Yo! Kita mulai jilid 2~ Mohon bantuan semangat dan pengawasannya biar bisa sampai akhir, ya~ 
     Btw, aku lagi pesan Owari no Seraph: Kyuketsuke Mikaela no Monogatari. Sayang kehabisan stock dan mungkin baru sampai Januari atau Febuari. Jadi, doakan semoga cepat dapet stock, biar cepat sampai. Kalau kalian mau, nanti kuterjemahin~~ www
          Dan di prolog ini ada kata ‘aku (watashi)’ dan ‘saya (watakushi)’. ‘Tuan(-sama / aruji)’ dan ‘Dia (kare)’. Kagami Takaya –Sensei memberi perbedaan, saat pelayan (supaya ga spoiler) berbicara dengan melihat Guren sebagai ‘Tuannya’ (yaitu saat bilang ‘saya’ dan ‘Tuan’) dengan saat melihat Guren bukan sebagai Tuannya (saat bilang ‘aku’ dan ‘dia /-nya’)



OWARI NO SERAPH: ICHINOSE GUREN, 16 SAI NO CATASTROPHE  JILID 2
PROLOG
CINTA MILIK SANG PELAYAN


Kapan, ya, pertama kali aku menyadari tumbuhnya rasa cinta ini?
Cinta yang tumbuh itu, adalah cinta terhadap orang yang berbeda status.
Tuan Guren, terlahir sebagai sosok yang harus dilindungi oleh kami, Keluarga Hanayori, yang merupakan keluarga pelayannya, meskipun harus mempertaruhkan nyawa kami. Sedangkan--------
Aku, terlahir di keluarga pelayan.
Karena itu cinta ini, adalah perasaan cinta yang sama sekali tidak boleh kumiliki----------tetapi.



Sepuluh tahun yang lalu, pada hari itu.
Terjadi suatu peristiwa.



