Saat ini kita mempelajari sedikit lebih dalam mengenai sejarah Perang Salib; termasuk peristiwa menggemparkan yang telah tetulis dalam novel. Namun dalam penjelasan wiki, Crowley hanya ikut serta dalam Perang Salib yang Kelima  (rupanya keikutsertaannya hanya bertahan dari 1217 hingga 1221).
Peringatan: Sebelumnya, pastikan anda siapkan tisu ditangan anda. Karena ini begitu tragis, aku sampai tak bisa menahan air mata *hiks. So, let’s check it out!

TENTARA SALIB YANG KEHILANGAN TUHAN
(Part 1)

Tahun 1217, sebelum mereka menuju Perang Salib.

“Hei, kalian sudah paham, ‘kan? Perang ini adalah kesempatan bagi kita untuk menunjukkan seberapa hebat kekuatan kita sebagai Ksatria Templar! Jadi, tunjukkan pada mereka apa saja yang telah kalian peroleh! Ajarkan pada mereka siapa yang lebih pantas dipilih oleh Tuhan kita!”, seorang ksatria berseru.
Para ksatria mengangkat gelas mereka sambil bersorak.
Diruang makan besar, sehari sebelum mereka berperang, para ksatria yang akan ikut serta dalam Perang Salib mendapat hidangan yang mewah lebih banyak dari biasanya. Ada daging, anggur, bahkan wanita – para ksatria pun berpesta hingga larut malam.
Mereka akan menuju Perang Salib, yaitu perang suci dibawah nama Tuhan mereka, demi memerangi para penyembah berhala dan merebut kembali Tanah Suci.
Ini adalah perang keadilan. Dan mereka semua sangat yakin, bahwa yang menanti mereka sudah pasti adalah jalan menuju kemenangan.
Disudut ruangan, Crowley sedang meminum anggurnya dengan santai.
Namun ia tidak sendiri sampai ada seseorang yang memanggilnya, “Hei Crowley, sedang apa kau bersembunyi dipojokan sana? Ayo gabung dan bersenang-senang dengan kami malam ini!”
Menuju kearah suara, Crowley memandang Victor - ksatria yang sekaliber dengan dirinya – sedang berdiri dihadapannya. Victor memiliki rambut pirang dengan mata hijau; ia menjadi seorang Ksatria Templar bersamaan dengan Crowley, dan mereka sering berlatih bersama.
Victor mengambil gelas milik kawannya dan langsung menghabiskannya dalam satu tegukkan, kemudian ia lempar kelantai.
“Lihatlah! Ada banyak sekali gadis cantik malam ini.”
“Para gadis, ya? Bagaimana dengan sumpah suci kita?”
“Ah, jangan jadi perusak pesta, deh. Itu sih besok juga masih bisa. Dimedan perang mana ada wanita. Kuberitahu ya, kalau kau sampai menyia-nyiakan kesenangan ini. Kau pasti akan menyesal nanti.”
“Kemewahan itu hanya untuk orang yang hobinya membodohi para wanita.”
“Apa maksudmu?”
“Ingat dengan gadis kaya yang kau campakkan dulu itu menangisimu.”
“Yang mana?”
“Menyedihkan sekali”
“Yah, pokoknya. Ini adalah kesempatan langka dimana kau tidak perlu lagi menyembunyikan kesenanganmu dengan para gadis, jadi kenapa tidak terima dan nikmati saja apa yang ada? Hei, kalian! Crowley bergabung dengan kita!”
Ketika ia berteriak seperti itu, para ksatria lain bersorak dengan penuh semangat dan suka cita. Para gadis yang berpakaian mencolok saat itupun, menjerit dengan keras seperti raket nyamuk.
Victor melihat Crowley yang sedang menatap kearahnya.
“Brengsek, kau ini dari dulu selalu saja berisik. Lalu, sudah berapa gadis yang kau tiduri?”
“Aku tidak meniduri mereka, kok. Seorang Ksatria Templar itu harus tetap menjaga kesuciannya.”
“Ya benar, aku juga sama. Tapi, semua gadis tak bisa melepaskan pandangannya darimu.” “Lalu,  gadis mana yang sudah tidur bersamamu?”
“Keempatnya.”
“Wah, parah.”
“Hahaha,” Victor tertawa dengan polosnya.
Victor adalah orang yang cukup populer diantara seluruh kalangan, pria maupun wanita. Dia memang selalu berpakaian necis dan keluarga Roleine tempat ia berasal merupakan kediaman sekelas bangsawan.
Namun, alasan mengapa ia begitu populer bukan dari latar belakangnya. Itu karena dia penuh semangat dan mudah berbaur dengan siapapun.
Mungkin itu justru karena Victor bergabung dengan Ksatria Templar bersamaan dengan Crowley yang menganggap bahwa latihan menjadi ksatria takkan seberat yang dipikirkan Crowley. Karena Victor yang ceria dan tidak pernah gagal mengajak rekan-rekannya untuk bergabung, jadi Crowley selalu menghabiskan waktu dengan penuh tawa dan senyum.
Tak terkecuali dengan hari ini. Padahal ia akan ditempatkan digaris depan, yang artinya sewaktu-waktu ia bisa saja mati. Dan takkan lagi bisa berpesta maupun bersenang-senang.
Victor bersorak, “Hei semuanya, dengarkan aku! Rekan tercinta kita Crowley yang juga anak dari keluarga Eusford telah menyerahkan keperjakaannya kepada Tuhan kita, tapi malam ini dia akan melepaskannyaaaa!”
“Eh?!” Crowley menatap Victor dengan wajah terkejut sambil menenangkan situasi yang ada, tapi sudah terlambat.
Para ksatria yang lain langsung menimpalinya dengan mencari tahu kebenarannya.
“Hei, kau pasti bercanda ‘kan, Crowley?!” “Jangan bilang kalau kau masih menyusu punya mamamu?”
Sementara mereka saling menyahut, Victor bersorak,
“Ayo para gadis, mau curi milik Crowley yang mana dulu?” “Siapa cepat, dia dapat.”
Salah seorang diantara mereka menjawab, “Aku!” “Aku akan melayani Tuan Crowley dengan sepenuh hati.”
Sementara itu, diantara mereka ada yang wajahnya memerah.
“T-Tunggu sebentar! Apa maksudmu dia masih perjaka? B-Berarti sebelumnya, aku dan Tuan Crowley—“ baru ia mulai bicara, Victor langsung menutup mulutnya dengan ciuman.
“Umh,” si gadis pun terdiam.
“Malam ini, kau akan jadi miliku saja, ya?”
Si gadis mengangguk.
“Minumlah dipojok sebelah sana, nanti aku menyusul.”
Setelah gadis itu pergi, Victor menengok kearah Crowley sambil menyeringai, lantas berkata padanya,
“Jadi, siapa tadi yang bilang kalau dia tidak tidur dengan gadis manapun?”
“Hm~” “Kesucian, ndasmu! Dia itu gadis paling cantik disini, tahu!”
Namun Crowley tidak menjawab apapun, dia hanya mengangkat bahunya.
Victor mengangkat gelasnya. “Baiklah, mari bersulang demi Perang Salib iniiiii!” teriaknya.
Dan mereka langsung menggemakan itu. Crowley tersenyum sambil mengangkat gelasnya. Kebisingan yang terus berlanjut pun menambah semakin menambah kemeriahan.
Namun, lagi-lagi Crowley menjauh dari riuhnya suasana dan meminum anggurnya sendirian. Dan lagi-lagi, tak selang beberapa lama ia disapa oleh seseorang yang tak jauh dari tempatnya berada,
“Syukurlah. Pasti bahagia sekali memiliki orang yang peduli denganmu seperti Victor yah, Crowley.”
Ia merupakan salah satu dari rekannya juga, namanya Gustavo. Ia berambut cokelat dengan mata berwarna abu-abu. Pria berpostur pendek yang tidak diberkahi tubuh berotot, namun ketika ia sedang memainkan pedangnya, kecepatan yang dimilikinya sangat luar biasa.
