HIS, HER AND HER FEELING

Bagian 1
Saat pertama kali berbicara dengan Nanami, sekitar 2 tahun yang lalu……. pada pertengahan April, saat baru masuk ke Suimei.
“Kanda-kun.”
Padahal ini adalah nama yang sudah sering didengar dari teman yang memanggilnya, tapi rasanya Sorata kurang terbiasa dengan logat ini.
“Ada apa?”
Walau sering mendengar komedian di TV berbicara dengan logat ini, tapi ini pertama kalinya bagi seseorang berbicara secara normal pada Sorata menggunakan logat ini, jadi rasanya agak aneh.
“Hn……..”
“Namaku Aoyama Nanami.”
“Ah, Aoyama-san ya, aku tahu, aku tahu.”
Walau jawabannya asal, Nanami tetap sadar.
“Itu reaksi ‘maaf, aku gak ingat’, kan?”
Waktu itu, pernah ngobrol pada saat tugas piket, tapi tidak begitu panjang ngobrolnya, juga tidak begitu dekat.
Setelah itu sudah lewat 2 bulan, waktunya musim semi tapi agak panas.
Waktu itu Sorata memungut kucing putih bernama Hikari di depan gerbang sekolah Suimei. Saat mau balik ke asrama reguler dengan membawa kardus besar yang berisi kucing itu, tiba-tiba ia dipanggil seseorang.
“Kanda-kun.”
Waktu itu, Nanami berbicara menggunakan logat Kanto.
“Hn…….. Aomori-san?”
“Salah, itu adalah Pulau Honshu yang ada diujung utara. Aku Aoyama Nanami yang sekelas denganmu.”
“Ah benar, Aoyama.”
“Ternyata kau belum mengingat namaku.”
“Tidak, aku sudah ingat, Cuma gak hafal nama.”
“Bukannya itu berarti belum ingat?”
“Kali ini aku akan mengingatnya.”
Pandangan mata Nanami tertuju ke kardus besar yang dibawa Sorata.
“Apa kau berencana membawa kucing itu kembali ke asramamu?”
“Ya.”
“Tapi…….di asrama dilarang memelihara peliharaan loh.”
“Ya benar juga. Ini merupakan sebuah masalah.”
“Nanti penjaga asrama marah loh.”
“Kalau hanya dimarahi begitu tidak apa-apa, bukan masalah besar.”
“Tidak, ini sama sekali tidak bagus…….”
Di jalan menuju ke asrama , Sorata dan Nanami mengobrol banyak soal kucing.
“Apa teman sekamarmu bisa menjaga rahasia?”
“Ya, kalau dia Miyahara yang sekelas denganku, ku pikir bisa.”
“Kau ini berpikir positif sekali ya.”
“Sepertinya orang itu juga suka kucing.”
“Tapi kalau yang dia suka itu anjing mau bagaimana?”
“Cuma bisa memintanya mencoba menyukai kucing.”
“Ini juga belum terpikir, sudah ingin membawa ke asrama saja.”
“Soalnya kasihan sekali.”
Masih ingat waktu itu ekspresi Nanami seperti terkejut dan tidak tahan akan sesuatu.
“Huft….. pokoknya, apa kau tidak mau masuk lewat pintu belakang, di depan dijaga penjaga asrama, bakalan repot kalau ketahuan.”
“Ide yang bagus.”
“Siapapun pasti akan berpikir menggunakan ide ini, kali…….”
Karena kamarnya berada di lantai 1, Sorata jadi seperti pencuri memanjat jendela untuk masuk ke kamar.
Setelah Sorata merawat kucing ia jadi lebih banyak berbicara dengan Nanami. Miyahara juga semakin akrab dengan mereka berdua……….
“Apa kau sudah memikirkan namanya?”
“Dia kuberi nama Hikari.”
“Nama ini terdengar seperti perempuan yang pertama kali disukai Kanda loh.”
“Tak kusangka kau akan memberi nama ini dengan cara seperti ini…….. Ini tidak baik loh Kanda-kun.”
“Bukan! Miyahara, jangan ngomong sembarangan! Kuberi nama Hikari karena kereta Shinkansen juga ada yang namanya ‘Hikari’.”
“Walaupun begitu rasanya tetap……….”
“Huh? Tak bolehkah?”
Sebelum Hikari ketahuan sama sekolah, ini merupakan rahasia antara Sorata, Nanami dan Miyahara.
Saat pulang menuju asrama juga ngobrol soal ini dengan Nanami.
“Kanda-kun, kau tidak-tidak mengikuti kegiatan klun apapun ‘kan? Aku kira kau bakalan mengikuti klub olahraga.”
“Mungkin karena saat aku SMP selalu bermain sepak bola.”
“Kenapa tidak dilanjutkan ke SMA?”
“Eh, hm ada sedikit masalah pokoknya……. Tapi bukan masalah soal cedera atau terluka……”
“Oh~~……. Kalau tidak ingin bilang juga tidak apa-apa.”
“Aoyama juga tidak mengikuti kegiatan klub apapun?”
“Hn.”
“Ah aku ingat biasanya kau selalu pulang malam, itu kenapa?”
Tiap hari Senin Nanami selalu menguap , sepertinya dia kecapekan.
“Karena aku kerja paruh waktu.”
“Ah, begitu ya. Tapi apa perlu tiap hari kerja paruh waktu?”
“Hm kalau soal ini, aku ada sedikit masalah.”
Nanami mulai menghindari pertanyaan apapun mengenai soal ini, tapi setelah beberapa saat Nanami memberitahu bahwa impiannya untuk menjadi pengisi suara, jadi dia ikuti kelas latihan, tetapi karena tidak diizinkan papanya, ia meninggalkan rumahnya.
“Soal ikuti kelas latihan, jangan beritahu siapa-siapa ya.”
“Kenapa?”
“Karena sekarang sudah jarang ada orang yang mau berusaha demi mimpinya, kan?”
“Benarkah? Aku sangat iri loh. Saat itu mungkin karena aku sedang memikirkan mimpiku jadinya aku menyerah pada sepak bola.”
“…….. Terima kasih.”
“Terima kasih untuk apa?”
“Kalau tak mengerti juga tak apa.”
“Tapi aku tidak merasa tidak apa-apa.”
Karena merawat Hikarilah hubungan ini terus berjalan sampai Sorata dimasukkan ke Sakurasou saat semester pertama.
Saat ini juga, Sorata berhenti memikirkan masa lalu.
Awan tipis yang tidak berujung ini menutupi langit dan menurut ramalan cuaca pagi ini, malam ini akan turun hujan.
Kalender bulan April sudah habis, sekarang sudah bulan Mei tanggal 2.
Hari Senin sehabis Golden Week.
Sorata melewati teman yang berjalan mengobrol soal ‘kalau hari ini juga libur pasti nyaman’, dan berjalan menuju loteng sekolah.
Dan sekarang sedang berbaring dikursi panjang.
Yang dipikirkan otaknya hanya 1 hal.
Sehabis kencan di taman hiburan, Sorata hanya bisa berpikir hal tentang Nanami. Tidak peduli sedang makan pagi, saat sedang di toilet, mandi, belajar dan setelah sadar, Sorata terasa seperti mencari Nanami di dalam ingatannya.
Hal ini terjadi seperti wajar saja.
Kalau berusaha untuk tidak memikirkan itu sama sekali tidak mungkin.
Kalau Nanami tidak ada perubahan yang begitu besar, pagi ini juga bertemu Nanami di ruang makan.
“Ah, selamat pagi Kanda-kun.”
Dan malah menguncapkan salam dengan ceria.
Walau saat pelajaran tatapan mereka saling bertemu, hanya Sorata sendiri yang buru-buru memindahkan tatapannya.
“Apa kau tidak apa-apa? Kau melamun terus.”
Juga diperhatikan seperti ini.
Nanami yang bersikap seperti tidak terjadi apa-apa membuat Sorata bertambah bingung.
Walaupun begitu, Sorata tidak merasa kencan itu seperti mimpi, apalagi ciuman itu sama sekali bukan sebuah ilusi.
Karena perasaan itu sangat nyata bahkan sekarang bibirku masih merasakan itu….. Ini sudah menjadi sebuah memori yang terlukis dalam hati, sama sekali tidak mungkin ia akan berpikir itu adalah sebuah mimpi ataupun ilusi.
Juga tidak akan curiga apa yang terjadi saat itu.
Hanya bisa memilih salah satu jawaban.
------Kalau begitu ,setelah audisi kali ini selesai, akan kuberitahu padamu.
Hari itu, janji yang dibuat ulang. Sorata kira-kira sudah bisa menebak apa yang ingin dibicarakan Nanami. Terlalu banyak hal yang perlu diputuskan, kukira waktuku untuk bersantai masih banyak, tapi ternyata sudah habis.
Selanjutnya tanggal yang dijanjikan, yaitu audisi Nanami, akan dilaksanakan besok.
Jadi bagaimanapun akan terpikir soal Nanami.
Sorata bingung akan perasaan ini. Pertemuan pertama kali yang dirindukan; saat saat merawat Hikari sungguh bahagia; termasuk Daichi, setiap hari terasa asik bila bertiga membicarakan rahasia mereka. Tapi setelah Sorata pindah ke Sakurasou, jadinya jarang bertiga lagi, tapi karena tetap sekelas, kadang kadang tetap ngobrol juga.
“Bagaimana kabar Hikari?”
“Hn, baik baik saja.”
Walau merupakan sebuah percakapan yang tidak berarti, tapi anehnya dapat terpikir soal masa lalu, saat masih bertiga.
Saat naik ke kelas 2 juga sekelas, apalagi saat musim panas Nanami juga pindah ke Sakurasou. Melihat sosoknya yang selalu serius, membuat orang ingin mendukung impiannya sampai akhir dan berharap kerja kerasnya membuahkan hasil.
Seperti waktu itu, Nanami tidak berhasil pada audisinya, ingatan seperti diperbarui. Kalau sekarang ingat kembali rasanya sakit sekali. Ekspresi menangis Nanami hari itu, Sorata tidak mungkin akan melupakannya. Yang namanya tidak sudi, kira-kira seperti situasi itu.
Yang lain seperti saat pergi bersama pada malam Natal ; atau tinggal bersama di kampung Sorata saat tahun baru; atau menerima coklat saat hari valentine------hal hal ini terpikir terus oleh Sorata.
Dengan begitu, setelah perasaan dan kenangan yang begitu banyak itu Sorata hanya menyisakan bagian yang bahagia saja.
Jadi sikap Sorata mengenai situasi saat ini tidak terasa sedikitpun perasaan yang sesak. Setiap memikirkan hal tentang Nanami, dalam hati seperti terus diisi sesuatu sampai penuh. Kira-kira seperti itulah suasana hati Sorata saat ini.
Karena tidak ingin ekspresi wajahnya yang sedang berpikir dilihat orang lain Sorata menutup matanya dengan salah satu lengannya.
Dengan begini setelah beberapa saat, terdengar langkah kaki seseorang semakin dekat, dengan pas berhenti dibelakang kepala Sorata.
Apakah Mashiro ? Atau mungkin Nanami ?
“Apa kau tidak punya teman?”
Bukan keduanya.

Sorata membuka mata, dan terlihat Kanna secara terbalik. Dia sedang melihat Sorata dengan mengggunakan kacamatanya.



“Mau tidak aku menemanimu makan bekal?”
“Hari ini aku ingin sendirian.”
Rasanya tidak begitu enak duduk di kelas kalau ada Nanami.
“Apa kau sedang memusingkan sesuatu?”
“Tidak, lebih tepatnya sedang memikirkan sesuatu.”
Sebenarnya tidak sedang memusingkan sesuatu.
“Pusing soal masa depan?”
“Hn, wajar saja, bagaimanapun sudah kelas 3 SMA.”
“Atau pusing soal nanti makan malam mau makan apa?”
“Hn, di Sakurasou buat makan sendiri, ini juga perlu dipikirkan.”
“Atau hal tentang kucing?”
“Lucu loh.”
“Lalu sisanya…… Soal hubungan segitiga?”
“……..”
“Memang orang yang polos juga mudah dimengerti.”
“Terima kasih atas pujianmu.”
“Aku sedang menyindirmu tahu.”
Ya jelas-jelas dia sedang menyindir, tidak perlu bilangpun Kanna tahu Sorata mengerti maksudnya itu.
“Pokoknya ke sampingkan soal ini dulu Kanna-san.”
“Ada apa?”
“Jangan berdiri terlalu dekat loh, nanti celana dalammu kelihatan.”
Sedikit lagi kelihatan, sekarang dia sedang dalam posisi yang ekstrim, rasanya tidak tahan……
“Tak masalah, karena sekarang aku sedang tidak memakainya.”
“Oh begitu, kalau seperti ini memang tidak akan kelihatan celana dalamnya……… Tunggu bentar, woi!”
“Bercanda, aku pakai kok, kalau kau tetap merasa aku sedang bohong apa kau mau mengeceknya?”
“Kalau begitu biarkan aku mengeceknya.”
Sorata juga dengan bercanda membalas reaksi Kanna itu.
“Aku sudah pikir pasti bakalan begini, syukur hari ini aku pakai yang paling kusuka. Sorata-senpai, silahkan.”
“…….”
Entah kenapa rasanya aneh mendengar kalimat tadi dari Kanna.
“Bisa tidak jangan berpikir seserius ini? Tadi itu juga bercanda.”
“Bu-bukan itu…….. Tadi kau memanggilku ‘Sorata-senpai’ kan ?”
“Ya terpaksa, kalau memanggilmu Kanda nanti akan tercampur dengan nama adikmu.”
“Aku rasa kau sebaiknya langsung memanggil adikku dengan panggilan Yuuko saja.”
“Kalau sudah putuskan memanggil dengan ‘Kanda-san’ akan repot mengganti panggilan lagi, ini merupakan sebuah tekanan.”
“Ya sudah, tidak apa, ada apa mencariku?”
Kalau mencari Sorata hanya untuk mengobrol……. rasanya agak sulit dibayangkan.
“Karena ingin mengejek senpai.”
“Kalau begitu, sudah cukup ejekannya.”
“Bercanda kok.”
Sorata sadar, Kanna yang sekarang lebih lembut dari dulu. Dilihat dari dia yang selalu membuat Sorata susah, sepertinya kali ini dia sedang senang. Dan bercanda seperti ini juga baru pertama kalinya juga. Mungkin terjadi hal yang bagus baginya.