“.....Anu, Tuan Guren, apakah Anda baik-baik saja?” Aku memanggil nama Tuan-ku.
Namun, mungkin karena suaraku itu kecil, sepertinya Tuan Guren tidak mendengarnya.
Di dalam kamar tidur, yang ada di mansion keluarga Ichinose.
Dari balik pintu geser model Jepang, suara erangan Tuan Guren terdengar sangat menderita.
Yang kudengar dari ayah, kemarin Tuan Guren dipukul bertubi-tubi oleh para orang dewasa dari keluarga Hiiragi. Karena itu, tulang Tuan Guren patah di beberapa bagian tubuh. Seluruh wajahnya penuh dengan luka lebam, dan juga terkena deman yang tinggi.
Tentu saja, sebagai pelayan, orang dari Keluarga Hanayori dipanggil ke Keluarga Ichinose, untuk mengadakan rapat dalam menangani masalah ini.
Kemudian, aku yang dibesarkan sebagai orang yang akan menjadi pengawal khusus Tuan Guren,  diperintahkan untuk menemani Tuan Guren.
Namun, saat itu aku masih berumur 5 tahun.
Aku tidak mengerti secara detail, informasi dari orang-orang dewasa yang ada. Lagipula, rasa kesetiaanku kepada Tuanku dan semacamnya------------ pada saat itu tidaklah ada.
Namun, karena kedua orang tuaku berkata bahwa aku dilahirkan demi menjadi pelayan keluarga Ichinose, maka aku hanya bisa berpikir, sepertinya memang harus seperti itu.
Saat ini, aku berada di sini pun, hanya karena aku diperintahkan.
Karena itulah, meskipun saat ini aku mendengar suara yang menderita dari anak laki-laki di balik pintu geser ini, aku memang merasa kasihan kepadanya, namun aku belumlah merasakan adanya perasaan seperti rasa marah karena Tuan-ku disakiti.
Ini adalah pekerjaanku.
Tugas untuk menjaga yang diberikan oleh kedua orang tuaku.
Karena itulah, sekali lagi aku,
“ ..... Tuan Guren. Apakah badan Anda merasa sakit?”
Saat aku berkata demikian, terdengar suara, “DUAK”, seperti ada sesuatu yang dipukul dari dalam kamar.
Aku pun langsung terkejut, dan dengan segera merespon hal tersebut. Aku langsung berdiri, dan bermaksud membuka pintu geser, karena mungkin---------jangan-jangan terjadi sesuatu dengan Tuan-ku.
Hari-hari pendidikanku itu, sangatlah luar biasa. Karena itu, meskipun tanpa adanya rasa kesetiaan, badanku dengan sendirinya akan langsung bergerak karena berpikir, aku harus segera membantu Tuan Guren.
Lalu, aku memegang pintu geser.
Kemudian, membukanya sedikit.
Pada saat itu, sekali lagi aku mendengar suara “DUAK”. Suara seperti sesuatu sedang dipukul.
Sebenarnya, suara apakah itu? Karena itulah aku pun mengintip dari celah pintu geser yang kubuka sedikit.
Tuan Guren telah merangkak keluar dari kasus lipat ala Jepangnya yang disebut futon. Dan suara tadi itu adalah suara Tuan Guren yang memukul tatami dengan kepalan tangannya.
Anak kecil berusia 5 tahun, dengan beberapa tulang yang patah di beberapa bagian tubuhnya, dan dengan wajah penuh dengan luka lebam berwarna biru, memukul tatami dengan kepalan tangannya. Kemudian, seakan-akan tengah membuang ludah,
“..... cih, sial! Sial! Itu karena kekuatanku belum cukup .....”
Ujarnya. Kemudian, sepertinya Tuan-ku menyadari keberadaanku.
Aku, tidak akan pernah lupa, wajah Tuan Guren pada saat itu.
Tidak, lebih tepatnya, aku tidak akan pernah lupa, mata ‘dia’.
Bola mata hitam, yang dipenuhi oleh kebencian yang sangat kuat, namun berkilauan penuh dengan daya tarik.
Tuan Guren menangis.
Menangis dengan wajah basah oleh air mata, terlihat sangat menyesal, sangat penuh dengan kesesakan, dan terlihat kesepian.
Aku seakan merasa bahwa aku telah melihat sesuatu yang seharusnya tidak kulihat. Karena itulah, aku menutup pintu geser.
Namun dari dalam kamar, segera terdengar suara.
“Sayuri, ya?”
“..... Iya”
“Bukalah. Aku sudah bangun”
“.....Baik”
Karena diperintah demikian, maka aku memegang pintu geser.
Namun sejujurnya, aku tidak ingin membukanya. Melihat wajah menangis Tuan-ku membuatku merasa canggung, dan aku tidak tahu bagaimana sebaiknya menanggapi hal itu. Terlebih lagi, aku belum pernah melihat anak laki-laki yang seumuran denganku, menangis seperti itu.
Karena itu, aku ragu-ragu untuk membuka pintu geser tersebut. Namun, pada saat itu, pintu geser tersebut, telah dibuka dari dalam.
Dan Tuan Guren pun keluar dari kamar, begitu saja.
“.....Ah!”
Saat aku mendongakkan kepalaku menatap Tuan Guren, dia, sudah tidak lagi menangis.
Wajahnya penuh dengan luka lebam, dan lagi, seharusnya lukanya adalah luka yang tidak memperbolehkannya untuk bangkit berdiri. Namun, seraya menatapku yang mengikuti di belakangnya, Tuan-ku berkata kepadaku.
“..... Aku membuatmu khawatir, ya. Kau sudah boleh pulang, kok”
“Tetapi”
Tuan Guren mengacuhkanku yang berusaha berkata demikian, dan keluar dari kamarnya.
Aku hanya mengikuti Tuan-ku, di belakang punggungnya.
Tuan Guren lantas pergi keluar, menuju ke halaman, dengan bertelanjang kaki, lalu menatap langit malam dengan tatapan yang kosong.
Hari itu, bulan sabit sangatlah cantik, dan hingga sekarang pun aku masih bisa mengingat bulan sabit itu dengan sangat baik.
Bulan sabit yang menyerupai lambang dari organisasi kepercayaan yang aku ikuti, yaitu Mikado no Tsuki. Bulan sabit yang sangatlah tipis, sehingga jika menyentuhnya, maka akan terpotong olehnya.
Seraya memandang bulan sabit itu, Tuan Guren berkata.
“Sayuri”
“Iya?”
“Berapa lama aku tertidur?”
“Hampir seharian penuh”
“Apakah selama itu, kau selalu berada di luar pintu geser itu?”
“Iya”
“Kalau begitu, aku sudah merepotkanmu, ya. Kau sudah boleh pulang, kok”
Mendengar itu, aku menggelengkan kepalaku.
“Tidak. Melayani Tuan Guren dengan berada di sisi Tuan, adalah sebuah tugas saya”
Namun, Tuan Guren tertawa geli mendengar jawaban itu.
“.....Hah? Tugas? Bocah, kan, tidak mungkin punya rasa setia sampai seperti itu?”
Mendengar kata-kata itu, aku sedikit merasa kesal. Alasan pertama, aku jadi ingin berkata padanya, bahwa dia sendiri juga seorang bocah.
Dan lagi setiap hari, aku terus menerus mendapatkan didikan agar melayani Tuan Guren dari dasar hatiku. Boleh dikatakan bahwa nilai dari hidupku, ditentukan oleh besar-kecilnya rasa kesetiaanku kepada Tuan Guren.
Lalu, aku yang seperti itu, dikatakan bahwa aku tidak punya rasa setia? Sebenarnya apa maksud perkataanya itu .....
Namun, seakan menyela pemikiran-pemikiran yang ada dalam pikiranku, Tuan Guren berbalik, dan berkata.
“.....Maaf. Yang barusan tadi, hanya untuk menghilangkan rasa maluku. Aku hanya berusaha menutupi rasa maluku, karena kau melihatku menangis”
“Ah ....”
“Dan lagi, aku membuatmu melihat sisi payahku. Jika Tuannya seperti ini, maka pelayannya pun akan kesulitan, kan. Aku tidak akan kalah lagi, untuk kedua kalinya. Maafkan aku, Sayuri”
Seraya berkata demikian, Tuan Guren lantas tertawa malu-malu kepadaku.
“..........”
Kemudian sejak saat itulah, takdirku telah ditentukan.
Bukan karena hal semacam, aku menjadi mengerti, beban apa yang ditanggung oleh Tuan-ku. Atau karena aku tahu, betapa beratnya tekanan kepada dirinya, yang merupakan penerus Keluarga Mikado no Tsukiyang sangat diharapkan. Takdirku bergerak bukan karena pemikiran masuk akal semacam itu.
Hanya saja. Hanya saja, aku jatuh cinta kepadanya.
Kepada anak laki-laki sebaya denganku yang ada di hadapanku.
Kepada anak laki-laki dengan wajah tertawa yang begitu manisnya, tetapi sesungguhnya sangat rapuh. Kepada anak laki-laki yang meskipun bersedih, namun tetaplah kuat.