“Senior Gustavo, anda tidak ikut memilih wanita juga?”
“Aku tidak mau mati dimedan perang, hanya karena merusak sumpah kesucian. Lagipula..... Tuhan melihat segalanya, bukan?”
Namun Gustavo hanya terdiam sesaat, sambil menatap kearah rekan-rekannya yang sedang berpesta.
“.....Aku jadi penasaran,” akhirnya ia mulai bicara. “Aku yakin semuanya akan baik-baik saja jika ini adalah kehendak-Nya. Oh Tuhan, kumohon selamatkan aku. Aku selalu berbuat kebajikan, bahkan hingga saat ini. Dan jika Engkau berkehendak, biarkan orang-orang populer yang selalu bersikap kasar seperti Victor dan Crowley bertemu dengan-Mu, sebelum diriku,” Gustavo melontarkan candaannya.
Crowley hanya tertawa kecil. “Anda memang selalu begitu yah, Senior Gustavo. Anda kuat, bahkan saat berlatih pun aku belum pernah menang melawan anda.”
“Loh?! Bukannya itu karena kau selalu menahan diri?”
“Eh?”
“Semua orang juga tahu kalau kekuatanmu itu sangatlah hebat. Bahkan Letkol selalu membicarakan kehebatan bakat yang kau miliki.”
Crowley sendiri pun baru pertama kalinya mendengar hal itu.
“Benarkah? Letkol sama sekali belum pernah memujiku.”
“Dibelakangmu, beliau selalu memujimu, kok. Tapi yah, kalau sampai beliau tahu kalau aku mengatakan ini padamu, beliau pasti akan membunuhku. Tapi disisi lain, karena ini demi kemajuan latihan-tarung kita, aku ingin kau—“
“Jangan-jangan supaya anda bisa bersantai?” Crowley bertanya, dan Gustavo hanya terkekeh.
“Ya enggaklah. Daripada selalu bersantai-santai, mengalahkan ksatria lain yang berpangkat tinggi dengan mempertaruhkan nyawa mereka. Itu malah justru lebih menyenangkan!”
Crowley hanya tertawa mendengarnya.
Tak lama kemudian, suara terdengar dari pintu masuk ruang gedung.
“L-Letkol! Letkol Alfred datang!”
Untuk sesaat, keheningan memenuhi seisi ruangan. Seluruh ksatria bersiap, tanpa ada sepatah katapun yang terucap.
Pintu aula gedung terbuka, dan seorang pria paruh baya— dengan luka seperti tebasan pedang yang berada tepat dimata kanannya, masih membekas hingga sekarang— memasuki ruangan. Sorotan mata kirinya sangat tajam.
Sambil memandang kearah para ksatria yang sedang bersiap, ia kemudian berkata, “Baiklah, apa saya bisa dipercaya untuk berbagi wanita dengan kalian?”
Hal yang paling memungkinan itu hanyalah sekedar lelucon, namun jika bukan, anggapan mereka takkan semudah ketika mereka bertarung mati-matian. Jadi, tak ada seorangpun yang menjawabnya.
Setelah hampir 5 detik berlalu, Victor pun angkat suara. Memang selalu dialah yang akan memulai disaat seperti ini.
“Tentu saja, pak! Kami akan siapkan gadis tercantik untuk anda kesini!”
Kemudian, ia menarik seorang gadis sambil mencium tangannya.
“Eh? Eh?” gadis itu menjerit kebingungan.
“Kerja bagus. Baiklah, saya akan buat pengecualian. Berpestalah kalian sampai puas!” ujar Alfred, sambil mohon izin.
Kemudian, para ksatria berteriak tanda setuju dan melanjutkan minum-minum mereka. Usai menonton hiburan dari mereka, Alfred membawa botol anggur yang ada didekatnya dan membawanya menuju tempat Crowley berada.
Melihatnya mendekat, Gustavo yang berada disebelah Crowley pun berkata, “Wah, gawat. Hei, Crowley!”
“Ya?”
“Lupakan perkataanku barusan tentang soal Letkol yang memujimu, ya?”
“Tentu saja.”
“Baguslah. Karena sudah disini, mungkin aku juga akan bermain bersama para gadis.”
“Baiklah.” Crowley tertawa.
Sambil menyeringai, Gustavo berlalu pergi menuju ke tengah pesta. Tempat disebelah Crowley berada kemudian langsung ditempati oleh sang Letkol.
“Apa kamu menikmatinya, Crowley?”
“Ya, pak. Berkat izin anda.”
“Hanya malam ini saja kau bisa bersenang-senang sepuasnya. Takkan ada yang seperti ini dimedan perang nanti.”
“Itu benar, pak.”
“Dan juga...”
“Ya, pak?”
“Ada apa dengamu saat latihan siang tadi? Kalau kamu terus begitu, bisa-bisa kamu akan langsung mati dimedan perang nanti.”
Mendengar hal itu, Crowley menelan mentah-mentah pembicaraan tadi. Dia jadi penasaran, apa benar Letkol memang pernah memujinya.
“Maafkan saya, pak.”
“Berjuanglah. Aku pun takkan boarkan seorangpun rekan-rekanku yang mati dalam perang ini.”
“Baik, pak.”
“Itulah mengapa kamu harus menebas para musuh lebih banyak dari siapapun dan lindungi rekan-rekanmu.”
“Baik, pak.” Crowley mengangguk, dan Alfred tersenyum sambil menepuk pundaknya. Setelah itu, ia bergabung dengan ksatria lainnya.
Nampaknya, Letkol memang ingin berbicara dengan mereka secara pribadi. Crowley menatap kearah punggung Letkol yang sedang berkeliling.
Sejak ia bergabung dengan Orde, Crowley memang sudah mengagumi Letkol. Letkol Alfred sering dipuja-puja oleh para bawahannya dan seorang pria sejati yang amat sempurna.
Dulu, Letkol yang telah mengajarkan Crowley mengenai dasar-dasar ilmu pedang. Selama menjadi seorang ksatria,  jalan hidupnya itu— Crowley belajar banyak darinya.
Dan hingga saat ini, Crowley mendapat perintah baru darinya.
“....Tebas para musuh lebih banyak dari siapapun dan lindungi rekan-rekanmu, ya?”
Tanpa sadar, Crowley mengenggam rosario yang menggantung dilehernya. Dia masih terlalu lemah, mungkinkah ia sanggup memenuhi apa yang Letkol perintahkan padanya?”
Lagi-lagi, ia menyadari keberadaan seseorang disebelahnya. Hanya dengan melirik saja, ia langsung tahu bahwa orang itu adalah ksatria muda yang berada setingkat dibawahnya, yaitu Gilbert Chartres.
Gilbert merupakan salah seorang ksatria yang sangat hebat, ia juga menjadi kesayangan Letkol karena rajin, giat dan berkemauan keras. Beberapa waktu lalu, usai latihan ia datang menghadap Crowley untuk mengajak latih-tarung dengannya, dan selama latihan fisik pun ia tak pernah mengeluh.
Ia jauh lebih kuat daripada Victor— yang hobinya cuma ngurusin cewek— Dan itu artinya Gilbert adalah satu-satunya ksatria terkuat diantara para Templar, meskipun Victor sendiri memang kuat dan serba bisa. Tidak, faktanya ada semacam tanda dalam permainan pedang Victor yang membuat Crowley berpikir bahwa Victor hanya serius saat berlatih saja, bahkan mungkin Crowley sendiri pun takkan sanggup melawannya; Crowley selalu menyayangkan Victor yang menyia-nyiakan bakat yang dimilikinya......
Sambil memandang kearah temannya yang saat ini sedang bergandengan tangan dengan wanita, Crowley tak bisa menyembunyikan senyum masam dari kedua ujung bibirnya.
Disampingnya, Gilbert berkata, “Apa yang kau bicarakan dengan Letkol, Tuan Crowley?”
Dan Gilbert masih tetap menggunakan logat formalnya ditengah pesta yang semeriah ini.
Mengalihkan pandangannya dari Gilbert, Crowley menjawab, “Dia bilang padaku untuk berjuang lebih keras.”
