belas tahun.
Namun dia hanya sendiri.
Selalu sendiri.
Guren bertanya.
“…. Jika aku memelukmu, akankah kegelapan yang menyelimutimu hilang?”
"Aku tidak tahu.”
Jawabnya.
“Aku tidak tahu apa pun lagi, Guren. Aku ... Aku lelah se—”
Saat itu juga, sebelum Mahiru selesai, Guren dengan lembut menyentuh pipinya. Mengangkat dagunya, dan mencium bibir Mahiru.
Guren tidak tahu jika ini adalah pilihan yang tepat. Bibir Mahiru terasa lembut. Tidak seperti monster. Tidak seperti monster mengerikan.
Mata Mahiru melebar. Pupilnya melebar. Lalu, perlahan Mahiru menutup matanya.
Guren bisa merasakan jauh di dalam hati, hasratnya pada Mahiru.
Lalu katanya “Iblis” menyukai hasrat manusia.
Hasrat.
Hasrat yang mengerikan.
Keduanya tetap berciuman beberapa saat.
Angin malam meniup tirai dan berhembus ke dalam ruangan. Mereka tidak tahu berapa lama mereka berciuman.
Mahiru melangkah mundur.
“Ehehehe ...."
Dan tertawa sedikit malu-malu.
Mahiru meletakan tangannya di dekat dadanya dan berkata.
“.... Karena Guren tiba-tiba menciumku .... Jantungku berdegup sangat kencang. Rasaya seperti mau meledak.”
Guren bertanya.
“Apa kau lebih tenang sekarang?”
Mahiru menatapnya dengan agak sedih.
“I-Itu tadi …. Untuk membuatku diam sa—”
“Tidak.”
Guren memotong.
Mahiru kembali tertawa. Pipinya memerah.
“Benarkah? Jadi bukan karena itu?”
“Iya.”
“Kalau begitu."
Dia bertanya, wajahnya memerah.
“Ka …, kalau begitu … ,meskipun aku seperti itu, kamu masih menginginkanku?”
Pastinya iya. Tidak perlu diragukan lagi. Guren punya hasrat semacam itu dalam hatinya.
Kamar yang sempit. Wangi Mahiru. Cahaya bulan yang berkilauan.
Tirai. Angin. Foto di meja.
Malam musim panas. Kenangan.
Janji. Impian.
Hasrat. Keputusasaan.
Harapan. Dunia.
Natal.
Kehancuran.
Rekan-rekan.
Hiiragi.
“Gereja Hyakuya.”
Ichinose
Jika dia memikirkannya, maka pemikiran akan terbentuk. Dia bisa berbicara hal-hal rasional berapa kali pun.
Akan tetapi, seakan mau menangi, Mahiru ....
“Hey, Guren. Aku ….”
Guren tidak membiarkan Mahiru melanjutkan kata-katanya.
Guren menggenggam lengannya lagi dan menariknya lebih dekat. Mahiru seperti telah menunggu lama  untuk saat ini seraya memberi Guren pelukan erat. Air mata mulai menuruni wajahnya lagi.
Apakah ini kisah asmara yang tragis?
Atau salah satu yang menyedihkan?
Guren tidak tahu mana yang benar. Dia bahkan tidak tahu lagi apa gunanya menjawab dengan benar.
Karenanya, pada hari itu mereka ‘melakukannya’.