PAHLAWAN DAN KOTA PARA PENYIHIR 3
(Translater : Al Bathory; Editor Hikari)

Ketika mendengar suara retihan api unggun, aku menguap.
Ah, sebuah mimpi yang nostalgik.
Malam gelap tanpa penerangan jalan. Kami selalu menghabiskan malam sambil duduk mengelilingi api unggun.
Anak-anak dengan cepatnya tertidur akibat kelelahan karena perjalanan dan hanya kami yang berusia 20 tetap terbangun sambil minum.
Aku, Utano-san, Toudou, Kuuki. Hanya kami 4 orang dewasa. Sisanya hanyalah anak muda tapi meski begitu, mereka adalah orang-orang yang lebih bersemangat dan lebih pekerja keras daripada kami yang dewasa.
Kami bekerja keras jadi kami bisa membantu mereka dengan apa yang kami punya.
Utano-san dengan pengetahuan yang dia dapat dari Sang Dewi, Toudou dengan masakannya, Kuuki dengan perisainya.
Tapi, yah, aku ingat.
Pada hari itu—
“Renji-san, terima kasih untuk hari ini.”
“Ah, tidak, seharusnya aku yang berterima kasih padamu.”
Aya yang tidak biasanya bersosialisasi tiba-tiba berterima kasih padaku.
Lawan kami....seekor ogre dan seekor cyclop, sepertinya. Yang kuingat hanyalah mereka adalah monster bertubuh besar.
Untuk pertama kalinya, aku menggunakan kekuatan Ermenhilde—beberapa perjanjian telah terbuka dan aku menghabisi satu monster itu.
Aku putus asa saat itu jadi aku tak ingat jelas.
Saat itu, Aya merupakan gambaran dari seorang gadis yang selalu marah yang selalu bertengkar dengan Souichi.
Yah, aneh jika tetap tenang bahkan setelah dipanggil ke dunia lain. Faktanya, aku sendiri jadi waspada dengan sekelilingku selama seminggu setelah dipanggil. Aku tak bisa tenang.
Itulah mengapa aku bisa paham Aya yang tak hanya marah kepadaku tapi juga pada yang lain.
Dan Aya tak biasanya meminta maaf padaku sendiri, dan kami berbincang banyak semalaman.
Tentang satu sama lain, tentang dunia ini, tentang apa yang harus dilakukan mulai sekarang.
Yang lainnya, mungkin peka, segera menghilang ke dalam tenda dan tidur. Mereka mungkin mendengarkan kami.
Begitulah mereka. Sangat sedikit privasi, tapi karena mereka adalah orang yang semacam itu, aku bisa akur dengan mereka.
Sambil memikirkannya, aku melemparkan dahan kering ke api.
Ketika pembicaraan berhenti, hanya keheningan yang tersisa. Suara kayu retak dan suara gesekan pohon karena angin adalah suara yang tersisa.
Normalnya, aku akan minum dengan yang lain dan merencanakan apa yang harus dilakukan selanjutnya tapi aku tak bisa membuat anak yang di bawah umur minum alkohol, kan?
Saat aku kebingungan dengan diriku sendiri, Aya akan sadar dan memilih topik baru.
...Aku benar-benar orang dewasa yang buruk.
“Menurutku Renji-san itu menakjuban.”
“Aku hanya pecundang. Dari sudut pandangku, Aya-chan atau Souichi, kalaian terlihat lebih menakjubkan.”
Dan itu memang benar.
15 tahun. Saudara perempuan Souchi, Yayoi-chan, hanya 14 tahun.
Tapi meski begitu mereka berpergian untuk menyelamatkan dunia. Normalnya, mereka sedang di SMP sekarang.
Mereka jauh lebih menakjubkan daripada aku. Jika aku berada di tempat mereka, aku pasti sudah banyak menerima komplain. Bagaimanapun merekahanya 15 tahun. Mereka bukanlah protaginis dari sebuahfilm atau game, yang bisa membuat mereka berkata bisa menyelamatkan dunia itu luar biasa.