“Tuan, kurasa itu pembicaraan yang terlalu singkat.”
“Hahaha,” Crowley melepaskan tawanya kemudian meneguk anggurnya lagi.
Gilbert pun terdiam sejenak, melihat Victor yang sangat menikmati pesta. Lalu, dalam keheningan ia melontarkan pertanyaan yang singkat,
“.......Apa kita bisa memenangkan perang ini?”
“Entahlah.”
“Eh? Bukankah sebagai kasatria yang lebih berpengalaman harusnya menjawab ‘ya tentu saja, kita pasti akan menang’ dengan penuh kebanggaan?”
“Gitu, ya?”
“Tentu saja. Lagipula, tujuan dari perang suci ini adalah merebut kembali Tanah Suci yang didiami oleh para jelmaan Iblis.”
“Memang.”
“Makanya, kita pasti akan menang.”
“Yah, kalau kau seyakin itu akan kemenangan kita, jangan tanya hal semacam itu padaku,” ujar Crowley sambil melirik dengan sekilas kepada Gilbert, yang terlihat sedang mengerutkan dahinya.
“Apa yang kau takutkan?”
“Tidak, bukan apa-apa kok!”
Namun, wajahnya jelas menunjukkan bahwa ia sedang berbohong.
Tak ada seorangpun yang tidak takut akan peperangan. Dan itulah mengapa mereka semua sangat menikmati minum-minum dan pestanya— untuk mengalihkan perhatian mereka dari kematian yang semakin dekat. Mereka minum anggur, makan daging dan bermain dengan wanita, semuanya mereka lakukan untuk melupakan ketakutan yang mereka rasakan.
Hanya ketakutan yang teramat sangat yang tertinggal dalam diri mereka, dan itu tidak dapat dipungkiri. Takut akan peperangan. Takut akan kehilangan rekan-rekan. Takut akan kematian.
Crowley mengalihkan pandangannya dari Gilbert kearah teman-temannya berada— yang sedang berusaha untuk menikmati malam mereka agar bisa lari dari ketakutan itu.
Lalu ia berkata, “Tadi Gustavo berkata padaku.......”
“Apa itu, tuan?”
“Tuhan itu selalu mengamati dan melihat semua gerak-gerik kita. Jadi, siapapun yang selalu berbuat kebajikan, dialah yang akan selamat.”
“Jadi, begitu. Berarti, senior Gustavo dan senior Victor akan mati.”
“Hahaha, gatau deh.”
Dan pada saat itu, si Gustavo, dengan tubuh pendeknya, sedang berusaha memasukkan kepalanya kebawah rok salah seorang wanita disana.
Yah, jika memang saat ini Tuhan sedang memperhatikan kita. Mungkin saja Gustavo benar-benar akan mati.
Tapi biasanya, Gustavo memang senior yang sangat baik, bahkan ia akan melakukan apapun demi rekan-rekannya tanpa bersikap sombong sedikitpun. Dulu saat Crowley masih jadi anggota baru, Gustavo sudah beberapa kali menyelamatkan hidupnya.
Jika kebiasaannya itu tidak menjadi persoalan, seharusnya Gustavo bisa selamat, pikir Crowley. Namun jika bukan, berarti pertanyaan membingungkan tentang Tuhan yang dapat melihat segalanya pun muncul.
Usai sejenak memperhatikan Victor dan Gustavo yang terlihat sangat bahagia bersama para wanita, Crowley memutuskan untuk pindah ketempat lain.
“Anda mau kemana, tuan?” tanya Gilbert kepadanya.
“Aku sudah kebanyakan minum. Aku butuh udara segar.” jawabnya sambil meninggalkan ruang makan.
Diluar adalah tempat para ksatria kelas bawah berpesta. Malam ini pun mereka ikut makan daging dan anggur. Namun, kelihatannya hanya para ksatria bangsawan saja yang boleh ditemani wanita.
“Tuan Crowley!” beberapa squire menyambut kedatangannya. Namun ketika mereka mendekat, ia mengangkat tangan dengan maksud menghentikan niat mereka.
“Tidak usah. Nikmati saja malam kalian.”
“Terima kasih banyak, Tuan Crowley!”
Diantara mereka ada banyak anak-anak muda yang usianya sekitar 15 atau 16-an. Yang membedakan mereka semua adalah impian untuk memperoleh ketenaran dalam Perang Salib ini. Tak peduli darimana mereka dilahirkan, mereka semua adalah anak-anak yang baik.
“Lindungi rekan-rekan kita. Lindungi rekan-rekan kita, ya,” bisiknya.
Crowley mengulang sendiri perintah yang Letkol sampaikan tadi sambil menatap anak-anak itu.
Beberapa saat kemudian, suara pintu ruang makan yang terbuka memecah telinga.
“Eegh~ Haduh, aku mual.” Victor keluar sambil memegang dadanya dan mengeluarkan bau busuk alkohol. Sepertinya dia juga lagi butuh udara segar.
Ketika ia muncul, para squire buru-buru menghampirinya.
“Tuan Victor!”
“Anda baik-baik saja, Tuan Victor?”
Dia mengangkat tangannya dan berkata,
“Ah, tidak apa. Tidak, aku sedang tidak baik. Tolong, ambilkan aku air.”
“Siap, tuan!” para squire mengikuti instruksinya dengan segera.
Crowley membantu Victor dengan membopongnya dan bertanya,
“Mau muntah?”
“Urgh...... Umh.”
“Astaga, terus mesti gimana ini.......” ujar Crowley sambil membawa Victor ketempat yang jauh dari ruang makan.
Victor lalu membungkuk dengan tatapan yang menyedihkan. Crowley pun membantu mengusap-usap punggungnya.
“Argh, rasanya kayak mau mati.”
“Itulah akibatnya kalau kebanyakan minum.”
“Tapi semua orang menikmatinya...”
“Bukan berarti kau malah jadi ikut-ikutan juga.”
“Tidak, tidak, kalau bukan aku, terus nan— Ueeerrrrgghh!” Victor mengeluarkan isi perutnya lagi.
Para squire membawakan air, dan Crowley mengambilnya sambil berkata pada mereka untuk kembali ke pesta. Mekipun mereka masih ingin membantu senior mereka yang sedang dalam kesulitan, namun tak ada artinya bagi mereka menjadi saksi mata bagi seniornya yang sedang memuntahkan isi perut karena terlalu banyak minum, makanya Crowley menyuruh mereka untuk kembali ke pesta.
Victor yang masih muntah-muntah didekatnya, kemudian berkata, “...Crowley.”
“Mm~?”
“Berikan airnya padaku.”
“Ini.” Crowley menyerahkan airnya kepada Victor.
Dengan nafas yang terengah-engah, Victor meneguknya. Nampaknya itu untuk membuatnya jadi lebih tenang.
“Haah, akhirnya. Aku sudah lega sekarang.”
Untuk menghindari muntahan, Crowley menarik Victor ketempat yang agak jauh dan menyuruhnya duduk, ia pun ikut duduk disebelahnya.
“Menyedihkan sekali.”
“Ya, sangat mengganggu.”
“Kurasa begitu.”
“Terima kasih atas bantuannya, Crowley. Kau ini memang penyelamatku.”
“Berlebihan, tahu. Bukannya kau memang selalu muntah, ya? Lagipula, aku sudah tahu hanya dengan melihat gelagatmu itu.”
“Baiklah, kuganti kata-katanya: kau sudah jadi penyelamatku lagi.”
“Iya, iya.”
Acara minum-minum diluar maupun didalam ruang makan masih terus berlanjut. Suara tawa pun dapat terdengar dari berbagai sudut. Riuh penuh suka cita menghiasi malam, dan tanpa sadar hanya dalam waktu beberapa hari kedepan para ksatria dan squire akan berada digaris depan.
Crowley mengamati sekelompok squire disana sambil melamun, ketika Victor tiba-tiba mengangkat kepalanya. Sama seperti Crowley, ia pun menatap kearah para squire yang sedang berpesta.
“Mereka heboh banget, ya.”