“Cerita yang kubuat kemarin diterima editor, sudah bisa lanjut lagi ke buku ke 2.”
“Ah, begitu ya.”
“Apanya begitu?”
“Karena sekarang ekspresimu terlihat senang.”
“Rasanya jiijk mendengarmu mengatakan ini. Jangan ngomong itu lagi.”
“……. Maaf , disaat kau sedang senang aku malah mengejek.”
“Tadi aku juga cuma bercanda, jangan dianggap serius.”
“Kalau bercanda kau harus buat orang lain sadar itu memang bercanda……. Tapi ya tidak apalah, setidaknya sudah ada perkembangan.”
“Itu…… Terima kasih.”
Suara Kanna sedikit mengecil.
“Terima kasih untuk apa?”
“Berkat catatan itu.”
“Oh itu, aku akan bantu kau berterima kasih pada Jin-senpai nanti.”
“Aku berterima kasih pada Sorata-senpai.”
“Iya iya, aku sudah dengar. Kalau begitu, tidak ada tekanan lagi kan?”
“Iya. Aku berpikir juga mungkin tidak akan bertemu dengan Sorata-senpai lagi.”
“Setidaknya bakalan ketemu di koridor atau dimana kali!”
Kanna sedikit tersenyum. Sepertinya Sorata dipermainkan lagi. Ternyata kalau tidak tertekan, Kanna juga bisa tersenyum seperti ini.
“Kalau memang bertemu, aku akan menyapa nanti.”
“itu merupakan kehormatanku.”
“Kalau begitu aku pergi dulu.”
“Hn, kalau kau ada masalah lagi panggil aku saja. Walau tidak berani jamin bisa bantu banyak, tapi setidaknya aku akan mendengarmu.”
Saat ini, Kanna menatap Sorata, dan mulai berpikir.
“Kenapa?”
“Sorata-senpai, jangan-jangan kau suka padaku.”
Ditanya begitu oleh Kanna.
“Ramah dengan temannya adik itu merupakan tugasku sebagai seorang kakak kali!”
“Harusnya sekarang malu sedikit akan terlihat lebih sopan.”
Kanna berbicara sendiri.
“Ya, aku pergi dulu.”
Setelah selesai mengatakan ini diapun langsung meninggalkan temat ini.
Sorata sendirian lagi dan memandang ke atas mengamati langit.
“Sudah diterima editor ya…… syukurlah.”
Kalau masalah ini tidak selesai dengan baik, entah akan terjadi apa nanti.
“Syukurlah.”
Sorata menutup matanya, menarik napas dalam dalam. Setelah sekitar 3 menit, hp berbunyi.
Ada sebuah e-mail.
Objek tertulis Sorata. Pengirimnya Mashiro.
Setelah membuka e-mail itu. Di atas tertulis…….
-----Kau bertengkar dengan Nanami?
Sesaat detakan jantung Sorata bertambah cepat, tapi, ya, begitulah.
-----Tidak.
Sorata membalas dengan pendek.
-----Kalau begitu, berarti terbalik.
Detakan jantung Sorata bertambah lebih cepat lagi.
“Maksudnya terbalik itu apa……..”
Terbalik dengan yang dikatakan Sorata, Sorata sudah mengerti maksud e-mail tadi.
Karena begitu, tidak bisa mengaku juga tidak bisa pura pura tidak tahu, kalau tanya apa maksud terbalik itu berarti mencari masalah sendiri.
-----Ya.
Jujur saja daripada lebih banyak masalah lagi.
Setelah sebentar dapat e-mail lagi.
-----Maksudnya terbalik itu apa?
“Bukannya kau sendiri yang tanya!”
Tiba-tiba badan Sorata merasa lemas.
Walau sudah berbuyi bel yang menandakan istirahat siang sisa 5 menit lagi, Sorata tetap tidak bisa bangun.
Sekali lagi di dalam otak Sorata penuh dengan hal hal tentang Nanami.


 Bagian 2
Setelah bunyi bel baru masuk kelas.
Pelajaran setelah istirahat siang juga dengan serius ikuti, dan sepulang sekolah langsung jadi model lukis Mashiro. Lalau setelah menemani Mashiro sampai jam 6, Sorata baru balik ke Sakurasou.
Saat melepas sepatu di rak sepatu, kebetulan bertemu Nanami yang sudah pulang dan baru muncul dari ruang makan.
“Ah, kau sudah pulang.”
“A-aku sudah pulang.”
Sorata menjawab dengan kaku.
Sesuai dugaan, tetap tidak bisa dengan biasa memandang mukanya.
Sepertinya giliran Nanami memasak makan malam dan sudah selesai. Ditambah Iori yang baru pulang setelah berlatih piano, kami berempatpun makan malam bersama. Chihiro-sensei sepertinya masih kerja di sekolah, jadi belum pulang ke Sakurasou.
Setelah makan malam, karena masing masing ada kegiatan, tidak berapa lama setelah itu kamipun bubar.
Mashiro menggambar manga di kamarnya sendiri di lantai 2; Nanami bersiap siap untuk audisi besok ; dan Sorata meanjutkan proses pembuatan gamenya itu.
Iori masih berlatih piano. Mungkin karena tampil besok jadi sejak makan tadi ekspresi Iori menjadi kaku. Tidak melihatnya ngobrol dengan santai, Cuma melihatnya daritadi menganggap meja sebagai piano dan menekannya terus.
“Kau berusaha juga ternyata.”
Sorata berbicara seperti ini.
“Ya.”
Iori juga menjawab dengan biasa. Melihatnya menjawab seperti ini dapat dirasakan bahwa sepertinya dia sudah tidak ingin pindah ke divisi reguler lagi.
Setelah ini, selain Misaki-senpai mengacaukan kamar Sorata, ini merupakan malam yang tenang.
Proses game berjalan dengan lancar. Desain yang direncanakan juga sudah selesai.
Juga ditambah layar utamanya, sudah ada sosok sebagai sebuah game.
Walaupun begitu, Sorata tetap mengatur setting terus, karena kurang percaya diri dengan tingkat kesusahan ini.
“Kanda.”
Tiba-tiba ada yang memanggil.
Pandangan mata Sorata menuju pintu kamar yang terbuka, dia adalah Ryuunosuke yang merupakan tetangga Sorata, ini bukan ilusi, ini benar benar Ryuunosuke.
“Lama tidak bertemu, Akasaka.”
Bertemu dia seperti ini kira-kira waktu musim semi……. Sudah sebulan lebih.
“Kalau kau tidak tahu cara menggunakan pintu, aku akan beritahu caranya.”
Ryuunosuke menggerakkan pintu kamar.
“Kalau itu aku tahu! Pintu itu terbuka karena Misaki-senpai tadi masuk dan langsung kabur tanpa menutup pintu.”
“Kalau begitu kenapa kau tidak menutup pintunya?”
Ucap Ryuunosuke sambil menutup pintunya.
Entah kenapa Ryuunosuke masih di dalam kamar, dan berjalan mendekati Sorata, duduk disebelah Sorata yang berada di depan TV dan bertanya :
“Sudah selesai?”
“Ya, sebagian besar sudah.”
“Coba aku lihat.”
Sorata memberikan kontrolernya pada Ryuunosuke.
Balik ke layar utama, Ryuunosuke memilih opsi ‘Main Sendiri’.
Layar berganti, game dimulai.
Setelah mulai, Ryuunosuke menerima serangan dulu dari CPU , terus menekan setiap tombol 2,3 kali untuk mengetahui cara kotrolnya.
Kira-kira saat sudah mengerti cara kontrolnya, Ryuunosukepun mulai serang balik CPU.
Karena serangan yang diterima, Ryuunosuke dalam situasi buruk. Tapi setelah Sorata amati sebentar, Ryuunosuke tidak terkena serangan CPU lagi. Bukan hanya itu , bahkan meriam yang berat bisa mengenai CPU dengan tepat. Juga ditembak secara terus menerus…….lawan seperti ditarik pelurunya itu.
Setelah beberapa detik ,Ryuunosukepun membalikkan keadaan dan menang.
“Apa yang kau lakukan tadi?”
Tadi itu seperti dia tahu semua gerakan CPU.
“Karena setting gerakan CPU yang dibuat Kanda terlalu kuno. Sekali lihat sudah bisa tahu apa gerakan selanjutnya.”
“……. Serius?”
 Untuk membuktikan yang dikatakan Ryuunosuke benar, Ryuunosuke mengulang gamenya lagi. ‘misil akan ditembakkan’ , ‘bom akan dilempar’ , ‘dia akan mendekat’ , semua itu berhasil ditebak Ryuunosuke tanpa salah.
“apa sih yang tak bisa dilihat matamu?”
“soalnya otak Sorata itu kosong.”
“ada isinyalah!”
Ryuunosuke memungut 1 kontroler lagi di lantai dan memberikannya pada Sorata, sepertinya dia mengajak Sorata bermain.
Sorata duduk dekat kasurnya dan Ryuunosuke duduk di depan TV.
“Aku bilang dulu, aku ini sangat kuat.”
Bagaimanapun Soratalah yang membuat game ini. Tapi walau sudah bermain lama sekali, belum pernah sekali menang lawan Misaki-senpai.
“Kalimatmu tadi itu apa menandakan bahwa kau akan kalah?”
“Bisa tidak jangan meremehkanku seperti itu?!”
Mereka ngobrol seperti itu, dan akhirnya game dimulai.
Hasilnya, Sorata kalah 6 kali dan merengek-rengek minta tanding ulang.
“Kenapa?!”
Ryuunosuke tidak peduli dengan Sorata yang terpukul, dan sekali lagi memilih opsi ‘Main Sendiri’.
Setelah bermain beberapa lama, mulailah dia memberikan komentar yang tidak enak.
“Soal gerakan musuh, itu sama sekali tidak bagus. Sekali pemain sudah mulai menangkap intinya, sudah tidak ada gunanya lagi.”
Tidak disangka pada saat dia bermain pertama kali, semua sudah ketahuan olehnya.
“Sebenarnya game ini kurang menarik, aku pikir orang yang bermain itu hanya karena diajak. Kalau ingin ini menjadi sebuah game sungguhan, atur ulang lagi gerakan CPU itu.”
“Akasaka, apa kau tahu apa itu ‘lembut sedikit’ ?”
“Tentu saja tahu.”
“kalau begitu, kalau kau bisa ‘lembut sedikit’, aku akan sangat berterima kasih!”
“Ini masih terlalu jauh untuk disebut sebagai sebuah produk.”
“Kalau kau masih ingat topik ‘lembut sedikit’, aku akan sangat senang!”
“Tapi, kalau berpikir ini merupakan game pertama yang kau buat dalam hidupmu……… Juga tidak sampai sebulan buatnya, ini sudah bagus.”
“……… Kalimat yang tadi tolong diulang sekali lagi.”
“Ini mah kalau aku yang buat setengah hari juga selesai.”
“Apa kau mendengar apa yang kubicarakan?’
Bagaimanapun dia itu Ryuunosuke, kalau sudah mendengar pasti dia akan berbicara seperti itu.
“Kalau tidak dengar kalimat terakhir itu, pasti aku bilang tidur dengan tenang hari ini……..”
Sorata menghela napas duduk ditepi kasur dan langsung berbaring.
“Tapi hari ini berkat bantuan Ryuunosuke.”
“Ya benar, berterima kasihlah padaku.”
“Aku baru mau bilang terima kasih untuk hal apa, hoi!”
“Tak usah tanya juga tahu. Kalau tidak kusiapkan program utamanya, skala kecilpun kau tidak akan pernah bisa membuat game ini dalam 1 bulan.”
“Seperti yang kau bilang. Walau sudah 1 bulan aku tetap tidak mengerti kenapa layarnya tiba-tiba muncul gambar, kenapa ada suara, kenapa bisa dikontrol dengan menggunakan kontroler, itu semuanya aku tidak mengerti. Aku cuma mengikuti apa yang kau ajarkan, mengurus setiap fungsi dari prosesnya, dan sedikit merapikan angkanya, sisanya cuma terus tulis ‘if’.”
Perasaan ini seperti saat sedang mengerjarkan soal Matematika atau Fisika. Walau tidak begitu mengerti, tapi kalau ada rumus semua akan menjadi lebih mudah.
Tapi tidak mengerti strukturnya juga tidak apa, karena ini ide Ryuunosuke, jadi Sorata kira-kira bisa sedikit mengerti alasannya. Misalnya TV , hp, microwave, dan komputer…….. Semuanya bisa, walaupun tidak begitu mengerti cara kerja awalnya bagaimana, tapi yang penting tahu cara penggunaannya, semuanya tidak akan ada masalah.
“Kalau ada waktu untuk depresi, pakailah untuk lanjut memperbaiki game-mu itu.”
“Aku tidak depresi, cuma istirahat sebentar.”
Sorata memandang langit-langit kamar.
Ryuunosuke masih bermain gamenya, kadang akan bilang ‘Ini tidak boleh, ini juga tidak boleh, ah buruk sekali’.
Saat mendengar komentar ini, dalam hati Sorata muncul sebuah pikiran. Tidak , ini sudah terpikir oleh Sorata sejak dulu, hanya saja Sorata terus lari dan menghindari mengatakan ini…….
Melihat Ryuunosuke sedang bermain game yang dibuatnya sendiri di depannya, rasanya semakin ingin mengatakan ini.
“Oi, Akasaka.”
“Kalau ingin protes, buatlah game yang lebih baik dari ini.”
“Mau tidak membuat game bersamaku?”
Festival budaya tahun lalu mungkin merupakan sebuah kesempatan. Sorata merasakan kesenangan saat membuat sesuatu bersama-sama lewat ‘Kucing Galaksi Nyaboron’.
Walau proses pembuatan game pada bulan ini juga menyenangkan, tapi rasanya masih kurang, rasa menyelesaikan sesuatu belum terasa.
“Apa kau ada ide bagus?”
“Tidak, masih belum ada.”
“Kalau begitu kenapa? Ucapkan saja keinginanmu.”
“Aku, karena ingin menjadi seorang pembuat game jadi mengikuti sebuah audisi, dan berakhir seperti sekarang……. Tapi jujur saja, aku belum pernah berpikir mau menjadi pembuat yang seperti apa.”
“Kau belum menjawab pertanyaanku.”
Sorata tidak memperdulikan pertanyaannya dan terus berbicara.