Bukan begitu. Ini karena Renji-san dan Yuuko-san bersama kami, kami merasa aman dan tak gelisah...”
“Aku mengerti.”
Kelempar ranting lain ke api.
Saat ini aku merasa senang, tidak, aku benar-benar senang.
Aku bekerja keras, sebisa mungkin, supaya aku tidak membebani anak-anak, jadi aku bisa membantu mereka ketika mereka sedang ada masalah.
Di dunia asli kami, hanya dengan bekerja keras tak akan dihargai.
Hasil adalah seglanya. Dan aku tak memproduksi hasil apapun di dunia ini.
Skill pedangku hanya rata-rata. [Cheat]ku tidaklah luar biasa. Dan kepribadianku tidak teralu bagus. Jika harus kukatakan, aku hanya mengikuti arus.
Tapi saat ini, karena dikatakan begitu oleh Aya.... aku sangat senang. Bahkan seseorang sepertiku bisa mengurangi kekhawatiran anak-anak, meski hanya sedikit.
Tak peduli apa itu, aku senang karena aku bisa berguna.
“Kau akhirnya tersenyum.”
“Eh?”
“Kau selalu membuat wajah serius sampai sekarang. Renji-san, ekspresimu bisa membuat takut.”
Benarkah? Mungkin aku memang terlalu memikirkan sesuatu jadi wajahku begitu.
Kenyataan karena aku yang tertua, itu memberiku tekanan.
“Benarkah?”
“Ya. kau terlihat tak terlalu berenergi dan hanya berbicara banyak pada Yuuko-san dan yang lain...”
Setelah itu, Aya menunjukkan semua kesalahanku dengan jarinya.
Pada akhirnya, dia tertawa sambil bilang padaku untuk memperbaiki itu semua.
Bahwa aku tak banyak berbicara, selalu terlihat masam, selalu terlalu maju melawan monster sendirian, dan selalu berakhir dengan banyak luka.
Aku tak bisa menyangkalnya. Bagaimanapun aku yang tertua disini. Aku yang paling senior.—hanya karena aku lemah bukan berarti aku bersembunyi di belakang anak-anak.
Ketika kupikirkan lagi, aku benar-benar ceroboh.
Dan saat ini, Aya melempar kayu kering ke api. Wajahnya yang tersinari cahaya api, sedang tersenyum.
Tapi, kupikir.
Jika dia dan yang lainnya bisa tersenyum seperti itu, aku tidak keberatan tetap ceroboh. Menurutku begitu. Sebagai hasilnya, aku berkali-kali hampir mati.
Senyuman dari teman-temanku dan hidupku. Jika kutimbang dengan skala, mana yang akan lebih berat—aku bahkan tidak perlu memikirkannya. Tapi aku di saat itu benar-benar seorang idiot, kurasa.
.
.
.
“Sihirku terlalu kuat.” (Aya)
“Ya, itu benar.”
Pemandangan berganti.
Kami tetap di depan api unggun tapi tempat kami duduk berbeda.
Saat itu, kami duduk berhadapan tapi sekarang Aya duduk di sampingku.
Dia tersenyum jadi kupikir dia sedang senang.
Aku bertanya-tanya kapan waktu ingatan ini terjadi—
“Ketika semuanya berubah menjadi kacau, pada akhirnya aku malah menyeret semuanya dan jika kulakukan, aku hanya mempunyai masalah dengan seekor orc.” (Aya)
“Yah, Aya-chan selalu kehilangan kesabaran ketika kau sedang terpojok.”
“...apa perlu kau mengatakannya langsung di depanku?”
“Aya-chan sangat lemah ketika sedang terpojok.”