“Mau kembali ke ruang makan?”
“Enggak, ah.”
“Tapi kalau kau tidak kembali, semua gadis cantik disana nanti diambil loh. Bukannya ini kesempatan langka untuk menyentuh para gadis tanpa harus sembunyi-sembunyi?” ujar Crowley.
Victor menyeringai kemudian menjawabnya,
“Aah~ benar juga, ya. Tapi, yah, sepertinya sudah tidak berlaku lagi untukku. Aku kebanyakan minum, jadi aku ragu bisa kembali lagi sekarang.”
“Hahaha.” Crowley tak bisa menghentikan tawanya.
Victor sendiri bahkan tak pernah merasa keberatan menjadi topik pembicaraan. Itulah mengapa  semua orang senang berada didekat Victor.
Victor yang berada disebelah Crowley menarik nafas dalam-dalam dan mengubah raut wajahnya jadi serius, kemudian berkata,
“Hei, Crowley.”
“Hm?”
“Bagaimana menurutmu tentang Perang Salib ini?”
“Maksudnya?”
“Kita bermaksud untuk menyerbu negara asing dan menghancurkan berhala-berhala disana.”
“Hm, iya.”
“Apa kau takut?”
Mendengar hal itu, Crowley langsung menjawabnya dengan jujur,
“Ya, aku juga. Bagaimana denganmu, Victor? Apa kau takut?”
“Pake banget dan rasanya aku sampai terkencing-kencing.”
Ketika Victor mengatakan hal itu dengan wajah serius, Crowley melepaskan tawanya lagi.
“Memangnya kau tak bisa menahannya?”
“Mau ditahan atau enggak, kurasa sama saja~”
“Hahaha.”
Setelah menghentikan tawanya, Crowley pun berkata, “Pokoknya kita harus kembali dengan kemenangan.”
“Ya, itu sudah pasti. Tapi.... Aku bisa selamat tidak, ya?”
“....Entahlah. Tapi yah, kudengar seorang Ksatria Templar yang gugur dalam perang bisa langsung ke Surga.”
Victor menatap keatas langit, sebelum akhirnya menjawab, “Yah~ Semoga saja nanti ada banyak gadis cantik di Kerajaan Surga sana.”
“Haha.”
Crowley pun ikut menatap kelangit. Penampakan bintangnya tidak begitu terlihat. Mungkin besok akan hujan.
“Hei, Crowley.”
“Mm?”
“Kalau nanti kau melihatku dalam bahaya, bantu aku yah?”
“Ya, tentu saja. Lagipula, tadi aku dapat perintah yang sama dari Letkol.”
“Apa yang dikatakannya?”
“Tebas para musuh. Lindungi rekan-rekanmu.”
“Singkat banget perintahnya,” Victor tertawa kecil.
Itulah saat dimana Letkol Alfred akhirnya keluar dari ruang makan. Tak selang beberapa lama, ia menatap kearah Crowley dan Victor yang sedang duduk tak jauh dari muntahan.
Sambil kebingungan Crowley bermaksud untuk menghampirinya, namun Letkol mengisyaratkan untuk tetap disana.
“Jangan. Duduk saja.”
“Sesuai dengan keinginan anda, pak.”
“Lalu, Victor.”
“Siap, pak.” wajah Victor tampak pucat ketika menatap kearahnya.
Mungkin Letkol sudah selesai bicara dengan semua ksatria berpangkat tinggi diruang makan. Jadi, mungkin hanya tinggal Victor saja yang belum menerima perintah darinya.
“Ada apa, pak?” tanya Victor.
“Sebentar lagi, kita akan menghadapi medan perang,” ujar Letkol.
“Benar, pak.”
“Sebelum itu, apa bagian yang menyedihkan bagimu?”
“Maaf.”
“Kelebihan yang kau miliki adalah semangat optimismu. Mental para pasukan akan meningkat saat kau berada disana. Makanya saat dimedan perang nanti, jangan perlihatkan wajah pucat yang bodoh itu; sebagai gantinya, beri semangat rekan-rekanmu dengan sikap optimismu itu. Paham?”
Sudah pasti itu adalah kata-kata pujian. Meskipun Victor selalu terlihat lesu ketika berhadapan dengan lawannya selama berlatih, Letkol paham betul dimana letak kelebihannya yang berharga.
Victor terlihat menggerak-gerakkan kakinya karena gugup, “J-Jika saya dapat lebih berguna dengan segala kekurangan yang ada, saya...”
Namun sikap antusias terhadapnya pun berubah, karena melihat adanya muntahan yang berceceran tepat dimana ia berdiri.
Letkol menderu sambil tertawa, “Bodoh sekali.”
“M-Maafkan saya, pak. Tapi mulai besok, saya akan berjuang dengan sungguh-sungguh.”
“Bagus.”
“Letkol, kalau boleh saya bertanya...”
“Hm?”
“Malam ini anda tidak membawa seorangpun wanita, pak?”
Mendengar hal itu, Letkol hanya mengangkat bahunya.
“Saya menikah sebelum bergabung dengan Orde, jadi saya menghabiskan waktu bersama dengan istri malam ini.”
Victor terlihat terkejut. “ Oh, anda sudah punya istri, pak?”
Crowley pun tidak tahu menahu. Namun lagi-lagi, ketika Ksatria Templar dilarang untuk memiliki hubungan dengan wanita. Jika seorang anggota sudah memiliki istri sebelum bergabung, sebuah pengecualian pun terjadi.
“Berarti anda sudah tidak sabar ingin pulang dong, pak?”
“Dasar kamu ini!” Letkol tertawa. Setelah itu, ia berbalik kemudian berlalu pergi.
Melihatnya sudah berbalik pergi, tiba tiba Victor berkata, “Crowley.”
“Ya?”
“Sepertinya aku juga akan berjuang.”
“Kenapa kau jadi tiba-tiba bersemangat, gitu?” tanya Crowley, lalu Victor mengangguk.
“Baiklah. Kalau misalnya Letkol pulang kerumah sendirian, berarti si gadis cantik itu bebas dari siapapun sekarang! Jadi, aku mau balik dulu ke ruang makan, ah!”
“Hei nak, itukah yang kau sebut dengan berjuang?” Crowley tertawa. Sepertinya dia benar-benar meragukan si Victor itu. Sambil mengayun-ayunkan kakinya saat berjalan menuju ruang makan, ia berharap bisa segera bermain dengan wanita disana.
Selagi mereka berdua kembali ke ruang makan.
Semua orang yang ada didalam jadi semakin banyak minum-minum dan bersenang-senang.
Bahkan wajahnya Gilbert sampai memerah ketika ia mengeluh, “Astaga~ Darimana saja kalian berdua~?!”
Kemudian, mereka semua kembali minum-minum.
Itulah malam paling membahagiakan bagi Crowley yang masih dalam ingatannya dengan sangat jelas hingga saat ini.


Dan itulah saat dimana Ferid Bathory mengganggu jalan cerita Crowley dengan sebuah pertanyaan,
“Jadi pada akhirnya, saat malam itu kau tidur bersama dengan para gadis disana?”
“Itukah yang membuatmu tertarik?” jawab Crowley.
Sambil mendekatkan gelasnya sedikit, Ferid menyeruput anggur merahnya.
“Kalau tidak salah, dengar-dengar katanya kita memang sudah memenangkan Perang Salib ini sejak awal. Setelah benteng musuh yang bernama Damietta terkepung, para musuh mulai mendekati para tentara salib beberapa kali untuk menawarkan aksi damai.”
“Benar.”
“Para tentara salib banyak yang mencoba untuk kembali dengan kemenangan. Dan faktanya, hanya beberapa negara saja yang ikut serta. Tapi, kalian masih tetap ke medan perang?”
“Ya, itu benar. Saat itu, kami hanya sedang tidak beruntung.”
Perang Salib Kelima tidak dipimpin oleh negara-negara monarki selain dibawah kepemimpinan seorang Paus.