“Ada beberapa perusahaan game yang kukagumi. Kalau sudah selesai kuliah nanti dan mulai mencari pekerjaan, tentu saja ingin ikuti tes di salah satu perusahaan itu. Tapi walau impianku sudah terkabulkan, dan selesai kuliah aku di terima di perusahaan itu, akan jadi seperti apakah aku?”
Ryuunosuke masih bermain game sendirian.
“Setiap hari memakai seragam dan masuk ke kantor yang besar dan megah itu? Menjadi salah satu pengembang game dan tiap hari pulang malam?”
“Kemungkinan ini memang ada.”
“Tapi aku tetap merasa salah dibeberapa bagian. Tidak begitu baik. alasan aku ingin menjadi pembuat game bukan karena ini.”
“Menurutku, yang dibilang Sorata tadi itu biasa-biasa saja bagi seorang pembuat game. Kalau bukan begitu, lalu apa yang ingin kau lakukan?”
“Ryuunosuke datang ke kamarku, dan bilang game yang kubuat buruk………. Dan sekarang mengobrol seperti ini denganmu, akhirnya aku mengerti.”
“……”
“Aku tidak hanya ingin membuat game, aku ingin seperti festival budaya tahun lalu, aku ingin suasana yang seperti itu untuk membuat game.”
Walau sudah tahu sebagian, tapi tetap menghindari perasaan ini. Mungkin karena takut kali ya?
Saat sedang niat atau berpikir santai seperti ini tidak bisa dianggap sebagai sebuah candaan. Karena di dalam hati berpikir ini jujur dan serius, karena ini lah, ia menjadi teliti karena takut.
Kalau ditolak saat selesai, rasanya akan sangat menyakitkan.
Lalu kenapa sekarang bisa mengatakan ini dengan santai pada Ryuunosuke?
Mungkin karena saat musim semi, Sorata sadar hubungan antar orang mulai berubah. Dan karena tahu inilah, Sakurasou yang sekarang ini tidak bisa terus bersama-sama sampai lulus. Nanami juga sebentar lagi akan meninggalkan Sakurasou.
“Yang tadi kau bicarakan itu tidak akan pernah bisa terkabulkan. Mashiro sudah menjadi seorang komikus pro, dan dunia anime mereka pasti akan mengincar Misaki-senpai dan Jin-senpai. Bahkan si penumpang yang membantu saat membuat background juga sudah menjadi pelukis pro. Apalagi masa depan yang diharapkan setiap orang berbeda.”
“Aku sudah sangat tahu hal ini tidak mungkin. Jadi aku tidak mengatakan ini pada siapapun selain Akasaka.”
“……”
“Maksudku tadi yang ingin seperti saat festival budaya itu hanyalah suasananya. Dan tentu saja. Kalau membuat game dengan aggota seperti itu pasti akan bagus sekali. Masing masing mempunyai impiannya dan tujuannya……… juga tugasnya. Aku tahu ini tidak mungkin.”
“Persingkat saja.”
“Akasaka, ayo buat game bersama sama.”
“…….”
“Aku tidak akan bilang hanya membuat 1 game, aku ingin buat 2, atau 3 atau bahkan lebih. Kalau bisa seperti Fujisawa-san yang mendirikan sebuah perusahaan saat selesai kuliah itu pasti akan senang sekali rasanya. Semoga kau berpikir dari sudut ini.”
“Tidak mungkin.”
Ryuunosuke menjawab dengan segera.
“Kau juga, pertimbangkanlah hal ini! Kali ini kau benar benar membuatku depresi……”
Karena begitulah, dari dulu Sorata tidak ingin mengatakan ini. Karena Sorata ada perasaan bakalan menjadi seperti ini.
“Bukan, bulan berikutnya aku sangat sibuk.”
“Karena kau sibuk sampai bolos pelajaran. Aku mengerti.”
Walau bukan sebuah impian yang bisa menyerah dengan mudah, tapi juga tidak boleh memaksa. Tunggu kesempatan berikutnya baru yakinkan dia.
“Jadi tunggu sampai aku ada waktu dulu, Kanda pikirlah ide yang menakjubkan, dan juga ingat untuk melanjutkan proses pembuatan game ini.”
“Heh? Jadi maksudmu…….”
Saat Sorata mengangkat kepalanya, Ryuunosuke sudah mengalahkan CPU tanpa diserang sedikitpun.
“kalau kau bisa memikirkan ide yang bisa diterima olehku, aku akan pertimbangkan ini kembali.”
“Serius?”
Sorata tiba-tiba bangun.
“Akan kulakukan! Mau itu ide atau apapun itu akan kulakukan!”
“Juga, tentang perusahaan desainnya, aku tidak berencana untuk menunggu 5 tahun. Walau masih mungkin pada saat masih kuliah, tapi paling lambatpun masih perlu 3 tahun. Kalau kau tidak berpikir seperti itu, jangan harap bisa kerja sama denganku.”
Ryuunosuke tidak memedulikan Sorata yang sedang bersemangat dan dengan tenang menaruh kontrolernya dimeja.
“Ini buruk……. Tapi pasti akan sangat menarik.”
Walaupun jalannya masih sangat jauh, tapi rasanya dapat membayangkan diri yang ada di masa depan. Sambil kuliah di Universitas Suimei, dan sambil membuat game dengan Ryuunosuke tiap hari. Juga mungkin disekitar kampus akan ada kamar yang bisa dijadikan ruang pengembangan game. Atau Sorata akan menyewa sebuah rumah yang lebih besar dan jadikan rumah itu ruang pengembangan game? Dan sebelum menjalankan ini , perlu kerja paruh waktu untuk mendapatkan dananya. Juga harus mengajak beberapa orang lagi, berharap ada 1 orang yang menangani bagian gambar dan 1 orang menangani bagian suara.
Cuma berpikir sebentar rasanya akan menarik sekali.
Untuk mewujudkan ini, niat juga sudah ada. Sorata tidak pernah merasakan perasaan semangat seperti ini.
Sering mendengar kalau tujuan harus spesifik dan jelas. Mungkin inilah maksud kata itu.
“Yang ingin kau bilang hanya ini ‘kan.”
“Ah, ya.”
“Aku mau balik ke kamar dulu. Kalau sudah ada rencana, kapanpun kau boleh memberitahuku.”
“Aku juga berpikir begitu.”
Ryuunosuke meninggalkan kamar Sorata dan menutup pintu kamarnya.
Dengan segera terdengar suara pintu kamar sebelah tertutup.
Kapan ya, bertemu lagi dengan Ryuunosuke?
Sorata dengan bahagia berbaring di kasurnya.
Setelah sesaat, terdengar suara dari pintu masuk. Sepertinya ada orang pulang.
Sepertinya Chihiro-sensei belum pulang hari ini.
Suara langkah kaki yang dikira bakalan menuju kamar pengawas entah kenapa berjalan mendekati kamar Sorata.
“Hn? Apa ?”
Sorata merasa bingung dan membuka kedua matanya. Bangun dan duduk di dekat pinggir kasur.
“Aku masuk ya.”
Chihiro-sensei mengatakannya, dan dengan ekspresi tidak senang masuk ke kamar Sorata.
“Apa di Sakurasou sudah tidak ada lagi budaya seperti ‘sebelum masuk ke kamar mengetuk pintu dulu’?”
“Karena kau tidak menerima mengetuk pintu, jadinya dihilangkan.”
Rasanya seperti itu semua salah Sorata. Perasaan senang yang jarang dirasakan inipun menghilang.
“Kapan aku menerimanya?”
“Kamar ini ada ruang umum. Apa kau tidak tahu?”
“Walau kenyataannya memang begitu, tolong jangan anggap ini ruang pribadi!”
Suara protes itu memenuhi kamar Sorata, tetapi Chihiro tidak mendengarkannya dan putar balik ke arah pintu, entah ada siapa di sana.
“Kau sudah boleh masuk.”
 Walau pemilik kamar ini adalah Sorata……. Kalau dianggap sebagai ruang umum, mau bagaimana lagi.
“Maaf mengganggu.”
Orang yang dengan sopan memberi salam itu, Sorata juga mengenalnya.
Dia adalah Hase Kanna yang barusan bertemu saat istirahat siang tadi.
Yang dibawanya itu sepertinya adalah tas besar yang biasanya dipakai untuk traveling.
“Kenapa kau ada di sini?”
Kira-kira dia bukan karena ada masalah jadi datang ke Sakurasou. Juga , kenapa dia datang bersama Chihiro?
“Sepertinya kalian sudah saling mengenal jadi tidak perlu intro lagi. Dia adalah…… Murid Kelas 1 Hase Kanna, mulai hari ini dia akan tinggal di Sakurasou, di kamar nomor 201.”
“Huh?”
“Kenapa kau bereaksi seperti terkejut?”
“aku benar-benar terkejut!”
“Aku mendengar kau sudah tahu masalah apa yang ada di dalam rok nya?”
“Sensei, apa maksudmu itu?”
“Kau sudah tahu masalah ‘bagian bawah tubuhnya’ kan?”
“Kenapa sekali bicara malah kembali menuju ke arah yang lebih parah!”
Walau Sorata masih bingung akan situasi ini. Tapi setidaknya dia sudah mengerti situasi yang paling dasar.
Juga, selain masalah soal tidak memakai celana dalam, tidak terpikir hal lain yang akan membuat Kanna dimasukkan ke Sakurasou.
“Bisa kau jelaskan situasi saat ini?”
Sorata putuskan langsung tanya pada Kanna. Setelah mendengar dia bilang bahwa ceritanya sudah diterima oleh editornya, harusnya tekanan untuk sementara tidak ada.
“Tolong janji bahwa kau tidak akan kecewa.”
Kanna berkata seperti itu.
“Sepertinya akan sulit……”
Sorata jawab dengan jujur.
“Mengapa?”
“Karena sepertinya aku sudah tahu jawabannya. Jadi sekarang sudah kecewa.”
“Ha-hari ini cuma karena kacau! Itu….. Karena cerita sudah diterima editor jadi suasana hatiku agak sedikit terbuka.”
“Kalaupun begitu, bagian ‘itu’ tidak perlu terbuka kali!”
Jangan-jangan sudah kecanduan? Sudah tidak merasa puas lagi?
“Kalau begitu, ketahuan oleh siapa?”
Mungkin karena depresi, Kanna menundukkan kepalanya.
“Kira-kira hari ke tiga saat masuk ke asrama perempuan, penjaga asrama perempuan rasanya agak aneh. Dia seperti kebingungan. Setelah itu, diperhatikan terus.”
“Omong-omong, ternyata kau juga lakukan ini di asrama!”
“Cuma sebentar saja…….”
Disaat seperti ini, bukan masalah soal sebentar atau lama lagi, atau soal ada atau tidak ada.
“Lalu, saat ke makam lama hari ini, bertemu dengan dia yang sedang turun dari lantai 2, misteripun terbongkar. Pantas saja dia kebingungan.”
“Huft.”
“Lalu, padahal hari ini aku ada masih ada kencan, tapi tiba-tiba dipanggil Kepala Sekolah dan ikut rapat untuk mengurus masalah ini, ini saja baru pulang dari rapat itu.”
Suasana hati Chihiro-sensei sepertinya menjadi lebih buruk lagi, sepertinya karena kencannya batal.
“Ish, padahal jarang-jarang ada orang yang mengajakku kencan.”
Dia tetap protes dengan suara yang kecil.
Sepertinya yang mengajaknya kencan itu adalah Fujisawa Kazuki yang sangat membantu Sorata saat audisi game. Bagaimanapun mereka pasti ada teman SMA yang sekelas.
“Kembali ke masalah utama dulu, sebenarnya apa yang terjadi?”
Sorata menarik Chihiro-sensei kembali lagi ke masalah ini.
“Penjaga asrama perempuannya bilang tidak mampu mengurus masalah ini, dan wali kelas juga menyerahkan ini pada Kepala Sekolah, dan Kepala Sekolah itu juga dari awalnya sudah memutuskan untuk memasukkannya ke Sakurasou.Tapi ini juga wajar saja, dari semua murid bermaslah yang kutemui selama ini, ini pertama kalinya aku ketemu murid dengan hobi memamerkan bagian tubuhnya seperti ini.”
“Orangnya sendiri di sini, setidaknya pakailah bahasa yang lebih enak didengar!”
“Aku bukan memamerkan bagian tubuh.”
Entah kenapa Kanna protes pada Sorata. Padahal yang ngomong tadi itu Chihiro…….
“Bagi orang yang akan tinggal dengan kita di masa depan itu, untuk apa berpikir banyak?”
“Tentu saja untuk mengarahkan Bumi menuju ke kedamaian!”
“Tunggu dulu, kau tidak boleh menjawab lagi. Ini membuat topik ini tidak berkembang sama sekali.”
Ini ucapan Chihiro-sensei yang dari dalam hatinya merasa kerepotan.
“Bukannya karena sensei banyak berbicara soal yang tidak-tidak!”
“Cukup, tutup mulutmu.”
“…….”
Pokoknya, diam saja dulu.
“Yang paling penting, semua orang termasuk dia tidak dibolehkan memiliki kelakuan seperti ini, tidak boleh membiarkannya berkeliling di asrama ataupun sekolah tanpa memakai celana dalam. Tapi karena dia perempuan, ku pikir dia tidak akan berkeliling.”
“Kalimat pertama yang keluar saat aku tutup mulut ternyata sampai sehebat ini!”
Apa Chihiro tidak merasa malu ngomong soal ginian? Mungkin karena sudah lewat dari umur 30 tahun, jadi kelaminnya pun sudah hilang? Bukan begini? Pasti begini!
“Pokoknya baik itu penjaga asra perempuan, wali kelasnya ataupun Kepala Sekolah, mereka itu semuanya tidak berguna.”
“Dengan kata lain, karena Chihiro-sensei tidak tahan dengan mereka jadi langsung bawa ke Sakurasou.”
Walau dari sikap dan tingkah lakunya yang biasanya tidak terlihat, tapi sebenarnya Chihiro-sensei baik juga. Sorata paling tahu soal ini.
“Jujur saja, waktu itu aku sangat ingin pulang.”
Chihiro mengatakan hal yang mengejutkan sambil menguap.
“Aku sangat keberatan dengan alasanmu itu!”
“Tapi seperti yang Kanda bilang. Aku putuskan untuk membawanya pulang ke Sakurasou, sisanya kau yang urus.”
“Huh?”
Tadi Chihiro ngomong apa?
“Rinciannya seperti yang tadi kubilang.”
“Sama sekali tidak ada rinciannya yang penting!”