Ketika aku mengatakan itu, Aya menggembungkan pipinya dan marah. Setelah ngobrol dengannya beberapa kali aku paham tapi sangat menyenangkan bisa menggoda Aya. Dia marah tapi dia tak memukulku seperti yang ia lakukan dengan Souichi. Dia hanya menggembungkan pipinya dan merajuk.
Karena itu sangat imut, aku terus saja menggodanya. Dan saat aku tetap melakukannya, aku mulai merasa dia seperti adik perempuanku. Aku tak punya adik tapi mungkin aku akan ngobrol dengannya seperti yang kulakukan dengan Aya.
Aneh jika kukatakan pada diriku sendiri tapi setelah berbicara dengan Aya seperti ini aku jadi lebih baik dalam bercakap-cakap dengan anak muda yang lain.
Perasaanku untuk melindungi mereka karena aku yang paling tua masih ada tapi aku mulai bertarung bersama dengan mereka, kadang aku bergantung pada mereka. Aku merasa bertarung bersama dengan mereka jauh lebih mudah daripada di depan sendirian.
Aku ingin tahu perubahan apa dalam hati ini.
“...Aya ‘chan’ lagi.”
“Kau lebih muda dariku.”
“Mouu.”
Melihat ekspresi yang cocok dengan umurnya dan tak terlihat seperti dengan gelar pahlawan atau pembunuh dewa, aku merasa lebih senang.
Saat aku tertawa, dia marah lagi. Menggembungkan pipinya dia menatapku garang.
Dia tak akan menyerangku seperti dengan Souichi tapi ekspresinya terlihat jelas.
Tapi karena itu terlihat menyenangkan, aku malah tertawa lagi. Meskipun dia adalah penyihir yang tak bisa kucapai levelnya, kelakuannya memperlihatkan bahwa dia tetap lebih muda dariku.
“Apa bukan karena kau terlalu berfokus pada sihir yang mencolok?”
“Mungkin saja tapi... karena energi sihirku terlalu kuat, bahkan dengan sedikit imajinasi, itu akan berubah menjadi sesuatu yang berlebihan.”
“Oh ya, kau sudah berkonsultasi dengan Utano-san, kan?”
“Sudah.”
Utano-san. Orang yang berharap untuk bisa menggunakan semua jenis sihir.
Tentu saja, dia juga seorang penyihir tapi hampir semuanya berbeda dengan Aya.
Perbedaannya adalah sihir di dunia ini datang dari imajinasi, Utano-san bisa langsung menggunakan semua sihir selama dikenal dengan sihir yang [ada].
Pada dasarnya, ini seperti sihir yang mirip dengan yang ada di game RPG, ADV, dan STG. (T/N: mungkin ADV=adventure dan STG=strategy tapi tidak begitu yakin.)
Dan sihir Aya seperti dunia ini, menggunakan imajinasi dan energi sihir untuk mewujudkannya.
Daripada disebut tipe yang berbeda, mereka berdua lebih tepat disebut sesuatu yang sangat berkebalikan.
Meski mereka berdua ini penyihir, bukan hanya sekedar dinding atau jarak di antara mereka tapi sebuah lubang jurang.
“Bagaimana kalau mewujudkan sesuatu yang selain api atau petir?”
"Seperti batu atau yang lain? Maka, aku mungkin akan membuat hujan batu raksasa.”
“...Apa-apaan, itu menakutkan sekali.”
“Aku ini masih bekerja keras tiap hari, lho.”
Seperti yang kuduga dari penyihir yang memiliki level kekuatan tertinggi di antara kami. Hasil dari bekerja keras sangatlah berbeda, aku akhirnya hanya menghela nafas.
Meskipun aku masih kesulitan ketika membunuh seekor moster.
“Tidak, bagaimana kalau memikirkan sesuatu yang lebih sederhana? Bukan hanya api, es, atau batu.”
“Apa yang harus kupikirkan? Meski jika aku hanya memikirkan sayatan angin (kamaitachi), pasti akan berubah jadi tornado, tahu?”