Dewan Kepausan yang bernama Palegius, menyatakan bahwa ia sama sekali tidak menerima tawaran untuk berdamai dari para penyembah berhala apapun alasannya. Beliau merupakan seorang pria tamak dan sangat fanatik terhadap ideologi agama. Itulah mengapa ia bahkan menciptakan deklarasi yang tidak masuk akal seperti, “Tanah Suci hanya boleh direbut kembali oleh darah Kristian.”
Meskipun kaum kapitalis justru berkesempatan besar untuk merebutnya, ia tetap bersikukuh dalam aksi penaklukkan Kairo-nya. Dan pada akhirnya, itulah yang menyebabkan kekalahan. Dikalahkan habis-habisan dan semuanya mati.
Selamanya takkan ada satupun cara untuk memenangkan perang. Karena saat ini pemimpin mereka telah kehilangan waktu jeda, sudah tak terhitung lagi berapa banyak tentara salib yang mati dengan sia-sia.
Ferid bertanya, “Jadi, mengenai pesta minum-minum yang tadi kau bicarakan, siapa saja diantara mereka yang kehilangan kepercayaan seperti dirimu?”
“...” Crowley pun terdiam.
Ferid tidak terlalu memikirkannya, ia pun melanjutkan,
“Rekanmu yang bernama Gilbert itu salah seorang yang selamat, ‘kan? Dia adalah anak yang hari ini datang ketempat kejadian perkara, ‘kan? Dan dia juga yang ingin kau kembali pada mereka.”
“Benar.”
“Bagaimana dengan rekan-rekanmu yang lain? Berapa banyak diantara mereka yang masih hidup?”
Pertanyaan itu mengingatkan kembali pada Crowley saat berada di propaganda terakhir.
Mereka merebut benteng musuh, para penguasa beserta dewan kepausan pun mulai berusaha untuk mengambil alih daratan tersebut; kemudian, sebuah propaganda baru untuk memperoleh kemenangan dan menguasai pun dimulai.
Belum cukup. Masih belum cukup.
Tanah Suci. Rebut kembali Tanah Suci!
Mungkin begitulah keserakahan yang membawa kemurkaan Tuhan kami. Wabah yang merajalela diantara pasukan bertahan, serta banyaknya rekan-rekan Crowley yang mati. Bahkan Guillaume de Chartres, sang Imam Besar bagi seluruh Templar pun ikut menjadi korban dan mati.
Meskipun begitu, perang masih belum usai.
Berjuang. Terus berjuang. Dan berjuang.
Kita pasti dapat merebut kembali Tanah Suci dengan tumpahan darah yang dikorbankan!
Demi perintah yang diemban, Crowley beserta rekan-rekannya terus bertarung dengan putus asa.

Ia pun mengingat kembali apa yang terjadi pada saat itu.

♦ ♦ ♦
Denyut yang dapat ia dengar. Nada bisu yang berasal dari jantungnya bergemuruh layaknya lonceng tanda bahaya. Dan begitulah yang ia dengar saat ini.
Medan perang.
Tempat yang sangat mengerikan. Tempat dimana rekan-rekannya mati dengan sia-sia. Meskipun seharusnya mereka mendapat penjagaan ketat ketika mereka menuju medan perang sebagai pasukan keadilan.
Mereka memenangkan perang demi perang, lagi dan lagi, meskipun sudah terlambat untuk mengakhiri perang yang ada. Lantas, apa artinya kami berada disini?
Musuh-musuh yang berada dihadapan mereka begitu kuat. Bahkan hingga saat ini, lahan keuntungan yang dimiliki para musuh adalah keberuntungan— secara harfiah segalanya berada dipihak mereka.
“Ya Tuhan,” Crowley berbisik. “Ya Tuhan, kumohon jangan abaikan kami.”
Meskipun mereka telah mengerahkan segalanya, para tentara salib tetap bertarung dengan putus asa. Demi keadilan. Demi segalanya. Dibawah nama –Nya yang agung.
Seorang penyembah berhala berkulit hitam berteriak, “Uwoooaaaaaaah!” sambil mendekat kearahnya.
Pedang Crowley memenggal kepalanya. “Mati kau, kafir sialan!”
Kepalanya terlempar ke udara. Darahnya menyembur kemana-mana. Tubuhnya pun bermandikan darah.
Namun, ia sama sekali tidak peduli. Seluruh tubuhnya, dari kepala hingga ujung kaki memang telah dipenuhi warna merah. Darah rekan-rekannya, darah para musuhnya, daging, isi perut— semua itu menodai tubuhnya.
Bahkan ia tidak tahu lagi berapa banyak musuh yang telah ditebasnya. Ia membunuh, terus membunuh dan membunuh. Hingga tak terhitung lagi jumlahnya, meskipun jumlah tebasan para musuh menentukan harga diri seorang ksatria.
Ia tak lagi memiliki kekuatan maupun waktu untuk istirahat. Hanya kenekatan yang masih tertinggal. Kenekatan untuk melindungi rekan-rekannya.
Kata-kata yang dikatakan Letkol padanya sebelum mereka berada disini, hanya itulah yang berulang kali memenuhi isi kepalanya. Tebaslah para musuh sebanyak mungkin. Dan lindungi rekan-rekanmu.
Ia terus melanjutkan perintah itu.
Ia hanya membunuh tanpa pikir panjang, melupakan tujuan ia bertarung.
Hanya menebas. Para musuh. Siapapun yang menyerangnya.
Membunuh para penyembah berhala yang lebih memilih untuk mengikuti ideologi yang salah. Membunuh. Membunuh.
Menembus dada orang yang berada didekatnya dengan pedangnya, Crowley kemudian menendang wajahnya, sambil menarik kembali pedangnya. Mengambil tombak dari musuh, ia lalu menusuk wajahnya dengan ujung tombak itu hingga tengkoraknya hancur. Kemudian, ia lempar tombak itu kearah leher orang yang sedang menempatkan panah dibusurnya.
Pokoknya, bunuh. Bunuh para penyembah berhala itu. Bunuh mereka sebelum mereka membunuhmu!
“Huff... Huff... sial, masih belum, ya? Musuh belum juga menyerah rupanya...”
Jantungnya serasa mau meledak. Dan ia benar-benar sudah kehabisan nafas.
Namun ia masih berkata, sambil membunuh musuh dihadapannya, “Aku hidup. Disini, saat ini. Aku masih hidup!”
Ia terus membisikannya didalam perang, seolah sedang berdo’a. Tanpa sadar, tangan kirinya meraih rosario yang ada dilehernya. Hatinya memohon pertolongan. Memanggil-manggil nama Tuhannya.
Kumohon selamatkan aku dari tempat yang sudah gila ini, hatinya berteriak, memohon kepada Tuhan.
Namun pertolongan tak kunjung datang. Ia tak dapat merasakan adanya petunjuk.
Musuh lain pun menuju kearahnya.
Crowley mengetuk pedangnya ke samping. Ketika mengayunkannya kembali, pedang miliknya menyabet musuh dari pundak hingga ke dada, lalu ia cabut jantungnya. Dengan begitu, tak ada musuh yang berani mendekatinya.
Beberapa diantara mereka menatap kearah Crowley dari kejauhan— yang saat ini sedang berlumuran darah dan dengan wajah yang menakutkan.
Crowley seolah membelalak kearah mereka, “Apa? Kenapa kalian tidak menjauh dariku?”
“...”
Mereka menunjuk-nunjuk kearahnya, sambil mengatakan sesuatu secara bersamaan.
“Apa? Kalian bilang apa?”
Kemudian, salah satu dari mereka berteriak kearah Crowley, “Syetan!”
Crowley mengetahui arti dari kata itu. Dalam bahasa penyembah berhala, itu berarti “Iblis”.
Ia berjuang sampai sejauh ini demi Tuhannya, hanya untuk dipanggil iblis.
Namun, ia tidak terlalu mempedulikannya. Jika begitulah cara untuk mengakhiri perang ini, ia tidak mempedulikannya.