Tidak boleh membiarkannya begitu saja. Apalagi sekarang ada sebuah masalah yang sangat serius menghadapiku. Sebuah kejadian pada bulan April tahun lalu tiba-tiba teringat-------yaitu menjadi orang yang bertanggung jawab atas Shiina Mashiro.
“Supaya dia tidak berjalan tanpa memakai celana dalam lagi, kau uruslah dia, Kanda.”
“Apa kau sadar dengan apa yang barusan kau bilang?!”
“Tentu saja.”
“Ini sungguh mengejutkan!”
Di saat sedang protes dengan Chihiro-sensei, Kanna seperti menjelaskan bahwa dia juga melihat situasi saat dia melepaskan celana dalam. Walau itu tidak berarti sama sekali.
“Tak masalahlah, kau pasti bisa.”
“Aku sama sekali tak mengerti kenapa aku dipuji !”
“Aku percaya pada hasil kau mengurus Mashiro dalam setahun ini.”
“Aku sama sekali tidak menginginkan kepercayaan seperti ini! Sensei anggap aku sebagai apa sih?!”
“Tuan pemilik pemeliharaan mungkin?”
“Apa ini cara omong ‘apa ini juga kau tidak tahu?’ hah?!”
“Iyalah, aku membantumu meningkatkan level jadi Tuan Pemilik Pemeliharaan Tingkat Atas.”
“Jangan ngomong soal tuan pemilik pemeliharaan lagi!”
“Barang bawaan lain yang besar besok saja baru dipindahkan, pokoknya aku mengandalkanmu. Baik, bubar.”
“Bisa tidak kau juga memikirkan perasaanku saat menjaga dia!”
“Kalau begitu, sisanya tanya Kanda saja.”
Chihiro, yang tidak memperdulikan Sorata, setelah berbicara ke Kanna, ia langsung meninggalkan kamar Sorata.
“Ah, sensei, tunggu sebentar!”
Yang terdengar hanya suara pintu penjaga asrama tertutup.
Sorata yang berencana memanggilnyapun akhirnya menyerah.
“Bikin pusing saja…… Omong-omong, tiba-tiba dipindahkan ke Sakurasou seperti ini, apa tidak masalah bagimu Kanna-san?”
Ada satu bagian yang bermasalah, tampilan luarnya merupakan siswi teladan. Kalau dianggap menjadi murid bermasalah, bukankah itu akan menjadi sangat menyedihkan?
“Kalau sudah begini…… Tak ada solusi lagi. Aku akan berusaha kembali ke asrama biasa dengan cepat.”
“Kalau ada bagian yang bisa kubantu, bilang saja.”
“….. Sorata-senpai juga, apa kau tidak masalah? Bukannya kau ingin bicara tentang beberapa hal kepadaku?”
“Dengan mudah sekali ketahuan oleh orang lain, apa kau tidak malu?....... Ini yang kupikirkan.”
“Sudah, lupakan saja.”
Kalau saja bisa diselesaikan dengan begini, tapi ini bukan masalah yang bisa dilupakan dengan begitu saja. Karena ini sudah sangat berpengaruh pada salah satu pihak, bagaimanapun Sorata tidak mungkin bisa lupa kejadian antara dia dan Nanami.
Disaat Sorata sedang memikirkan ini, di depan pintu muncul seseorang.
“Wah! Kenapa gadis berkacamata yang datar itu ada di sini?!”
Orang yang muncul itu adalah Iori. Memakai celana sport dan T-shirt, di atas kepalanya menggunakan headphone, yang memiliki kabel yang panjang.
Melihat kemunculan Iori, Kanna menghela napas.
“Ternyata di dalam Sakurasou ada pengintip mesum.”
Rasa benci mulai menyebar dari Kanna. Mungkin karena satu tingkatan, kata kata itu terdengar lebih tajam lagi.
“Dia mulai hari ini akan tinggal di Sakurasou.”
“Serius?!”
“Kalian berdua saling kenal?”
Sorata bertanya pada Kanna dan Iori.
“Kalau mau mengungkit soal ini, dialah orang itu, Sorata-senpai! Aku ketahuan oleh dia saat ingin mengintip kamar mandi perempuan, karena dialah aku dimasukkan ke Sakurasou!”
“Kalau mau mengungkit soal ini, itu karena kau melakukan hal tidak terpuji. Kalau mau mengungkit soal ini, kau dimasukkan ke Sakurasou karena mesum. Kalau mau mengungkit soal ini, kau adalah orang yang bodoh!”
Seperti yang dikatakan Kanna. Dan saat ini, Kanna melirik Sorata.
“Ada apa?”
“Tidak ada.”
“Kelihatannya tidak seperti ‘tidak ada apa-apa’.”
“Tidak, tak ada apa-apa.”
Sorata sengaja menjawab dengan kata kata yang sama.
Kanna yang menyerah untuk bertanya lagi, memindahkan targetnya pada Iori.
“Aku masih perlu memberitahumu sesuatu.”
“A-apa memang?”
Iori yang dikejutkan oleh tatapan Kanna yang tajam itu mundur beberapa langkah. Kanna menakutinya lewat tatapan matanya yang menyeramkan itu.
“Aku bukan datar.”
Mungkin karena terganggu dengan ucapan Iori yang tadi, dia menjelaskan ini dengan serius.
“Hah? Bagiku tetap datar!”
“…..”
Tatapan Kanna sekejap langsung menjadi dingin seperti sedang mengutuk sesuatu.
“Ja-jangan terlalu memperdulikan itu…….”
“Kau melihat kemana?”
Sorata sedang melihat dadanya Kanna untuk memastikan, Kanna sepertinya sadar dan menutupi dadanya dengan tangannya.
“Juga, kenapa murid teladan yang mewakili siswa kelas 1 memberi kata sambutan bisa dipindah ke Sakurasou? Apa yang kau lakukan?”
Iori bertanya penuh kebingungan.
“Itu karena……..”
Sepertinya Kanna kebingungan untuk menjawab pertanyaan Iori sehingga dia menunduk kepala dan meminta bantuan Sorata.
“Hah? Sorata-senpai tahu kenapa dia dipindahkan ke Sakurasou?”
Tatapan mata Iori penuh dengan rasa ingin tahu.
“Kalau kau berani beritahu, aku juga akan beritahu hal itu.”
Bisikan Kanna itu merupakan ancaman.
“Aku pikir kalian sedang bertengkar atau apa.”
Nanami menghela napas dengan berat.
“Sorata.”
Selanjutnya, Mashiro juga muncul.
“Bantu aku keringkan rambut.”
Dia seperti tidak tahu situasi saat ini, dan dengan santai mengeluarkan pengering rambut.
“Shiina, setidaknya kau perhatikanlah sekitarmu. Apa kau tidak merasakan apapun setelah melihat situasi ini?”
Mashiro melihat Sorata, Nanami, Iori dan Kanna secara berurutan.
“Ada 5 orang.”
“Jumlah orangnya sama sekali tidak penting!”
“Kanda-kun, jangan-jangan ini…….”
Nanami sepertinya sadar akan tas besar yang sedang dipegang Kanna.
“Izinkan saya mengenalkan diri, namaku adalah Hase Kanna, siswi kelas 1.”
Kanna memberi salam.
“Mulai hari ini akan tinggal di Sakurasou, mohon bantuannya, semuanya.”
Kanna selesai memberikan salam untuk semuanya.
Dengan begitu, semester pertama yang baru sebulan, masing masing kamar Sakurasou sudah dipenuhi.
Catatan pertemuan Sakurasou tertulis begini.
-----Siswi kelas 1 Hase Kanna pindah ke kamar no.201. Catat Aoyama Nanami.
-----Mohon bantuannya semuanya. Balas Hase Kanna.
-----Pesta penerimaannya tunggu semua barang sudah dipindahkan baru dirayakan saja. Balas Kanda Sorata.
-----Aku sama sekali tidak menerima ini! Balas Himemiya Iori.
-----Aku juga tidak ingin diterima oleh si mesum! Balas Hase Kanna.
-----Hey kalian berdua, jangan anggap catatan pertemuan ini sebagai ruang ngobrol! Balas Kanda Sorata.
-----Orang mesum tahun ini bertambah 1. Balas Shiina Mashiro.
-----Topiknya sudah selesai, jangan ngomong itu lagi! Balas Kanda Sorata.
-----Kanda-kun, jangan anggap rekor pertemuan ini sebagai ruang ngobrol. Balas Aoyama Nanami.
-----Iya, maaf. Balas Kanda Sorata.
-----‘Orang yang bertanggungjawab atas Kanna’ diputuskan untuk Sorata. Balas Sengoku Chihiro.
-----Apa yang kau tulis lagi! Balas Kanda Sorata.


Bagian 3
Hari selanjutnya bulan Mei tanggal 3.
Setelah membantu Kanna merapikan barang bawaannya saat siang, mereka pergi ke Universitas Suimei Jurusan Seni saat sore.
Sorata , Mashiro , Kanna dan Nanami berjalan menuju ke ruang konser dan berencana menonton Iori yang mengikuti lomba dengan diam diam.
Walau sebelumnya ada bahas soal pakaian, tetapi akhirnya diputuskan memakai seragam.
“kenapa sampai aku juga harus ikut?”
Yang berbicara tadi adalah Kanna. Dia seperti sedang protes dan mengatakan ‘padahal aku berencana untuk merapikan kamarku menjadi lebih rapi lagi’.
“kalau tinggalkan kau sendirian, pasti kau akan mulai berpikir soal novel lagi, dan menumuk tekanan, juga kau ingin mendapat cara untuk meringankan stressmu dan dengan segera meninggalkan Sakurasou’ kan?”
“ya, memang benar……..”
Kanna seperti mengerti dengan ucapan Sorata tadi tapi sepertinya juga tidak begitu terima, dan mengarahkan pandangan matamnya ke tempat lain.
“ah ya, apa Yuuko tidak apa apa? Dikamar sisa dia sendirian, bukannya dia akan merasa kesepian?”
“dengar dengar sepertinya dia akan tinggal dengan siswi kelas 2 yang juga tidak memiliki teman sekamar jadi tidak perlu khawatir. Dia berbeda denganku, dengan siapapun pasti dia akan cepat akrab dengan merek.”
Dilihat dari situasi Yuuko, tidak bisa melihat situasi itu merupakan sebuah keuntungan baginya.
“tapi, dia juga bilang ‘aku akan segera pergi ke sana, tenan gsaja’.”
Pandangan mata Kanna melihat ke orang lain.
Tentang ini, Sorata sudah tahu soal ini dari e mail Yuuko yang dikirim kemarin.
-----Sakurasou sudah tidak ada kamar kosong lagi. Menyerah saja. Kalau ingin tinggal sekamar denganku itu jelas jelas tidak boleh.
Sorata membalas seperti itu, mungkin karna depresi setelah membaca e mail Sorata, dia tidak membalas lagi.
Sebenarnya tidak lama lagi akan ada 1 kamar yang kosong…...
Sorata niatnya ingin menatap Nanami diam diam, tapi ternyata pas pasan saling menatap dengan Nanami.
“Kanda kun, kalau jalan tidak melihat ke depan akan jatuh loh nanti.”
Nanami dengan sikap yang biasa menghadap ke depan lagi.
“oh,oh.”
Tapi, Sorata dengan jelas menyadari sesuatu.
Hari ini tidak hanya ada lomba Iori, nanti malam juga ada audisi pengisi suara untuk Nanami. Nanami bilang setelah audisinya selesai dia akan mengatakan sesuatu pada Sorata. Kalau ingin bersikap seperti biasanya rasanya akan sulit. Semakin ingin bersikap tidak terjadi apa apa semakin kaku pula gerakan Sorata.
“itu, Kanda kun.”
“ke-kenapa?”
“kenapa kau terlihat waspada sekali?”
Nanami seperti tidak tahan dengan sikap Sorata yang seperti itu.
“ma-mana ada.”
Soraat ingin menjelaskan tapi sepertinya tidak berarti.
“kalau begitu, ada apa?”
“ssetelah lomba Iori selesai, apa kau bisa menemaniku latihan sekali lagi sebelum mengikuti audisinya?”
“ah itu, ok aku tahu, tidak masalah.”
“Sorata , aku juga mau.”
Kali ini Mashiro yang berada disamping Sorata berbicara.
“temani aku ke ruang kelas seni.”
“kalau setelah selesai menemani Aoyama latihan si tidak masalah……tapi, apa hari ini juga perlu lukis?”
“sebentar lagi akan selesai.”
1 kalimat yang Mashiro omong dengan santai, membuat detakan jantung Sorata bertambah cepat sekejap.
Sebentar lagi akan selesai.
Hasil lukisannya Mashiro akan segera selesai.
Apa maksudnya itu? Sampai sekarang tidak perlu pikir juga tahu.
Mashiro melukis Sorata mengetahui suasana hatinya yang sebenarnya, jadi sejak april dia terus melukis Sorata.
Setelah selesai, apa yang akan diceritakan lukisannya itu?
“sebentar lagi selesai.”
Seperti meminta Sorata membalas ucapannya itu, Mashiro mengatakannya lagi.
“hn, aku tahu.”
Sorata yang menjawab dengan buru buru kehilangan kesempatan untuk bertanya apa maksud ‘sebentar lagi selesai’.
Apa masih perlu 2 atau 3 hari lagi? Atau seminggu ? atau sebenarnya hari ini atau besok? Itu hal yang penting bagi Sorata.
“Sorata senpai memang populer ya.”
Suara Kanna tidak terdengar seperti memuji, malah terdengar seperti mengejek. Tidak, tidak begitu jelas apa dia sedang mengejek Sorata, tapi dia sedang menunjukkan ekspresi tidka menarik dan melihat ke depan.
Saat ini berhembus sebuah angin musim semi.
“kyaaaa!”
Kanna dengan lebay berteriak, menggunakan kedua tangannya untuk menahan roknya. Sorata , Mashiro dan Nanami semua fokus ke Kanna.
“itu~~Kanna san? Jangan jangan sekarang juga?”
“ma-mana ada.”
Kanna melambaikan kedua tangannya dan menjelaskan. Dan Mashiro yang berdiri di sampingnya memasukkan tangannya ke dalam rok Kanna untuk memastikan.
“heh?”
Kanna mengeluarkan suara terkejut. Mashiro sama sekali tidak peduli dan langsung mengangkat rok Kanna tanpa ragu.
“kyaaaaaaaaaaaaaa!”