“Seperti yang kukatakan, kenapa selalu sesuatu yang kejam... tidak, sesuatu yamg lebih sederhana.”
“Lebih sederhana?”
Saat dia melemparkan kayu kering ke api, rambut hitamnya disinari merahnya api.
Merasa itu terlihat cantik, kualihkan mataku.
Apa-apaan dengan yang kupikirkan tentang anak kecil yang umurnya hampir setengah usiaku?
“Sesuatu yang seperti lubang jebakan, atau meggunakan sulur atau tanaman untuk mengikat lawan sepert di film?”
“...itu, nanti tidak akan mengalahkan monster.”
“Tidak apa-apa. Jika Aya-chan menghentikan gerakan musuh, kami yang akan melancarkan serangan akhir.”
Dengan salah satu ranting, aku menggambar sesosok goblin di tanah.
Dan kemudian, kupotong diagonal.
“Sihir tidak hanya untuk mengalahkan monster. Menghentikan dan mengekang musuh juga merupakan strategi yang tepat.” (Renji)
Yah, gadis ini tak punya inisiatif untuk strategi dan hanya mengeluarkan kekuatan brutal untuk menghancurkan semua musuh.
Sangat berbeda denganku yang setiap hari merusaha keras untuk tidak tertinggal dari yang lain.
Aku merasa iri tapi juga lega.
Aku tak mau anak-anak seperti ini berpetualang sambil merasakan bahaya dalam hidup mereka sepertiku. Yah, aku hanya memanen apa yang ku tanam.
Permintaan kepada Sang Dewi. Senjata pembunuh Dewa. Hanya bisa membunuh Dewa, cuma itu.
Sebuah senjata yang hanya efektif melawan dewa. Hanya senjata biasa untuk melawan monster lain, lemah... itulah mengapa, aku adalah musuh alami Dewa Iblis. Para iblis menyerangku, membenciku, seakan aku membunuh orang tua mereka. Gara-gara, hidupku dalam bahaya selama kami berada di benua iblis.
Aku selalu menyesal bahwa seharusnya aku meminta sesuatu yang lebih banyak kegunaannya.
Nasi sudah menjadi bubur. Kata-kata itu sangat benar.
“Un... sepertinya aku bisa dengan mudah membayangkannya.” (Aya)
Tanpa menyadari isi pikiranku, Aya sedang berpikir tentang bagaimana ideku bekerja.
Dia cepat marah tapi menurutku dia ini gadis yang rajin dan serius. Caranya berpikir fleksibel dan akan membuat sihir yang melebihi apa yang awalnya kupikirkan.
Penyihir Besar. Dia benar-benar jenius yang tak mempermalukan gelar itu. Gadis ini, Fuyou Aya.
“Juga, apa kau benar-benar merasa tak segan untuk... membunuh makhluk hidup?” (Renji)
“—“
Saat dia mendengarnya, senyumnya mengeras dan menatapku dengan ekspresi terkejut seakan nafasnya tercekik.
Aku pasti bertanya sesuatu yang tak seharusnya tak kutanyakan. Itu adalah perasaan yang tak perlu dalam perjalanan memburu Dewa Iblis ini.
Bisa dikatakan itu hanya sebuah halangan, sebuah emosi tak berguna.
Tapi itu hanya jika tak ada yang membicarakannya.
Umur 15 tahun. Waktu yang sensitif.
Pada umur itu, meski untuk menyelamatkan dunia, meski musuh bukanlah manusia, meski monster adalah musuh manusia, akan menyakitkan mengambil kehidupan yang lain, pikirku.
Inilah sesuatu yang ingin kutanyakan pada Souichi dan yang lain cepat atau lambat.
Ini hanya karena kami mulai ngobrol bersama jadi kutanya Aya dulu.
“Tapi, ini untuk menyelamatkan dunia...”
“Ya.”
Sebuah ingatan yang nostalgik.
Aku tak bisa mendengar suara apapun selain retihan api dan dengungan serangga.