Kemudian, 10 tahun berlalu, dengan begitu cepatnya.
Dan rasa cinta yang kumiliki tidaklah berubah.




Semenjak itu, aku tidak pernah lagi melihat air mata Tuan Guren. Dibandingkan yang terdahulu, Tuan Guren pun telah menjadi lebih kuat. Dia telah menjadi penerus harapan dari Keluarga Ichinose dan diakui oleh siapapun. Dan bagiku, aku merasa sedikit kesepian karena itu.
Di dalam diriku, ada semacam pemikiran, apakah dia sudah tidak lagi mau membuka hatinya kepadaku?
Aku baru mengetahui, detail peristiwa yang terjadi pada hari itu, setelah beberapa tahun berlalu.
Kisah mengenai anak perempuan dari Keluarga Hiiragi, yaitu-------Hiiragi Mahiru dengan Tuan Guren.
Saat pertama kali aku mendengarnya, hatiku terasa sakit, dan aku tidak bisa tertidur di malam hari. Namun, aku juga tahu, bahwa keduanya sama sekali tidak terikat nasib. Aku merasa tenang karena itu. Namun bersamaan dengan perasaan itu, aku pun merasa sedih dengan sikapku yang jelek itu.



Cinta, yang berbeda status.
Cinta, dari orang yang berbeda kedudukan.




“..........”
Dan ternyata memang, jika aku memikirkan hal itu, maka aku takkan bisa tertidur di malam hari.
Tetapi setidaknya aku,
“.....saya bisa berada, di sisi Tuan Guren”
Seraya bergumam demikian, hari ini pun, aku melangkahkan langkahku, mendekat ke arah Tuan Guren.
Tempat kami berada saat ini adalah jalan menuju sekolah.
Jalan menuju SMA Unggulan Shibuya, yang hanya dipenuhi oleh musuh, dan dijalankan oleh Keluarga Hiiragi.
Jika aku mendekatkan diriku ke arahnya, Tuan Guren pasti akan berkata seperti ini.
“Oi, Sayuri”
“Ya!”
“Aku jadi susah berjalan”
“Tetapi, jika saya terpisah dengan Tuan Guren, saya tidak bisa melindungi Anda!”
“Sudahlah, tidak apa-apa. Menjauhlah. Kau ini mengangguku”
Mendengar hal itu, aku justru mendekat setengah langkah kepadanya.
Kemudian, Tuan Guren pun mengerutkan keningnya.
“.....Dasar! Kenapa pelayanku sama sekali tidak mau mendengarkan perkataanku, sih”
“Ehehehe
“Malah ‘ehehehe’. Sudahlah, menyingkir sana!”
“Tidak. Kalau saya berpisah dengan Anda, saya tidak bisa melindungi Tuan sa ....”
“Sudah cukup bercandanya!”
Dan dia pun berteriak kepadaku. Namun aku kembali tertawa karena itu.
Sekarang ini, cukuplah dengan begini saja.
Hari ini, cukuplah dengan begini saja.
Hingga Tuan Guren menemukan wanita pilihannya.
Hingga tiba saat-saat itu, biarpun hanya sedikit, aku akan berada di sisinya-----------