Kanna dengan panik menutup kembali roknya dan segera duduk, terlihat air matanya di matanya.
“tidak pakai celana dalam.”
Mashiro dengan santai melaporkan ini pada Sorata.
Yang aneh Kanna tidak melirik ke Mashiro malah melirik ke Sorata.
“a-apa kau melihatnya?”
“tenang , aku tidak melihatnya.”
Syukur Mashiro saat itu di tengah jadi Sorata tidak melihat sesuatu yang sangat ‘menakjubkan’.
“tolong Shiina senpai melihat situasi juga! Tiba tiba mengangkat orang di sini itu tidak masuk akal!”
Orang yang tidak memakai celana dalam harusnya lebih tidak masuk akal mungkin…..Nanami sepertinya juga setuju dan melihat Kanna dengan tersenyum.
“Kanna, sudah kecanduan.”
Orang yang omong tanpa melihat situasi adalah Mashiro.
“bu-bukan! Ini lupa pakai!”
Suara Kanna untuk menjelaskan ini semakin lemah.
“Kanna adalah orang mesum.”
“sepertina kalau ingin balik ke asrama reguler masih membutuhkan jalan yang panjang.”
Sorata memberikan pendapatnya sambil menghela napas.
“a-aku akan meninggalkan Sakurasou secepatnya!”
Dengan begitulah mereka sampai di tempat duduk sambil ngobrol.
Ruang konser yang umurnya belum 10 tahun, tampilan luarnya yang berwarna putihnya sangat menarik. Sepertinya paling banyak bisa memuat 600 penonton lebih, merupakan salah satu fasilitas yang dibanggakan Universitas Suimei.
Melewati pintu utama yang terdiri dari kaca, berjalan menuju ke ruang konsernya. Tiba tiba perasaan dibagian kaki menjadi lebih lembut. Lantainya di alas karpet berwarna merah, padahal di sekolah tetapi rasanya mewah sekali.
Udaranya punya berbeda dengan saat diluar, suasananya juga seperti sedang didalam perpustakaan. Perasaan gugup yang menusuk kuliat memenuhi tempat itu.
Bayangan orang orang, ada beberapa orang sedang mengobrol ditepi dinding. Pria dewasa menggunakan jas,sangat menarik perhatian ; walau wanita dewasa menggunakan baju yang biasa biasa aja, tapi mereka semua terlihat anggun.
Juga ada 2,3 orang yang terlihat seumur dengan Sorata. Laki laki menggunakan tuxedo dan perempuan menggunakan gaun. Mereka sepertinya juga merupakan para peserta dan dipanggil oleh guru piano mereka, dan sedang membicarakan sesuatu.
Sepertinya Sorata telah datang ke suatu tempat yang tidak cocok dengannya---------itu yang dipikirkan Sorata saat ini.
“jangan berdiri di sekitar pintu masuk.”
Dibelakang tiba tiba terdengar suara.
“ah, maaf.”
Sorata menjawab dan memberi jalan.
Sorata terkejut melihat orang yang menegurnya tadi.
“ketua OSIS.”
Orang yang dibelakang Sorata tadi adalah Tatebayashi Souichirou yang lulus dari Suimei bulam maret yang lalu. Jaket berwarna biru tua terlihat sangat cocok dengannya.
“bagaimanapun aku sudah lulus, jangan memanggilku seperti itu lagi.”
“apa Tatebayashi senpai ke sini untuk memberi dukungan pada adik masa depan?”
“ucapanmu semakin mirip dengan Mitaka, Sorata……..Saori yang memintaku untuk membantunya melihat situasi adiknya.”
“ini dengan memberi dukungan perbedaannya dimana?”
Sorata tanya balik.
“apa kalian datang ke sini untuk memberi dukungan pada anggota baru Sakurasou?”
Souichirou bertanya balik juga. Dan pandangan matanya menuju Sorata, Mashiro, Nanami dan Kanna secara berurutan.
“kau sudah tahu Iori dimasukkan ke Sakurasou ya?”
“siswa kelas 1 itu juga’kan? Belum sebulan ternyata dia sudah menyusul langkah Mitaka dan Kamiigusa.”
Walau Misaki sudah menikah, Souichirou tetap memanggilnya menggunakan marganya yang dulu. Dia sedang melihat anggota baru Sakurasou yaitu Kanna.
“apa kau dengar dari Misaki senpai?”
“aku dengar dari Ketua OSIS yang juga sekelas denganmu.”
Ternyata informasinya dari sana ya. Ternyata kelas 3-1 yang merupakan perkumpulan anggota Sakurasou juga ada Ketua OSIS.
“jangan buat masalah ya.”
Ini terdengar seperti mengucapkansalam perpisahan, Souichirou masuk ke dalam runag konser. Sorata menyusulnya dan ikut dibelakangnya.
Dan Souichirou yang berhenti di samping sebuah pintu membalikkan kepalanya melihat Sorata.
“kenapa ikutiku?”
“karna ini pertama kalinya aku mengamati sebuah perlombaan jadinya ingin menonton dengan Tatebayashi senpai.”
Dibelakang Sorata seperti ibu ayam mebawa anak ayam, diikuti Mashiro,Nanami dan Kanna. Bagaimanapun pacarnya it uHimemiya Saori dan adiknya Iori, juga lulus dijurusan musik bulan maret yang lalu,kalau begitu Tatebayashi yang sebagai pacaranya Saori senpai harusnya tahu tingkahlaku yang benar.
“apa sikap ini kau belajar dari Mitaka?”
“kalau bagian ini aku tidak setuju.”
“ah sudah, terserah kau.”
Souichirou berjalan di depan, dan masuk ke aula tempat perlombaan diadakan.
Pemandangan sekejap berubah menjadi luas. Langit langit ruangan yang tinggi, juga tempat duudk para penonton yang berderet. Dan terlihat sebuah piano hitam yang berada di bagian agak kanan dipanggung.
Dibagian depan ada sekitar 10 orang, sepertinya itu para jurinya. Dan dimulai dari bagian tengah sampai belakang itu semua merupakan tempat duduk para penonton.
Mereka mengikuti Souichirou, duduk di bagian tengah. Kursinyasangat lembut, saat duduk terasa nyaman sekali.
Mengamti sekitar, ada sekitar 100 tempat duduk atau lebih.
Karna suasananya kurang cocok untuk mengobrol, Soratapun diam sampai perlombaannya dimulai.
Setelah sekitar 10 menit, terdengar suara pengumuman-------
------sudah hampir waktunya, bagian sore sudah akan dimulai sebentar lagi.
Suara mengobrol yang kecilpun dengan sekejap menghilang, semuanya terdiam dan fokus ke panggung.
Lalu seorang siswi yang memakai gaun berwarna merah menaik ke atas panggung menggunakan sepatu hak tingginya. Sorata sepertinya pernah melihatnya, dia adalah siswi jurusan musik Suimei.
Dia memberi salam pada para juri dan mengatur tempat duduknya, setelah itu dia duduk di depan piano. Dan setelah menarik nafas dalam dalam dia meletakkan tangannya di atas piano, dan mulai bermain.
Sepertinya dia memulai dengan santai.
Permainannya sepertinya tidak begitu sempurna. Siswi yang berkeringatan itu turun dari panggung setelah memberi salam pada para juri.
Lalu peserta selanjutnya ada seorang laki laki yang menggunakan tuxedo, rambutnya juga tersisir rapi.
Setelah menyapa perempuan yang tadi. Dia memberi salam pada para juri, mengatur ulang tempat duduknya dan mulai bermain dengan iramanya. Lagunya juga sama.
Setelah selesai bermain 1 lagu. Peserta selanjutnyapun muncul. Peserta selanjutnya juga…….dengan begitu mengulang beberapa kali. Sepertinya bakalan begini terus sampai selesai.
Karna semua lagu yang dimainkan sama, jujur saja Sorata mulai bosan.
Setelah menguap untuk pertama kalinya , Tatebayashi menjelaskan bahwa ada sebuah lagu yang sudah ditentukan yang harus main diperlombaan. Kadang akan memilih beberapa dari salah satu itu juga biasanya sebelum lomba sudah disuruh main beberapa lagu.
Lagu yang ditentukan kali ini adalah lagu Chopard. Walau tahu ballade yang ke berapa, Sorata tetap tidak begitu mengerti karna kurang tahu soal musik.
Mashiro yang duduk disamping mulai tidur setelah peserta ke enam selesai tampil, Kanna yang disampingnya sepertinya tidak tahan dengan Mashiro.
Setelah duduk 1 jam lebih entah Sorata sudah menguap berapa kali.
Kalau Iori tidak cepat muncul Sorata pasti bakal ketiduran.
Entah apakah keinginan Sorata diketahui oleh para juri, setelah peserta ini selesai, Tatebayashi yang memegang daftar urut para peserta berkata :
“selanjutnya dia.”
Sorata mebangunkan Mashiro yang ketiduran.
Setelah sesaat Ioripun naik ke panggung. Rambut tetap seperti biasanya kurang rapi, dan tuxedo yang di pakai terlihat cocok dengannya. Kalau tidak berkata sesuatu pasti akan terlihat anggun, sungguh sesuatu.
Mungkin karna yang tampil selanjutnya merupakan orang yang dikenal, suasan disekitar mulai berubah.
“aku dengar dia adalah adiknya Himemiya Saori.”
Dibelakang terdengar suara yang sedang membisikkan itu.
“kakaknya sepertinya kuliah di Wina.”
“kalau begitu, sepertinay kita bisa berharap pada permainannya nanti.”
“tidak, adiknya Iori itu……”
Disaat ragu ragu apakah mau memutar kepalanya, Iori sudah duduk di depan piano. Dia menutup matanya dan mengangkat kepalanya ke atas.
Juri laki laki yang berambut warna putih itu melihat Iori, setelah itu berbisik pada Juri yang ada disampingnya juga. Para juri itu seperti terpikir sesuatu, dan mengangguk angguk kepala mereka. Sepertinya mereka ada omong soal Saori.
“ada perasaan yang tidak enak.”
Mashiro berbicara begitu.
Mungkin itu adalah tanggapannya mengenai suasana saat ini. Sorata juga meraas seperti itu. Padahal daritadi masih dipenuhi perasaan gugup, tapisekarang entah kenapa sebuah perasaan yang kurang enak menyelimuti ruangan ini.
Sorata berpikri kalau harus main piano pada saat ini sepertinya akan susah.
Iori meletakkan jarinya diatas piano. Setelah melihat dia mengangkat keduab ahunya, diapun mulai bermain. Walaupun gaya permainan setiap orang berbeda, Sorata tidak begiut merasakan perbedaan yang jauh. Sorata juga berpikir begitu terhadap permainannnya Iori.
Kalau deskripsikan dalam 1 kalimat, dia bermain sangat bagus. Walau pernah belajar piano dan bisa bermain sedikit, tapi itu ada sebuah perbedaan yang sangat besar. Permainannya ada sebuah tekanan, melodi lagunya membuat orang merasa nyaman. Tapi hanya bagian ini yang membuat orang merasa terharu. Kalau ingin membicarakan ini dengan orang yang di depan pati akan susah, karna sendiripun tidak begitu mengerti perbedaannya.
Para penonton juga merasa begitu. Rasanya mereka sedang memandang Iori dan memperlihatkan pandangan mereka yang tidak mengharapkan sesuatu. Cuma terlihat 1 juri yang sepertinya bosan dan meletakkan tangannya di atas meja, membuat orang berpikir dia sepertinya sudah menilai Iori. Dan semakin Iori bermain, semkain besar pula perasann yang tidak nyaman itu.
Kalau begini rasanya tidak tahan.
Disaat Sorata sedang berpikir begini, permainannya tiba tiba berhenti.
Iori tidak lanjut bermain lagunya. Padahal lagunya masih setengah bagian…..
Sesaat, tempat ini entah terjadi apa, semua terdiam.
“ah~~malas main.”
Iori omong sendiri di depan para juri.
“aku tidak bermain lagi!”
Kali ini seperti berteriak pada seluruh orang yang ada di ruangan ini.
“tidak mungkin aku bisa lanjut bermain dengan suasana seperti ini!”
Dia berdiri di depan piano, dan segera meninggalkan panggung.
Dan tentu saja sekarang dipanggung tidak ada seorangpun.
Ruangan ini mulai heboh.
“apa maksudnya itu……”
“di masa depan nanti tidak akan bisa ikuti lomba lagi loh adiknya Himemiya.”
Mulai terdengar suara yang tidak nyaman didengar.
“ternyata firasat buruk yang dirasakan Saori benar.”
Tatebayashi tetap melihat ke depan, dan menunjukan ekspresi yang serius.
Sorata melihat Tatebayashi dengan pandangan bertanya.
“sepertinya semuanya menganggap Iori sebagai ‘adiknya Himemiya’.”
Memang terdengar suara yang begitu.
“kalau dibandingkan Saori yang selalu dapat juara, hasil Iori tidak begitu bagus, padahal permainannya Iori tidak begitu buruk.”
Ya memang. Kalau tidak dia tidak akan bisa diterima di jurusan musik Suimei.
“dia tidak hanya giat berlatih, dia juga menyukai musik.”
Sorata mulai terpikir saat pertama kali masuk ke kamar Iori. Baru masuk kamar sudah langsung menempel poster Baha di dinding, dan bermain piano tanpa merapikan barang bawaannya terdahulu. Memberi orang kesan ‘maniak musik’.
“Cuma hany akarna dia adik Saori jadi tidak pedul idia ikuti lomba apapun Iori selalu dibandingkan dengan Saori. Di dalam dunai musik sebenarnya ini tidak begitu pengaruh. Jadi Saori bilang semua staff ataupun penonton yang ada di sini untuk menonton hany akarna Iori ‘adiknya Himemiya’.”
Jadi begitu penonton yang dibelakang tahu soal Iori. Selain itu mereka juga  tahu mengenai Saori, pantas saja di dianggap ‘adiknya Himemiya’.
Sorata bisa mengerti dengan kira kira.
Jadi alasan Iori ingin pindah ke divisi reguler…….
Akhirnya tahu alasan mengapa dia tidak mau main piano lagi tetapi tetap latih piano terus.
Di ruangan yang masih heboh ini, Sorata tiba tiba berdiri sendiri.
“Kanda kun?”
“aku pergi lihat keadaan Iori dulu.”
Sorata merasa dirinya tidak bisa bantu banyak. Tapi tetap Sorata tidak bisa membiarkannya sendiri.
“aku juga ikut.”