Bahkan suara nafas tidur teman-temanku, aku tak bisa mendenganya. Di pagi hari esok harinya, aku ingat digoda oleh mereka.
“—“
Membunuh makhluk hidup. Mengambil nyawa.
Lebih berat dari kedengarannya.
Tak akan berubah bahkan jika kau punya izin bahwa yang kau lakukan untuk menyelamatkan dunia. Untuk kami yang hanya melihat hal seperti itu di TV, ini terlalu berat.
Tapi meski begitu, jawaban Aya jauh dari fakta. Kewajiban untuk menyelamatkan dunia.
Jika kami tak membunuh monster, iblis, dan Dewa Iblis, dunia lain ini akan hancur. Tak terhitung yang akan mati. Itulah mengapa, bunuh. Itulah mengapa kami bertarung, itulah alasan mengapa kami bisa bertarung.
Tekanannya sangat berat tapi Souichi dan yang lainnya memegang kewajiban dan melanjutkan perjalanan. Meski aku khawatr tentang ini setiap hari, tanganku selalu gemetaran, dan selalu berjaga tiap malam tanpa tidur.
Untuk seseorang,untuk sesuatu, untuk dunia, untuk teman,
Untukku tekanan yang datang dari gelar pahlawan itu terasa lucu.
Aku merasakan perasaan iri dan cemburu yang begitu banyak dari mereka sampai aku merasa ingin mengalihkan mataku—semuanya sangat ceria dan jujur.
“Renji-san... apakah kita akan bisa kembali ke dunia lama kita?”
Un.”
“Apa kita bisa kembali bersama?”
Pasti.”
—setelah kita membunuh Dewa Iblis.
Kita dipanggil untuk menyelamatkan dunia ini. Di novel dan dongeng, ini adalah sesuatu yang terhormat. Sesuatu yang membuat jantungmu berdegup keras, yang membuatmu bersemangat dan senang.
Tapi kenyataannya... gaya hidup ini sangatlah tak mudah, makanannya mengerikan, pantatmu akan sakit setelah menunggang kuda, kakimu akan sakit jika berjalan. Kau tetap merasa lelah jika kau tidur diluar. Dan bahkan kasur di penginapan terasa keras.
Itu dipenuhi dengan ketidaknyamanan. Tak ada harapan atau impian di dunia lain. Terutama untukku.
Dibandingkan dengan yang lain, [Cheat]ku begitu lemah. Kemampuan fisikku telah bertambah daripada saat di dunia lamaku tapi meski begitu, dibanding dengan yang lain, aku akan lebih cepat kehabisan nafas, gerak refleksku begitu payah. Aku tak punya energi sihir untuk menggunakan sihir.
Itulah mengapa aku mati-matian ingin lebih kuat.
Aku tak punya pilihan lain tapi menerima bahwa aku, yang paling tua, adalah beban terberat dalam kelompok.
Dan berpetualang bersama mereka sambil menerimanya, aku tak punya pilihan lain selain menjadi kuat. Aku tak mungkin menyerahkan segala sesuatu kepada anak-anak yang umurnya hampir setengahku.
Aku minta tolong pada orang-orang di Order Knight untuk mengajariku seni berpedang. Aku belajar membaca dan menulis dengan bantuan Utano-san dan seorang peneliti terkenal. Aku bahkan belajar skill bernegoisasi agar jadi lebih berguna.
[Senjata Pembunuh Dewa] yang kuminta hanya sebuah senjata dan penggunanya, aku, adalah seorang amatir. Tak bisa kubiarkan para monster mengambil keuntungan dari hal itu.
Aku mungkin bisa bertarung melawan Dewa Iblis tapi saat kami memulai perjalanan, hanya ada monster-monster kecil yang kami hadapi, jadi aku hanya bisa pasrah.
Semuanya bisa menjadi lebih kuat daripada aku hanya dengan sedikit usaha.