Dengan nada amarah, Crowley meneriaki balik para penyembah berhala itu, “Benar sekali! Aku adalah iblis! Monster yang Tuhan kirimkan untuk menebas orang-orang kafir! Kalau kalian tidak mau mati, menyingkirlah dari sini sekarang juga! Kalian yang mau dipanggang dengan api neraka, hadapilah aku!”
Mungkin situasi akan membaik jika deruan amarahnya menggoyahkan mental para musuh, pikirnya. Bahkan mungkin cukup untuk membuat mereka jadi ketakutan.
“...”
Namun, itu tidak semudah yang terlihat. Tentu saja, mereka takkan menyerah. Terlebih lagi, jumlahnya sangat menguntungkan mereka.
Setelah mengambil kesempatan untuk berdiskusi, beberapa penyembah berhala pun bersatu dan berusaha menyusun serangan untuk melawan Crowley.
“Sialan,” sumpah serapah yang keluar dari mulutnya ketika perasaan mendengung memecah udara. Suara panah pun membuatnya semakin tersulut.
“Cih!” Ia berbalik dari arah suara, tapi percuma saja. Sekarang, ia takkan bisa mengelak lagi. Sambil mengangkat tangan kanannya, setidaknya ia dapat melindungi kepala dan jantungnya.
Namun saat panah hampir mengenai lengannya, dari belakang Crowley, Victor gagalkan dengan pedangnya.
“Jangan lengah, Crowley!”
Gustavo dan beberapa squire menyapu bersih para tentara musuh yang menyerang dengan panah dan membunuhnya.
Crowley menatap Victor yang baru saja menyelamatkannya. Victor pun berlumuran darah dan nampak begitu mengerikan.
“Bodoh. Siapa yang akan melindungiku kalau kau mati duluan?” katanya, Crowley pun mengangguk.
“Ya, maaf. Aku senang kau masih hidup.”
“Ini takkan bertahan lama. Ksatria Templar tidak diizinkan untuk mundur. Meskipun kita kembali dengan kemenangan maupun dengan kematian... Agh, sial. Aku harus segera memukul anak-anak ayam itu sebelum mereka sampai kesini!” Bahkan dalam situasi seperti ini, Victor masih sempat membuat guyonan.
Crowley berusaha untuk tertawa, namun otot-ototnya kram dan menolak untuk bergerak.
Dibelakang mereka, pasukan musuh yang jauh lebih banyak mengepung tempat mereka berdiri. Mustahil keajaiban itu terjadi, inilah saat dimana mereka semua benar-benar akan mati.
Namun, ia tak mengerti apa arti sebenarnya kematian mereka. Tidak seperti mereka yang berkesempatan lebih untuk memenangkan perang ini. Mustahil untuk merebut kembali Tanah Suci sekarang. Ini adalah perang yang tidak seharusnya ada, dimana saat rekan-rekan mereka hanya mati dengan sia-sia.
___________________________________________________________
Dewan Kepausan yang saat ini mengajukan aksi bunuh diri massal, tapi belum tentu itu akan berhasil. Menurut rumor yang beredar pun, dewan kepausan seolah tidak tahu-menahu dan bahkan menolak untuk melihat keadaan perang yang terjadi.
Yang artinya, mereka akan mati disini dengan sia-sia.
“...Kita mati. Kita bakal mati disini, ‘kan?” Crowley bergumam, dan Victor tertawa.
“Jangan bilang begitu.” “Kuharap kematian kita ini bisa sedikit lebih terhormat.” “Kau masih bisa  terus melindungiku sampai ajalmu.”
Mendengar kata-kata itu, Crowley menatap kearah Victor.
“Itu sudah cukup terhormat.”
“Aku tahu, kok. Tapi, aku sudah terlanjur disini.”
“Kau pasti bakal dituntut kalau sampai lari dari medan perang.”
“Eh? Bukannya ada aturan yang bilang kalau kau kalah jumlah 3-1, mendingan kabur, ‘kan?”
Usai Victor menjelaskan kepadanya, Crowley merasa aturan itu ada benarnya juga. Tapi...
“Apa musuh bakal semudah itu membiarkan kita kabur?”
“Gatau sih. Tapi, kita sudah banyak membunuh rekan mereka.”
Pada saat itu, akhirnya Crowley bisa tersenyum.
“Mereka memanggilku Iblis tadi.”
“Haha, itu karena kau sudah membunuh lebih banyak dari yang lainnya.”
Sementara itu, teriakan Gustavo terdengar dari belakang mereka.
“Mundurlah, kita akan berkumpul dalam satu regu.”
Berbalik kearahnya, Crowley mengangguk. Mereka mundur secara perlahan, sambil menebas para musuh yang datang menghampiri mereka.
Kemudian suara teriakan yang berulang kali terdengar dari rekan mereka yang lain.
“G-Gawat, Letkol terluka parah!”
“Ap—?!”
Crowley memandang kearah sumber suara. Dada Letkol Alfred mengalami luka tebasan yang dalam. Beberapa ksatria berpangkat tinggi pun menarik diri dengan tergesa-gesa sambil membopongnya.
Gustavo memberi usul, “Hei, ayo kita lindungi Letkol.”
Sedangkan Crowley, justru berpandangan lain terhadap Letkol dan menggelengkan kepalanya.
“Tidak, aku tidak ikut.”
“Kenapa?!”
“Letkol berkata padaku untuk menebas para musuh sebanyak yang kubisa dan melindungi rekan-rekanku. Kalau aku berada disisinya sekarang, dia pasti akan memarahiku. Itu bukanlah kematian yang terhormat.”
“Bodoh! Siapa juga yang mau memberi tanda kehormatan disaat-saat seperti ini! Hei, ayo kita lindungi Letkol?!”
“Tapi yah, kita kesini juga cuma buat mati.”
“...Ugh.”
“Meskipun tidak ada tanda kehormatan didalam perang ini, aku ingin Letkol memujiku sekali saat disurga nanti.”
Wajah Victor merenggut seolah akan menangis.
“Ah, sial! Kalau begitu, aku akan tetap bersamamu.”
“Kau pergi saja sana.”
“Mana bisa aku meninggalkanmu begitu saja! Kalau kita mati disini, matilah bersama-sama!” Victor pun menatap lurus kedepan dan bersiap dengan kuda-kuda pedangnya.
Sambil menatap wajah rekan terdekatnya, Crowley menggenggam erat kendali pedangnya. Dibelakang mereka, beberapa barisan squire beserta prajurit biasa pun ikut ambil bagian dalam Perang Salib ini.
Victor berkata, “Crowley, berikan aba-aba.”
Namun tak ada strategi apapun lagi yang memerlukan aba-aba dan perintah. Mereka sudah jelas kalah. Yang masih bisa mereka lakukan adalah menjaga kepala mereka dari serangan dan membunuh para musuh sebanyak mungkin hingga nafas terakhir mereka. Tak ada satupun yang tertinggal bagi mereka.
Itulah mengapa sambil mengangkat pedangnya, Crowley pun berkata, “Percayakan hidup kalian kepadaku! Kita akan melakukan serangan balas! Ber—“
Saat hampir meneriakkan “Bersiaplah!”, ia mendengar suara hentakan dari belakangnya.
“Tuan Crowley! Tuan Victor!” Itu suara Gibert. Ia menghentikan kudanya tepat dihadapan mereka sambil memblokir jalan. “Aku membawa bala bantuan!”
Crowley melihat kearahnya, lalu melirik ke belakangnya. Ia melihat ada sekitar 10 barisan ksatria yang tiba. Namun bukan berarti barisan pasukan kecil seperti itu bisa mengubah situasi mereka saat ini.
Sementara itu, Gilbert meneriakkan sesuatu dalam bahasa penyembah berhala. Crowley tidak tahu apa yang dikatakannya, namun saat Gilbert berteriak, para musuh menghentikan serangannya. Dengan terlihat panik, mereka mulai mendiskusikan sesuatu.
Victor bertanya, “Hei, Gilbert. Apa yang kau katakan pada mereka?”
“Seperti yang tadi kami katakan, disana ada ribuan bala bantuan kami yang akan segera datang.”
“Terus, mereka beneran datang?”
“Tidak,  mereka enggak akan datang.”