Nanami jgua berdiri setelah itu Mashiro ikuti dibelakang.
“kalau dia bermain piano dengan diam diam, pasti semua orang tidak akan berpikir kalau dia itu adalah orang bodoh.”
 Kanna menunjukan sikapnya yang tidak tahan itu.
Hanya Tatebayashi yang masih berencana tidak meninggalkan kursinya.
“apa kau tidak pergi?”
“walau rasanya khawatir, tapi kuserahkan pada kalian saja.”
“itu akan memberi kami tekanan yang besar…….”
“sebelumnya Mitaka sudah bilang , dia bilang Kanda merupakan adik kelas yang dibanggakannya.”
“itu paling Jin senpai sedang bercanda.”
Setelah Sorata selesai berbicara dengan Tatebayashi, diapun langsung meninggalkan tempat dan mencari Iori.
Hanya Tatebayashi yang tidak ikut, sepertinya tadi itu dia serius.
“Kanda kun?”
“ah,tidak, tidak ada apa apa.”
Mengatur kembali suasana hati, Sorata , Mashiro, Nanami dan Kanna pergi ke belakang panggung, dan berjalan ke ruang istirahat.
Berjalan dengan cepat dan melihat ada 1 ruang istirahat yang depannya ada sekitar 6~7 orang.
Ada 2 orang laki laki yang sepertinya merupakan staff, dan berumur sekitar 30. Selainnya seumuran dengan Sorata, kira kira perserta mungkin , semua berkumpul di depan pintu ruang istirahatnya dan menjaga jarak.
“aku bilang kau! Kau dengan’ kan? Cepat keluar!”
Staf laki laki itu berteriak dan mengetuk pintu.
“apa Iori di dalam?”
“hn? apa kalian temannya yang dari sekolah?”
Staff laki laki bisa menebak karna mungkin Sorata mereka memakai seragam.
“di dalamnya dikunci…….sudah panggil berkali kali tetap tidak ada balasan.”
Staff laki lak yang satunya lagi omong denga ekspresi kecewa.
Sorata tanpa ragu berdiri di depan pintunya dan memanggil Iori.
“hoi, Iori, apa kau dengar?”
“…….suara ini, jangan jangan Sorata senpai?”
Suara yang muram. Mungkin juga karna pintu yang terkunci jadi dengarnay taidak begitu jelas. Dibandingkan Iori yang biasanay ceria ini sama sekali berbeda.
“iya, ini aku. Shiina, Aoyama dan Kanna juga ada di sini.”
“kenapa kalian bisa ada di sini?”
“tentu saja untuk mendukungmulah.”
“itu untuk apa lagi……”
“Karna Iori setiap hari berlatih dengan keras, makanya datang untuk mendukungmu.”
Sorata jujur. Karna melihat dia berlatih keras setiap hari membuat orang ingin memberinya dukungan.
“pokoknya, bukan pintu saja dulu.”
“jangan memedulikan aku lagi!”
Dengan keras ia menolak untuk membuka pintunya.
Dibelakang Sorata merasa perasaan yang mulai tegang. Sepertinya ada sebuah masalah yang mencapuri ini sehingga menjadi lebih merepotkan lagi, Sorata dapat merasakannya.
2 orang staff laki laki itu mulai tidak sabaran. Kalau Iori yang trerus keras kepala ini pasti akan menyimbulkan masalah. Dan jujur saja, mereka berdua pasti tidak mau bertanggungjawab soal ini.
Disituasi yang begini, belakang Sorata terdengar suara seseorang.
“kalau di sendiri sudah bilang begitu, tidak usah pedulikan dia aja, biarkan dia sendiri dulu.”
Yang berbicara dengan dingin itu adalah Kanna.
“bagaimanapun karna dia ingin mencari perhatian makanya dia menguci diri di ruangan itu.”
Berbicara tanpa belas kasihan ; juga terdengar seperti tidak tahan.
“kalau dia memang benar benar ingin sendirian, dia pasti akan dengan cepat meninggalkan tempat ini dan pergi ke tempat lain.”
Kanna berbicara tanpa belas kasihan langsung omong ke orang yang ada dibalik pintu itu.
“mungkin karna merasa dia akan diperhatikan kalau besikap seperti ini. Seperti bocah saja.”
“bukan begitu!”
Terdengar suara yang keras dari balik pintu itu.
“bukankah ? bukannya kau ingin orang orang memperhatikanmu ? seperti ‘tenang saja, kau ada bakat’, atau ‘ masa depanmu pasti cerah?’ ?”
Sebaliknya, sikap Kanna semakin dingin.
“bukan!”
“kalau begitu, berarti kau ingin aku bilang begitu? ‘bagaimanapun kau tidak akan bisa melampaui kakakmu, baik cepat menyerah saja.’?”
“tolong jangan bilang lagi……”
Sorata merasa Kanna sudah keterlaluan, dan menghentikan Kanna.
Tapi sepertinay terlambat, dibalik pintunya terdengar suara kaca dipecahkan.
“Iori?”
Memanggilnya tetap tidak dibalas, Sorata langsung berusaha mendobrak pintunya, tapi semua itu tidak berguna, pintunya sangat kuat.
Saat ini , staff perempuan yang kira kira berumur 20 lebih berlari kemari.
“aku sudah meminjam pintu kamarnya!”
“cepat buka!”
Staff laki laki berteriak dan staff perempuan langsung memberikan kuncinya.
“Iori!”
Sorata yang pertama masuk ke dalam kamar.
Didalam tidak terlihat Iori. Kaca jendelanya pecah, dan pecahannya berserakan dimana mana. Dan terlihat kursi yang dilempar keluar dengan penuh pecahan kaca.
Disini lantai satu, sepertinya Iori keluar lewat jendela itu.
Sorata memutar kepalanya dan melihat ke Kanna.
“itu, Kanna san?”
“maaf, aku sudah keterlaluan.”
“kau meminta maaf duluan begini membuatku tidak bisa omong apapun lagi.”
“jadi aku minta maaf dulu.”
“padahal kau sendiri tahu kalau omong seperti itu akan memnjadi seperti ini.”
“tapi, yang memintaku untuk mencari cara supaya bisa meringankan tekananku itu bukannya Sorata senpai?”
“kenapa disaat seperti ini omong topik itu?”
“membuat orang lain marah saja…..padahal aku pernah menyerah untuk menulis lagi, juga bukannya ingin orang lain mengkhawatirkanku, tapi…….”
“seperti melihat diri sendiri jadi merasa tidak tahan?”
Kanna mengangguk angguk kepalanya dengan pelan.
“mencari perhatian seperti tidak tahu malu seperti begini, aku sama sekali tidak bisa melakukannya.”
“kasihan sekali Iori…….”
“tapi, kalau aku bisa melakukan sampaiseperti ini , aku akan lebih mirip orang normal.”
Makanya marah karna sikapnya Iori. Karna hal yang tidak bisa dilakukan diri snediri, tetapi orang lain bisa.
“kalau kau merasa keterlaluan sama Iori kau bisa berbaikan dengan Iori? Pergi carilah dia.”
“tidak perlu.”
Sorata dengan bingung memindahkan tatapannya ke Mashiro.
Melihat lewat jendela yang pecah itu. Masih terlihat Iori yang sedang berlari.
Denga ncantik dia menghancurkan kaca itu tapi baru berlari sepanjang 30 meter?
“lambat sekali larinya!”
Kalau begitu sepertinya bisa mengejar dengan cepat.
Sorata juga berpikri untuk pergi lewat jendela yang pecah itu dan berlari menyusul Iori.
Melihat Iori yang hampir terkejar yang memakai tuxedo berlari. Lambat sekali larinya, denga ncepat dia sudah capek.
“hoi, Iori!”
Sorata berteriak ditengah, Iori pun melihat kebekalang, setelah dia sadar sedang dikejar oelh Sorata, dia bertambah cepat seidkit, tapi tetap saja larinya sangat lambat. Dan cara berlarinya terlihat menarik.
Disaat sudah hampir sampai di depan greenway, akhirnya Iori terkejar oleh Sorata.
Menaruh tangan di bahunya supaya dia berhenti.
“lepaskan aku!”
Iori yang berteriak itu mengepalkan tangan kanannya.
Disaat Sorata ingin melindungi diri ternyata sudah terlambat, pukulannya sudah di depan mata.
Disaat akan terkena pukulan Sorata menutup matanya dan bersiap akan kesakitan yang akan datang nanti.
“…….”
Tapi entah kenapa setelah saat tetap tidak terasa rasa sakit sedikitpun.
Sorata dengan berhati hati membuka kedua matanya.
Iori yang mengepalkan tangan kanannya menunjukan eksrepsi yan gsedang menderita.
Jarinya yang panjang itu kehilangan tenaganya, dan dengan pelan mulai melonggarkan kepalannya.
Sorata yang melihatnya dengan begitu sepertinya sudah sadar alasan kenapa Iori tidak memukulnya.
Tangan Iori ada bukan untuk meninju oarng tetapi tangannya ada untuk bermain musik dengan melodi yang menarik.
sikap larinya yang jelek juga menjelaskannya.
Seperti Mashiro, tubuhnya Iori adalah tubuh yang dipakai untuk bermain piano. Jadi untuk menghindari terluka, pasti dia jarang berolahraga.
“jangan pedulikanku lagi!”
Iori dengan benci menggigit giginya.
“tidak perlu bilang akupun tahu ! permainan pianoku tidak akan pernah mengalahkan permainan pianonnya nee-san ! tidak perlu ikuti lomba juga tahu ! tidak perlu lihat penilaian para juri juga tahu ! juga tidak perlu dibilang perempuan datar itu, aku sendiri paling tahu!”
Kedua mata Iori terlihat merah, tenggorokannya sudah berteriak pada batasnya. Napasnya tidak beraturan, wajahnya terlihat sangat menderita.
“suara piano sudah memberitahuku saat aku berlatih piano tiap hari ! aku sudah tahu bagaimanapun aku pasti tidak akan pernah mengalahkan permainan pianonnya nee-san ! pokoknya aku hanya ‘adiknya Himemiya’! hanya sebuah sampah di depan nee-san !”
“Iori…….”
“kemampuanku, aku sendiri paling tahu……bukannya tidak pernah latihan!”
Iori memegang kerah baju Sorata bagian depan dengan keras.
“waktu yang kuberikan untuk latihan tidak kalah dengan orang lain ! setelah naik ke SMP, tiap hari berlatih piano, tidak peduli kapapun itu saat sudah bangun atau sedang istirahat! Aku memberikan segalanya untuk piano! supaya jari tidak terluka aku selalu diam untuk melihat temanku saat berolahraga! saat festival olahraga yang menyenangkan selama 3 tahun saat SMP itu aku juga tidak pernah mengikutinya! saat persiapan untuk festival budaya, aku juga hanya melihat temanku bekerja dan tidak membantu…… karna begitu aku tidak mendapat 1 pun teman, semua orang omong aku dibelakang ‘sedih sekali didalam otaknya hanya ada piano’. Juga walaupun saat sepatuku disembunyikan aku hanya diam saja dan terus berlatih piano!”
Tangan Iori gemetar, tidak, seluruh tubuhnya gemetar. Hasil yang gagal ini membuat dia marah. Aarah yang sudah tidak tertahankan itu menuju Sorata.
“semua, aku bilang semuanya! Aku memberika waktu 3 tahun saat SMP hanya untuk piano! Karna jadwal bertabrakan dengan hari saat latihan berenang aku juga tidak pergi ! kelas ski juga tidak pergi karna takut terluka! Saat sedang membuat album wisudapun karna aku tidak ikut foot sampai dipanggil ke kantor guru! Hal seperti ini kalaupun dipanggil ke kantor gurupun tidak berguna lagi! Tapi…….tapi…….kenapa bisa begitu! Setiap aku mengikuti lomba selalu dibandingkan dengan nee san! Setiap baru bermain sudah ada suasana ‘ah, ternyata kemampuannya hanya segitu’! tidak peduli siapapun, selalu memandangku dengan tatapan ‘adiknya memang kurang bagus’ …..mengapa…….mengapa huh! Setidaknya hargailah diriku yang sudah berusaha keras ini! Lihatlah diriku ini…..kesampingkan soal nee san dulu, dengarlah dulu permainanku……”
Iori karna sedih dan berlutut didepan Sorata, kedua tangannya memegang keras pinggulnya Sorata , wajahnya sudah memerah karna karna air mata, matanya juga memerah.
“aku sudah berusaha sampai seperti ini, apa aku masih harus terus bermain piano !”
“……”
“aku hanya ingin hidup normal seperti orang lain! Ingin pergi ke restoran cepat saji dengan teman teman! Aku tidak ingin kehidupan seperti ini terus menerus di masa depan! Apa aku tidak boleh berpikir begitu !”
Menghadap perasaan yang tidak terurus itu , dia terus menerus mengacaukan rambutnya.
“aku sudah berusaha begitu keras, tapi tetap tidak dapat pujian. Seperti sekarang ini, apa ada gunanya jika aku terus bermain piano !”
Sorata yakin pasti akan ada gunanya, dia sangat yakin akan ada gunanya. Tapi Sorata tidak berencana memberitahu ini di sini pada Iori. Kalaupun Sorata memberitahunya sekarang tidak akan ada gunanya juga. Jadi Sorata omong soal lain.
“Iori, apa tanganmu baik baik aja?”
“huh?”
Iori dengan sedikit kejut dan mengangkat kepalanya.
“bukannya tadi kau memecahkan kaca jendela diruang istirahat tadi? Tidak terluka’kan?”
Iori mengecek tangannya dan berkata :
“……sepertinya tidak terluka.”
Setelah itu dia mengelap air matanya.
“kalau begitu syukurlah.”
Iori bingung dengan sikap Sorata tapi Sorata sama sekali tidak memedulikan ini, dan berkata :
“Iori, kenapa kau bermain piano?”
“……”
Iori tetap bingung dengan sikap Sorata.
“apa yan gmembuatmu ingin bermain piano, Iori?”
“……kupikir, mungkin terpengaruh nee san. Atau dengan kata lain, latihan itu wajar saja…….”
“kalau begitu, kenapa bertahan sampai sekarang?”
“kalau bermain piano dengan hebat, papa dan mama akan merasa senang, dan memujiku…….ini membuatku sangat senang, jadi untuk membuat mereka lebih senang,jadinya mulai berlatih piano.”
Menjawab dengan pelan pelan, seperti mengenang kembali kenangan, Iori menjawab dengan sedikit demi sedikit.