Luar biasa aku tidak depresi. Sungguh.
“Akankah semuanya kembali... dengan selamat?”
“Tentu.”
Tak ada yang kuat.
Cheat, skill pedang, energi sihir tak terbatas, mereka semua tak lebih dari kerikil di pinggir jalan.
Kami datang ke dunia ini tanpa tekad apapun. Dibesar-besarkannya tujuan teratas dari menyelamatkan dunia telah menyembunyikan kenyataan di hadapan kami. Meski kematian tepat di samping kami, kami tak bisa melihatnya.
Itulah mengapa.
“Aku janji kita semua akan kembali dengan aman dan selamat bersama.” (Renji)
Pada akhirnya, setelah semuanya berakhir, kami semua memutuskan untuk tinggal di dunia ini.
Meski ini adalah dunia dimana kematian selalu disampingmu. Tapi karena itulah... kami punya orang-orang yang bisa kami percaya yanbahkan lebih dekat kepada kami daripada kematian di dunia ini.
“Jika aku dalam bahaya... apa kau akan melindungiku lagi?” (Aya)
“Jika siapapun dalam bahaya, aku pasti akan meilndungi mereka.” (Renji)
Itu perkataan paling memalukan untuk dikatakan.
Aku, yang paling lemah berkata bahwa aku akan melindungi teman-temannya yang paling kuat sedunia.
Kata [pasti] adalah sesuatu yang hanya berarti ketika digunakan oleh protagonis dan tidak olehku yang hanya [Penduduk C].
Untuk melidungi seseorang, kau harus mempertaruhkan nyawamu.
Meski kau dekat dengan kematian, meski kau penuh dengan luka, meski semangatmu sudah hampir hancur, meski kau berada di depan musuh yang sangat kuat.
Kau harus tetap berdiri. Kau harus tetap memegang senjatamu.
Kau harus bersuara lantang. Kau tak bisa meyerah.
...setelah kupikir lagi sekarang, sebuah keajaiban aku bisa hidup melewati itu semua.
Meski semua orang di sekitarku akan bebas jika aku berakhir dengan berdarah-darah.
.
.
.
Saat ku buka mataku, aku malah mengernyit karena cahaya matahari yang menembus gorden.
[Akhirnya bangun juga, pemalas?]
N, ya... sekarang...”
[Ini hampir siang hari, kau tahu.]
Aku hanya mendesah hanya karena aku tidur siang.
Yah, aku pun berpikir entah bagaimana aku tidur terlalu banyak padahal aku bahkan tidak minum.
“Hei, Ermenhilde.”
[Hm?]
“...bukan apa-apa.”
[Segeralah bangun dan bekerjalah, dasar tukang tidur.]
Aku dimarahi.
Sambil mendengarkan suara dalam kepalaku, aku beranjak dari kasur.
Sebuah mimpi yang nostalgik. Dari saat aku masih berpetualang dengan teman-temanku, sebuah mimpi dengan Aya. Setelah itu, Aya bekerja keras sebagai penyihir penggali lubang.
Kenyataannya, daripada memakai sihir tak terbatas, lebih mudah bagi kami ketika dia menjebak monster di lubang jebakannya. Jadi, kami tak perlu ikut terseret dalam sihir biasanya. Yah, kami hanya bergantung pada sihir itu ketika menyapu bersih sekelompok besar monster yang datang.
Menghadapi tentara besar monster, dia membuat batu dan hujan api dari jauh agar menang sebelum musuh menggapai kami.
Mengahadapi sedikit musuh atau dalam pertarungan jarak dekat, bola api pun bisa berubah dari api yang ramah menjadi suatu masalah. Bahkan cheat yang terlampau kuat punya kelebihan dan kekurangan mereka masing-masing.
“Ermenhilde.”
[....Apa sekarang?]
“Apa menurutmu Aya masih menggali lubang?”
[Ya, bisa jadi.]