“Ehh?!”
“Jadi, lebih baik kita mundur selagi aku masih bisa menahan mereka. Musuh yang menang jumlah 3-1 dengan kita, tidak ada salahnya jika kita mundur sekarang.”
Crowley pun berkata, “Saat mereka tahu, mereka pasti akan langsung menyerang.”
“Ya, tapi sekarang...”
“Kalau nantinya kita mati, aku tak ingin menunjukkan punggungku kepada musuh.”
Namun, Gilbert dengan wajah kecewa menyampaikan kepadanya, “...Situasinya telah berubah, tuan. Walaupun hanya rumor yang sulit kupercaya, tapi...”
“Tapi apa?” Victor berbisik padanya.
“Mungkin perang ini akan segera berakhir,” jawab Gilbert.
“Eh? Apa maksudmu?”
“Dewan Kepausan... kurasa, ia ditangkap.”
“Apa?! Kau bercanda!” Victor berseru kaget.
Namun, kemungkinan itu memang sulit dipercaya. Situasi perang yang berada dalam kendali Paus pun tersudutkan, dan ia terpaksa menjalankan taktik yang serampangan. Tinggal menunggu waktu sebelum musuh memanfaatkan keuntungan dari rencana yang cacat ini.
Dan orang yang mempelopori aksi propaganda adalah Paus yang bernama Pelagius tersebut. Negara monarki telah hilang ketertarikannya terhadap perang ini. Jadi, jika Paus telah ditangkap, bagaimana dengan nasib Perang Salib ini?
Kekalahan yang jelas dan berantakan ini terlihat semakin nyata dari menit ke menit . Bersamaan dengan titik terang dari informasi baru ini, mereka hanya membutuhkan dorongan dan kerjasama penuh.
Gilbert bertanya, “Dimana Letkol?”
Sambil merenggut Crowley menjawab, “ Dia sedang terluka.”
“Mustahil.”
“Regunya mundur ke belakang.”
“Aku akan pergi memeriksanya!”
Gilbert memutar balik kudanya, namun Crowley menghentikannya.
“Tunggu, Gilbert. Hentikan tindakanmu yang seenaknya itu, baru pergi.”
“Ah...”
Kalau sampai ia kembali dengan cara tergesa-gesa, musuh akan menyadari bahwa kabar tentang bala bantuan yang datang itu hanya kebohongan belaka. Mereka pun mundur ke belakang secara perlahan.
Gilbert menarik tali kekangnya. Sambil terus menahan pandangannya terhadap musuh, ia menarik diri secara perlahan.
Berapa lama waktu yang akan dihabiskan? Beberapa jam? Semalaman?
Yang jelas, saat ini mereka harus mundur— sambil mencari solusi apa yang mereka butuhkan disaat-saat seperti ini.
Para musuh pun berbalik dan mulai mundur secara bersamaan.
Setelah menyadari tindakan mereka, Crowley pun menarik diri. Seperti yang diduga, ia dapat melihat dengan matanya sendiri seberapa banyak penderitaan yang dialami rekan-rekannya.
Ditanah ada potongan lengan, kepala serta potongan tubuh dari para squire yang masih sangat muda berserakan. Crowley sendiri pun memiliki sepuluh squire yang melayaninya. Tapi sekarang, selain mereka, yang selamat hanya...
“Tuan Crowley.” Salah seorang yang bernama Rosso, mendekati Crowley sambil berlinang air mata. Dia adalah seorang anak lelaki berambut cokelat dengan kulit langsat dan berbintik.
Crowley pun bertanya kepadanya, “Apa hanya kau yang selamat?”
“...Benar, tuan.”
“Syukurlah kalau begitu.”
“...Terima kasih, tuan.”
Crowley menepuk-nepuk anak yang tak bisa berhenti menangis, dipundaknya.
“Uuh, kalau saja aku bisa lebih kuat...”
“Ini bukan salahmu.”
“Tapi...”
“Ini bukan salahmu! Kalau itu menyakitkan, maka berjuanglah agar lebih kuat.”
“Baik, tuan!”
“Bagus,” Crowley mengangguk setuju, meskipun ia sendiri pun tidak menyangka mereka masih bertahan hingga sejauh ini.
Ketika mereka sudah mundur jauh ke belakang, Letkol Alfred terlihat sedang berbaring diatas tanah, dengan dikelilingi oleh para ksatria berpangkat tinggi yang datang untuk melihat keadaannya. Beberapa diantara mereka menangis.
Ketika regu menyadari bahwa Crowley dan Victor telah kembali, Gustavo yang berada disisi Letkol berjalan kearah mereka.
Saat ia mendekat, Crowley bertanya kepadanya, “Bagaimana dengan kondisi Letkol?”
Gustavo menggelengkan kepalanya dengan wajah yang sangat kelelahan.
“Lukanya parah, jadi mungkin dia akan...”, ia tak sanggup mengatakannya.
Mati, mungkin begitulah. Letkol mereka yang begitu bersemangat dan berwibawa, akan mati dengan alasan perang yang menyedihkan ini. Didalam perang yang sia-sia dan sama sekali tidak penting ini.
“Sial...” Crowley mengerang, lalu tangannya meraih rosario dilehernya. Tak peduli sebanyak apa ia berdo’a kepada Tuhannya, seolah Dia tidak menolongnya, namun entah mengapa bagian dari dirinya masih berpegang teguh terhadap-Nya.
Gustavo pun melanjutkan, “Crowley.”
“Ya?”
“Letkol memanggilmu.”
“Aku? Kenapa?”
Namun pada saat itu, Victor mendorong punggung Crowley, “Kau itu kebanggaannya Letkol. Makanya, beliau pasti punya sesuatu yang ingin dikatakannya padamu.”
Crowley melihat kearah Victor yang menganggguk, lalu menuju tempat Letkol berada.
Sambil melemparkan pandangan terhadapnya, para ksatria yang berada disisi Letkol melangkah mundur. Seperti yang mereka katakan, ia dapat melihat Letkol yang sedang terbaring ditanah. Lukanya bagai kuburan. Luka tebasan didada Letkol Alfred terbuka lebar membentuk diagonal, hanya keajaiban yang dapat menolongnya.
Meskipun begitu, ketika ia melihat Crowley, ia berusaha untuk tersenyum.
“Kau disini, Crowley.”
“Benar, pak.”
“Aku tak dapat bicara keras, jadi mendekatlah.”
“Baik, pak.”
Sesuai dengan perintahnya, Crowley pun mendekat kesisi Letkol. Saat ia mendekat, Letkol langsung menggenggam tangannya dan menarik kesisinya. Genggamannya masih kuat, dan Crowley pun sempat terheran-heran.
Letkol pun angkat bicara, “Maaf, membuatmu harus melihatku dalam keadaan begini.”
“Saya mohon jangan berkata seperti itu, pak.”
“Jangan berwajah begitu. Kau sudah melakukannya dengan baik.”
“...Tidak, saya tidak melaksanakannya dengan baik, pak. Saya tidak sanggup memenuhi perintah yang anda berikan, Letkol.”
“Perintah? Apa yang kuperintahkan padamu?”
“...Untuk menebas para musuh sebanyak mungkin dan melindungi rekan-rekan kita. Namun, saya gagal dan begitu banyak rekan-rekan kita yang mati.”
“Bodoh. Itu adalah tanggung jawabku, bukan kau. Aku adalah Letkol yang memimpin regu ini.”
“...”
“Kau melakukannya dengan sangat baik, percayalah padaku. Jika tidak ada kau, kita pasti sudah tersapu dalam sekejap. Apa kau tahu para ksatria dan pasukan lain memanggilmu apa?”
Crowley menggelengkan kepalanya. Ia hanya tahu bahwa para musuh memanggilnya Iblis.
Letkol pun melanjutkan, “Pahlawan. Mereka memanggilmu pahlawan. Karena kaulah yang pertama berada digaris depan, menebas para musuh dan melindungi rekan-rekan kita lebih banyak dari siapapun. Semua ksatria disini masih hidup karena diselamatkan olehmu.”