“tapi ditengah……….”
“mulai merasa menderita karna dibanding dengan kakakmu.”
“……..iya.”
“walau begitu, kau tetap ingin melampauinya dan terus berlatih ‘ kan?”
“……”
Sampai sekarang masih terus berlatih piano. dan walaupun masuk ke Suimei dan dipindahkan ke Sakurasou dia tetap berlatih dengan keras. Juga memberikan waktu 3 tahun SMPnya hanya untuk piano……..
“apa kau tahu alasan kenapa kau ingin melampaui kakakmu?”
Sorata bertanya dengan suara yang berat.
“……”
Iori tidak menjawab, hanya berpikir.
Sorata lanjut berbicara :
“aku tidak akan omong terus bermain piano akan lebih baik maupun menyerah akan lebih baik.”
“…….”
“mendapat banyak teman, ngobrol topik yang bodoh dengan teman teman, mengikuti kegiatan sekolah dnegan teman teman dengan berbahagia, bahkan mendapat seorang pacar, makan bekal bersama saat istirahat siang, pulang bersama, berkencan saat hari libur, juga merupakan kehidupan sehari hari yang tidak buruk. Dan seperti yang Iori bilang, 3 tahun SMA ini tidak hanya untuk piano. jadi aku tidak berharap kau akan meneruskannya ataupun menyerah. Tapi kalau keputusan itu adalah keputusan yang sudah Iori pikir dengan matang,tidak peduli itu meneruskannya ataupun menyerah aku akan mendukung itu, bagaimanapun itu diputuskan kau sendiri, itu pasti ada gunanya.”
“jadi, bukankah sudah kukatakan aku tidak akan lanjut bermain piano lagi!”
“kalau begitu, kenapa tadi saat ingin meninjuku malah berhenti?”
Karna tidak boleh membiarkan tangan terluka. Tubuh Iori berhenti meninju Sorata karna reaksinya yang alami itu.
“kau bilang tidak ingin bermain piano lagi tetapi kau masih terus belatih, mengapa?”
“aku…….”
“hari ini juga bukan karna ingin menyerah jadi kau ikut lomba ‘kan ?”
Iori dengan serius melihat kedua tangannya.
Jari yang panjang itu memberi orang kesan yang halus.
“sendiri ingin melakukan apa, ingin menjadi orang yang seperti apa……kalau kau masih memusingkan soal itu,  teruskan saja. Karna pernah ada seseorang memberitahuku, kalau menderita karna pusing dan memilih dengan santai, kelak nanti pasti akan menyesal.”
Sepertinya Sorata mendengar ini dari Fujisaki Kazuki. Sepertinya.
“aku ingin melakukan seperti apa……….”
Iori berbicara seolah olah sedang dalam mimpi.
“bukan pendapat orang lain. Itu adalah mood Iori sendiri. Jangan pedulikan dengan tanggapan juri dan para penonton, mau tidak putus kembali apa yang sendiri pikirkan, dan apa yang diri sendiri ingin lakukan.”
“aku sendiri ingin melakukan apa……..dan ingin menjadi orang seperti apa……….mungkin karna sering terpikir nee san jadi lupa dengan asalan kenapa aku bermain piano…..hal seperti ini saja kulupakan.”
Iori yang sudah tenang kembali, duduk ke bawah.
Setelah dia berpikir beberapa saat, dia mengangkat kepalanya ke atas dan menatap Sorata.
“aku sudah tahu, Sorata senpai.”
Tatapan matanya Iori sepertinya sudah memutuskan.
“aku akan berpikir dengan sungguh sungguh. Berpikir apa yang akan dilakukan diriku, ingin menjadi orang seperti apakah.”
“kalau begitu bagus.”
Sorata menaruh tangannya diatas kepala Iori dan mengelus kepalanya dengan kasar.
“tunggu sebentar Sorata  senpai, jangan begitu, nanti rambutku menjadi kacau.”
Walau dia bilang begitu tapi dia terlihat senang.
“sepertinya sudah ada berakhir.”
Nanami yang ikut dibelakang mengamati situasi saat ini. Dan disusul Mashiro dan Kanna yang berada dibelakangnya.
“uwa, si datar !”
Iori bereaksi ketika melihat Kanna, dan sembunyi kebelakang Sorata.
Tatapan mata Sorata dan Kanna saling bertemu, Kanna pun menghela napas , dan berbicara pada Iori :
“tadi aku sudah keterlaluan. Maafkan aku.”
Sepertinya tidak begitu tulus.
“a-aku tidak mempermasalahkannya kok.”
Iori sepertinya sedang panik. Seperti anak kecil saja sikapnya itu.
“sikap apa itu?”
Kanna merasa tidak senang pada sikap Iori yang seperti itu.
Tatapan matanya semakin dingin.
“maksudku , apapun yang diomong oleh si datar aku tidak akan mempermasalahkannya!”
Wajah Iori yang muncul dari belakang Sorata, berteriak begitu.
“apa yang kau omongkan , dasar orang mesum yang mengintip.”
Kanna menunjukan sikap untuk melawan.
“kalian harus bergaul dengan damai.”
Sorata omong dengan sikap yang sepertinay sudah menyerah. Saat ini, sebuah angin yang nakal berhembus.
Roknya Kanna tertiup ke atas oleh angin.
“ah!”
Dengan segera Kanna langsung menutup roknya, kaki berbentuk 8(dalam bahasa madanrin), dan mencondong ke depan.
Sorata yang berdiri tidak melihat apa yang ada di dalam rok, hanya terlihat pahanya yang putih dan mulus itu. Tapi , Iori yang duduk itu mungkin beda dengan Sorata, dari sikap itu , sepertinya diadapat melihat jelas apa yang ada di dalam rok itu. Buktinya, Iori sedang menutup multunya dan menunjuk ke Kanna.
“ka-ka-kau, apa itu?”
Walaupun dia mencoba untuk berdiri, tapi sepertinya pahanya tidak ada tenaga sama sekali. Tapi setelah beberapa saat, Iori mulai mimisan.
“apa karna begitulah kau datang ke Sakurasou!”
Sampai sampai telinga Kanna memerah, dan melirik Iori dengan tatapan yang menakutkan. Itu adalah sebuah tatapan yang mengandung keingian membunuh. Dan dengan cepat dia berjalan ke depan Iori, mengangkatnya dan memberinya sebuah tamparan.
Suara ‘plak’ terdengar jelas dan nyaring di hari sore musim semi ini.
“dasar mesum!”
“kaulah yang mesum kali!”
“syukurlah, Iori.”
“apanya yang syukur!”
“bukannya sebelumnya kau pernah bilang? Walau situasi saat ini agak berbeda, kau bilang ingin melihat apa yang ada di dalam rok perempuan lalu terlibat situasi yang gugup dengannya ‘kan?”
Itu adalah kata katanya saat hari pertama datang ke Sakurasou. Dia dengan semangat membicarakan sesuatu seperti tidak sengaja bertabrak dengan perempuan……..kira kira seperti itu.
“ya-yang ingin kulihat itu adalah celana dalam warna putih yang suci! Yang tadi itu nampak semuanya!”

Dan tentu saja, Iori ditampar lagi, dan mimisan lebih banyak.

Bagian 4
Hidung Iori yang dituutpi dengan tisu dulu dan kembali bersama Sorata mereka ke ruang konser. Karena Iori ingin meminta maaf pada para juri, Soratapun menemani Iori. Juga kaca jendela yang pecah itu tidak bisa dibiarkan begitu saja juga.
Setelah Iori meminta maaf dengan tulus, para juri pun terlihat puas. Dan seperti mengatakan ‘lain kali ayo berusaha lagi!’.
Dan diruang istirahat, setelah Sorata mereka pergi ke sana, tempat itu sudah dirapikan. Juga sudah menjelaskan semuanya pada Tatebayashi. Tatebayashi mendengar dengan diam dan mengatakan ‘begitu ya’, dan tidak omong apa-apa lagi. Dan mengambil HP meng e-mail seseorang, sepertinya itu adalah kakanya Saori.
Sorata mereka menunggu Iori yang masih berbicara dengan guru musiknya, setelah itu meninggalkan ruang konser. Warna langit sudah menjadi merah muda.
Waktunya sudah lewat dari sore jam 4.
“Aoyama, latihanmu bagaimana? Sudah tidak ada waktu lagi.”
Setelah turun dari tangga ruang konser, Sorata bertanya.
Audisinya jam 5. Walau lokasinya sama di Universitas ini, tapi masih perlu waktu sekitar 10 menit untuk sampai ke studionya. Jadi sudah saatnya bersiap siap. Juga sepertinya perlu persiapkan mental.
“bisa memintamu hanya melatih 1 adegan saja?”
“hn, tentu saja boleh, adegan yang mana?”
“kalau begitu, aku pulang ke Sakurasou dulu. Karena baru pindah, jadi masih perlu rapikan lagi barangnya.”
Setelah Sorata dan Nanami selesai erbicara, Kannapun pulang ke Sakurasou.
“setelah pulang, ingat pakai celana dalam.”
Kanna dengan terkejut dan menutup roknya.
“a-aku tahu.”
Dilirik. Sepertinya dia masih terpikir kejadian yang diintip Iori tadi. Tapi ,wajar saja……..
“kalau Shiina.”
“aku mau pergi ke ruang kelas seni.”
Disaat ingin bertanya apa ingin pergi bersama sama, Mashiro menjawab dengan begitu.
“Sorata, tunggu selesai baru datang.”
“iya aku tahu. Kalau begitu, sampai ketemu nanti.”
Mashiro dan Kanna pergi bersama sama meninggalkan Sorata dan Nanami.
Melihat mereka pergi semakin jauh, Sorata bertanya pada Nanami :
“Aoyama, mau latihan dimana?”
“hn~~bagaimana kalau disana?”
Tempat yang ditunjuk Nanam iadalah sebuah teater berwarna abu abu.
“sudah lama tidak datang ke sini.”
Pikirnya pintu pasti dikunci, ternyata dengan mudah dapat mmebukanya.
Membuka pintu para penonton, berjalan menuju ke layar, dan dengan pelan turun lewat tangga. Karena tidak buka lampu, jadi cahaya yang masu kdari pintu yang terbuka dalah satu satunya cahaya.
Sorata menyusul Nanami dibelakangnya.
“mungkin sudah setengah tahun tidak ke sini.”
Di tempat yang luas ini,suara tidak dipantulkan dan diserap oleh dinding. Perasaan yang diam itu menyelimuti ruangan itu.
“karena festival budaya tahun lalu ya. Kalau begitu sudah setengah tahun.”
Nanami yang berjalan ke baris paling depan dengan kagum melihat layar itu, sepertinya itu mengingatkannya pada perasaan semangat hari itu…….
Sorata mulai sedikit mengingat hari itu. Sebenarnya, pengalaman waktu itu sangat mempengaruhi diri yang sekarang.karena itu adalah pertama kali Sorata merasakan perasaan seperti itu, juga meraaskan betapa bahagianya membaut game bersama semuanya.
Bagi Nanami, mungkin juga seperti itu. Walaupun waktu itu dia gagal, setidaknya itu menjadi dorongannya untuk berusaha lebih giat kali ini.
“kalau begitu, ayo latihan.”
Nanami berjalan dengan gerakan yang ceria, berbalik menghadap Sorata yang ada tengah tangga. Jarak mereka sekitar 5meter lebih.
“mau latihan adegan yang mana?”
“dari yang paling depan………dari adegan menyatakan cinta.”
“ok.”
Untuk mengumpulkan konsetrasi. Sorata menutup matanya. Melakukan seperti ini lebih mudah menghadapai suasana hati saat ini, juga tidak bakalan dengantidak sengaja saling bertatapan dengan Nanami dan tidak akan malu sebelum mulai.
Walau biasanya akan lebih banyak menghabiskan waktu, tapi hari ini rasanya lebih mudah. Walau tidak perlu begitu serius, juga tidak perlu akting, dalam hati in isudah siap.
-----kalau begitu, tunggu audisi kali ini selesai dulu, baru beritahu kau.
Seperti toko utama perempuan dan laki lakinya, Sorata dan Nanami juga membuat sebuah janji.
Adegan yang ada dinaskah itu sangat mirip dengan Sorata dan Nanami. Jadi seperti sedang akting menjadi diri sendiri, suasana hati dapat dengan mudah mencocokkan dengan situasi saat ini.
Sorata dengan pelan pelan membuka kedua matanya dan terlihat Nanami yang masih berdiri di depan layar.
“ ‘kau bilang ingin mengatakan sesuatu padaku…….apa itu?’ “
Dialog yang diucapkan setelah menarik napas dalam dalam.
Nanami yang mendengar suara Sorata, melihat Sorata dengan menundukkan kepalanya.
 “ ‘hn, sesuatu yang lumayan penting……..mungkin.’ “
Entah sudah mengulang berapa kali, dialog yang sudah sering didengar ini……walaupun begitu, suara Nanami tetap membuat Sorata terkejut. Seperti bukan akting saja.
Itu adalah suara Nanami yang familiar. Tapi suasana yang dikeluarkan sama sekali berbeda. Gugup dan cemas , takut dan malu……..semua bercampur menjadi 1. Hanya 1 kalimat, membuat seluruh tubuh Sorata gemetar sejenak.
“ ‘…….’ “
“ ‘aku……….selalu ingin mengatakan ini padamu.’ “
Nanami dengan hati hati mengucapkan, bernada, seperti ingin satu kan semua perasaannya……..kata katak Nanami, serasa masuk ke dalam hati Sorata.
Saat ini, Sorata akhirnya mengerti. Perbedaan kali ini dan yang dulu……
“ ‘begitu ya…….’ “
Seperti sedang menghela napas, membalas dengan alami.
“ ‘hn,aku………’ “
Suara Nanami terdengar menggigil, menyalurkan perasaan yang alami itu, sekejap menjadi perasaan gugup.
“ ‘aku selalu, selalu……..’ “
Nanami mencoba mengalahkan diri yang penakut itu.
“ ‘……..’ “
“ ‘……….aku selalu menyukaimu. Sangat menyukaimu. ‘ “
Setelah tadi berhenti sesaat , Nanami mengumpulkan keberanian untuk mengucapkannya.
Sesaat setelah mendengar, tubuh Sorata langsung gemetar dengan hebat. Setiap sarafnya bereaksi dengan hebat, pori pori kuliatnya terbuka dan mengeluarkan banyak keringat. Juga detakan berjantung berdugp dengan hebat serasa ingin meledak, seperti makhluk lain, bersuara ‘dag dig dug’.