Jawaban singkat.
Yah, itu biasa karena itu taktik yang bagus.
Sambil memikirkannya, aku mengganti baju.
[Mungkin dia berpikir jika dia tetap melakukannya, Renji akan tetap melindunginya.]
“Kenyataannya, aku malah ingin dilindungi olehnya.”
[Mau bagaimana lagi. Kau meminta itu, dan berjanji padanya tentang itu.]
Itu benar.
Aku meminta pada Sang Dewi bahwa aku ingin melindungi seseorang. Jika berbahaya, aku janji akan melindunginya.
...itulah mengapa, aku hanya bisa menghela nafas. Aku meminta dan berjanji. Aku tak bisa mengubah masa lalu.
“Atau mungkin, dia sudah melupakannya? Ini sudah hampir 2 tahun.”
[Aku ragu dia akan lupa itu.]
Entah mengapa suara Ermenhilde seperti menyiratkan kepercayaan diri.
Perjalanan itu merupakan perjalanan yang berbahaya. Aku ragu dia ingat kata-kata sepele begitu. Dan lagi, sudah hampir 2 tahun sejak saat itu. Tinggal masa lalu belaka.
Setidaknya, jika aku jadi Aya, aku akan melupakannya. Apa yang membuatmu percaya pada kata-kata itu jika dikatakan oleh orang yang lebih lemah darimu?
Satu-satunya alasan aku mengngatnya adalah karena rasa malu untukku dan sebagian dari sejarah gelapku (masa lalu yang memalukan)
[Wanita adalah makhluk semacam itu.]
Tidak, kau itu medali.”
[Cih.]
Dia mendecakkan lidahnya. Partner yang menakutkan selama berbincang.
Menghela nafas pada Ermenhilde yang seperti itu, kuregangkan tubuhku sedikitMeregangkan tubuhku yang kaku, rasanya sangat enak.
Untuk hari ini juga, aku akan melakukan pekerjaan dengan serius.”
[Silakan lakukan. Jangan perlihatkan sisi menyedihkanmu, kau itu orang dewasa kan?]
“Aku merasa sudah sering melakukannya.”
Berapa kali aku diselamatkan oleh anak-anak?
Berapa kali aku menyerang dengan serangan kejutan bukan serangan langsung?
Berapa kali aku menundukkan kepalaku pada orang-orang?
Berapa kali aku berduka karena tak bisa menyelamatkan seseorang?
Berapa kali, berapa banyak,....
[Benarkah?]
“Ya, benar.”
Memakai baju dan merapikan penampilanku Sambil memikirkan pekerjaan apa yang akan kuambil hai ini.
Yah, mungkin aku akan ambil yang seperti mengumpulkan tanaman obat. Mudah dan aman.
Setelah membasuh wajahku, aku berpikir tentang apa yang akan kulakukan pada jenggo—
[Aku hanya punya ingatan tentang Renji yang terlihat keren.]
“...kau, kadang benar-benar mengatakan sesuatu yang sangat memalukan, ya?”
[Tidak juga.]
Aku, terlihat keren?
Aku memikirkan masa laluku tapi aku tak bisa memikirkan satu pun.
Mungkin yang paling keren adalah ketika aku menghadapi Dewa Iblis satu lawan satu, kurasa. Meski aku hampir mati.
Berbicara tajam seperti orang bodoh dan kemudian hampir terbunuh, aku hanya bisa memikirkan itu sebagai sesuatu yang menyedihkan. Juga, kenyataan bahwa itu adalah momen paling keren, aku tak bisa apa-apa.
“Contohnya?”
Jadi aku memutuskan untuk langsung bertanya.
Aku juga ingin tahu momen keren apa yang partnerku bicarakan.
Dan, aku menjelaskan kenyataan dari bagian itu. Meski alasanku tak masuk akal kadang-kadang.