“Tapi...”
“Diamlah. Aku tidak minta pendapatmu.”
“...”
“Aku bangga padamu. Dibandingkan para ksatria yang membelakangiku, kaulah yang terbaik. Aku sangat bersyukur kau masih ada sampai aku pergi,” ujar Letkol.
Berarti yang dikatakan Gustavo tentang Letkol yang memujinya itu benar.
Crowley mendekap erat-erat tangan Letkol. “...Tidak, kumohon jangan terlalu memuji saya, pak. Saya masih ingin anda melatih dan membimbing saya saat kita kembali.”
Namun Letkol hanya melihatnya dengan wajah terganggu.
“Saya masih belum bisa melakukannya tanpa anda, Letkol.”
Letkol pun meraih dan menepuk kepalanya dengan lembut.
“Bodoh. Kau sudah melakukannya dengan sangat baik, bahkan kau sampai disebut-sebut sebagai pahlawan. Pria yang seperti itu tidak seharusnya menangis.”
“...Tapi...”
Ia tak melanjutkannya karena beberapa saat kemudian Letkol batuk darah. Mengerikan, warnanya hitam dan sangat banyak. Crowley merasa tubuh Letkol mulai melemah.
Beliau akan mati. Letkolnya akan segera mati.
Letkol pun masih melanjutkannya, “Crowley, aku punya perintah terakhir untukmu.”
Seharusnya ia mengatakan sesuatu untuk menjawab kata-kata Letkol, namun nada suaranya menghentikan niatnya. Ia tak sanggup menjawabnya. Air mata mulai berjatuhan. Dan meskipun ia mencoba untuk bicara, suara yang keluar pasti lemah dan bergetar.
Letkol berkata, “Perintahku padamu: apapun yang terjadi, jangan sampai kau mati disini.”
“...”
“Kau memiliki masa depan. Kau selalu tenang dan sabar, berbakat dalam pertarungan pedang dan juga populer. Kaulah satu-satunya yang akan memimpin Orde ini suatu hari nanti. Itulah mengapa kau pasti takkan mati ditempat seperti ini.” ujar Letkol.
“...Tapi saya diajarkan untuk mati dalam perang dimana kehormatan seorang ksatria berada.” jelas Crowley.
“Melindungi rekan-rekanmu itu baru kehormatan seorang ksatria.”
“...”
“Selain itu, ini bukan lagi peperangan. Ini adalah bunuh diri. Aku tidak akan biarkan orang-orangku terbunuh didalam perang yang sangat gila ini,” Letkol menjelaskan sambil menggenggam pundaknya. “Makanya, Crowley... Kupercayakan semuanya padamu... rekan-rekan... tolong jaga mereka dan... kembalilah dengan selamat.”
Sebelum Letkol Alfred menyelesaikan permintaannya, lengannya kehilangan kekuatan. Semakin melemah, tubuhnya pun tak berdaya ditanah.
Pada akhirnya, Letkol mereka tak bisa kembali pulang.
Sambil menahan tubuh Letkolnya yang sekarat dilengannya, Crowley memandang kearahnya.
“...” Bahkan gertakan giginya tak dapat menahan air matanya yang terus mengalir dipipinya. Padahal, ia telah berusaha sekuat tenaga agar dapat menghentikan isak tangisnya.
Ia mulai mempelajari kemampuan berpedangnya dari Letkol sejak masih berusia 17 tahun. Orang inilah yang mengajari segalanya agar menjadi seorang ksatria sejati.
Dan sekarang beliau mati. Pembimbingnya telah wafat.
Dan yang lebih parahnya lagi, didalam perang yang sangat sia-sia ini.
Ini... Inilah yang paling tak bisa dimaafkannya, bahkan takkan pernah bisa dimaafkan.
Jika Tuhan memang benar-benar melihatnya, jika Dia benar-benar memperhatikan setiap perbuatan selama dihidupnya. Berarti seharusnya Dia tahu kenyataan bahwa Letkol bukanlah orang yang pantas untuk mati disini. Lantas, apa tujuannya membiarkan mereka semua bertarung disini? Kenapa Tuhan seolah-olah tidak memperhatikan...?
Seseorang menyentuh dengan lembut pundak Crowley. Dia adalah Victor. Victor pun terlihat sedih dan berusaha menahan air matanya.
Crowley dengan nada berat, “...Letkol...”
“Ya.”
“Letkol sudah tiada.”
“Ya, aku tahu.”
“Apa yang harus kulakukan sekarang...?”
Mendengar hal itu, Victor menjawab, “Jadilah seperti biasa. Dirimu yang seperti biasa itulah yang Letkol yakini dan percayai.”
Dirinya yang seperti biasa. Crowley menyentuh rosario yang berada dilehernya. Seolah sedang memohon pertolongan Tuhan. Seolah sedang berdo’a kepada Tuhan yang takkan sampai ditelinga-Nya.
Untuk beberapa saat, Crowley belum juga beranjak. Namun, ia tahu bahwa tidak mungkin ia tetap disini selamanya. Namun untuk beberapa saat. Sebentar saja. Memberikannya sedikit waktu, terlalu singkat rasanya menghilangkan rasa duka serta menerima kematian Letkolnya yang saat ini masih berada dalam genggamannya, yang tidak akan bisa memarahinya lagi.
1 detik. 2 detik. 3 detik.
Beberapa saat kemudian, Crowley pun mengangkat kepalanya lagi. Ia mengusap-usap matanya yang basah oleh air mata dengan tangannya. Rosario yang menggantung dileher Letkol, ia letakkan didalam kantungnya. Kemudian, ia letakkan tubuh Letkol diatas tanah dan berdiri.
Pada saat itu, Gilbert yang lebih dulu bicara sedang berada dibelakangnya.
“Tuan Crowley. Apa yang akan kita lakukan sekarang?”
Crowley pun menengok. Matanya menyorot kearah para jajaran ksatria beserta rekan-rekannya yang sedang berkumpul disana. Dan dibelakang mereka, juga ada prajurit biasa yang sedang menunggu.
Akan tetapi, jumlahnya sudah berkurang. Saat berada didalam perang yang kacau balau tadi, mereka sudah terpisah dengan unit mereka dan berpencar kesana kemari, jadi ia tidak tahu pasti ada berapa banyak rekan-rekan mereka yang gugur.
Meskipun begitu, sekitar 70 orang yang masih tetap bertahan. Diantara mereka, ada Gilbert, Victor, Gustavo, Rosso si squire, para ksatria lainnya beserta prajurit yang mengikuti mereka sedang melihat kearah Crowley dengan penuh harap.
Sambil mengamati mereka, ia membisikkan sesuatu yang hampir tidak terdengar,
“...Jaga rekan-rekan dan kembalilah dengan selamat...”
Dan kata-kata itu membuatnya jadi semakin gentar.
Mereka berada ditengah-tengah wilayah musuh dan tanpa adanya bala bantuan yang datang. Sejujurnya, perintah itu tampak mustahil untuk dilakukan. Namun, mereka harus bertindak cepat.
“...”
Tak lama kemudian, Victor pun angkat bicara. “Tidak apa-apa. Aku akan membantumu.”
Gustavo pun ikut angkat bicara, “Tentu saja, aku juga. Menyebalkan memang disuruh-suruh oleh juniorku, tapi ini ‘kan perintah langsung dari Letkol.”
Para ksatria berpangkat tinggi lainnya pun kelihatannya tidak punya pilihan lain.
Gilbert berkata, “Tuan Crowley. Silahkan, perintah anda.”
Crowley pun mengangguk dan menjelaskan, “Semuanya, mundur! Kita akan mundur sekarang, dalam artian kita akan kembali tanah ini lagi nanti! Sekali lagi! Mulai sekarang, aku tidak mau ada siapapun lagi yang mati! Kita akan saling melindungi dan kembali dengan selamat! Setelah itu, kita akan bangun kekuatan kita dan merebut kembali Tanah Suci lagi!”
Menanggapi teriakkannya, para ksatria pun bersorak.

[Translater : Namika KN]