“……..”
Sorata sudah tidak begitu tahu situasi apa ini. Setengah membuka mulutnya, tidak bergerak sedikitpun.
Walau dalam otak ada dialognya, tapi Sorata ragu ragu mengatakannya.
“aku juga, juga ada perasaan yang sama. Aku juga…….”
Denga ntidak mudah akhirnya mengeluarkan suara yang gugup juga serak. Seharusnay mengatakan dengan lebih jelas ,tapi Sorata tidak bisa mengatakan dialog yang selanjutnya.
“Kanda-kun?”
“ah, em……..”
“dialognya baru sampai setengah loh.”
“ah, oh, benar juga.”
Adegan ini seharusnya selesai setelah Sorata mengucapkan dialognya yang tidak selesai itu ‘aku juga, juga ada perasaan yang sama. Aku juga………selalu menyukaimu.’
Otak Sorata saat ini sedang kosong.
“maaf. Tadi serasa ditarik oleh akting Nanami yang nyata itu.”
“apa sebagus itu aktingku?”
“ah , hn, sangat bagus. Kali ini merupakan aktingmu yang paling bagus, aku seperti sedang dinyatakan cinta saja dan gugup. Yang dulu Misaki-senpai bilang jangan perasaan yang jangan diperbaiki itu mungkin maksudnya ini.”
“begitu ya, baguslah.”
Nanami menunjukan ekspresi yang puas.
“tapi , itu wajar saja kok.”
Kali ini seperti sedang berbicara sendiri, Nnaami menutup matanya.
“huh?”
Dia menarik napas dalam dalam. Dan mebuka mata pelan pelan, mengangkat kepalanya dan melihat ke Sorata.
“karena tadi itu bukan akting.”
Suara Nanami bergema dalam teater.
“……..Aoyama.”
Nanami dengan jujur menatap Sorata. Tatapannya yang seperti sudah memutuskan sesuatu juga seperti sedang mencemaskan sesuatu itu bersinar dalam teater yang gelap. Kalau perhatikan dengan jelas, kaki Nanami juga bergetar, perasaan malu itu sudah setengah tampak dari ekspresinya yang sekarang.
Walaupun begitu, Nanami tidak berencana menyembunyikan kalimat berikutnya di dalam hati.
“aku ya, paling suka sama Kanda-kun.”
Di dalam teater yang hanya berdua, suaranya terdengar sangat jelas.
“……..”
“……..”
Semua terdiam sejenak.
“maaf, aku salah omong.”
Tapi Nanami segera mengatakan ini.
“huh?”
Sorata mengeluarkan suara yang bingung juga terkejut.
“aku tidak sengaja menyukai Kanda-kun.”
Nanami yang mengatakan dengan senyum yang sedikit dipaksakan menembak Sorata dengan tepat di hatinya.
“…….”
Sorata ada perasaan pahanya lemas. Bagaimanapun itu Cuma lusi yang dibayang Sorata, walau dia masih berdiri ditempat yang tadi. Walau sedang berdiri, tidak ada perasaan sedang berdiri. Dibawah kaki tidak ada perasaan, lutut juga serasa tidak ada tenaga. Tapi walau begitu tetap berdiri.
“ah~~sampai mengatakannya.”
Nanami dengan santai mengatakannya.
“maaf ya.”
Dengan sikap memandang ke atas, Nanami berkata demikian.
“kenapa minta maaf?”
Suara Sorata menjadi sedikti serak.
“karena sebenarnya aku berencana ingn tunggu audisinya selesai dulu baru mengatakannya………..kau terkejut’kan?”
Kali ini Nanami sedikit menundukkan kepalanya, dan melihat Sorata.
Ternyata ini maksud dari janji itu.
“sekarang…….jangan beritahu aku jawabannya dulu.”
“soalnya selanjutnya masih ada audisi.”
Sorata dengan mati matian ingin membuat otaknya berfungsi lagi. Semua kata kata terdengar samar samar. Dan seperti sekarang mengatakan apapun tidad ada perasaan percaya diri sedikitpun.
“ini juga salah satu alasannya, juga, tolong Kanda-kun pertimbangkan dulu.”
Ekspresi Nanami yang sedikti serius itu, mengatakan semua perasaannya tanpa menyembunyikan sedikitpun.
“……..”
“aku tahu orang yang disukai Kanda-kun.”
“………”
“tapi, tolong gunakan kesempatan kali ini untuk berpikir lagi.”
“………”
“juga tolong pertimbangkanlah masa depan dimana aku dan kau menjadi pasangan kekasih.”
Nanami akhirnya menunjukkan ekspresi yang segar juga puas, dan menunjukan senyuman yang indah.
Sorata menarik napas dalam dalam, menerima semua pesan Nanami, dan berpikri apa maksud semua perkataan yang tadi dan menjawab :
“aku tahu. Aku akan mempertimbangkannya.”
“terima kasih. Kalau begitu aku pergi ke audisi dulu.”
“semangat ya.”
Sorata mengatakan ini pada bayangan langkah kaki yang semakin jauh.
“hn.”
Nanami yang membalikkan kepalanya membalas dengan senyumannya yang indah itu.
“aku sepertinya sudah tahu susana hati tokoh utama perempuan yang sebenarnya…….aku akan berusaha.”
Setelah selesai mengatakannya Nanami berlari menuju tempat audisi.
20 menit setelah itu…….Sorata berada diruang kelas seni Suimei. Sesuai yang Mashiro minta, setelah selesai menemani Nanami latihan, langsung datang ke sini menjadi model lukisnya.
Mempersiapkan kursi dekat jendela, mengamati langait yang sudah malam.
Tapi Sorata tidak tahu apa yang sedang diamatinya sebenarnya. Dia bahkan lupa bagaimana cara dia bisa berjalan menuju ke ruang kelas seni. Walau ada sedikti ingatan mengenai itu, dia sama sekali tidak bisa mengingatnya.
Juga tidak ada percakapan diantara Sorata dan Mashiro.
“kalau begitu, ayo mulai.”
“hn.”
Setelah datang ke ruang kelas seni,hanya percakapan diantara Mashiro dan Sorata, setelah itu tidak omong apa-apa lagi.
Di dalam otak Sorata hanya terpikir semua hal tentang Nanami.
------ aku tidak sengaja menyukai Kanda-kun.
Suara itu melekat berat berat disektiar telinga Sorata, tidak bisa melepaskan suara ini, terus menerus bergema dalam otak.
Disaat Sorata dinyatakan cinta…….oleh Nanami, senyumannya itu yang berani juga berusaha itu tidak bisa dilupakan sama sekali. Tubuh Sorata serasa dibuka sebuah lubang yang besar, semua direbut oleh Nanami. Dan yang masih tersisa di dalam hati Sorata adalah perasaaan Nanami yang diubah menjadi perasaan malu juga senang.
Sorata tidak tahan terdiam terus, dan menatap ke Mashiro.
Badannya setengah tersembunyi dibalik tubuhnya.
“hn, Aoyama.”
Sorata mengatakannya tanpa sadar, sesaat setelah mengatakannya, merasakan perasaan ‘tamat sudah!’. Tapi panik sekarangpun tidak ada gunanya lagi.
“…….”
Mashiro sepertinay tidak begitu memedulikannya dan konsetrasi penuh pada lukisannya, jangan-jangan dia tidak dengar. Walau berpikir begitu, hati tetap tidak merasa tenang.
Setelah sesaat, Mashiro menampakkan dirinya dari belakang kanvas.
“aku bukan Nanami.”
Dia menatap Sorata.
“aku adalah aku.”
Membawa tatapan yang ingin bertanya.
“maaf, aku salah.”
Ada apa ini ? sampai mencurigai diri sendiri.
“mengapa?”
“……”
“dari dulu tidak pernah salah.”
“………..hal seperti ini kadang juga akan terjadi.”
Dalam hati Sorata sangat tahu itu ada pengaruh tadi Nanami menyatakan cinta.tidak, atau bisa dibilang, hubungan dengan Nanami mulai berubah. Saat menemani latihan, saat menemani ke tamat hiburan, juga berciuman…….semua menjadi kenangan yang segar, terlukis dalam hati Sorata. Nanami merupakan seseorang yang penting yang sudah ada dalam hati Sorata sejak dulu.
“aku tidak akan salah.”
Suara yang seperti biasanya, membawa juga tekad yang meyakinkan, mengandung perasaan yan gtidak pernah tergoyahkan.
“aku tidak akan salah melihat Sorata.”
Sorata tidak bisa mengatakan apapun mengenai kalimat yang diucapkan ulang Mashiro tadi.
Tidak peduli bagaimanapun menjelaskan semuanay sudah terlambat, juga tidak bisa membiakannya berlalu seperti sebuah candaan.
“Sorata.”
“maaf, aku tidak akan salah lagi.”
Sorata dengan tidak mudah mengatakan ini.
“bukan begitu.”
Tapi, jawaban Mashiro berbeda dengan yang diprediksi Sorata.
Maksudnya bukan begitu itu apa?
“sudah selesai.”
“…..”
Tadi Mashiro omong apa?
Sudah selesai.
Apa dia omong begitu?
Setelah beberapa saat Sorata baru merasa terkejut.
“Selesai?”
Tidak ada hubungan dengan percakapan tadi. Tapi Sorata tidak punya tenaga urus soal ini. Situasi seperti ‘akhirnya saat ini sudah datang’ sedang menunggu Sorata.
“lukisannya sudah selesai?”
Sorata bertanya pada Mashiro dengan suara yang bergetar.
“ya.”
Benar. lukisan Mashiro yang melukis Sorata sudah selesai.
“hasilnya?”
Sorata bertanya dengan tenang.
“karya terbaik yang pernah ada.”
Mashiro bukannya ingin mengalah, juga ingin membanggakan diri dan dia menjawab dengan begitu.
“boleh melihat?”
Dia sudah pernah janji, kalau sudah selesai akan membiarkan Sorata melihat.
“boleh.”
Sorata dengan pelan pelan berjalan menuju Mashiro.
Setiap berjalan 1 langkah serasa tubuh menjadi semakin kaku.
Aku selalu ada firasat…………
Tunggu saat lukisan ini selesai, hubunganku denga Mashiro akan mulai berubah, tidak akan seperti yang dulu lagi.
“Sorata, aku ya…………”
“…….”
“aku tidak bisa menjadi seperti Misaki-senpai.”
Sorata tidak begitu mengerti maksudnya, jadi menjawabnya denga sembarang :
“tidak peduli siapapun itu tidak akan pernah bisa seperti Misaki-senpai kali.”
Tapi, sepertinya maksud Mashiro bukan itu, ekspresinya sedang serius.
“aku tidak bisa menjadi seperti Rita.”
“………ya.”
“aku tidak bisa menjadi seperti Kanna ataupun Shiho juga.”
“……..”
Sorata tidak bersuara, mendekati lukisan yang seperti sedang ditarik. Satu demi satu langkah mendekati Mashiro.
“aku tidak bisa menjadi seperti orang normal.”
Mashiro berada tepat di depan mata.
“karena aku tidak bisa menjadi seperti Nanami.”
“Shiina?”
“yang bisaku lakukan hanya ini.”
Mashiro memberi tempat untuk Sorata yang ada di depan lukisan.
Lukisan dengan penuh terbang ke dalam penglihatan Sorata.
Sesaat, terasa angin musim semi yang kuat berhembus. Tapi tentu saja, itu karena terlalu banyak berpikir, karena jendela sedang tertutup.
Lukisanya Mashiro membuat angin berhembus, berhembus sebuah angin perasaan.
Setelah angin itu selesai berhembus, pipi Sorata menjadi merah.
Itu ada sebuah lukisan Sorata yang bersikap 大 dan sedang tidur diatas tumpukan bunga Sakura.
Disekelilingnya juga ada 7 kucing, memberi perasaan yang hangat juga lembut.
Wajahnya terlihat sangat menikmati, dipenuhi perasaan hati yang tenang.
Sorata tidak tahu sendiri mempunyai ekspresi seperti itu. Itu adalah ekspresi yang belum pernah ada, itu adalah perasaan hangat dan lembut yang dikangenkan orang. Seperti perasaan lembut yang bisa menerima segalanya.
Apa Sorata seperti itu dalam mata Masshiro? Ini terlalu menghormati. Bagi dia, ini adalah sebuah harga yang tidak bisa Sorata bayar.
“tapi, syukurlah selesai.”
“…….”
“perasaanku semuanya………”
“……..”
“sudah terlukis penuh di dalam lukisan itu.”
“…….”
Orang yang mendukung Mashiro untuk melukis, akan merasakan kesan seperti apa setelah melihat lukisan ini?
Saat masih di England, guru yang ajar Mashiro lukis, setelah melihat ini akan merasa emosi seperti apa setelah melihat lukisan ini?
Rita yang sebagai seorang pelukis profesional, setelah melihat lukisan ini apa yang akan dia katakan?
Para pengkritik, setelah melihat lukisan ini akan memberikan kritikan seperti apa?
Bagi mereka mungkin , ini adalah sebuah lukisan yang tidak berharga, bahkan lukisan yang tidak pantas dilihat oleh pera penikmat lukisan. Karena, modelnya adalah Sorata.
Juga mungkin sama sekali tidak ada nilai seni.
Tapi bagi Kanda Sorata yang merupakan seorang murid SMA, lukisan yang dilukis Mashiro, seperti membuat dunia ini serasa terbalik.
Didalamnya dipenuhi suatu perasaan, perasaan Mashiro yang selalu memikirkan Sorata.
Tidak perlu kata kata lain.
Setelah melihat lukisan Mashiro, Sorata berpikir begitu.
“hm, Sorata.”
“……..”
“walau aku tidak tahu akan menjadi seperti apakah besok…………”
Mashiro seperti ingin memastikan suasana hatinya, dia berhenti sejenak.
“tapi , aku ya………”
“……..”
“aku merasa aku bisa melukis sampai sekarang karena aku melukis lukisan ini.”
Mashiro menunjukan ekspresi yang terlihat puas.
Senyuman yang seperti telah memberikan segalanya, bermandikan dalam matahari yang terbenam dan bersinar sekali.
“apa perasaanku, sudah diterima Sorata?”
“hn.”
“aku menyukai Sorata.”
“……..”

“walau Sorata menyukai Nanami, aku tetap menyukai Sorata.”