[Tidak mundur sedikitpun ketika melawan Raja Iblis. Kau tetap mengayunkanku melawan Dewa Iblis di depan. Kau tetap bertarung di depan pahlawan-pahlawan yang kau panggil terkuat... tak peduli seberapa banyak kau jatuh, kau selalu berdiri lagi.]
Yah. Aku tetap terpojok.”
Apa-apaan itu?
Jika aku tak melakukannya, aku akan mati. Aku tak bisa kembali hidup-hidup jika tak tak melakukannya. Dan dari semua itu—aku selalu penuh dengan luka. Jika tidak dilindungi oleh teman-temanku, aku pasti sudah mati tak tehitung banyaknya.
Itulah mengapa aku tak mundur. Itulah mengapa aku tak pernah melepaskan Ermenhilde. Itulah mengapa aku berdiri lagi. Jika tak kulakukan, aku tak akan bisa berdiri bersama teman-temanku.
Dan di atas semua itu—ketika anak-anak bertarung dengan mempertaruhkan nyawa mereka, aku tak bisa menjadi yang pertama beristirahat.
“Aku tak mau mati makanya aku bertarung mati-matian. Itulah mengapa aku membunuh. Itu sesuatu yang sangat normal, Ermenhilde.”
[Ya benar. Itu normal.]
Karena aku tak mau mati, aku ingin hidup. Aku tak mau terlihat menyedihkan.
Itu adalah sesuatu yang sangat normal dan jelas, dan sesuatu yang orang lain akan lakukan.
Keren? Tidak begitu. Itu bukan sesuatu yang hebat.
Aku hanya takut terlihat menyedihkan dan jadi ditinggalkan oleh mereka. Aku takut ditinggal sendiri. Aku takut kehilangan teman-temanku di dunia lain ini.
Tak peduli seberapa banyak kata yang kau keluarkan, jawabannya sama. Aku takut dibenci oleh teman-temanku jadi aku bertarung mati-matian.
Bukan untuk dunia, bukan untuk seseorang, bukan untuk sesuatu. Meski kukatan aku ingin melindungi, pada akhirnya aku paling banyak mengkhawatirkan diriku sendiri.
“Itu adalah sesuatu yang orang lain bisa laukukan, Ermenhilde.”
Untuk diriku—bukan untuk sembarang orang asing, orang yang berusaha mati-matian demi dirinya sendiri.
Sesuatu yang orang lain bisa pikirkan. Sesuatu yang orang lain bisa lakukan. Untuk hidup, untuk tidak mati—tentu saja setiap orang bisa lakukan.
[Tidak semua orang bisa melakukannya, Yamada Renji.]
Tapi jawaban partnerku berkebalikan jadi aku hanya merasa sedikit senang.
Kekuatan yang diberikan Sang Dewi kepadaku, Ermenhilde. Dia selalu mengawasiku dari sisi lain setiap waktu.
Dia menjadi pedangku, tombakku, busurku—senjataku, tak peduli kapan waktunya dan bertarung disampingku.
Dan selalu mencoba membuatku menjadi seorang pahlawan...bahkan sekarang, dia bersamaku. Meski aku hanya seorang pria biasa yang bisa ditemukan dimanapun.
[Aku tak berpikir begitu.]
Kuambil mantelku, kupasang pisau besi di pinggangku.
Kuambil Ermenhilde yang terbaring di sebelah bantalku.
[Itu karena Renji, kau bisa melakukan apapun.]
“Aku mengerti.”
*ping* kujentikkan Ermenhilde.
Suaranya seperti sombong dan bangga dan entah mengapa membuatku malu.
Untuk menyembunyikan rasa maluku, kujentikkan Ermenhilde seperti biasa.
Ekor.
“Haah, sepertinya aku akan bekerja keras hari ini.”
[Hanya tinggal setengah hari yang tersisa walau begitu.]
Dengan itu, kami kembai ke hubungan kami yang biasa.
Pengguna dan senjatanya. Partner. Hubungan semacam itulah.